Pembangunan Masyarakat Desa TINJAUAN PUSTAKA

Keseimbangan di atas juga menghasilkan pendapatan rumahtangga M yang merupakan penjumlahan pendapatan dari kegiatan usahatani dan dari luar usahatani. Pendapatan dari kegiatan usahatani diperoleh sebesar keuntungan usahatani, yaitu π = Py ∂F∂T f -WT f , merupakan keuntungan maksimum. Namun mengingat T f adalah tenaga kerja dalam keluarga, maka WT f kembali menjadi penerimaan rumahtangga. Pendapatan dari luar usahatani sebesar jumlah tenaga kerja yang dijual dikalikan dengan tingkat upah yang berlaku, yaitu WT j -T f . Total pendapatan rumahtangga sekarang menjadi M = Py ∂F∂T f + WT j -T f . Pada Gambar 8, M digambarkan dengan jarak BT j . Adanya kesempatan rumahtangga menyewa tenaga kerja luar keluarga atau bekerja di luar usahatani sendiri, memungkinkan rumahtangga untuk merespons adanya perubahan upah di pasar tenaga kerja. Asumsi yang perlu diperhatikan adalah bahwa pasar tenaga kerja yang dihadapi rumahtangga adalah pasar tenaga kerja yang bersaing sempurna. Model ekonomi rumahtangga Nakajima akan sangat berbeda jika asumsi pasar tenaga kerja tersebut tidak bersaing sempurna.

2.6. Pembangunan Masyarakat Desa

Sedikitnya ada 2 dua alasan mengapa masalah pembangunan masyarakat desa masih relevan untuk dibahas. Pertama, meskipun dalam 2 dasawarsa terakhir perkembangan kota berlangsung sangat pesat, tetapi secara umum Negara Republik Indonesia masih didominasi oleh daerah perdesaan. Kedua, meskipun sejak tahun 1970-an pemerintah Orde Baru telah mencanangkan berbagai kebijakan dan program pembangunan perdesaan tetapi masalah kemiskinan belum teratasi di wilayah perdesaan Usman, 1998. Kepadatan penduduk versus sumberdaya hutan secara resultan menghasilkan merosotnya daya-dukung carrying capacity suatu wilayah yang diikuti dengan menurunnya tingkat kesejahteraan economics welfare yang sering disebut sebagai kemiskinan Effendy, 1999. Sejumlah studi menunjukkan, bahwa jumlah penduduk miskin dan termiskin di perdesaan masih cukup banyak. Mereka menjadi bagian dari komunitas dengan kultur perdesaan. Kurang lebih separuh dari jumlah itu benar-benar berada dalam kategori sangat miskin the absolut poor. Kondisi masyarakat seperti ini sangat memprihatinkan, antara-lain ditandai oleh adanya malnutrition, tingkat pendidikan yang rendah, dan rentan terhadap penyakit. Jumlah petani gurem petani yang menguasai tanah kurang dari 0.5 hektar tidak kurang dari 13 663 000 rumahtangga pada tahun 2003 Sadikin, 2007. Kegiatan pembangunan perlu diarahkan untuk merubah kehidupan masyarakat agar menjadi lebih baik. Pembangunan harus berisi usaha untuk memberdayakan mereka sehingga masyarakat mempunyai akses pada sumber- sumber ekonomi sekaligus politik. Tidak berlebihan bila dikatakan, bahwa medan perang sesungguhnya dalam melawan kemiskinan dan kesenjangan yang utama adalah berada di desa. Jarang sekali anak muda penduduk desa yang mau jadi pesanggem. Mereka lebih tertarik ke kota Santoso, 2004. Sementara urbanisasi dengan segala dimensinya tidak memecahkan masalah ini. Karena itu, usaha memberdayakan masyarakat desa serta perang melawan kemiskinan dan kesenjangan di daerah perdesaan masih harus menjadi agenda penting dalam pembangunan dan menjadi prioritas untuk dipecahkan. Pada awal abad 20, angka tuna-wisma mencapai 40 dari total rumahtangga Marzali, 2003. Usaha membangun masyarakat desa serta menanggulangi kemiskinan dan kesenjangan merupakan fenomena yang semakin kompleks, sehingga pembangunan perdesaan dalam perkembangannya tidak semata-mata terbatas pada persoalan peningkatan produksi pertanian. Pembangunan perdesaan juga tidak hanya mencakup implementasi program peningkatan kesejahteraan sosial melalui distribusi uang dan jasa untuk mencukupi kebutuhan dasar, melainkan mencakup spektrum kegiatan yang menyentuh pemenuhan berbagai kebutuhan agar masyarakat desa bisa mandiri, percaya-diri, dan tidak bergantung pada belenggu struktural Hidayat, 2007. Faktor penting yang ditengarai membuat desa menjadi tidak berdaya adalah produktivitas yang rendah dan sumberdaya manusia yang lemah. Di beberapa daerah, ada gejala tanah pertanian semakin tidak produktif, sehingga hasil produksi sangat bergantung pada pupuk kimiawi dan obat-obatan. Ketika pupuk kimiawi dan obat-obatan terlambat diberikan, hasil produksi pun menurun. Sementara itu jumlah penduduk desa semakin meningkat, akibatnya perbandingan antara hasil produksi dan jumlah penduduk menjadi tidak seimbang lagi. Beban desa untuk mencukupi kebutuhan dasar terasa semakin berat. Konsekuensinya kemudian adalah income penduduk menjadi rendah. Yang mereka peroleh hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal, dan hampir tidak ada yang dapat ditabung. Faktor penting lainnya yang juga membuat desa menjadi tidak berdaya adalah terbatasnya akses pada tanah. Rata-rata pemilikan tanah relatif kecil, bahkan cukup besar jumlah anggota masyarakat yang tidak mempunyai tanah landless. Kondisi demikian, disamping membuat distribusi penguasaan alat produksi menjadi buruk, juga menghambat program pembangunan pertanian yang diimplementasikan. Program pembangunan oleh masyarakat merupakan bentuk perencanaan dari bawahakar-rumput atau sering disebut sebagai bottom- up planning . Peningkatan partisipasi masyarakat merupakan salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat social-empowering secara nyata dan terarah Adisasmita, 2006.

2.7. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat PHBM