Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat PHBM

bahkan cukup besar jumlah anggota masyarakat yang tidak mempunyai tanah landless. Kondisi demikian, disamping membuat distribusi penguasaan alat produksi menjadi buruk, juga menghambat program pembangunan pertanian yang diimplementasikan. Program pembangunan oleh masyarakat merupakan bentuk perencanaan dari bawahakar-rumput atau sering disebut sebagai bottom- up planning . Peningkatan partisipasi masyarakat merupakan salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat social-empowering secara nyata dan terarah Adisasmita, 2006.

2.7. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat PHBM

Sejarah pengelolaan hutan di Pulau Jawa, khususnya yang dikelola Perum Perhutani, bermula dari pola pengelolaan berdasarkan pendekatan polisional security-approach. Namun dari tuntutan perubahan lingkungan sosial masyarakat, sejak abad 18 sudah mulai berubah menjadi pendekatan kesejahteraan prosperty-approach yang ditandai dengan mulainya reboisasi dengan sistem Tumpangsari. Tahun 1974 Perum Perhutani telah memulai dengan program MALU Mantri-Lurah, selanjutnya pada tahun 1982 dikembangkan menjadi Program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan PMDH. Pada tahun 1986 lahirlah konsepsi Perhutanan SosialPS Sosial Forestry yang telah diteliti semenjak tahun 1984 Perum Pehutani, 2007 dan Simon, 2004. Kondisi luasan pulau Jawa yang hanya 6 persen dari luas wilayah Indonesia harus mampu menampung aktivitas 60 persen penduduk Indonesia. Hal tersebut menuntut Perum Perhutani untuk lebih memberikan perhatian yang besar terhadap persoalan sosial ekonomi masyarakat. Selanjutnya sejalan dengan terjadinya perubahan reformasi di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, maka Perum Perhutani melakukan penyempurnaan kembali pola pengelolaan sumberdaya hutan melalui perubahan paradigma dari Forest Timber Management menjadi Forest Resource Management dan dari State Based Forest Management menjadi Community Based Forest Management. Sejak tahun 2001 Perhutani melahirkan sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PHBM sebagai penyempurnaan sistem-sistem Community Based Forest Management yang telah terbangun sebelumnya. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PHBM didefinisikan sebagai suatu ”Sistem pengelolaan hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan Masyarakat Desa atau Perum Perhutani dan Masyarakat Desa Hutan dengan Pihak lain yang berkepentingan, dilandasi jiwa-berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional”. Pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis pada masyarakat community based natural forest resources management telah menjadi bahan diskusi yang hangat Aliadi, 2000. Azas yang melandasi PHBM adalah ”bersama dan berbagi” care and share . Jiwa yang ingin dibangun dalam PHBM adalah kesediaan Perum Perhutani, Masyarakat Desa Hutan MDH dan pihak lain yang berkepentingan stakeholders untuk berbagi peran dalam pengelolaan sumberdaya hutan sesuai dengan kaidah-kaidah keseimbangan, keberlanjutan, kesesuaian dan keselarasan dalam pengelolaan sumberdaya hutan secara lestari. Dalam sistem PHBM, masyarakat menjadi mitra-sejajar yang mampu bekerjasama membangun, melindungi dan memanfaatkan sumberdaya hutan bersama-sama dengan stakeholders lain, aktif memfasilitasi masyarakat untuk menumbuhkembangkan budaya dan tradisi pengelolaan sumberdaya hutan di lahan-lahan desa yang berada di sekitar kawasan hutan. Dengan demikian budaya memiliki dan bertanggungjawab terhadap pengelolaan hutan dan pelestarian sumberdaya hutan oleh masyarakat dapat terbangun dan pada akhirnya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat itu sendiri. Konsep Desa Pangkuan Hutan DPH adalah membagi habis kawasan hutan ke dalam pangkuan desa-desa PHBM yang disesuaikan dengan batas administratif desa atau sejarah awal desa, dan pelaksanaan pengelolaan hutan dikerjasamakan oleh suatu lembaga desa yang disebut Lembaga Masyarakat Desa Hutan LMDH. Dalam PHBM dikenal istilah ”sharing”, yaitu bagi hasil produksi kayu dan non-kayu yang diberikan kepada LMDH berdasarkan kontribusi dari masyarakat di dalam proses produksi. Tetapi dalam kasus PHBM di hutan- lindung seperti yang terjadi di Pangalengan, justru petani dikenakan pungutan berupa “sharing” hasil produksi yang diserahkan kepada Perum Perhutani. Pengembangan usaha produktif masih terus diupayakan khususnya untuk mengolah lebih-lanjut hasil-hasil pangan dari kegiatan tumpangsari dan tumpanggilir maupun tanaman di bawah tegakan seperti kegiatan pengeringan padi, jagung, kacang-kacangan, pengolahan lebih-lanjut menjadi tepung- tepungan, pengeringan porang, jamu-jamuan sampai ke bentuk spilasia cacahan kering dan produk lainnya dalam skala yang masih kecil dan sederhana. Usaha produktif lainnya yang berbasis pertanian adalah penggemukan ternak sapi, kambing, domba, dan peternakan ayam serta perikanan darat. Usaha produktif lainnya yang tidak berbasis lahan dilakukan dengan PHBM, utamanya dengan bermodal hasil sharing seperti simpan-pinjam, usaha transportasi, home-industry, toko saprotan, dan lain-lain. Untuk pengembangan usaha produktif bagi masyarakat di sekitar desa hutan, Perum Perhutani telah memberikan bantuan dengan sistem pemberian pinjaman lunak yang dikenal dengan istilah Dana PKBL Program Kemitraan dan Bina Lingkungan. Selain memberikan pembinaan berupa pinjaman modal, bantuan kepada mitra-binaan diberikan pula dalam bentuk hibah yang meliputi pelatihan peningkatan kemampuan manajerial dan keterampilan para mitra-binaan, juga dalam bentuk pembiayaan kegiatan pameran dan promosi dagang. Kolaborasi dengan beberapa stakeholder seperti dinasinstansi terkait, LSM, Perguruan Tinggi, Pondok Pesantren, perwakilan masyarakat lokal dan lembaga-lembaga lainnya dilakukan untuk membangun kebersamaan dalam- rangka mempercepat implementasi.

2.8. Akses Masyarakat terhadap Sumber-Sumber Ekonomi