Hasil-hasil Penelitian Terdahulu TINJAUAN PUSTAKA

f. Meningkatkan ketahanan ekonomi nasional Menurut Ridwan 1999, kemitraan antara pemerintah Perum Perhutani dengan masyarakat LMDH dalam bentuk Cooperative Forest Management CFM seperti pola PHBM dapat diterapkan apabila memenuhi kriteria : a. Adanya saling percaya antar perusahaan dengan kelompok masyarakat. b. Kegiatan yang dipilih sesuai dengan upaya menyelesaikan masalah sosial ekonomi masyarakat. c. Ada masukan dan keluaran produksi yang seimbang antara yang dimiliki oleh masyarakat dan perusahaan. d. Status lahan-hutannya adalah milik negara atau publik. e. Manajemen pengusahaan dan pengelolaan dipegang bersama masyarakat dan pengusaha. f. Perencanaan pengusahaan dan pendayagunaan sumberdaya hutan ditetapkan, disusun, dan dilaksanakan oleh masyarakat dan perusahaan. g. Ada pembagian hasil usaha yang jelas ditetapkan bersama-sama dalam rapat antara masyarakat dan perusahaan. h. Pengambilan keputusan dilakukan atas persetujuan kelompok masyarakat dan perusahaan. i. Memiliki kelembagaan sosial dan ekonomi untuk kelanjutan CFM. j. Pola dan bentuk usaha dijalankan sangat bergantung kepada keadaan wilayah masing-masing.

2.11. Hasil-hasil Penelitian Terdahulu

Mangkuprawira 1984 dalam penelitiannya mengenai “Alokasi Waktu dan Kontribusi Kerja Anggota Keluarga dalam Kegiatan Ekonomi Rumahtangga Studi Kasus di Dua Tipe Desa di Kabupaten Sukabumi di Jawa Barat” antara- lain menyimpulkan, bahwa 1 secara proporsional lebih dari 55 rata-rata pengeluaran rumahtangga dialokasikan untuk makanan, 2 preferensi konsumsi untuk rumahtangga yang kepala-keluarganya berpendidikan semakin tinggi cenderung lebih berorientasi pada jenis makanan protein dibandingkan pola makanan karbohidrat, 3 tidak kurang dari 35 jumlah anggota rumahtangga mencari nafkah lebih dari satu sumber diduga karena dorongan untuk menambah pendapatan dalam memenuhi kebutuhan rumahtangga, 4 merupakan “budaya” bahwa pekerjaan mencari nafkah banyak dialokasikan kepada pihak laki-laki sedangkan pekerjaan rumahtangga lebih banyak didistribusikan kepada wanita, serta 5 alokasi waktu suami dan istri dalam mencari nafkah dipengaruhi oleh faktor-faktor demografis, ekonomi, dan ekologi. Penelitian Ratnawati 1989 mengenai “Evaluasi Proyek Perhutanan Sosial dan Analisis Optimalisasi Usahatani Tumpangsari Tanaman Pangan di RPH Hanjuang Tengah, KPH Sukabumi” antara-lain menghasilkan suatu kesimpulan, bahwa masyarakat mengalami keterbatasan lahan garapan sehingga dengan perbaikan pola tanam akan dapat meningkatkan pendapatan petani sekitar hutan. Penelitian Krisnamurthi 1991 mengenai ”Pola Kegiatan Pertanian, Curahan Tenaga Kerja, dan Pendapatan Petani pada Wilayah Proyek Perhutanan Sosial di Jawa Tengah” menghasilkan kesimpulan, bahwa : 1 pola pertanian sekitar hutan adalah pola pertanian lahan kering yang sangat bergantung pada lahan land base agriculture, 2 rata-rata penguasaan sumberdaya lahan tidak terlalu sempit tetapi distribusi lahan tidak merata, 3 hasil produksi sudah memenuhi kebutuhan pasar, 4 modal dimiliki oleh petani sendiri dan terdapat fasilitas kredit yang terbatas, dan 5 faktor yang berpengaruh positif terhadap pendapatan adalah curahan tenaga kerja, luas lahan dan luas efektif lahan, modal, umur petani dan tingkat pendidikan. Penelitian Haryati 2002 mengenai ”Kaitan Karakteristik Rumahtangga dan Peluang Perambahan Hutan di Sekitar Taman Nasional Lore Lindu: Suatu Pendekatan Cluster” antara-lain menyimpulkan, bahwa : 1 rumahtangga di sekitar Taman Nasional Lore Lindu berpendidikan rendah, 2 bermatapencaharian beragam, tetapi dominan sebagai petani yang mengalami kelangkaan lahan, 3 umumnya cenderung memiliki lahan ladang dan tegalan, 4 terjadi marjinalisasi lahan oleh masyarakat, serta 5 pola penggunaan lahan pada umumnya adalah kebun Kakao. Sementara itu, Soehardono 2002 dalam penelitiannya mengenai ”Dampak Perubahan Faktor-faktor Ekonomi terhadap Ketahanan Pangan Rumahtangga Pertanian” antara-lain menyimpulkan, bahwa : 1 faktor determinan ketahanan pangan rumah-tangga petani adalah produksi, pendapatan, ketersediaan pangan, pengeluaran pangan, dan harga padi, 2 peningkatan produksi dan pendapatan sebagai dasar strategi peningkatan akses petani terhadap pangan terkendala karena tidak responsifnya perubahan luas sawah- garapan, 3 ketersediaan pangan dipengaruhi oleh harga padi, pendapatan ”dispossible”, pengeluaran pendidikan, dan lain-lain, serta 4 pengeluaran pangan sangat bergantung pada ukuran rumahtangga. Penelitian Andriati 2003 mengenai ”Perilaku Rumahtangga Padi dalam Kegiatan Ekonomi di Jawa Barat” 8 desa menghasilkan kesimpulan, antara lain : 1 rumahtangga petani di Jawa Barat terdistribusi pada usaha tani padi, buruh tani dan usaha non-pertanian, 2 curahan tenaga kerja pada usaha tani padi lebih tinggi daripada usaha pada agrosistem dataran rendah, 3 luas sawah garapan dipengaruhi oleh proporsi pendapatan bersih usaha-tani padi, dan 4 konsumsi pangan dan non-pangan dipengaruhi oleh pendapatan yang siap dibelanjakan. Selanjutnya Anwar 2005 yang meneliti mengenai ”Analisis Respons dan Produksi Pangan Rumah-Tangga Petani : Simulasi Perubahan Kebijakan Harga” antara-lain menghasilkan kesimpulan, bahwa : 1 produksi padi irigasi lebih tinggi daripada persawahan pasang-surut, 2 rumahtangga petani terdesak untuk segera mendapat cash-income, 3 pengeluaran rumahtangga didominasi oleh pengeluaran pangan, 4 sumber utama pertumbuhan produksi padi adalah luas lahan garapan petani, 5 penggunaan input produksi tenaga kerja, pupuk, benih ditentukan oleh luas garapan, dan 6 konsumsi padi dipengaruhi oleh tingkat pendapatan yang siap dibelanjakan. Kusnadi 2005 dalam penelitiannya mengenai “Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani dalam Pasar Persaingan Tidak Sempurna di Beberapa Propinsi di Indonesia” mengintegrasikan harga bayangan input atau faktor produksi maupun harga output ke dalam model ekonomi rumahtangga petani dalam kondisi pasar persaingan tidak sempurna. Hasil simulasi menunjukkan bahwa rumahtangga petani pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna responsif terhadap perubahan harga output usahatani, sehingga perbaikan harga output secara efektif dapat menggerakkan ekonomi rumahtangga petani. Sebaliknya, rumahtangga petani tidak responsif terhadap perubahan harga pupuk dan upah tenaga kerja di luar usahatani. Dengan demikian, pada kondisi pasar persaingan tidak sempurna, disinsentif ekonomi yang ditimbulkan oleh kenaikan harga input tidak terlalu banyak merugikan rumahtangga petani. Penelitian Asmarantaka 2007 mengenai ”Analisa Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani di Tiga Desa Pangan dan Perkebunan di Propinsi Lampung” menyimpulkan bahwa : 1 sumber pendapatan rumahtangga petani berasal dari usaha pertanian dan non-pertanian, 2 pengeluaran tertinggi adalah pada desa perkebunan, 3 masih terjadi pengangguran yang terselubung di desa, dan 4 di desa padi dan kebun sumber pengeluaran berasal dari pendapatan pertanian, sedangkan di desa ubi-kayu sumber pengeluaran berasal dari kegiatan non-pertanian. Katharina 2007 dalam penelitiannya mengenai “Adopsi Sistem Pertanian Konservasi Usahtani Kentang di Lahan Kering Dataran Tinggi Kecamatan Pangalengan Bandung”, antara-lain menyimpulkan bahwa 1 faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani sayuran untuk mengadopsi sistem pertanian konservasi adalah kecuraman lereng, status lahan, dan jumlah anggota dewasa keluarga, 2 faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani sayuran adalah pupuk N, pestisida, tenaga-kerja, luas lahan, dan adopsi konservasi, serta 3 analisis usahatani kentang yang menerapkan sistem pertanian konservasi dalam satu musim tanam memberikan pendapatan yang lebih rendah dibandingkan usahatani kentang yang tidak menerapkan teknik konservasi tanah, tetapi sebaliknya untuk jangka-panjang 20 tahun memberikan keuntungan yang lebih tinggi daripada usahatani yang tidak mengadopsi teknik konservasi tanah. Priyanti 2007 dalam penelitiannya mengenai “Dampak Program Sistem Integrasi Tanaman-Ternak terhadap Alokasi Waktu Kerja, Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani” antara-lain menyimpulkan, bahwa 1 penggunaan tenaga-kerja bagi suami dialokasikan utamanya pada kegiatan usahatani, sedangkan istri dan anak lebih banyak bekerja pada usaha di luar usahataninya sendiri, 2 alokasi penggunaan tenaga kerja keluarga, kontribuasi pendapatan dan alokasi pengeluaran rumahtangga petani sistem integrasi tanaman-ternak relatif lebih besar dibandingkan petani non-integrasi, 3 faktor- faktor yang mempengaruhi keputusan petani mengadopsi sistem tanaman-ternak adalah penggunaan kompos, alokasi penggunaan tenaga-kerja keluarga untuk usaha sapi, pendapatan usaha sapi, serta frekuensi keikutsertaan anggota rumahtangga petani dalam kegiatan organisasi tani, 4 keputusan produksi padi dan sapi dipengaruhi oleh penggunaan tenaga kerja keluarga dan pendapatan usahatani, serta 5 alokasi pengeluaran rumahtangga petani untuk konsumsi dan investasi dipengaruhi utamanya oleh pendapatan total rumahtangga petani. Selanjutnya Elly 2008 dalam penelitiannya mengenai “Dampak Biaya Transaksi terhadap Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi- Tanaman di Sulawesi Utara” antara-lain menyimpulkan, bahwa 1 pangsa pasar perantara penjualan sapi adalah komponen terbesar dari struktur biaya transaksi usaha ternak sapi di Sulawesi Utara, 2 biaya transaksi mempengaruhi keputusan rumahtangga dalam penggunaan input, produksi dan pengeluaran, serta 3 kombinasi biaya transaksi biaya perantara penjualan sapi, biaya transpor penjualan jagungkopra dan harga output memberikan dampak positif terbaik terhadap pendapatan dan kesejahteraan pengeluaran rumahtangga petani usaha ternak sapi-kelapa di Bolang Mongondow. Singh dan Janakiran dalam Singh et.al. 1986 menggunakan data rumahtangga petani dari Korea dan Nigeria untuk menggambarkan model rumahtangga petani pada beberapa komoditas pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Korea, produksi yang dihasilkan oleh usahatani keluarga sangat terintegrasi dengan aspek pasar, meskipun tidak seluruhnya bersifat komersial. Sebaliknya di Nigeria, petani di bagian utara lebih terisolasi dari aspek pasar, sehingga hasil-hasil pertaniannya lebih diutamakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hal ini juga terkait dengan kondisi geografis yang semi-arid, sehingga faktor ketidakpastian output relatif tinggi karena faktor iklimcuaca. Muller dalam Caillavet et.al. 1994 menyatakan, bahwa 95 persen masyarakat Rwanda sangat bergantung pada sektor pertanian, dimana pendapatan masyarakat sebagian besar berasal dari hasil produk-produk pertanian. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa faktor produksi yang utama adalah tenaga-kerja dan tanah. Penelitian Hunter 1997 di Lesotho tentang “Small Ruminants in the Household Economy of Lesotho : Towards a Dynamic Functional Perspective” menyimpulkan bahwa, 1 di negara Lesotho dengan jumlah penduduk tuna- lahan landlessness yang semakin meningkat, kepemilikan ternak kecil mempengaruhi distribusi pendapatan dari para warga pendatang, 2 pada awalnya ternak kecil domba, kambing hanya sebagai benda ritual yang digunakan untuk upacara-upacara adat, tetapi sekarang justru berperan sebagai komoditas ekonomi perdesaan yang sangat vital bagi peningkatan pendapatan rumahtangga. Penelitian Petty dan kawan-kawan 2005 di Ethiopia mengenai “ Coffee and Household Poverty : A Study of Coffee and Household Economy in Two Districts of Ethiopia” antara-lain menyimpulkan bahwa, 1 penurunan harga kopi sangat berpengaruh pada pengurangan nilai disposable income rumahtangga petani, 2 penurunan satu persen harga kopi dengan menggunakan harga kopi tahun 2003 sebagai benchmark berdampak pada penurunan disposable income sebesar 1.5 di distrik Jimma I dan 0.7 di distrik Jimma II.

III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Pemikiran

Data Bank Dunia menunjukkan, bahwa 49 persen penduduk Indonesia 108.78 juta orang adalah keluarga miskin atau potensial menjadi miskin dengan penghasilan sekitar US 2 per hari Kompas edisi 8 Desember 2006. Mengutip buku Hernando de Soto The Mystery of Capital, salah satu kegagalan fundamental yang terjadi di negara berkembang dalam mengentaskan kemiskinan, termasuk yang terjadi di Indonesia, adalah kegagalan melaksanakan hukum kepemilikan tanah dan properti. Rekomendasi de Soto untuk mengatasi kemiskinan adalah membuka akses sebesar-besarnya terhadap modal bagi mereka yang selama ini bergerak di sektor informal. Menurut de Soto, mayoritas penduduk di Negara Dunia Ketiga tak mampu mengentaskan dirinya dari kemiskinan kendati telah bekerjakeras, terutama karena terputus dari jaringan pasar moderen. Masih menurut de Soto, masyarakat di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, umumnya memiliki modal yang sangat potensial, yaitu aset berupa tanah. Aset inilah yang belum didayagunakan secara optimal untuk pemberdayaan ekonomi rakyatnya. Aset-aset ini adalah lahan tidur yang tidak dimanfaatkan secara tepat. Oleh karena itu tidak tertatanya aset tanah dan properti di Indonesia merupakan masalah serius yang harus segera ditangani. Lahan hutan-lindung pada umumnya juga kurang tertata dan belum optimal dalam pengelolaan maupun pemanfaatannya, sehingga merupakan aset yang potensial untuk dikembangkan. Bahkan pada banyak kasus, kawasan hutan-