V. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI PHBM
5.1. Gambaran Umum Lokasi
5.1.1. Visi dan Misi Perum Perhutani
Perum Perhutani merupakan Badan Usaha Milik Negara BUMN di bawah pengelolaan Kementerian Negara BUMN dan berada pada lingkup binaan
teknis Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Perum Perhutani diberi tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan perencanaan, pengurusan, pengusahaan,
dan perlindungan hutan di wilayah kerjanya di Pulau Jawa, tidak termasuk kawasan hutan di wilayah DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Perum Perhutani melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan berprinsip pada kelestarian yang berkesinambungan dalam pemanfaatan hutan secara
optimal. Kegiatan Perum Perhutani secara garis-besar meliputi : bidang perencanaan, pembinaan hutan, produksi, industri, pemasaran, dan pengamanan
hutan. Sebagai Perusahaan BUMN, visi Perum Perhutani yang ditetapkan adalah
“Menjadi pengelola hutan lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, sedangkan misi yang dikembangkan adalah :
1. Mengelola sumberdaya hutan dengan prinsip Pengelolaan Hutan Lestari berdasarkan karakteristik wilayah dan daya dukung Daerah Aliran Sungai
DAS serta meningkatkan manfaat hasil hutan kayu dan bukan kayu, ekowisata, jasa lingkungan, agroforestri serta potensi usaha berbasis
kehutanan lainnya guna menghasilkan keuntungan untuk menjamin pertumbuhan perusahaan secara berkelanjutan.
2. Membangun dan mengembangkan perusahaan, organisasi serta sumberdaya manusia perusahaan yang moderen, profesional dan handal serta
memberdayakan masyarakat desa hutan melalui pengembangan lembaga perekonomian koperasi masyarakat desa hutan atau koperasi petani hutan.
3. Mendukung dan turut berperanserta dalam pembangunan wilayah secara regional dan nasional, serta memberikan kontribusi secara aktif dalam
penyelesaian masalah lingkungan regional, nasional dan internasional.
5.1.2. Perkembangan Kegiatan PHBM di Perum Perhutani
Menurut pedoman PHBM, dinyatakan bahwa Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Plus PHBM Plus adalah suatu sistem pengelolaan
sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi yang bersinergi antara Perum Perhutani dengan masyarakat desa hutan atau para pihak yang berkepentingan
dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal dan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia IPM yang bersifat
fleksibel, adaptif, partisipatif dan akomodatif, dengan pengertian : 1. Fleksibel : menurut usaha, tempat dan budaya serta kemampuan masyarakat
desa hutan MDH 2. Akomodatif : seluruh unsur yang peduli concern
3. Partisipatif : keterlibatan seluruh pihak yang terkait stakeholders 4. Tanggungjawab Sosial : kepekaan terhadap kesejahteraan, intelektualitas,
kesehatan, spiritual masyarakat desa hutan MDH Adapun indikator pencapaian keberhasilan Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat PHBM Plus menuju desa hutan yang mandiri adalah : 1. Tingkat pendidikan
2. Tingkat daya beli masyarakat 3. Tingkat kesehatan masyarakat
4. Keberhasilan reboisasi 5. Tingkat keamanan hutan
6. Jejaring kelembagaan Secara skematis penerapan Pengelolan Hutan Bersama Masyarakat
PHBM adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 12. Dalam diagram tersebut dijelaskan, bahwa untuk mencapai sasaran akhir berupa “hutan lestari,
lingkungan terjaga, dan masyarakat sejahtera” , maka kegiatan PHBM Plus
berperanan penting. Kegiatan ini didukung oleh sinergi antar sektor maupun sinergi antara BUMN dalam bentuk program PKBL Pembinaan Kemitraan dan
Lingkungan Hidup atau program Community Development CD.
Sumber : Perum Perhutani 2007
Gambar 12 . Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PHBM Plus
Perkembangan proses PHBM pada desa hutan seluruh perusahaan Perum Perhutani sampai dengan Desember 2007 disajikan pada Tabel 1 berikut ini.
Dari tabel tersebut, terlihat bahwa jumlah desa yang telah menerapkan program PHBM adalah 4 819 desa atau 86 dari desa sekitar hutan yang ada.
Sedangkan luasan hutan pangkuan desa yang telah menerapkan program PHBM
Sinergi antar sektor
PHBM Plus
Visi misi Perhutani
MDH Mandiri
Sinergi BUMN
PKBL Masyarakat
sejahtera Hutan lestari
Lingkungan terjaga
mencapai lebih kurang 1 883 669.52 ha dan jumlah orang yang terlibat mencapai lebih kurang 4 596 972 orang kepala keluarga Perum Perhutani, 2007.
Sampai dengan Desember 2007, Lembaga Masyarakat Desa Hutan LMDH yang telah terbentuk mencapai jumlah 3 686 unit dengan dominasi
LMDH yang bergerak di sektor pertanian mencapai 2 103 unit 57 dan sektor jasa 1 063 unit 29 , sebagaimana disajikan pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 1. Perkembangan Proses PHBM pada Desa Hutan sd Desember 2007
Unit Jumlah
desa Hutan Desa
PHBM Desa
MDH Luas
Pangkuan Hutan Ha
Jumlah KK Org
Prosentasi 3 : 2
1 2 3
4 5
6
I 2 011
1 715 556 395.20
2 193 149 85
II 1 961
1 589 858 680.00
707 868 81
III 1 615
1 515 468 594.32
1 695 955 94
Total 5 587
4 819 1 883 669.52
4 596 972 86
Sumber : Perum Perhutani 2007 Tabel 2.
Sebaran dan Jumlah LMDH menurut Usaha Produktifnya sd Desember 2007
UNIT JUMLAH LMDH
SEKTOR USAHA PRODUKTIF
Industri Perdagangan Pertanian Perkebunan Peternakan Perikanan Jasa Lain-
lain 1 2 3 4 5 6 7 8
9 10
I 71 106
569 127 155
30 126 133 1
601 II
6 5 925 3 14 0 924 0 1
246 III
44 43 609 19
80 28 13 33 839 Total
121 154
2 103 149
249 58
1,063 136
3 686
Sumber : Perum Perhutani 2007 Disamping komoditas pertanian, kegiatan PHBM menghasilkan pula
produk perkebunan seperti kopi, kina, terpentin, dan sebagainya. Pada lokasi
penelitian yang dijadikan studi kasus, komoditas yang dominan adalah kopi Arabica yang berasal dari Aceh Tengah, yaitu kopi Kartikasari dan rumput-gajah.
Kegiatan PHBM telah bersinergi dengan kegiatan Pembinaan Kemitraan dan Bina Lingkungan PKBL Perum Perhutani berupa dana hibah maupun
pinjaman lunak untuk membantu pengembangan usaha produktif masyarakat peserta PHBM.
Adapun besarnya jumlah penyerapan tenaga kerja dan nilai tambahan penghasilan yang diperoleh dari aktivitas PHBM dari tahun 2001 hingga 2007
masing-masing Unit adalah sebanyak 11 983 470 orang dan Rp 439 371 081 179 Perhutani, 2007.
5.1.3. Gambaran Umum Wilayah Hutan pada Kesatuan Pemangkuan Hutan KPH Bandung Selatan
Kesatuan Pemangkuan Hutan KPH Bandung Selatan memiliki kawasan hutan seluas 55 074,78 ha, terdiri atas kelas perusahaan rimba, yaitu : Pinus dan
Tanaman Kayu LainTKL diantaranya : Rasamala, Mahoni, Eukaliptus Eucalyptus,
Rimba campur, Damar, Suren dan lain-lain. Kesatuan Pemangkuan Hutan KPH Bandung Selatan terletak di wilayah
administrasi Kabupaten Bandung yang sebagian besar merupakan kawasan penyangga buffer-zone dan tangkapan air catchment-area untuk wilayah hulu
sungai Citarum. Wilayah Daerah Aliran Sungai DAS Citarum mempunyai fungsi strategis sebagai pengatur tataair hidroorologi, penyangga proyek vital
Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur, maupun penunjang kemajuan perekonomian propinsi Jawa Barat, khususnya yang terkait dengan sektor
pertanian.
Tugas dan tanggungjawab Perum Perhutani KPH Bandung Selatan cukup berat, karena 79 wilayahnya berupa Hutan Lindung, sehingga memiliki
keterbatasan dalam pemanfaatannya. Disamping merupakan penyangga proyek vital pembangkit tenaga listrik yang memenuhi kebutuhan Pulau Jawa dan Bali,
wilayah hutan KPH Bandung Selatan memiliki nilai strategis lain, yaitu : 1. Sebagai pendukung cekungan Bandung dan sumber air bagi pertanian dan air
bersih masyarakat di sekitarnya. 2. Mempunyai topografi yang sangat variatif dan merupakan hulu dari banyak
sungai yang berperan-penting dalam menopang kualitas hidup masyarakat. 3. Kawasan hutan KPH Bandung Selatan dikelilingi oleh desa-desa yang
masyarakatnya memiliki interaksi yang sangat erat dengan sumber-sumber kehidupan, khususnya hutan.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 195Kpts- II2003 tanggal 4 Juli 2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di wilayah
Propinsi Jawa Barat, wilayah hutan yang dikelola oleh KPH Bandung Selatan meliputi 3 tiga fungsi, yaitu : Hutan Lindung 43 595,99 ha, Hutan Produksi 7
723,23 ha, dan Hutan Produksi Terbatas 12 658,03 ha. Tetapi berdasarkan hasil rescoring
yang diadakan pada tahun 2003, telah terjadi perubahan fungsi Hutan Produksi HP menjadi Hutan Lindung HL, sehingga komposisi terakhir luas
Hutan lindung bertambah menjadi 55 074.78 ha sebagaimana Tabel 3. Dengan demikian, maka KPH Bandung Selatan lebih banyak mengelola
kawasan hutan lindung yang sangat erat-kaitannya dengan persoalan lingkungan tata-airhidro-orologi dan bersentuhan dengan masalah-masalah sosial,
sebagaimana Gambar 1 Lampiran 20. Karena itu persoalan yang menyangkut
aspek sosial, seperti pemberdayaan masyarakat melalui program PHBM, menjadi sangat penting. KPH Bandung tidak memiliki peluang untuk memanfaatkan
produksi kayunya melalui penebangan timber-extraction, melainkan hanya diperbolehkan mengembangkan peluang untuk pemanfaatan penyadapan getah
Pinus secara terbatas, pemanfaatan jasa lingkungan, serta pemanfaatan agroforestry
melalui aktivitas PHBM. Tabel 3.
Luas Kawasan Hutan KPH Bandung Selatan Hasil Rescoring Tahun 2003
NO FUNGSI HUTAN
SK MENHUTBUN NO : 1952003 HA
1 Hutan Produksi HP
7 723.23 14
2 Hutan Produksi Terbatas HPT
3 755.56 7
3 Hutan Lindung HL
43 595.99 79
JUMLAH 55 074.78
100 Sumber : RKL KPH Bandung Selatan
Wilayah Daerah Aliran Sungai DAS Citarum memiliki kawasan hutan seluas 156 521.18 ha, diantaranya 49 616.23 ha berada di KPH Bandung Selatan
31,7 dari luas DAS Citarum atau 90.1 dari total kawasan hutan KPH Bandung Selatan yang merupakan hulu DAS tersebut. Dengan demikian posisi
KPH Bandung Selatan sangat strategis dalam menentukan berfungsinya DAS Citarum secara optimal. Ini mengandung pengertian, bahwa apabila kawasan
hutan KPH Bandung Selatan mengalami kerusakan karena pencurian atau perambahan oleh masyarakat, maka dampaknya sangat besar bagi berfungsinya
kawasan hilir yang sangat diperlukan untuk menopang hajat hidup orang banyak. Karena itu kawasan ini harus diamankan dari ancaman perambahan lahan maupun
pencurian kayu, serta perusakan lingkungan, diantaranya melalui penerapan program PHBM Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat.
5.1.4. Sejarah PHBM di KPH Bandung Selatan
Kawasan hutan KPH Bandung Selatan mengalami tekanan berupa perambahan hutan yang sangat intensif. Menurut hasil kajian LSM Bina Mitra
2002, perambahan hutan yang terjadi di wilayah KPH Bandung Selatan disebabkan karena berbagai faktor, diantaranya adalah pertambahan penduduk
yang tinggi, pendapatan masyarakat yang relatif rendah, serta situasi perekonomian dan politik nasional yang tidak kondusif.
Kebiasaan masyarakat desa sekitar hutan melakukan budidaya komoditas sayuran sudah berjalan berpuluh tahun, sebagaimana biasa dilakukan oleh
masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan Pulau Jawa pada umumnya seperti di Malang, Wonosobo, Gunung Dieng. Menurut penelitian Katharina
2006, petani sayuran kentang di Pangalengan enggan menerapkan sistem pertanian konservasi karena petani menginginkan keuntungan yang setinggi-
tingginya dalam jangka-pendek. Padahal analisis untuk jangka 20 tahun, usahatani kentang dengan sistem pertanian konservasi teras bangku dan searah kontur
memberikan tingkat pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan usahatani dengan sistem penanaman searah lereng.
Menurut pengamatan KPH Bandung Selatan 2007, penanaman komoditas sayuran di lereng-lereng yang memotong kontur akan memberikan dampak
negatif, diantaranya berupa : 1. Kegagalan kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan, karena tidak-
dikehendakinya tanaman kehutanan oleh para penggarap dengan alasan akan menaungi tanaman sayuran.
2. Menimbulkan erosi dan aliran permukaan yang sangat tinggi, karena komoditas sayuran mempunyai perakaran yang dangkal dan daur tanaman
yang relatif cepat sekitar 90 hari, sehingga frekuensi pembukaan lahan semakin cepat dan menguras hara tanah.
3. Penggunaan pestisida, pupuk kimia dan obat-obatan yang tidak ramah lingkungan. Dampaknya adalah air bersih menjadi tercemar dan semakin tidak
layak minum. 4. Terjadi proses pendangkalan waduk yang menimbulkan dampak negatif bagi
ketersediaan sumber air bagi 3 tiga waduk strategis untuk pembangkit tenaga listrik Jawa-Bali.
5. Adanya perbedaan kepentingan antara masyarakat petani dengan pemerintah cq Perum Perhutani, berpotensi menimbulkan potensi konflik yang
berkepanjangan. Salah satu alasan mengapa masyarakat sekitar hutan melakukan
perambahan hutan adalah karena masyarakat belum dilibatkan secara penuh dalam proses pengelolaan hutan, mulai dari perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan sampai pada proses monitoring dan evaluasi. Hal ini menimbulkan kesenjangan dalam berinteraksi dan sesekali timbul benturan, karena akses bagi
masyarakat untuk ikutserta menikmati nilai manfaat hutan tidak terbuka lebar, sebaimana disajikan pada Tabel 4 Bina Mitra, 2002.
Beberapa informasi penting yang dicatat dalam upaya perencanaan partisipatif melalui PRA Participatory Rural Appraissal yang dilakukan oleh
mitra LSM Bina Mitra bekerjasama dengan Perum Perhutani adalah sebagai- berikut :
1. Pada dasarnya petani sayur di hutan telah memahami adanya dampak negatif dari aktivitas usaha-taninya dan memahami itikad baik Pemerintah Provinsi
Jawa Barat untuk melarang aktivitas tumpangsari. Tabel 4.
Identifikasi Masalah yang Dihadapi Masyarakat di Wilayah Hutan Hulu Citarum KPH Bandung Selatan
INFORMASI PENTING MASALAH KEHUTANAN DAN
PERTANIAN POTENSI
Masyarakat menggarap
di lahan hutan tanpa ijin perambahan
Penggarap dari luar desa
menggarap dan menguasai lahan
Hijauan makanan ternak sulit
diperoleh pada saat musim kemarau
Lahan yang ada terbatas
lahan yang ada dikelola oleh Perum Perhutani dan
Perkebunan Negara
Kegiatan usaha kurang, modal
kurang, hasil pertanian kurang seimbang dengan modal
berusahatani
Pupuk dan obat-obatan relatif
mahal
Lembaga ekonomi masyarakat belum ada
Kesulitan air pada musim
kemarau
Kesulitan bibit tanaman pertanian yang berkualitas
Harga jual masih rendah
Tenaga Kerja banyak Sentra sayuran
wortel, kol, kentang, bawang daun
Potensi ternak sapi relatif besar
Potensi kehutanan dan perkebunan besar
MASALAH KELEMBAGAAN
Ada indikasi terselubung
permainan antara petani dengan oknum petugas
Perhutani
Beberapa LSM berencana
membentuk forum untuk menyikapi lingkungan
Hulu Sungai Citarum yang semakin rusak
Kelompok Tani Hutan KTH
belum terbentuk secara merata
Kemitraan antara masyarakat dengan Perhutani belum
terbentuk
Tidak ada pembinaan dari Perum Perhutani
Tidak ada lembaga
pendampingTenaga Pendamping Masyarakat
TPM Adanya keinginan
masyarakat untuk menjalin kerjasama
kemitraan dengan Perum Perhutani
Sumber : Hasil Kajian Zona Inti Kawasan Hulu Sungai Citarum LSM Bina Mitra, 2003
2. Ditemukan 3 tiga solusi utama untuk mengatasi perambahan lahan hutan, yaitu :
a Pertama, alih komoditas dari tanaman sayur menjadi tanaman perkebunan yang mempunyai sistem perakaran yang kuat untuk menahan erosi namun
memiliki nilai ekonomis untuk masyarakat, antara-lain kopi.
b Kedua, alih-profesi dari petani sayur kepada profesi lain yang sesuai dengan potensi setempat, yaitu : menjadi peternak sapi atau kambing
dengan melakukan penanaman Hijauan Makanan Ternak HMT di kawasan hutan.
c Ketiga, alih-lokasi dengan tawaran pindah wilayah perkebunan di Cianjur. 3. Terbangun kesepakatan antara Lembaga Masyarakat Desa Hutan LMDH
dengan Perum Perhutani untuk membangun kerjasama pengelolaan hutan. 4. Telah terjadi proses pembelajaran yang sangat penting, yaitu bahwa :
a. Upaya penurunan perambahan hutan yang tidak diikuti dengan upaya pasca-perambahan, tidak menjamin terbebasnya lahan-hutan dari garapan
tanaman sayuran. b. Upaya merubah tradisi masyarakat perlu dilakukan secara terus-menerus
dengan pendampingan dari petugasaparat maupun LSM. c. Kelembagaan petani melalui Kelompok Tani Hutan KTH mempunyai
peranan penting untuk membangun proses penyadaran bersama. d. Hubungan kerja yang harmonis antara masyarakat dengan Perhutani
terbangun semakin baik. e. Adanya kenaikan harga BBM dan kelangkaan minyak-tanah, mendorong
minat masyarakat kembali melakukan aktivitas di kawasan hutan, terutama untuk mencukupi kebutuhan bahan-bakar dari kayu.
Dari sisi Perum Perhutani dan petani PHBM, tujuan diterapkannya PHBM di KPH Bandung Selatan, diantaranya adalah :
1. Meningkatkan tanggungjawab perusahaan, masyarakat desa hutan dan pihak- pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi maupun manfaat
sumberdaya hutan. 2. Meningkatkan peran perusahaan, masyarakat desa hutan dan pihak-pihak
yang berkepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan. 3. Menyelaraskan mutu sumberdaya hutan sesuai dengan kegiatan
pembangunan wilayah. 4. Meningkatkan pendapatan perusahaan, masyarakat desa hutan dan
stakeholders lain secara simultan.
5. PHBM di Bagian Pemangkuan Hutan BKPH Pangalengan memiliki posisi yang paling luas dan relatif lebih maju dibandingkan dengan kegiatan
PHBM di 8 delapan BKPH lainnya. Disamping itu, Lembaga Masyarakat Desa Hutan LMDH Kubangsari di
BKPH Pangalengan yang menjadi fokus dari penelitian ini adalah merupakan satu-satunya LMDH yang sudah mencapai score tertinggi dan mampu mencapai
predikat sebagai LMDH Mandiri sebagaimana Tabel 5. Dengan pertimbangan tersebut, maka penelitian perilaku ekonomi
rumahtangga petani PHBM dalam pengambilan keputusan menyangkut faktor- faktor alokasi waktu dan tenaga kerja, produksi, pendapatan dan pengeluaran di
wilayah ini, menjadi sangat penting. Disamping faktor di atas, LMDH Kubangsari dipilih secara sengaja
purposive sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan, antara-lain :
1. Mewakili LMDH yang merupakan daerah hulu Daerah Aliran Sungai DAS Citarum yang sangat strategis sebagai daerah tangkapan hujan dan sangat
vital bagi proyek-proyek penting di hilirnya. Tabel 5.
Daftar Kriteria LMDH di BKPH Pangalengan KPH Bandung Selatan
BKPHRPH LMDH
DESA NILAI
SCORE KATAGORI
1 2 3 4
5
PANGALENGAN
Kubangsari Pulosari
293 LMDH Mandiri
Warnasari Warnasari 259
LMDH Madya
Margamulya Margamulya 256 LMDH
Madya Sukaluyu Sukaluyu
253 LMDH
Madya
WAYANGWINDU
Sukamanah Sukamanah 233 LMDH
Madya
KANCANA
Margaluyu Margaluyu 210
LMDH Madya
WAYANGWINDU
Margamukti Margamukti 209
LMDH Madya
KANCANA
Wanasuka Wanasuka 201
LMDH Madya Sumber :
KPH Bandung Selatan 2007
a
2. Merupakan LMDH pionir karena wilayah hutan di sekitarnya mendapat tekanan terberat pada saat reformasi.
3. Memiliki luas kawasan Pangkuan Hutan Desa PHD terbesar di KPH Bandung Selatan dan mewakili dinamika sosial yang terbaik.
4. Merupakan model yang baik dalam proses alih-komoditi yang mengarah kepada pengelolaan hutan yang sangat memperhatikan aspek ekologis
ecological-sound .
5. Memiliki multi-komoditas yang cukup ideal untuk contoh pengelolaan hutan di daerah dataran tinggi kawasan Hutan Lindung yang tidak semata-mata
mementingkan aspek produksiekonomi, melainkan aspek hidro-orologis dan kelstarian fungsi hutan.
5.1.5. Kondisi Geografi dan Administrasi Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat, termasuk dalam Bagian Pemangkuan Hutan BKPH
Pangalengan, Kesatuan Pemangkuan Hutan KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat.
Secara geografis, lokasi penelitian merupakan hulu Sungai Citarum, masuk dalam Daerah Aliran Sungai DAS Citarum, Sub Daerah Aliran Sungai
Sub DAS Citarik Cisangkuy Hulu. Desa Pulosari terletak di kaki Gunung Tilu. Di desa ini terdapat Pembangkit Listrik Tenaga Air PLTA Pangalengan,
Sub DAS Cisangkuy. Jarak antara lokasi penelitian dengan Ibukota Propinsi Bandung lebih-
kurang 51 km dan dengan Ibukota Kabupaten Soreang lebih-kurang 31,5 km. Sarana-prasarana fisik Desa Pulosari dalam bentuk jalan dan jembatan relatif
baik, sehingga aksesabilitas desa dengan wilayah lainnya relatif lancar. Secara administratif, lokasi penelitian berbatasan dengan desa-desa lain
sebagai- berikut : sebelah Utara desa Lamajang, sebelah Selatan desa Margaluyu, sebelah Timur dengan desa Pangalengan, dan sebelah Barat dengan desa
Warnasari, sebagaimana peta lokasi terlampir. Sedangkan secara administratif kecamatan, lokasi penelitian berbatasan dengan kecamatan Cimaung sebelah
Utara, kecamatan Kertasari sebelah Selatan, kecamatan Pacet sebelah Timur, dan kecamatan Pasir Jambu sebelah Barat.
Luas administratif desa Pulosari meliputi lebih-kurang 5.118,1 ha, dengan perincian penggunaan lahan sebagaimana Tabel 6. Penggunaan lahan yang
dominan adalah kawasan hutan dan perkebunan yang mencapai porsi di atas 70 dari total lahan yang ada.
Tipologi desa Pulosari adalah desa sekitar hutan, desa perkebunan, dan desa peternakan. Letak ketinggian lokasi penelitian adalah 1.200 – 1.500 m dari
muka laut dpl, dengan curah-hujan rata-rata 1.000 sd 2.400 mmtahun dan hari hujan rata-rata 7 bulan dalam setahun. Suhu udara maksimum 20
o
C dan minimum 18.22
o
C. Tabel 6.
Penggunaan Lahan di Wilayah Desa Lokasi Penelitian
NO PENGGUNAAN LUAS HA
1 2 3
1
LAHAN PERTANIAN
Ladang Milik 276.2
2
LAHAN PERKEBUNAN
Milik Rakyat 154.0
Milik Negara 353.3
Milik Swasta 25.0
3
LAHAN PERIKANAN
KolamTambak 1.2 Danau -
4
LAHAN PETERNAKAN
22.0
5
LAHAN PEKARANGAN 40.7
6
LAHAN PERKAMPUNGANPEMUKIMAN
66.8
7
PEKUBURAN 77,0
8
HUTAN Hutan Rakyat
Hutan Negara
4 112.0 TOTAL 5
118.1
Sumber : Data Potensi Desa Tahun 2007
Hingga tahun 2007 penduduk berjumlah 9 325 orang, terdiri atas 4 841 orang pria dan 4 484 orang wanita. Keadaan jumlah penduduk selama 5 tahun
terakhir disajikan pada Tabel 7. Dalam kurun waktu tersebut proporsi angkatan kerja produktif usia 15 tahun ke atas hingga 56 tahun relatif dominan.
Pendidikan di lokasi penelitian belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, meskipun akses lokasi penelitian terhadap pusat-pusat
pendidikan di Ibukota Propinsi sudah relatif terbuka. Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 8.
Tabel 7. Perkembangan Jumlah Penduduk pada Desa di Lokasi
Penelitian
No TAHUN JUMLAH PENDUDUK
JUMLAH
0 – 5 th 6 – 16 th 17 – 50 th
51 th 1
2003 1 626
1 984 3 584
995 8 189
2 2004
1 188 1 875
4 496 1 107
8 666 3
2005 1 263
1 875 4 950
1 107 9 195
4 2006
983 1 755
5 367 1 112
9 217 5
2007 977
2 044 4 666
1 620 9 325
Sumber : Data Potensi Desa, Monografi Desa Diolah
Tabel 8. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No PENDIDIKAN JUMLAH PENDUDUK
2003 2004 2005 2006 2007
T TT T TT T TT T TT T TT 1 BUTA
AKSARA PM PM PM
PM PM PM PM
257 PM 227
2 SD
2 425
- 2 585 463 1
048 69 4 590 329 6
576 120 3
SLTP 2
279 - 927 - 1
105 - 659 - 661 - 4
SLTA 1
160 - 1
412 - 573 - 573 - 168 - 5
PT 3 - 4 - 30 - 76 - 17 -
Sumber : Data Potensi Desa Tahun 2007 dan Data Statistik Desa
Keterangan : T : Tamat, TT : Tidak Tamat
Mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah buruh tani dan petani yang pada umumnya tidak memiliki lahan landless, sebagaimana terlihat pada
Tabel 9.
Masyarakat desa hutan yang terkait dengan aktivitas Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PHBM masih dimasukkan ke dalam kategori buruh-tani
karena mereka hanya sebagai penggarap lahan, bukan sebagai pemilik owner dari lahan yang diusahakannya. Usaha jasa relatif belum berkembang pesat.
Demikian pula usaha dagang. Potensi yang relatif bagus ditunjukkan oleh aktivitas peternakan, khususnya ternak unggas besar, yaitu ternak sapi-perah.
Kegiatan pertanian masyarakat pada umumnya didominasi oleh pertanian sayuran berupa kentang, kubis, tomat, dan petsai.
Tabel 9. Mata Pencaharian Penduduk pada Desa Lokasi Penelitian
No Mata Pencaharian Jumlah
Orang
1
Pertanian Pangan :
Sayuran 1 965
2
Perkebunan
Teh 425 Kopi 400
3
Peternakan
Ternak besar 417
4
Perikanan -
5
Dagang
284 6
Jasa 185
7
Pegawai
Negeri 43 Swasta 416
8
Buruh Tani 5 927
9
Montir 6
10
Pengrajin 7
11
Pariwisata 5
12
Industri RT 18
13
Bidan Desa 1
Sumber : Daftar Isian Potensi dan Perkembangan Desa Tahun 2007
Di lokasi penelitian, khususnya di wilayah administratif Kecamatan Pangalengan, terdapat potensi peternakan sapi yang cukup menonjol sebagai
produsen susu nasional. Khusus untuk sapi-perah, masyarakat peternak yang
sebagian besar adalah juga menjadi peserta program PHBM Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, pada umumnya menjadi anggota Koperasi Peternak
Bandung Selatan KPBS yang menampung dan mengolah hasil produksi susu sapi para peternak perorangan. Potensi ternak dan produksi susu Pangalengan
memberi dampak positif bagi peningkatan perekonomian masyarakat setempat.
5.1.6. Kegiatan PHBM oleh Masyarakat Desa Hutan Kubangsari, Desa Pulosari, Pangalengan
Sejarah kerjasama Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PHBM antara Lembaga Masyarakat Desa Hutan Kubangsari, desa Pulosari, dengan
Perum Perhutani, dimulai dengan pembentukan kelembagaan Kelompok Tani Hutan KTH Kubangsari, pembibitan persemaian kopi dan pembinaan budidaya
kopi. Desa Pulosari termasuk ke dalam Resort Pemangkuan Hutan RPH
Pangalengan, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan BKPH Pangalengan. Budaya masyarakat sekitar Pangalengan pada umumnya adalah berusaha-tani
sayur-sayuran yang telah berjalan selama puluhan tahun. Sebagian besar masyarakat menanam sayur dengan menggarap lahan hutan di lereng-lereng
gunungbukit dan pada umumnya adalah pendatang dari desawilayah lain bukan asli desa Pulosari.
Penanaman kopi dirintis pada tahun 1997 oleh petani penggarap Iyu Haeruddin, Endjang Suwiyana, Asep Suparman yang didukung oleh almarhum
Bapak Rukma yang merintis penyediaan bibit kopi, para pejabat Perum Perhutani Kepala KRPH, Kepala BKPH, dan Administratur Perhutani dan LSM Bina
Mitra Daud, S.Ag sebagai fasilitator.
Pada tahun 19971998 secara nasional terjadi krisis ekonomi, politik, dan sosial yang kompleks. Masyarakat di wilayah Bandung Selatan, khususnya
Pangalengan, mengalami tekanan ekonomi, yaitu mengalami penurunan daya- beli dan keterpurukan di bidang ekonomi dan sosial. Hutan menjadi salah-satu
sasaran yang paling mudah untuk dijarah dan dirambah oleh masyarakat yang lapar lahan dan kesulitan ekonomi, termasuk wilayah hutan Petak 39. Pada tahun
tersebut akibat penjarahan hutan oleh masyarakat, Perum Perhutani mengalami kerugian sebesar Rp 17 jutahari.
Untuk mengatasi perambahan lahan, penanganan melalui pendekatan polisional patroli dan tindakan represif lainnya ternyata tidak efektif dan
bahkan tidak membawa hasil yang berarti. Karena itu maka dilakukan perubahan strategi penanganan perambahan melalui metode persuasif. Melalui pendekatan
dengan tokoh-tokoh kunci di masyarakat yang ada di desa Pulosari baik oleh Tenaga Pendamping Masyarakat TPM dari LSM Bina Mitra maupun Perum
Perhutani, akhirnya diperoleh suatu solusi penanganan perambahan melalui penanaman kopi di bawah tegakan. Dari gagasan tersebut, maka masyarakat
sekitar hutan diajak untuk berorganisasi dengan membentuk Kelompok Tani Hutan KTH Kubangsari sebagai wadah berhimpunnya para petani penggarap
lahan dengan komoditas kopi. Pada awalnya anggota yang terhimpun hanya 98 orang dengan luas areal yang dikeloladigarap seluas 54.51 ha.
Hasil rembug-KTH melahirkan gagasan untuk membuat persemaian kopi pada tahun 1999, diinspirasi oleh tanaman kopi milik H. Rukma ayahanda Ir
Nana Hibarna, yang sekarang menjadi petani kopi handal di desa Pulosari yang dikelola secara sangat sederhana tetapi menjanjikan dari sisi ekonomi. Kemudian
pada bulan Mei 2000 dilakukan penanaman kopi secara serentak sebanyak 24.000 batang pohon. Tahun 2001 bulan Nopember dilakukan penanaman kembali
sebanyak 63 596 batang. Selanjutnya tiap tahun dilakukan penambahan luas lahan penanaman budidaya kopi, sampai akhirnya berkembang menjadi kebun kopi
yang relatif besar. Setelah ada penanaman kopi yang diinisiasi oleh masyarakat secara swadaya, maka secara perlahan-lahan kegiatan perambahan hutan menjadi
berkurang dan pengelolaan Hutan Lindung semakin terkendali dengan baik. Pada tanggal 20 Desember 2003, kelembagaan masyarakat lebih diperkuat
lagi dengan ditingkatkannya status Kelompok Tani Hutan KTH Kubangsari menjadi Lembaga Masyarakat Desa Hutan LMDH Kubangsari, sekaligus
dibentuk pula Forum Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat desa Pulosari, Kecamatan Pangalengan. Kemudian pada tanggal 12 Pebruari 2005 dibentuk
lembaga ekonomi masyarakat berupa Koperasi Usaha Bersama KUB Koperasi Kubangsari Bandung Selatan
sesuai dengan tuntutan warga. Dengan terbentuknya lembaga-lembaga tersebut maka pembinaan terhadap masyarakat lebih mudah
untuk dilakukan. Upaya pendampingan dalam rangka penguatan kelembagaan terus
dilakukan, antara-lain dengan pertemuan rutin yang diadakan sebulan sekali. Disamping itu juga telah diperhatikan upaya regenerasi kepengurusan dengan
melibatkan para pemuda dalam kegiatan PHBM. Disamping membangun jejaring dengan instansi-instansi yang terkait,
LMDH Kubangsari juga merintis pelatihan-pelatihan bagi petani kopi serta melakukan studi-banding tentang pengelolaan kopi di Kintamani, Propinsi Bali,
yang sudah terkenal di dunia internasional. Dari hasil studi banding, disimpulkan
bahwa kopi Pangalengan lebih baik daripada kopi Kintamani, karena antara tanaman kopi dengan tanaman pokoknya terjalin simbiosis mutualistis.
Komoditas lain diluar kopi yang dikembangkan adalah komoditas rumput- gajah karena potensi Pangalengan sebagai produsen susu sapi-perah sudah sangat
terkenal secara nasional maupun internasional. Baik Perum Perhutani maupun LMDH Kubangsari telah menjalin kerjasama yang saling menguntungkan dengan
Koperasi Peternak Bandung Selatan KPBS antara-lain berupa bantuan ternak sapi serta penampungan hasil produksi susu perah hasil peternakan sapi
masyarakat setempat. Hingga penelitian ini dilakukan, secara garis-besar kondisi kegiatan
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PHBM di LMDH Kubangsari, desa Pulosari, kecamatan Pangalengan adalah sebagaimana tertera pada Tabel 10.
Tabel 10.
Luas Kawasan Hutan Pangkuan Desa HPD LMDH Kubangsari
LOKASI LMDH
NOMOR TGL PERJANJIAN,
serta JUMLAH ANGGOTA
LMDH LUAS AREAL
HPD Ha
LUAS AREAL
PHBM Ha
JENIS KOMODITI
Petak Ha Petak Ha
KOPI HA
RUMPUT
HA
RPH PANGALENGAN,
BKPH PANGALENGAN,
KPH BANDUNG SELATAN
LMDH KUBANGSARI
36SPKTKUBDS2006 31 Juli 2006
JUMLAH ANGGOTA : 321 Org
PHBM KOPI
200 Org PHBM RUMPUT-GAJAH
36 13.89
36 8.00 8.00 -
37 C 12.68
37 C 12.68 12.68
- 37 E
11.38 37 C
11.38 11.38 -
37 D 29.90
37 D 7.40
- 7.40
38 94.90
38 69.38 69.38
- 39 A
11.47
39 A 9.50 9.50 -
39 C 39.32
39 C 38.50 38.50
- 39 E
54.51 39 E
55.28 55.28 -
40 D 39.12
40 D 18.38 18.38
- 40 E
12.79 40 E
18.79 18.79 -
40 F 42.65
40 F 38.42 38.4 -
43 A 37.51
43 A 2.84 - 2.84
43 B 29.84
43 B 6.36 - 6.36
43 C 12.12
43 C 8.00 8.00 -
43 D 10.20
43 D 10.63 10.00
0.63
43 F 19.78 43
F 7.83 - 7.83
JUMLAH 531.15
323.37 298.31 25.06
Sumber: Data Luas Kawasan Pangkuan Desa dan LMDH BKPH Pangalengan 2007
Total jumlah petani sekitar hutan yang telah terdaftar sebagai anggota LMDH Kubangsari adalah 521 orang, dengan perincian : 321 orang melakukan
penanaman kopi sebagai tanaman andalan seluas 298.31 ha dan 200 orang petani yang memanfaatkan lahan hutan untuk produksi rumput-gajah seluas 25.06 ha.
Luasan kerjasama PHBM ini setiap tahun bertambahmeningkat, sejalan dengan kesadaran masyarakat yang semakin meningkat dan kesediaan Perum Perhutani
untuk memperluas lahan PHBM. Adapun kampung-kampung sekitar hutan yang berada di sekeliling desa
Pulosari yang menjadi obyek penelitian diantaranya adalah : 1 Kampung Cisorolok
2 Kampung Kiarasanding 3 Kampung Kubangsari
4 Kampung Kiaramanuk 5 Kampung Cikalieus
6 Kampung Waspada 7 Kampung Rahong
Jenis-jenis tanaman pokok pohon kehutanan yang terdapat di lokasi penelitian diantaranya adalah :
1. Rasamala Altingia exelsa tanaman tahun 1937 dan 1946 2. Eukaliptus Ecalyptus sp tanaman tahun 1986
3. Pinus Pinus mercusii tanaman tahun 1994, 1997, 1998, 1999, dan 2000. 4. Suren Toona sureni tanaman tahun 2002
5. Rimba Campuran lainnya Karena kopi memerlukan naungan pada saat masa pertumbuhannya, maka
masyarakat memerlukan tanamantegakan pohon yang sudah relatif besar sebagai penaung tanaman kopi, seperti tertera pada Tabel 11.
Tabel 11.
Jenis Tanaman Pokok pada Lokasi PHBM Kubangsari
ANAK PETAK
KELOMPOK TANI
HUTAN KTH LUAS
BAKU HA
JENIS TANAMAN
POKOK TAHUN
TANAM
36 B CISOROLOK
70.00 PINUS
2003 37 A
CISOROLOK 37.11
PINUS 1975
37 C CISOROLOK
5.00 PINUS
2004 37 D
KIARASANDING 23.00
PINUS 2000
37 E CISOROLOK
11.20 RASAMALA
1986
JUMLAH PETAK 37 76.31
38 A KUBANGSARI II
51.00 EUKALIPTUS
1986 KUBANGSARI II
10.00 RIMBA CAMPUR
2006 38 B
KIARASANDING 13.90
PINUS 1999
38 C KUBANGSARI II
10.00 RIMBA CAMPUR
2005
JUMLAH PETAK 38 94.4
39 A KIARAMANUK
11.47 RIMBA CAMPUR
1986 39 B
KIARAMANUK 6.07
HAKL 1986
39 C CIKALIEUS
39.32 EUKALIPTUS
1986 39 D
CIKALIEUS 1.70
RIMBA CAMPUR 2004
CIKALIEUS 12.40
PINUS 1996
39 E KUBANGSARI I
12.80 RIMBA CAMPUR
2005 KUBANGSARI I
41.71 EUKALIPTUS
1986
JUMLAH PETAK 39 125.47
40 A KUBANGSARI I
8.39 RASAMALA
1952 40 B
KUBANGSARI I 5.55
PINUS 1996
40 C KEBON RAJA
17.18 SUREN
2002 40 D
KEBON RAJA 5.00
EUKALIPTUS 1986
KEBON RAJA 4.00
RIMBA CAMPUR 2007
KEBON RAJA 15.12
EUKALIPTUS 1986
KEBON RAJA 15.00
PINUS 2000
40 E KEBON RAJA
12.79 RASAMALA
1937 40 F
BATU BELAH 22.23
PINUS 2000
BATU BELAH 20.42
RASAMALA 1986
JUMLAH PETAK 40 125.68
43 A WASPADA
25.51 PINUS
1994 WASPADA
12.00 PINUS
1996 43 B
WASPADA 13.22
PINUS 1999
RAHONG 16.62
PINUS 2001
43 C RAHONG
12.12 PINUS
1975 43 D
RAHONG 10.20
PINUS 1993
43 E RAHONG
4.74 TEH
- RAHONG
3.06 PINUS
1996 43 F
WASPADA 9.74
RIMBA CAMPUR 2004
WASPADA 4.00
RIMBA CAMPUR 2006
43 F WASPADA
6.04 RIMBA CAMPUR
2004
JUMLAH PETAK 43 117.25
JUMLAH LMDH KUBANGSARI 609.61
Sumber : BKPH Pangalengan 2007
Dari tabel tersebut, terlihat bahwa jenis tanaman pokokpohon hutan yang sekaligus berfungsi sebagai penaung kopi milik masyarakat pada umumnya
adalah Pinus Pinus mercusii, Rasamala Altingia exelsa, Eukaliptus Eucalyptus urophylla
, dan Suren Toona sureni. Tahun penanaman pohon-pohon tersebut bervariasi, tetapi yang paling tua adalah pohon Rasamala yang ditanam pada
tahun 1937. Sedangkan petak yang paling luas untuk aktivitas PHBM ini adalah
petak 39 dan 40 yang luasnya mencapai di atas 125 ha per petak. Tanaman paling muda ditanam pada tahun 2007, yaitu jenis rimba campuran di anak petak 40 d.
Hasil produksi kopi oleh LMDH dijual dalam bentuk kopi gelondongan dengan harga kopi kondisi basah berkisar Rp. 1 800kg hingga Rp 2 800kg,
sedangkan bila dalam kondisi kering berkisar Rp 5 000kg. Di lokasi penelitian petani LMDH belum memiliki mesin pengolah kopi hingga menghasilkan
produk berbentuk tepung, sehingga added-value proses produksi kopi masih dinikmati oleh pengusaha pengolah dan eksportir.
Panenan kopi perdana dimulai bulan April 2004 dengan produktivitas panenan berkisar 60 dari produksi yang ideal, yaitu hanya +- 44,6 ton. Tahun
2005 meningkat menjadi 66.0 ton, tahun 2006 menjadi 67.0 ton, dan tahun 2007 mencapai 80.0 ton, dan tahun 2008 diproyeksikan meningkat menjadi 110.0 ton.
Meskipun belum optimal produksinya, namun komoditas kopi LMDH Kubangsari memberikan prospek yang sangat baik untuk menambah
pendapatan petani penggarap anggota PHBM yang hidup di kampung-kampung sekitar hutan. Karena prospeknya yang bagus untuk jangka-panjang inilah, maka
petani Kubangsari tertarik untuk terus melakukan budidaya kopi. Sedangkan budidaya rumput-gajah dilakukan di bawah tegakan Pinus, Rasamala, maupun
rimba campuran lainnya. Meskipun termasuk keluarga rumput, tetapi jenis ini memiliki perakaran yang kuat untuk menahan tanah dari erosi.
5.1.7. Penguasaan dan Pemanfaatan Lahan
Sumberdaya lahan merupakan salah satu sumberdaya yang paling sering menjadi pembatas kegiatan pertanian di Pulau Jawa. Walaupun lahan pertanian di
Pulau Jawa umumnya adalah lahan-lahan yang subur, namun ketersediaan lahan
yang sempit dengan pola pengusahaan yang sangat intensif, menyebabkan lahan menjadi faktor produksi yang sangat langka.
Untuk memudahkan analisis maka lahan dalam penelitian ini dibedakan ke dalam 3 jenis, yaitu : lahan milik, lahan sewa, dan lahan milik negara. Lahan
yang diusahakan melalui kegiatan PHBM termasuk dalam kelompok lahan milik negara, karena lahan tersebut statusnya tetap merupakan kawasan hutan yang
dimiliki oleh negara. Lahan tersebut dikuasakan kepada petani PHBM dengan diikat oleh kontrakperjanjian kemitraan antara Perum Perhutani dengan petani
penggarap melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan LMDH. Karakteristik luas lahan negara yang dikelola untuk usahatani maupun
lahan milik dan lahan sewa, menunjukkan bahwa pada umumnya baik petani PHBM Kopi maupun PHBM Rumput-gajah Sapi-perah memiliki lahan kelola
yang relatif sempit, yaitu 1.6 ha untuk petani PHBM Kopi dan 0.28 ha untuk petani PHBM Rumput-gajah Sapi-perah, sebagaimana tertera pada Tabel 12.
Tabel 12. Karakteristik Luas Lahan yang Dikelola oleh Petani Contoh
No. LAHAN YANG
DIKELOLA
RATA-RATA LAHAN YANG DIKELOLA
PETANI PHBM KOPI
HA
Persentasi
PETANI PHBM RUMPUT-GAJAH
SAPI- PERAHHA
Persentasi
1 Milik Negara
1.50 86.2
0.15 53.6
2 Milik Sendiri
0.24 13.8
0.13 46.4
3 Lahan Sewa
0.00 0.0
0.00 0.0 JUMLAH
1.74 100.0
0.28 100.0
Sumber : Data primer diolah Kesimpulan pertama yang dapat diperoleh dari data pada Tabel 12 tersebut
adalah bahwa ternyata pada umumnya peserta program PHBM adalah petani gurem
yang memiliki lahan sendiri kurang dari 0.5 ha, yaitu 0.24 ha tanah milik
petani PHBM Kopi dan 0.13 ha lahan milik petani PHBM Rumput-gajah Sapi- perah. Atau dengan perkataan lain pada umumnya petani tersebut adalah landless,
sehingga perlu lahan garapan yang diperoleh dari lahan andil dari Perum Perhutani.
Lahan negara yang dikelola petani PHBM adalah kawasan hutan lindung yang merupakan areal kerja Perum Perhutani. Semua peserta PHBM memperoleh
lahan garapan andil kawasan hutan negara. Luas lahan kawasan yang dikelola oleh petani tersebut adalah luas lahan bruto, karena tidak seluruh luas lahan
ditanami dengan tanaman pertanian, melainkan hanya sebagian luasan saja. Tanaman Kopi Arabika yang ditanam oleh masyarakat adalah tanaman pengisi
diantara tanaman pokok, yaitu tanaman kehutanan. Sedangkan untuk petani PHBM rumput-gajah, hampir 100 lahan bruto dapat ditanami dengan rumput-
gajah yang ditanam di bawah tegakan. Hal lain yang dapat ditarik kesimpulan dari tabulasi di atas adalah, bahwa
lahan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PHBM memberikan sumbangan yang besar pada penguasaan lahan total, yaitu mencapai 80 pada PHBM Kopi
dan 53 pada PHBM Rumput-gajah Sapi-perah. Dengan demikian proporsi lahan milik atau lahan sewa terhadap total penguasaan lahan hanya relatif kecil.
Pada awal dilakukan program PHBM, para petani melakukan pembagian petakanak-petak yang dilakukan secara bebas, karena pada awalnya masyarakat
merambah kawasan hutan, sehingga luas andil orang per orang tidak sama. Secara bertahap Perum Perhutani melakukan pengaturan dan penataan lahan
secara lebih tertib, agar tidak menimbulkan konflik antar petani maupun terjadi
tukar-menukar dan jual-beli lahan. Pada pelaksanaan program PHBM selanjutnya dilakukan pembagian lahan andil yang lebih sistematis.
Tabel 13 menyajikan luas lahan yang diusahakan secara ekonomis, yaitu luas lahan yang secara fisik dapat ditanami untuk tanaman pertanian masyarakat.
Tabel tersebut menunjukkan bahwa persentasi penggunaan lahan PHBM dengan komoditas kopi relatif lebih sempitkecil, rata-rata hanya 75 sd 80. Hal ini
dikarenakan luas lahan PHBM yang sebenarnya dapat ditanami oleh petani adalah luas lahan PHBM yang secara fisik dapat ditanami dikurangi dengan tanaman
pohon milik Perum Perhutani, yaitu tanaman pokok kehutanan. Sedangkan lahan PHBM untuk komoditas rumput-gajah hampir seluruhnya 100 dapat ditanami
rumput-gajah sebagai Hijauan Makanan Ternak HMT, karena rumput-gajah dapat ditanam di bawah tegakan pohon maupun seluruh lahan di luar tanaman
pokok kehutanan. Tabel 13.
Rasio Rata-rata Luas Lahan yang Ditanami Luas Lahan Efektif dengan Lahan yang Tersedia Luas Lahan Potensial
NOMOR LAHAN
YANG DIKELOLA
RASIO LUAS LAHANLUAS TERSEDIA PETANI PHBM
RUMPUT-GAJAH KOPI 1
Milik Negara 100
80
2 Milik Sendiri
100 100
Rata-rata 100
90
Sumber : Data Primer diolah
5.1.8. Pola Usahatani
Mengingat bahwa jenis komoditas maupun intensifikasi usahatani berbeda antara pola pertanian peserta PHBM Kopi dengan peserta PHBM Rumput-gajah
Sapi-perah, maka untuk menganalisis secara deskriptif mengenai pola kegiatan pertanian pada lokasi penelitian dibagi menjadi 2 dua pola budidaya, yaitu :
1. Pola Budidaya Usahatani Program PHBM KopiBudidaya Kopi 2. Pola Budidaya Usahatani Program PHBM Rumput-gajah Sapi-
perahBudidaya Rumput-gajah Sapi-perah.
5.1.8.1. Usahatani Budidaya Kopi
Di Indonesia, tanaman kopi diperkenalkan pertama kali oleh VOC antara tahun 1696-1699. Awalnya penanaman kopi hanya bersifat coba-coba
penelitian. Namun karena hasilnya memuaskan dan cukup menguntungkan sebagai komoditas perdagangan, maka VOC menyebarkan ke berbagai daerah,
seperti Lampung, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan derah lain di Indonesia.
Bagi bangsa Indonesia, kopi merupakan komoditas ekspor yang penting. Pada tahun 1981, ekspor kopi sebanyak 210 800 ton menghasilkan devisa sebesar
US 347.8 juta. Nilai ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Tercatat pada tahun 2001, komoditas kopi mampu menghasilkan devisa sebesar US 595.7 juta dan
menduduki peringkat pertama di antara komoditas ekspor subsektor perkebunan. Namun, produksi kopi Indonesia mengalami penurunan dari tahun 2001 390 000
ton hingga tahun 2004 300 000 ton, sebagaimana Tabel 14. Salah satu penyebab menurunnya produksi kopi adalah kurangnya
perawatan lahan dan frekuensi pemupukan yang menurun. Padahal, jika petani menginginkan hasil yang maksimal, setidaknya pemupukan dilakukan 2 dua kali
per tahun. Penurunan frekuensi pemupukan ini dikarenakan ketidakmampuan petani untuk membeli pupuk akibat harga jual kopi yang anjlok, disamping
mahalnya harga pupuk. Kondisi ini diperparah dengan rendahnya mutu kopi yang dihasilkan oleh perkebunan rakyat.
Tabel 14.
Produksi Kopi Indonesia
Tahun Ekspor
Produksi Ton Volume Ton
Nilai juta US
19981998 420.00
363.00 615.80
19992000 370.00
358.00 488.80
20002001 390.00
345.60 339.90
20012002 380.00
254.80 203.50
20022003 360.00
322.50 218.80
20032004 350.00
229.70 155.80
Sumber : BPS dalam Najiyati dan Danarti 2006 Selain sebagai komoditas ekspor, kopi juga merupakan komoditas yang
banyak dikonsumsi di dalam negeri. Menurut survei yang dilakukan oleh Departemen Pertanian Najiyati dan Danarti, 2006, rata-rata penduduk Indonesia
mengkonsumsi kopi sebanyak 0.5 sd 0.7 kgorangtahun. Lebih dari 90 tanaman kopi di Indonesia diusahakan oleh rakyat.
Umumnya, tanaman kopi rakyat sudah berumur cukup tua, sehingga tidak produktif lagi. Penerapan teknologi yang digunakan pun masih sangat sederhana,
sehingga mutunya relatif rendah. Untuk mengatasi hal tersebut, maka langkah yang perlu ditempuh oleh para petani adalah sebagai-berikut :
1 Mengembangkan varietas kopi Arabika unggul pada lahan yang sesuai 2 Mengganti tanaman tua dengan tanaman muda varietas unggul yang
dianjurkan peremajaan 3 Menerapkan teknik budidaya yang benar, baik sistem penanaman,
pemangkasan, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, maupun pengaturan naungan.
4 Menerapkan sistem pemanenan dan pengolahan yang benar, baik cara pemetikan, pengolahan, pengeringan, maupun sortasi.
Di lokasi penelitian LMDH Kubangsari di desa Pulosari, budidaya tanaman kopi oleh para petani hutan peserta program PHBM pada awalnya
dilakukan dengan cara asal tanam, sehingga berakibat : 1. Populasi tanaman kopi dalam tiap hektar tidak merata, sehingga pada saat ini
baru 60 tanaman kopi yang dibudidayakan oleh petani yang dapat dipanen. 2. Umur tanaman tidak seragam sama sebagai akibat penyulaman yang
dilakukan setiap tahun tidak beraturan dan aktivitas pemeliharaan belum optimal.
3. Produksi panenan kopi petani belum optimal. Kopi yang berumur 6 tahun misalnya, produktivitas rata-rata per pohon hanya mencapai kondisi 6o dari
tanaman induk kopi yang ditanam oleh Bapak Almarhum Rukma pelopor perkopian di Kubangsari.
4. Secara umum, kopi yang ditanam belum memperoleh perawatan yang ideal, karena disamping faktor keterbatasan modal juga terdapat keterbatasan
keterampilan petani kopi sehingga memerlukan capacity-building yang intensif.
Penanaman kopi di lahan PHBM pada awalnya murni dilakukan secara mandiri dan atas inisiatif petani sendiri. Karena itu tidak memperoleh sentuhan
dan pembinaan dari instansi formal maupun informal. Petani melakukan secara “trial and error”. Petani Kubangsari tidak memiliki bekal keterampilan yang
cukup untuk melakukan budidaya kopi yang pada awalnya diragukan banyak orang, karena pengalaman wilayah lain di Indonesia menunjukkan, bahwa
penanaman kopi di hutan lindung dapat mengalahkan tanaman pokoknya yang berfungsi sebagai pengatur tata-airhidro-orologi lingkungan sekitarnya. Tetapi
beruntung, bahwa kopi jenis Arabika yang berasal dari Aceh Tengah Ateng di lokasi penelitian kopi Ateng “Kartikasari” justru memerlukan naungan,
sehingga petani berkepentingan dengan tanaman pokok kayu tersebut. Karena itu petani justru menjaga secara sungguh-sungguh agar tanaman pohon di hutan
lindung tidak dirambah atau ditebang secara liarilegal oleh oknum masyarakat, tetapi harus dilestarikan.
Di antara petani PHBM yang sukses, tokoh masyarakat Bapak Iyu Haeruddin
dapat menjadi contoh petani yang ulet dan tangguh. Dari hasil wawancara dengan yang bersangkutan, diperoleh informasi bahwa penanaman
kopi di lahan kawasan hutan Perum Perhutani pada awalnya kurang mendapat dukungan baik dari masyarakat, aparat desa, maupun Perum Perhutani sendiri.
Awalnya Iyu Haeruddin adalah perantau yang selama 6 tahun menjadi buruh di Jakarta. Setelah terjadi krisis ekonomi dan kehidupan masyarakat di Ibukota
menjadi sangat berat, maka ia memutuskan kembali ke desa Pulosari pada tahun 1999. Setelah mendapat bantuan Kredit Usaha Tani KUT dari pemerintah, Iyu
Haeruddin mengusahakan penanaman sayuran di lahan Perum Perhutani. Tetapi
usaha ini pun gagal, karena petani sayur bermunculan sangat banyak sehingga hasil panen sayuran sampai melimpah-ruah dan tidak dapat dijual ke pasar.
Banyak petani yang akhirnya terbelit hutang, karena tidak mampu membayar kredit yang diterimanya. Harga sayuran begitu fluktuatif dan petani tidak
memperoleh untung. Disamping itu, bertani sayuran di lahan hutan milik Perhutani tentu saja dianggap ilegaltanpa ijin.
Pada suatu ketika datang 3 tiga orang Aceh yang menawarkan penanaman kopi seluas 20 hektar dan berjanji akan memberikan upahgaji sebesar Rp. 500
000bulan. Tetapi tawaran tersebut ditolak. Akhirnya petani mencoba menanam kopi sendiri dan ditanam di lahan hutan milik Perum Perhutani. Karena tidak
meminta ijin resmi, maka petani tersebut ditegurdilarang oleh Perum Perhutani. Tetapi setelah menunjukkan hasil yang relatif baik dan ternyata tanaman kopi
merupakan tanaman keras yang membutuhkan naungan, maka akhirnya Perum Perhutani dan aparat desa mendukung upaya penanaman kopi yang diharapkan
dapat menjadi strategi alih-komoditi dari tanaman sayur yang kurang ramah lingkungan menjadi tanaman keras yang lebih ramah lingkungan.
Komunikasi antara masyarakat dengan perusahaan Perum Perhutani difasilitasi oleh seorang TPM Tim Pendamping Masyarakat yang berasal dari
Lembaga Swadaya Masyarakat LSM Bina Mitra, untuk menjembatani antara aspirasi masyarakat dengan tugas dan tanggungjawab perusahaan. Dari diskusi
yang panjang, akhirnya disimpulkan bahwa tumpangsari sayuran di lahan hutan lindung yang tinggi topografinya, tidak mendatangkan keuntungan bagi
masyarakat. Sebaliknya disosialisasikan bahwa menanam komoditas kopi jauh lebih menguntungkan secara jangka-panjang, karena memiliki visi sosial,
ekologis, sekaligus ekonomis secara bersama-sama simultan dan menyeluruh. Bagi masyarakat, terdapat 3 tiga keuntungan yang bisa dinikmati, yaitu : 1
menjaga kelestarian hutan, karena pohon-pohon kayu tidak lagi ditebangdijarah, tetapi digunakan sebagai naungan bagi tanaman kopi; 2 membantu
mengawetkan lahan hutan dari bencana tanah-longsorerosi karena perakaran tanaman kopi cukup baik untuk menahan tanah dari ancaman erosi; 3
keuntungan ekonomis berupa pendapatan yang relatif kontinyu, karena petani hanya sekali menanam, tetapi setelah itu memperoleh pendapatan revenue yang
terus-menerus. Komoditas kopi yang ditanam masyarakat Pangalengan, khususnya desa
Pulosari, adalah Kopi Arabika yang berasal dari Aceh Tengah, sehingga sering disebut sebagai “Kopi Kartikasari Ateng”, sebagaimana Gambar 2 Lampiran 20.
Kopi tersebut cocok ditanam pada ketinggian lebih kurang 1400 m dari permukaan laut. Mengingat bahwa jenis kopi ini hanya membutuhkan sinar
matahari sebesar 10 , maka kopi Ateng ini sangat cocok ditanam di bawah tegakan. Karena itu tanaman-tanaman pohon Eucalyptus yang dahulu sering
dijarah, justru sekarang harus dilestarikan sebagai naungan tanaman kopi. Bahkan pada daerah yang jarang rawang, lahan-lahan tersebut disulam dengan jenis
tanaman pohon Eucalyptus. Dengan demikian terjadi interaksi mutualistis antara tanaman pohon yang ditanam Perum Perhutani dengan tanaman kopi yang
ditanam oleh masyarakat. Masyarakat menjaga agar tegakan hutan yang ada tetap lestari dan tidak dijarah lagi. Bahkan karena manfaat tanaman kopi secara
ekologis, ekonomis, dan sosial cukup menjanjikan prospek yang baik, maka masyarakat sangat bersemangatantusias untuk mengganti komoditas tumpangsari
dari tanaman musiman menjadi tanaman MPTS, termasuk Kopi Arabika. Tanaman kopi yang ditanam tahun 2000 dan 2001 sejumlah 87 596 pohon
menghasilkan produksi rata-rata per pohon 3 kg kopi gelondongan, sehingga produksi tiap tahun dari tanaman tersebut adalah 267 788 kg biji basah atau lebih
kurang 131 000 kg biji kering.
Alih-komoditas dari tanaman hortikultura menjadi tanaman yang berjangka-panjang ini diperkuat dengan keluarnya SK Direksi Perum Perhutani
Nomor : 136 tahun 2001 tentang Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PHBM yang semakin membuka akses kepada masyarakat untuk memanfaatkan
lahan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani. Kemudian pada tanggal 20 Mei 2003, Gubernur Jawa Barat juga menerbitkan Surat Edaran nomor :
5221224Binprod tentang penutupan kegiatan tumpangsari di kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi berkelerengan lebih dari 40 . Akibat larangan
tersebut, maka masyarakat sepakat untuk menghentikan aktivitas tumpangsari dengan tanaman musiman umur pendek.
Selanjutnya masyarakat tertarik untuk mengalihkan tanaman dari tanaman umur pendek tersebut kepada tanaman keras
berupa buah-buahan, termasuk tanaman kopi. Adapun rekapitulasi petani kopi yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan LMDH Kubangsari
adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 15. Tabel 15.
Rekapitulasi Data Petani Kopi pada Lokasi Penelitian
NO PETAK LUAS
HA JUMLAH
ANGGOTA KK
BLOK KTH Baku Tanaman
1 39 e
54.51 53.28
64 Kubangsari I
2 38 82.00 46.38
48 Kubangsari
II 3
40 f 38.82
38.82 17
Batu Belah 4 39
c 39.00 38.50
41 Cikalieus
5 43 d,e
22.32 18.00 36
Rahongsari 6 39
a 11.00
7.50 13
Kiaramanuk 7 37
c 19.50 12.68
22 Cisorolok
8 37 e
22.40 22.40 32
Cisorolok 9 36
80.00 12.40 25
Cisorolok 10
40 e, d 29.93
29.68 23
Kebon Raja
JUMLAH 399.48 279.64 321
Sumber : BKPH Pangalengan
Pada tanggal 20 Desember 2003, kelembagaan masyarakat lebih diperkuat lagi dengan ditingkatkannya status Kelompok Tani Hutan KTH Kubangsari
menjadi Lembaga Masyarakat Desa Hutan LMDH Kubangsari, sekaligus dibentuk pula Forum Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat desa Pulosari,
Kecamatan Pangalengan. Kemudian pada tanggal 12 Pebruari 2005 dibentuk lembaga ekonomi masyarakat berupa Koperasi Usaha Bersama KUB Koperasi
Kubangsari Bandung Selatan sesuai dengan tuntutan warga. Dengan terbentuknya
lembaga-lembaga tersebut maka diharapkan pembinaan terhadap masyarakat lebih mudah untuk dilakukan.
5.1.8.2. Budidaya Rumput-gajah dan Pemeliharaan Sapi-perah
Bentuk nyata kerjasama pemanfaatan kawasan hutan dengan komoditas rumput-gajah antara Kelompok Tani Hutan KTH sudah dimulai sejak tahun
1998. Dari tahun ke tahun proses kerjasama PHBM terus mengalami perubahanperkembangan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat.
Kerjasama pemanfaatan rumput-gajah sempat mengalami penurunan ketika terjadi perambahan hutan. Namun setelah perambahan berkurang dan adanya Surat
Keputusan Gubernur Jawa Barat yang melarang aktivitas tumpangsari di kawasan hutan lindung, maka produksi rumput-gajah mengalami peningkatan kembali.
Pada awalnya kerjasama penanaman rumput-gajah dilakukan antara masyarakat sekitar hutan dengan Perum Perhutani saja, namun karena hal tersebut
menyangkut pula pemasaran hasil susu-perah peternak dan proses pengolahannya penanganan pasca-panen, maka kerjasama juga melibatkan pihak Koperasi
Peternak Bandung Selatan KPBS. Rumput-gajah yang ditanam di bawah tegakan hutan mempunyai produktivitas rata-rata lebih kurang 12.000
kghabulan, sebagaimana Gambar 3 Lampiran 20.
Keberadaan kawasan hutan di lokasi penelitian sangat berpengaruh positif terhadap keberadaan Koperasi Peternak Bandung Selatan KPBS yang
merupakan koperasi peternak terbesar di Jawa Barat dalam usaha susu sapi. Karena itu pihak-pihak yang terkait, yaitu petani yang tergabung dalam Kelompok
Tani Hutan Andalan KTH-A Kabupaten Bandung, Perum Perhutani KPH Bandung Selatan dan Koperasi Peternak Bandung Selatan KPBS sepakat
melakukan penandatanganan Kesepakatan Bersama Memorandum of Understanding
pada tanggal 1 April 2006. Rekapitulasi petani rumput-gajah yang tergabung dalam Lembaga
Masyarakat Desa Hutan LMDH Kubangsari adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16. Rekapitulasi Data Petani Rumput-gajah
NO PETAK LUAS
HA JUMLAH
ANGGOTA KK
BLOK KTH
1 2 3
4 5
1 37 d
6.99 39
Kiarasanding 2 38
4.74 33
Kiarasanding 3 43
a 3.14
17 Waspada
4 43 bI
7.15 29
Rahongsari 5 43bII
3.16 17
Waspada 6 43
c 0.32
4 Rahongsari
7 43d 1.70
21 Rahongsari
8 43 f
8.67 40
Waspada
JUMLAH 45.87 200
Sumber : BKPH Pangalengan Petani rumput-gajah pada umumnya sekaligus menjadi peternak sapi-perah,
sehingga hasil akhir yang diperoleh para petani adalah hasil bersih dari penjualan susu-sapinya yang dijual kepada Koperasi Peternak Bandung Selatan KPBS
sebagai penampung dan pengolah susu tersebut captive-market.
Budidaya sapi-perah di Pangalengan memerlukan penanganan yang intensif seperti ilustrasi pada Gambar 4 Lampiran 20, sehingga petani rumput-gajah yang
sekaligus peternak sapi memiliki siklus kegiatan yang sangat sibuk, mulai waktu pagi hari hingga malam hari. Pada umumnya peternak mengandalkan tenaga
kerja keluarga, namun tidak mencukupi. Beberapa rumahtangga petanipeternak memerlukan tambahan tenaga kerja sewaan untuk membantu tenaga keluarga.
Adapun makanan sapi dewasa yang sedang berproduksi terdiri atas 2 dua golongan, yaitu :
a. Makanan kasar Makanan kasar adalah bahan makanan yang mempunyai kadar serat kasar
yang tinggi. Bahan ini umumnya terdiri dari makanan hijauan yang berupa rumput-gajah atau leguminosae dalam bentuk yang masih segar ataupun yang
telah diawetkan, seperti : silage atau hey. Petani Pangalengan menggunakan rumput-gajah sebagai hijauan pakan ternak yang dipanen dari kawasan hutan
Perum Perhutani. b. Makanan penguatkonsentrat
Makanan penguat konsentrat adalah bahan makanan yang kadar-seratnya rendah dan mudah dicerna. Makanan penguat ini bagi sapi-perah merupakan
makanan tambahan yang penting, karena berfungsi untuk memenuhi kekurangan zat-zat makanan yang terdapat dalam makanan kasar.
Sapi-perah memerlukan pemeliharaan yang intensif, bergantung pada umurtingkatan sapi tersebut, apakah sapi dararemaja atau sapi dewasa. Sapi
dararemaja adalah sapi yang berumur 9 bulan sampai dengan sapi tersebut
beranak yang pertama kali. Sedang sapi dewasa adalah sapi yang telah beranak kedua kali hingga umur 4-5 tahun.
Pemeliharaan sapi dara adalah menyediakan makanan yang terjamin mutunya, sedangkan untuk sapi dewasa perlu dilakukan pemeliharaan yang lebih
kompleks, yaitu : pemeliharaan badan, pemeliharaan kuku, pemerahan, pemberian makanan sehat, mengawinkan sapi, perawatan sapi bunting, gerak-badan sapi,
pemeliharaan sapi yang sedang kering, serta perawatan kepada pejantan. Ternak sapi-perah di Pangalengan umumnya dikandangkan secara
berkelompok. Para petani membuat kandang secara bersama, kemudian sapi-sapi tersebut dibuatkan label yang jelas. Kandang-kandang dibuat di dekat rumah atau
agak jauh dari rumah, dilengkapi dengan sumber air bersih yang cukup jumlahnya dan lancar. Jadi kandang-kandang tersebut berada di luar kawasan hutan.
Masa laktasi menghasilkan susu sapi-perah dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah :
1. Faktor genetisfaktor individu yang sifatnya baka dan tak berubah-ubah bawaan.
2. Makanan : Penyediaan makanan yang tidak mencukupi kebutuhan sapi, akan membatasi sekresi air susu.
3. Manajemenperlakuan terhadap rangsangan pemerahan, lamanya kering kandang, pencegahan terhadap penyakit, frekuensi pemerahan, dan lain-lain.
Petani mengharapkan setiap hari dapat memproduksi susu segar yang dapat menghasilkan uang kas secara cepat. Untuk memperoleh susu segar yang bagus,
maka pemerahan susu harus dilakukan pada : 15 hari sebelum partus melahirkan dan 7 hari sesudah partus. Pemerahan susu pada 15 hari sebelum partus,
komposisi air-sususnya belum seperti yang diharapkan, sedangkan sebelum 7 hari maka air susu masih berupa susu jolong colostrums.
Pemerahan susu dalam 1 satu hari dilakukan 2 dua kali, yaitu pagi dan sore. Begitu susu diperah, maka susu segar tersebut dibawa ke tempat
pengumpulan untuk ditampung dan diuji oleh petugas KPBS. Selanjutnya susu tersebut dibawa dengan mobil ke tempat pengolahan di KPBS.
5.1.9. Aspek BiayaPermodalan
Penentuan nilai modal yang digunakan oleh petani dilakukan dengan pendekatan pengeluaran expenditure, yaitu bahwa jumlah modal petani dinilai
berdasarkan biaya atau pengeluaran sarana produksi yang dialokasikan oleh petani selama 1 satu tahun. Di lokasi penelitian, penggunaan modal yang utama adalah
untuk melakukan kegiatan usahatani, baik pada peserta program PHBM maupun bukan peserta PHBM. Rata-rata penggunaan modal keluarga petani untuk
kegiatan pertanian dapat dilihat pada Tabel 17. Nilai modal petani adalah nilai pengeluaranbiaya untuk berbagai keperluan
input pertanian usahatani, termasuk input-input yang diperoleh dari subsidi
apabila ada. Pengeluaran untuk tenaga kerja keluarga tidak diperhitungkan sebagai unsur biaya.
Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa pada responden peserta program PHBM Kopi petani kopi, sebagian besar modal digunakan untuk membayar
sharing kepada Perum Perhutani 35.3 , kemudian upah tenaga kerja 24.8 ,
penggunaan pupuk 22.3 , pembelian obat-obatan 9.9 , serta pembelian bibit 7.7 . Penggunaan obat-obatan yang relatif kecil menunjukkan bahwa
pengelolaan usahatani kopi masih belum intensif, namun petani beralasan bahwa
penggunaan obat-obatan kurang diperlukan apabila pemeliharaan kopi berupa perlakukan pemangkasan batang pruning dapat dilakukan secara tertib dan
teratur. Tabel 17.
Rata-rata Biaya Usahatani di Lokasi Penelitian
NO BIAYA USAHA
BIAYA PER KK PER TAHUN RP PETANI PHBM KOPI
PETANI PHBM RUMPUT-GAJAH DAN
SAPI-PERAH
1 Tenaga kerja
1 141 953 24.8 5 098 160 17.1
2 Pupuk
1 025 861 22.3 442 990 1.5
3 Obat-obatan
457 958 9.9 226 440 0.8
4 Bibit
355 314 7.7 47 120 0.1
5 Sharing
1 626 947 35.3 909 900 3.0
6 Biaya rumput
- 6 093 320 20.4
7 Makanan ternak
- 17 049 590 57.1
Jumlah 4 608 033 100.0
29 867 520 100.0
Sumber : Data Primer Diolah
Pada responden peserta program PHBM Rumput-gajah Sapi-perah, sebagian besar modal digunakan untuk membeli makanan ternak konsentrat
yang mencapai 57.1 , biaya rumput-gajah 20.4 , dan tenaga kerja 17.1 . Biaya rumput-gajah merupakan transfer-pricing dari budidaya rumput-gajah di
areal Perum Perhutani yang dilakukan oleh petani yang sama dengan pemilik ternak sapi secara integrated. Penggunaan tenaga kerja tambahan dilakukan
karena tenaga kerja keluarga tidak mencukupi untuk menangani pemeliharaan sapi-perah yang harus dilakukan secara disiplin dan intensif.
Penggunaan pupuk relatif rendah pada usahatani yang terkait dengan PHBM, karena disamping banyak menggunakan pupuk organik yang dibuat
sendiri sehingga tidak dihitung nilainya, petani peserta PHBM pada umumnya juga belum terlalu intensif di dalam melakukan pemupukan. Penggunaan pupuk
yang anorganik chemicals relatif tidak digunakan karena mahal dan dapat
merusak lingkungan menimbulkan pencemaran, sehingga petani memilih menggunakan pupuk organik dengan memanfaatkan kotoran hewan ternak seperti
sapi dan ayam. Kondisi ini sebetulnya menguntungkan, karena konsumen menyenangi hasil kopi yang dibudidaya secara alamiah natural tanpa tercemar
oleh pupuk-pupuk kimia. Kopi yang dikelola secara alami dan environmentally- friendly
ini disukai oleh konsumen yang berkelas di berbagai negara konsumen kopi dunia.
Pengeluaran lain yang cukup signifikan nilainya adalah sharing PHBM yang besarnya mencapai 26.9 dari total capital yang digunakan, khususnya
bagi petani PHBM Kopi. Sharing ini dibayarkan kepada Perum Perhutani yang nilainya sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian, seolah sebagai pengganti
biaya sewa karena petani menggarap lahan hutan Perum Perhutani. Sharing petani PHBM Rumput-gajah Sapi-perah nilainya relatif kecil hanya 3.0
dibandingkan total-capital yang digunakan, karena luasan lahan yang digunakan untuk rumput-gajah pada umumnya tidak besar seperti penggunaan lahan untuk
budidaya kopi. Baik pengamatan terhadap responden peserta PHBM Kopi maupun peserta
PHBM Rumput-gajah Sapi-perah, hal penting yang perlu dicatat adalah bahwa jumlah modal yang digunakan petani bersifat tidak tetap. Hasil intervieuw
menunjukkan bahwa, dari waktu ke waktu penggunaan modal tersebut sangat berfluktuasi, bergantung pada perolehan pendapatan petani pada waktu
sebelumnya. Penelitian tidak menggunakan data runtut-waktu time-series, sehingga fluktuasi modal tersebut tidak dapat digambarkan secara lebih detil,
tetapi dicatat pada saat survei dilakukan untuk kurun waktu produksi selama 1 satu tahun.
Modalkapital yang dibutuhkan oleh petani sebagian diperoleh dari pinjaman bank maupun non-bank, sebagian dari hasil produksi sendiri, serta
sebagian ada bantuan kredit lunak Perum Perhutani yang disalurkan melalui program PKBL Pembinaan Kemitraan dan Bina Lingkungan, meskipun nilainya
relatif belum signifikan. Masyarakat sekitar hutan baik yang telah menjadi peserta PHBM maupun
yang bukan peserta PHBM, belum menggunakan modal secara optimum karena memang mengalami keterbatasan sumber permodalan. Pinjaman modalkredit
mikro nilainya sangat terbatas dan tidak secara signifikan membantu kebutuhan modal petani, sehingga petani kopi, rumput-gajah, dan sayur perlu memperoleh
pemberdayaan untuk meraih sumber-sumber permodalan yang berkelanjutan.
5.2.
Karakteristik Petani Contoh 5.2.1. Umur Petani Contoh
Karakteristik umur petani contoh di lokasi penelitian menunjukkan, bahwa para petani contoh peserta program PHBM kopi rata-rata berumur 47.9 tahun,
sedangkan petani contoh peserta program PHBM rumput-gajah sapi-perah berumur 42.0 tahun, sebagaimana tertera pada Tabel 18.
Tabel 18. Karakteristik Umur Rata-rata Petani Contoh
NO UMUR
JUMLAH RESPONDEN ORANG PETANI PHBM
KOPI PETANI PHBM RUMPUT-
GAJAH SAPI-PERAH JUMLAH
1 20 sd 30 tahun
5 8.5 5 16.1
10 11.1
2 31 sd 40 tahun
13 22.0 12 36.7
25 27.8
3 41 sd 50 tahun
13 22.0 4 12.9
17 18.9
4 Di atas 50 tahun
28 47.5 10 34.3
38 42.2 Jumlah
59 100.0 31 100.0
90 100.0 Umur Rata-Rata
47.9 Thn 42.0 Thn