sumberdaya yang dikelola tidak terurus secara “open-access” dengan pengelolaan properti komunal atau yang sering dikenal di Indonesia dengan
istilah tanah ulayat. Dalam pengelolaan sumberdaya secara “open-access”, maka berarti tidak ada pemilikan dan tidak ada yang mengatur pengelolaan. Hal
ini berbeda dengan tanahhutan milik bersama tanah ulayat. Aliran ini berpandangan, bahwa tanah-tanah ulayat penting untuk tidak dilakukan
privatisasi sebab tanah-tanah tersebut adalah katup penyelamat untuk kelompok masyarakat miskin, khususnya pada masa-masa darurat. Dalam konteks
Indonesia, aliran ini sangat kuat dianut oleh mereka yang memperjuangkan hak- hak masyarakat adat.
4. Aliran Institusionalis Instituzionalist
Aliran ini melihat lebih mendalam bagaimana suatu masyarakat memutuskan bahwa apakah sumberdaya itu kepemilikannya secara komunal
common , properti-negara, privat, atau open-access, atau bahkan kombinasi
diantara 4 empat tipe tersebut. Aliran ini secara eksplisit menyatakan, bahwa tidak ada satu pun diantara rezim-rezim properti itu yang benar-benar
ideal. Rezim-rezim properti selalu dalam kondisi berubah, sesuai dengan hasil negosiasi dan penyesuaian-penyesuaian yang ada dalam masyarakat. Aliran ini
berpandangan, bahwa rezim properti adalah merupakan relasi sosial dari 3 tiga pihak, yaitu : seseorang yang memiliki berbagai bentuk hak, orang-orang yang
dilarang untuk melanggar hak-hak tersebut, dan pihak ketiga pemerintah atau pengadilan yang menjamin hak-hak tersebut. Menurut aliran ini, isu yang lebih
besar dari sekedar sertifikasi tanah adalah : “Sejauhmanakah kemampuan untuk mempertahankan suatu klaim atas properti terlepas dari apakah sudah
disertifikasi atau belum ketika berhadapan dengan individukelompok yang lebih kuat ?”.
Aliran ini belum terlalu dianut oleh orang Indonesia. Selanjutnya Model Impak Institusional yang dikembangkan oleh Alland
Schmid dalam Tatuh 1992 menjelaskan proses determinasi performa sebagai resultan dari interaksi antara karakteristik sumberdaya dengan struktur hak-hak.
Untuk sumberdaya dengan karakteristik yang sama akan menghasilkan performa yang berbeda jika struktur hak-hak berbeda. Demikian juga halnya,
untuk struktur hak-hak yang sama akan menghasilkan performa yang berbeda- beda jika sumberdaya memiliki karakteristik yang berbeda.
Mengenai konsep kemitraan, dinyatakan bahwa secara harfiah, kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam
jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan Hafsah, 2000. Campbell 1999
menyatakan, bahwa kemitraan harus didahului dengan duduk bersama dan saling bicara antar pihak yang bermitra, saling membuka-hati dan menciptakan
rasa saling percaya, serta saling mengerti dan menghormati satu sama lain. Menurut Undang-undang Usaha Kecil Nomor 9 Tahun 1995 pasal 1 ayat 8,
menyatakan bahwa kemitraan merupakan kerjasama antara usaha menengah atau besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling
memperkuat, dan saling menguntungkan. Sedangkan menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 940KptsOT.2101097, yang dimaksud dengan
kemitraan usaha pertanian adalah kerjasama usaha antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra di bidang usaha pertanian.
Konsep kemitraan diawali dari kesadaran bahwa pengelolaan hutan tidak akan efektif dan efisien jika dikelola hanya oleh pemerintah sendiri. Prinsip atau
dasar kemitraan yang perlu dibangun adalah adanya saling percaya, kesamaan kepentingan dan tujuan, kesamaan pandangan tentang cara-cara pencapaian
tujuan tersebut, pembagian tanggungjawab yang jelas, pembagian hak yang jelas, pembagian ongkos dan keuntungan yang adil berdasarkan kesepakatan
bersama, dan lain-lain Iswantoro, 1999. Menurut Direktorat Pengembangan Usaha Departemen Pertanian 2002,
pola-pola kemitraan yang sering dilakukan diantaranya meliputi :
1. Inti-Plasma Subkontrak