Akses Masyarakat terhadap Sumber-Sumber Ekonomi

Usaha produktif lainnya yang berbasis pertanian adalah penggemukan ternak sapi, kambing, domba, dan peternakan ayam serta perikanan darat. Usaha produktif lainnya yang tidak berbasis lahan dilakukan dengan PHBM, utamanya dengan bermodal hasil sharing seperti simpan-pinjam, usaha transportasi, home-industry, toko saprotan, dan lain-lain. Untuk pengembangan usaha produktif bagi masyarakat di sekitar desa hutan, Perum Perhutani telah memberikan bantuan dengan sistem pemberian pinjaman lunak yang dikenal dengan istilah Dana PKBL Program Kemitraan dan Bina Lingkungan. Selain memberikan pembinaan berupa pinjaman modal, bantuan kepada mitra-binaan diberikan pula dalam bentuk hibah yang meliputi pelatihan peningkatan kemampuan manajerial dan keterampilan para mitra-binaan, juga dalam bentuk pembiayaan kegiatan pameran dan promosi dagang. Kolaborasi dengan beberapa stakeholder seperti dinasinstansi terkait, LSM, Perguruan Tinggi, Pondok Pesantren, perwakilan masyarakat lokal dan lembaga-lembaga lainnya dilakukan untuk membangun kebersamaan dalam- rangka mempercepat implementasi.

2.8. Akses Masyarakat terhadap Sumber-Sumber Ekonomi

Menurut Hernando de Soto, kunci keberhasilan dalam proses pemberdayaan masyarakat adalah akses terhadap sumber-sumber ekonomi. Ketika ekonomi Peru porak-poranda pada tahun 1993, de Soto mendesak pemerintah Peru untuk mengubah konsepsi pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan membuka akses yang lebih besar pada kelompok ekonomi yang lemah. De Soto berhasil mempraktekkannya Tempo, 27 Agustus 2006. Krisis global yang terjadi tahun 1997 telah membuktikan, bahwa sektor usaha formal konglomerasi yang ketika itu menyumbangkan 80 persen Pendapatan Domestik Bruto PDB, ternyata mati-suri, padahal jumlah mereka hanya 0.2 persen dari total pelaku ekonomi. Tetapi sebaliknya, aktivitas ekonomi skala mikro sektor informal relatif tetap berjalan. Ternyata, sektor informal merupakan katup penyelamat bagi kekuatan ekonomi Indonesia Darusman, 2001. Menurut Sujiro Urata JICA, pada tahun 2000 sektor informal mampu menyerap 99.6 persen tenaga kerja RI. Namun disayangkan, bahwa sektor ini kurang mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari Pemerintah, karena Pemerintah lebih kuat berpihak kepada sektor usaha besar. Kekurangan di sektor informal adalah : kegiatan masih dikelola dengan manajemen tradisional, kurang dukungan aspek legalitas, dan tidak menerapkan pembukuan yang rapi dan akurat. Padahal ekonomi rakyat tetap selamat meskipun krisis multi-dimensional merubuhkan sendi-sendi ekonomi moderen Mubyarto, 2005. Realitas di atas bertolakbelakang dengan teori penyelamatan ekonomi negara yang ditawarkan oleh Hernando de Soto dan peraih Nobel asal India, Amartya Sen . Menurut keduanya, ekonomi negara akan kokoh apabila dibuka akses yang luas terhadap sumber-sumber ekonomi nasional. Seperti halnya Negara Berkembang lain, aset-aset tanah misalnya, belum secara optimal didayagunakan untuk pemberdayaan ekonomi rakyat. Aset-aset tersebut masih menjadi ”aset tidur”. Menurut Winoto Tempo, 27 Agustus 2006, tesis Hernando de Soto dan Amartya Sen masih sangat relevan dengan upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat di Indonesia. Asumsi dasar yang dikemukakan oleh kedua ekonom tersebut relatif sama dengan fakta yang ada di Indonesia. Fakta mengenai status pemanfaatan tanah yang ada di Indonesia, dari 80 juta hektar bidang tanah yang ada di Indonesia, baru 30 persen-nya yang memiliki status hak atas tanah. Menurut UUPA, hak menguasai tanah oleh negara dipegang oleh pemerintah pusat bersifat sentralistis, tetapi setelah amandemen UUD 1945, berubah menjadi desentralistis Bakri, 2007. Selanjutnya dikatakan, bahwa dari 30 persen yang ada haknya, baru 10 persen yang terpetakan. Karena itu 30 persen tanah yang terpetakan status haknya ditambah 70 persen yang memiliki status haknya merupakan peluang atau modal untuk pemberdayaan masyarakat, seperti yang dimaksud oleh Hernando de Soto dan Amartya Sen. Masalah mendasar dalam upaya pemberdayaan masyarakat, khususnya petani dan pengusaha sektor informal, adalah penetapan hak-hak atas tanah. Apabila hal ini telah terjadi, maka upaya- upaya untuk membangkitkan aset tidur untuk pemberdayaan ekonomi rakyat tentu telah lama dilakukan. Seiring dengan upaya pemenuhan hak-hak dasar berupa status hak atas tanah tersebut, maka peningkatan kapasitas masyarakat pun akan terjadi. Pemerintah telah menetapkan agenda Reforma Agraria yang akan mengatur masalah pendistribusian tanah, sekaligus dibarengi dengan pemberdayaan masyarakat yang memiliki hak-hak atas tanah tersebut. Proses distribusi seperti ini tidak hanya dilakukan kepada para petani yang ada di perdesaan, tetapi juga pengusaha skala kecil dan menengah di perkotaan. Reforma Agraria bukan sekedar redistribusi tanah, tetapi merupakan upaya menata kembali struktur agraria secara menyeluruh ke arah yang lebih memastikan terwujudnya keadaan agraria bagi petani atau pengusaha skala kecil. Program ini bertujuan memberdayakan petani dengan mewujudkan akses terhadap lapangan kerja, yang dijamin dengan akses terhadap modal dan pasar produksi Sumardjono, 2006 dan Silalahi, 2006. Selanjutnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah dengan meningkatkan produktivitas masyarakat melalui terbukanya peluang kerja dan peluang usaha.Program pembukaan peluang usaha masyarakat di bidang kehutanan access-reform sudah banyak dilakukan yang disebut sebagai bentuk kegiatan ”pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan”. Bentuk-bentuk kegiatan tersebut diantaranya adalah :

a. Pembangunan Masyarakat Desa Hutan PMDH, yaitu kegiatan