Teori Ekonomi Rumahtangga Petani Nakajima

Chayanov. Apabila ukuran keluarga dan banyaknya pekerja dalam rumahtangga berubah maka menyebabkan terjadi perubahan tingkat konsumsi minimum, sehingga rasio konsumsi per pekerja berubah. Perubahan ini berdampak pada perubahan keseimbangan output, tenaga kerja dan pendapatan keluarga. Terjadinya perubahan keseimbangan ini menyebabkan keseimbangan fungsi produksi dengan kurva indiferens akan berubah.

2.5. Teori Ekonomi Rumahtangga Petani Nakajima

Teori Nakajima Nakajima, 1986 tentang perilaku ekonomi rumahtangga petani lebih komprehensif dibandingkan dengan teori Becker dan Chayanov seperti dikemukakan di atas. Dasar teori yang digunakan adalah teori Becker dan Chayanov, namun dikembangkan lebih lanjut, yaitu adanya pasar produk dan pasar tenaga kerja serta pasar input lainnya. Ciri adanya keseimbangan subyektif masih tampak pada teori ini mengingat perilaku rumahtangga tidak terlepas dari penggunaan tenaga kerja dan keluarga. Nakajima 1986 mengasumsikan bahwa rumahtangga berusaha memaksimumkan fungsi utilitas U = U T,M dengan mengkombinasikan penggunaan tenaga kerja T dan pendapatan uang M. Fungsi utilitas U akan dimaksimumkan dengan kendala produksi F = FT,L, yaitu kegiatan produksi usahatani untuk menghasilkan satu jenis produk usahatani dengan memanfaatkan input tenaga kerja T sebagai input variabel dan lahan L sebagai input tetap. Dari kegiatan usahatani tersebut, rumahtangga memperoleh pendapatan uang M = Py.FT,L, dimana Py adalah harga pasar untuk produk usahatani yang dihasilkan. Berdasarkan fungsi utilitas dan kendala yang ada, keseimbangan rumahtangga petani dapat dicari dan dihasilkan Py ∂F∂T = -U T U M , dimana U T = ∂U∂T, dan U M = ∂U∂M. Jika diperhatikan Py∂F∂T adalah nilai produktivitas marjinal tenaga kerja keluar, sedangkan -U T U M merupakan substitusi marjinal tenaga kerja terhadap pendapatan uang atau secara verbal merupakan nilai pendapatan yang dikorbankan setiap satu satuan tambahan tenaga kerja keluarga. Nakajima menyebut -U T U M sebagai penilaian marjinal penggunaan tenaga kerja keluarga marginal valuation of family labor. Penilaian tersebut bersifat subyektif, sehingga keseimbangan yang diperoleh juga merupakan keseimbangan subyektif. Hal tersebut sedikit berbeda dengan organisasi perusahaan, dimana perusahaan akan mencapai kondisi keuntungan maksimum jika nilai produktivitas marjinal penggunaan input tertentu akan samadengan faktor produksi yang bersangkutan. Jika faktor produksi tersebut adalah tenaga kerja, maka pada tingkat upah W, akan terjadi keseimbangan pada Py ∂F∂T = W. Secara grafis kondisi keseimbangan pada ekonomi rumahtangga petani Nakajima disajikan pada Gambar 5. Pada gambar tersebut terdapat dua gambar utama dimana gambar bagian bawah merupakan turunan dari gambar di atasnya. Pada Gambar 5 sumbu horizontal menunjukkan alokasi tenaga kerja rumahtangga. Diasumsikan rumahtangga mempunyai tenaga kerja maksimum sebesar T. Pilihannya adalah berapa yang dialokasikan untuk kegiatan usahatani dan berapa yang dialokasikan untuk bersantai. Pada model dasar ini, diasumsikan tidak ada pasar tenaga kerja. Dengan demikian rumahtangga tidak dapat menyewa atau menjual tenaga kerja. Gambar 5. Model Dasar Ekonomi Rumahtangga Petani Nakajima Sumbu vertikal menggambarkan nilai uang pendapatan rumahtangga yang diperoleh dari kegiatan usahatani Py.FT,L. Secara implisit diasumsikan bahwa produk usahatani dapat dijual ke pasar dengan harga Py. Pada gambar juga diperlihatkan adanya garis minimum pendapatan untuk memenuhi kebutuhan subsisten keluarga atau disingkat menjadi kebutuhan minimum subsisten Mo- Mo’. Garis Mo-Mo’ bersudut positif untuk menunjukkan bahwa kurva indiferens selalu bersudut positif sejajar dengan garis Mo-Mo’, atau penilaian marjinal tenaga kerja keluarga selalu positif. Selanjutnya, pada tingkat harga produk usahatani sebesar Py, terdapat kurva penerimaan produk total NPT. Turunan dari kurva ini adalah kurva nilai produksitivas marjinal NPT T yang tertera pada gambar dibawah. Kurva ini bersudut negatif, semakin menurun sejalan dengan peningkatan penggunaan tenaga kerja keluarga. Disisi lain terdapat kurva penilaian marjinal tenaga kerja keluarga VM T bersudut positif. Pada kondisi rumahtangga memaksimumkan utilitas U, keseimbangan diperoleh pada titik A, yaitu pada titik singgung antara kurva nilai produk total NPT dengan kurva indiferen I. Pada kondisi ini, terjadi keseimbangan subjektif NPT T = VM T seperti telah dijelaskan diatas. Pada kondisi keseimbangan, tenaga kerja keluarga dialokasikan untuk kegiatan usahatani sebesar OT 2 . Sisanya T 2 T dialokasikan untuk waktu santai. Selanjutnya, pada model rumahtangga petani Nakajima dapat dipelajari pula pengaruh perubahan harga produk usahatani Py. Pengaruh perubahan yang terjadi dapat diilustrasikan dengan grafik seperti terlihat pada Gambar 5. Gambar 4 identik dengan Gambar 3. Jika pada kondisi Gambar 4 kemudian diasumsikan terjadi kenaikan harga produk Py, maka yang akan terganggu adalah kurva NPT, karena NPT = Py FT.L = M seperti telah dijelaskan sebelumnya. Harga produk pada kurva NPT menentukan sudut kemiringan kurva dari titik pusat tanpa mengubah bentuk kurva itu sendiri. Karena fungsi produksi secara fisik tidak berubah. Kurva NPT berubah menjadi NPT 1 seperti diperlihatkan pada Gambar 5. Perubahan juga terjadi pada kurva turunannya, yaitu pada kurva nilai produktivitas marjinal tenaga kerja NPM T dan kurva penilaian marjinal tenaga kerja keluarga VM T . Setelah terjadinya kenaikan harga Py, titik keseimbangan baru terjadi pada titik B, yaitu titik singgung antara kurva indiferen I 1 dengan kurva NPT 1 . Tenaga kerja keluarga kemudian dialokasikan untuk usahatani sebesat OT 3 dan untuk waktu santai sebesar T 3 T. Pada kurva turunannya, titik keseimbangan terjadi pada titik potong antara NPM T1 dan VMT 1 , yaitu suatu titik keseimbangan subjektif baru. Seperti halnya pada teori permintaan, efek perubahan harga produk dapat dipilih menjadi efek substitusi dan efek pendapatan. Pada model rumahtangga petani Nakajima, pemilahan yang sama dapat juga dilakukan. Pada Gambar 6 diperlihatkan kurva nilai produk total NPT dalam bentuk garis putus-putus sejajar dengan kurva nilai produk total NPT lama. Kurva NPT’ menunjukkan pergeseran nilai produk total yang lama tanpa mengubah sudut kemiringan dari titik pusat dan menyentuh kurva indiferen baru I 1 . Perubahan dari NPT ke NPT’ merupakan efek pendapatan. Sebenarnya fenomena ini bisa terjadi juga karena adanya perubahan pendapatan rumahtangga di luar kegiatan kerja, seperti pendapatan yang berasal dari penguasaan aset E, pada NPT = Py.FT,L = M. Karena E adalah suatu konstanta, maka perubahan E akan menggeser kurva NPT sejajar menjadi NPT’. Karena itu, Nakajima menyebut efek pendapatan ini sebagai efek pendapatan aset asset income effect. Alokasi tenaga kerja keluarga sebagai efek pendapatan diperlihatkan perubahan dari titik A ke titik C, atau dari sepanjang T 4 -T 2 pada sumbu horizontal. Efek pendapatan pada model Nakajima ini dapat dipastikan menurunkan penggunaan tenaga kerja keluarga di usahatani. Adanya peningkatan harga produk usahatani, pendapatan umah tangga meningkat dan kesejahteraan rumahtangga meningkat. Peningkatan kesejahteraan rumahtangga tersebut menyebabkan rumahtangga mengurangi alokasi tenaga kerja di usahatani dan memperbanyak waktu santai. Gambar 6. Pengaruh Perubahan Harga Produksi Pada Keseimbangan Rumahtangga Model Nakajima Sumber : Becker, 1986 Efek substitusi bekerja sebaliknya dengan efek pendapatan. Pada model Nakajima ini, adanya peningkatan harga produk usahatani menyebabkan peningkatan nilai produk marjinal tenaga kerja keluarga. Tenaga kerja keluarga mempunyai insentif lebih tinggi untuk bekerja di usahatani. Oleh karena itu, peningkatan harga produk akan mendorong rumahtangga mengalokasikan lebih banyak tenaga kerja di usahatani dengan mengurangi alokasi waktu untuk santai. Mengingat adanya arah yang berlawanan antara efek pendapatan dan efek substitusi, maka efek total adanya peningkatan harga produk pada alokasi tenaga kerja tidak dapat dipastikan. Jika efek pendapatan lebih besar dibandingkan dengan efek substitusi maka efek peningkatan harga produk akan menurunkan alokasi tenaga kerja di usahatani. Sebaliknya, jika efek substitusi lebih dominan dibandingkan dengan efek pendapatan, maka efek peningkatan harga tersebut akan meningkatkan alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani. Pada Gambar 6, diasumsikan efek substitusi lebih dominan dibandingkan dengan efek pendapatan, sehingga titik B berada di sebelah kanan titik A. Model ekonomi rumahtangga petani Nakajima dapat diperluas dengan mengasumsikan adanya pasar tenaga kerja. Rumahtangga petani pada kondisi ini mempunyai kesempatan untuk menyewa tenaga dari luar keluarga untuk kegiatan usahataninya, atau bisa juga bekerja diluar usahatani sendiri menjual tenaga kerja untuk pemperoleh sejumlah pendapatan. Pada model ini perlu dipisahkan antara tenaga kerja keluarga yang bekerja di usahatani T f dan total tenaga kerja kerja yang tersedia T. Diasumsikan rumahtangga berusaha memaksimumkan utilitas U = UT,M, dengan kendala fungsi produksi F = FT f ,L. Jika diasumsikan harga produk usahatani adalah Py dan upah tenaga kerja adalah W, maka rumahtangga akan memperoleh pendapatan berupa uang M = PyFT f ,L+WT-T f . Jika ternyata T f T, berarti seluruh kebutuhan tenaga kerja di dalam usahatani sendiri dipenuhi dari tenaga kerja dalam keluarga, sisa dari tenaga kerja yang tersedia digunakan untuk bekerja diluar usahatani sendiri. WT-T f menjadi pendapatan yang diperoleh dari kegiatan diluar usahatani tersebut. Sebaliknya jika T T f , berarti sebagian kebutuhan tenaga kerja diusahatani sendiri dipenuhi dengan tenaga kerja dari luar keluarga atau tenaga kerja upahan. WT-T f pada kondisi ini menjadi biaya usahatani. Namun didalam biaya tersebut terhitung juga penggunaan tenaga kerja dalam keluarga yang dinilai dengan tingkat upah yang berlaku. Berdasarkan asumsi di atas, U maksimum dapat diperoleh pada keseimbangan Py ∂F∂T f = W, yaitu nilai produktivitas marjinal tenaga kerja di usahatani sama dengan tingkat upah yang berlaku. Keseimbangan ini merupakan kriteria yang sering digunakan pada organisasi perusahaan untuk memaksimumkan keuntungan. Kondisi keseimbangan seperti ini menunjukkan juga bahwa rumahtangga petani yang dibicarakan diasumsikan berperilaku sebagai organisasi perusahaan yang berusaha memaksimumkan keuntungan. Di sisi lain, keseimbangan juga tercapai pada kondisi ∂U∂T ∂U∂M = ∂M∂T = W. Keseimbangan tersebut menunjukkan bahwa penilaian marjinal tenaga kerja keluarga samadengan tingkat upah yang berlaku. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, keseimbangan tersebut merupakan keseimbangan subjektif rumahtangga. Dari dua keseimbangan tersebut menunjukkan bahwa rumahtangga mempunyai dua keputusan penting, yaitu keputusan produksi yang berusaha memaksimumkan keuntungan dan keputusan konsumsi yang berusaha memaksimumkan utilitas. Pada Gambar 7 disajikan grafik model keseimbangan rumahtangga petani untuk kasus menyewa tenaga kerja luar keluarga. Kasus menyewa tenaga luar keluarga terjadi jika jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk kegiatan usahatani lebih banyak dibandingkan dengan jumlah t enaga kerja yang tersedia di rumahtangga. Pada Gambar 5 bagian atas diperlihatkan garis upah W dengan sudut kemiringan bergantung pada tingkat upah yang berlaku. Semakin mahal tingkat upah, sudut kemiringan garis tersebut akan semakin curam karena setiap tambahan satu satuan tenaga kerja tertentu akan memerlukan tambahan biaya tenaga kerja yang mahal. Garis upah tersebut menyentuh kurva nilai produk total usahatani NPT pada titik B. Titik ini merupakan titik keseimbangan rumahtangga untuk memaksimumkan keuntungan pada keputusan produksi, yaitu dirmuskan sebagai Py ∂F∂T f = W. Disisi keputusan konsumsi, pada Gambar 7 diperlihatkan garis upah W menyentuh kurva indiferen pada titik A. Pada titik A terjadi keseimbangan subjektif rumahtangga, yaitu terpenuhinya kondisi ∂U∂T ∂U∂M = ∂M∂T = W. Alokasi tenaga kerja rumahtangga menurut keseimbangan ini terlihat pada sumbu horizontal, yaitu sebesar OT fk digunakan untuk kegiatan di usahatani sendiri, T fk T digunakan untuk waktu santai. Kegiatan usahatani sendiri memerlukan tenaga kerja sebanyak OT f , terdiri atas tenaga kerja keluarga sebesar OT fk dan tenaga kerja luar keluarga sebesar OT fk T f . Adanya keseimbangan subjektif pada rumahtangga menyebabkan jumlah tenaga kerja keluarga yang dialokasikan untuk kegiatan usahatani lebih kecil daripada jumlah tenaga kerja yang secara potensial tersedia di dalam rumahtangga. Gambar 7. Keseimbangan Rumahtangga Petani Kasus Menyewa Tenaga Kerja Luar Keluarga Sumber : Becker, 1986 Pada kondisi keseimbangan di atas, rumahtangga memperoleh pendapatan uang M dari kegiatan usahatani dan dari penilaian tenaga kerja keluarga yang dialokasikan untuk kegiatan usahatani. Hasil dari kegiatan usahatani dinyatakan dalam bentuk keuntungan π = Py.FT f L – W. T f . Pada Gambar 7 ditunjukkan dengan jarak BE, yang merupakan kondisi keuntungan maksimum seperti terjadi pada perusahaan. Selain pendapatan yang diperoleh dari keuntungan usahatani, rumahtangga juga memperoleh penerimaan dalam bentuk penilaian tenaga kerja keluarga pada tingkat upah yang berlaku. Jika M diidentifikasikan sebagai M = PyFT f L + WT-T f , dan sebagai π = PyFT f L - WT f , maka M = π + WT. Pada kondisi T f T, berarti terdapat sebagian dari T f merupakan tenaga kerja yang dibayarkan untuk usahatani sendiri adalah sebesar WT f T fk . Nilai penggunaan tenaga kerja dalam keluarga menjadi nilai penerimaan bagi rumahtangga. Karena itu, M menjadi M = = π + WT fk dimana WT fk nilai tenaga kerja usahatani yang berasal dari dalam keluarga. Pada Gambar 7, M digambarkan dengan jarak AT fk . Kasus lain dari model rumahtangga Nakajima adalah apabila rumahtangga berkesempatan menjual tenaga kerja di luar usahatani sendiri. Kasus ini terjadi jika penggunaan tenaga kerja di dalam usahatani sendiri lebih kecil dari jumlah tenaga kerja potensial yang ada di rumahtangga. Pada kondisi ini, rumahtangga bekerja di luar usahataninya sendiri untuk memperoleh upah kerja dan keperluan tenaga kerja di usahatani sendiri diperoleh dari tenaga kerja dalam keluarga. Kasus ini dapat dilihat pada Gambar 8. Pada Gambar 8 diperlihatkan kurva nilai produksi total NPT menyinggung garis upah W pada titik A. Pada titik tersebut tercapai keseimbangan Py ∂F∂T f = W, yaitu nilai produktivitas marjinal tenaga kerja keluarga samadengan tingkat upah yang berlaku. Pada titik ini pula rumahtangga memperoleh keuntungan maksimum pada kegiatan produksi di usahatani sendiri. Pada kondisi ini jumlah tenaga kerja yang dialokasikan untuk kegiatan usahatani sebesar OT F , lebih besar dari jumlah tenaga kerja yang tersedia di dalam rumahtangga sebesar OT. Oleh karena itu, rumahtangga mempunyai banyak tenaga kerja yang belum digunakan. Diasumsikan pada kasus ini, rumahtangga mempunyai kesempatan untuk menjual tenaga kerjanya di pasar tenaga kerja dengan tingkat upah W. Keputusan ini menghasilkan keseimbangan dimana garis upah menyentuh kurva indiferen I pada titik B. Keseimbangan pada titik B merupakan keseimbangan subyektif rumahtangga, yaitu penilaian marjinal tenaga kerja keluarga samadengan tingkat upah yang berlaku, atau ∂U∂T ∂U∂M = ∂M∂T = W. Berdasarkan titik-titik keseimbangan tersebut, alokasi tenaga kerja untuk kegiatan usahatani sendiri sebesar OT f untuk kegiatan di luar usahatani sendiri sebesar T f T j dan sisanya T j T digunakan untuk waktu santai. Gambar 8. Keseimbangan Rumahtangga Petani Kasus Menjual Tenaga Kerja Keluarga Sumber : Becker, 1986 Keseimbangan di atas juga menghasilkan pendapatan rumahtangga M yang merupakan penjumlahan pendapatan dari kegiatan usahatani dan dari luar usahatani. Pendapatan dari kegiatan usahatani diperoleh sebesar keuntungan usahatani, yaitu π = Py ∂F∂T f -WT f , merupakan keuntungan maksimum. Namun mengingat T f adalah tenaga kerja dalam keluarga, maka WT f kembali menjadi penerimaan rumahtangga. Pendapatan dari luar usahatani sebesar jumlah tenaga kerja yang dijual dikalikan dengan tingkat upah yang berlaku, yaitu WT j -T f . Total pendapatan rumahtangga sekarang menjadi M = Py ∂F∂T f + WT j -T f . Pada Gambar 8, M digambarkan dengan jarak BT j . Adanya kesempatan rumahtangga menyewa tenaga kerja luar keluarga atau bekerja di luar usahatani sendiri, memungkinkan rumahtangga untuk merespons adanya perubahan upah di pasar tenaga kerja. Asumsi yang perlu diperhatikan adalah bahwa pasar tenaga kerja yang dihadapi rumahtangga adalah pasar tenaga kerja yang bersaing sempurna. Model ekonomi rumahtangga Nakajima akan sangat berbeda jika asumsi pasar tenaga kerja tersebut tidak bersaing sempurna.

2.6. Pembangunan Masyarakat Desa