5
BAB I MEMAHAMI SASTRA JAWA
A. Pengertian Sastra
Sastra berkembang dan memiliki sifat keumuman sekaligus kekhususan. Seperti setiap manusia yang memiliki kekhasan dan kesamaan dengan manusia lainnya, setiap
karya sastra demikian halnya. Wellek Warren 1993: 9, secara agak optimis, menuliskan bahwa setiap karya sastra, di samping memiliki ciri khas, juga memiliki sifat-sifat yang sama
dengan karya seni yang lain, sehingga orang dapat membuat generalisasi terhadap karya sastra dan drama periode tertentu, atau drama, kesusasteraan, atau kesenian pada
umumnya. Pernyataan Wellek Warren di atas, tentu saja belum memadai, maka perlu
dilengkapi dengan pernyataan Luxemburg, dkk., 1989: 9, bahwa menurut mereka tidak mungkin memberikan sebuah definisi yang universal mengenai sastra. Sastra bukanlah
sebuah benda yang dijumpai, sastra adalah sebuah nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada sejumlah hasil tertentu dalam suatu lingkungan kebudayaan.
Arti sastra yang sangat kompleks itu telah mengaburkan batasan sastra sebagai obyek kajian keilmuan. Itulah sebabnya Teeuw 1984: 21 menuliskan bahwa meskipun
sudah cukup banyak usaha yang dilakukan sepanjang masa untuk memberi batasan yang tegas atas pertanyaan: “apakah sastra itu ?”, namun batasan manapun juga yang diberikan
oleh para ilmuwan tidak kesampaian. Hal itu dikarenakan batasan sastra itu hanya menekankan satu atau beberapa aspek saja, atau hanya berlaku untuk sastra tertentu saja,
atau sebaliknya, terlalu luas dan longgar sehingga melingkupi banyak hal yang jelas bukan sastra lagi.
Meredefinisi sastra, termasuk apa sastra Jawa itu menjadi “PR” berat kita. Definisi yang mewakili seluruh gagasan, tampaknya tidak mudah dirangkum. Mendefinisikan sastra
sama halnya hendak menjawab pertanyaan apa hidup itu? Jadi, kalau kita memberikan definisi tidak perlu harus dipertahankan mati-matian. Makna sastra amat kontekstual,
subjektif, dan tergantung dari sisi mana kita lihat. Itulah sebabnya tugas utama ilmuwan sastra, yang belajar sastra Jawa, layak melakukan penjelajahan berbagai definisi untuk
memperoleh makna yang lebih jelas. Makna tersebut juga bukan barang mati, melainkan bersifat lentur, cair dan terbuka. Yang terpenting, mari kita diskusikan, kita beri pemahaman
yang bijak terhadap sastra. Sebab, belajar sastra sama halnya kita belajar tentang diri kita. Yang begitu kompleks.
B. Genre Sastra
Pembicaraan tentang genre sastra, seperti halnya pembicaraan tentang fungsi sastra dan teori sastra pada umumnya, telah berlangsung lama. Dalam sejarahnya, batasan
mengenai genre sastra juga bersifat sangat dinamis dan berbeda-beda. Jenis sastra terjadi oleh karena konvensi sastra yang berlaku pada suatu karya yang membentuk ciri karya
tersebut. Menurut N.H. Pearson jenis sastra dapat dianggap sebagai suatu perintah kelembagaan yang memaksa pengarangnya sendiri.
Menurut Harry Levin, jenis sastra adalah suatu “lembaga”, seperti halnya gereja, universitas, atau negara. Jenis sastra itu dinamis seperti halnya sebuah institusi yang boleh
diikuti atau tidak, atau boleh dirubah. Sedang menurut A. Thibaudet teori genre adalah suatu prinsip keteraturan: sastra dan sejarah sastra diklasifikasikan tidak berdasarkan waktu atau
tempat periode atau pembagian sastra nasional, tetapi berdasarkan tipe struktur atau susunan sastra tertentu Wellek Warren, 1993: 298-300. Jenis sastra juga senantiasa
berkembang sesuai dengan perputaran jaman. Hampir setiap bulan dan tahun, para sastrawan ingin melakukan trik-trik untuk eksperimentasi karyanya yang tergolong genre
baru. Teeuw 1984: 110-113 juga mencatat pendapat beberapa pakar yang
mempermasalahkan dinamika jenis sastra, sebagai berikut. Menurut Culler, pada asasnya fungsi konvensi jenis sastra ialah mengadakan perjanjian antara penulis dan pembaca, agar
terpenuhi harapan tertentu yang relevan, dan dengan demikian dimungkinkan sekaligus
6
penyesuaian dengan dan penyimpangan dari ragam keterpahaman yang telah diterima. Menurut Todorov, batasan jenis sastra, oleh karena itu merupakan suatu kian kemari yang
terus menerus antara deskripsi fakta-fakta dan abstraksi teori. Menurut Claudio Guillen, jenis sastra adalah undangan atau tantangan untuk melahirkan wujud. Konsep jenis memandang
ke depan dan ke belakang sekaligus. Ke belakang ke karya sastra yang sudah ada dan ke depan ke calon penulis. Menurut Todorov, setiap karya agung, per definisi, menciptakan
jenis sastranya sendiri. Setiap karya agung menetapkan terwujudnya dua jenis, kenyataan dan norma, norma jenis yang dilampauinya yang menguasai sastra sebelumnya, dan norma
jenis yang diciptakannya. Demikian juga menurut Hans Robert Jausz, bahwa jenis sastra per definisi tidak bisa hidup untuk selamanya, karya agung justru melampaui batas konvensi
yang berlaku dan membuka kemungkinan baru untuk perkembangan jenis sastra. Jenis sastra bukanlah sistem yang beku, kaku, tetapi berubah terus, luwes dan lincah. Peneliti
sastra harus mengikuti perkembangan itu dalam penelitiannya. Teeuw menambahkan bahwa dalam penelitian sistem jenis sastra, tidak ada garis pemisah yang jelas antara pendekatan
diakronik dan sinkronik: karya sastra selalu berada dalam ketegangan dengan karya-karya yang diciptakan sebelumnya. Sehubungan dengan pernyataan tersebut Luxemburg dkk.
1989: 107 menuliskan bahwa penjenisan sering kali tidak hanya deskriptif tetapi juga preskriptif, yakni membuat peraturan-peraturan, sehingga pengarang akan bangga bila dapat
memenuhinya. Hal inilah yang disebut dengan estetika identitas. Sedang sikap pertentangan
yang mendobrak peraturan-peraturan konvensi jenis sastra tertentu disebut estetika
oposisi. Dalam sejarah sastra di Indonesia juga banyak sastrawan yang terkenal dengan
penentangan konvensi dan pembaruan-pembaruannya yang kemudian diikuti oleh sastrawan-sastrawan di belakangnya yang kemudian menyuarakan jenis sastra baru,
misalnya Chairil Anwar. Dalam sastra Jawa pun demikian, kelahiran sastrawan baru seperti Krishna MIharja, Keliek Eswe, Suwardi Endraswara, Jayus Pete, dan lain-lain telah emmberi
warna cerpen-cerpen Jawa. Dari sini mungkin akan muncul cerpen-cerpen absurd dan eksperimen.
Dalam sastra Jawa dikenal nama Intojo yang mengenalkan jenis soneta pada sastra Jawa sehingga ia disebut sebagai bapak soneta sastra Jawa Modern. Juga dikenal nama
Iesmaniasita yang memberontak aturan-aturan tradisi sastra Jawa sebelumnya. Iesmaniasita,
yang nama
lengkapnya Sulistyautami
Iesmaniasita menuliskan
pemberontakannya dalam puisinya yang berjudul Kowe Wis Lega? dan cerpen Jawanya Tiyupan Pedhut Anjasmara. Puisi Kowe Wis Lega, mempertanyakan eksistensi para
sastrawan dengan sastra lama, yakni antara lain dalam tiga larik terakhirnya: O, sumitra apa sliramu wis lega sesindhenan lagu warisan? Adapun tokoh utama dalam cerkak
Tiyupan Pedhut Anjasmara menolak penilaian baik terhadap karya sastra lama Wicara Keras, Darmasunya, dsb.. Penilaian baik itu dianggap sebagai tiyupan pedhut
atau „ hembusan kabut‟ yang berkonotasi negatif Hutomo, 1993: 2002-2004. Pembaharuan puisi
Jawa, telah meniupkan angin segar pada genre geguritan. Iesmaniasita telah mendorong penyair-penyair Jawa berkarya.
Dewasa ini dalam pengajaran sastra di sekolah-sekolah tampak bahwa penjenisan sastra diterapkan secara sederhana dengan menekankan bentuk material atau lahiriahnya
saja. Secara lahiriah Luxemburg, dkk. 1989 menuliskan bahwa sebuah cerita fiksi mengisi seluruh permukaan halaman. Sedang dalam teks drama dijumpai banyak bidang putih,
khususnya bila pembicaranya ganti. Nama-nama pelakunya dicetak secara khusus sehingga meyakinkan sebagai drama. Dalam hal puisi pun biasanya halaman tidak terisi penuh larik-
lariknya tidak panjang dan bait-baitnya dipisahkan oleh bidang-bidang putih atau larik-larik kosong. Perbedaan antara roman dan novel ditentukan panjangnya teks atau jumlah kata.
Luxemburg, dkk. 1989 juga membagi bab-bab dalam bukunya menjadi teks-teks naratif, teks-teks drama dan teks-teks puisi. Teks naratif sering disebut juga jenis fiksi yang biasanya
berbentuk prosa atau disebut prosa fiksi. Luxemburg membatasi teks naratif ialah semua teks yang tidak bersifat dialog dan yang isinya merupakan suatu kisah sejarah, sebuah
deretan peristiwa. Teks-teks drama ialah semua teks yang bersifat dialog-dialog dan yang
7
isinya membentangkan sebuah alur. Sedang teks-teks puisi ialah semua teks monolog yang isinya tidak pertama-tama merupakan sebuah alur.
Bila ditinjau secara pragmatis, ada keunggulan masing-masing jenis tersebut. Jenis prosa atau gancaran, memiliki keunggulan-keunggulan komunikatif, antara lain: lugas dan
jelas. Lugas, maksudnya secara umum lebih banyak menggunakan kosa kata sehari-hari sehingga lebih mudah untuk dicerna pembaca. Sedang jelas, maksudnya secara umum lebih
banyak menggunakan stuktur gramatikal sesuai dengan standar bahasa formal yang berlaku. Kedua sifat gancaran tersebut berimplikasi lebih lanjut pada sifat yang lebih
komunikatif. Artinya, sangat memungkinkan bagi pembaca untuk memahami isinya dalam waktu yang relatif singkat. Pembaca mengerti dan memahami hanya dengan sekali baca.
Jenis puisi memiliki keunggulan-keunggulan estetis, yakni antara lain menekankan pemilihan diksi yang padat, bebas dan indah. Padat, artinya bahwa dalam satu kata puisi
dapat menampung keluasan makna imajinatif sehingga menawarkan pemaknaan yang relatif lebih atau sangat dalam. Bebas, maksudnya tidak sangat terikat oleh kaidah-kaidah
linguistis, seperti halnya kaidah fonemik, morfemik atau kaidah gramatikal. Larik-larik puisi tidak harus berstruktur seperti kalimat formal, ada subyeknya ada predikatnya dan
seterusnya. Indah, maksudnya menekankan pentingnya segala unsur yang bernilai keagungan seni, termasuk persajakan dan permainan bunyi, permainan tipografi, serta
unsur-unsur estetika lainnya. Diksi, atau pemilihan kata dalam puisi, misalnya, sebagian menekankan keindahan bunyi dalam persajakannya. Persajakan ini akan sangat terasa
ketika puisi yang bersangkutan dibacakan atau dilagukan. Sebagian besar lagu atau nyanyian, sangat menekankan persajakan, karena dalam persajakan terkandung keindahan
bunyi. Ketiga sifat puisi tersebut secara estetis membuatnya tidak kaku tidak membosankan dan kaya akan makna.
Jenis drama menekankan dialog dan lakuan yang mengarah pada konflik para pelakunya. Jenis ini tentu saja memiliki keunggulan aksi dramatik. Artinya, jenis drama lebih
banyak menawarkan gerak laku dan pembicaraan efektif yang berisi alur cerita. Dengan demikian pengekspresiannya diaktualisasikan dalam pertunjukan. Drama akan menjadi
sempurna manakala telah dipentaskan. Berbeda antara drama dengan dua jenis lainnya, terutama karena drama menawarkan proses pemaknaan secara kolektif, tidak hanya oleh
perorangan. Dari segi cara sarana penuangan idenya atau cara penyebarannya, karya sastra
dapat dibedakan menjadi sastra tulis, yakni menggunakan sarana tulisan, dan sastra lisan, yakni yang disebarkan secara lisan atau dari mulut ke mulut. Kedua jenis sastra ini juga
memiliki kekhasan karakteristiknya masing-masing. Sastra lisan lebih bersifat luwes, gampang menyesuaikan fungsi di masyarakatnya, sehingga mudah berubah dan sering
muncul banyak versi. Sastra tulis lebih kaku pada bentuknya sehingga lebih tetap, namun mampu melewati batas-batas tempat dan waktu penyebarannya. Karya Negarakertagama
dapat dibaca dan dimaknai di mana pun dan kapan pun. Tidak sedikit karya sastra lisan Jawa yang pantas mendapat tempat dalam diskusi
sastra. Penggalan tembang pocung yang memuat “bapak pocung pasar mlathi kidul Denggung” adalah potret sastra lisan Jawa yang unik. Sastra Jawa niti yang memuat
penggalan tembang kinanthi “kang aran bebuden luhur, dudu pangkat dudu ngelmi, uga dudu kapinteran, lan dudu para winasis, apa maneh kasugihan, nanging mung sucining ati
”. Beberapa tembang yang berbunyi “jago kluruk rame kapyarsi, lalwa kalong luru pandhelikan,
jrih kawanan ing semune, wetan bang sulakipun, mretandhani yen bangun enjing, rembulan wus gumlewang, sakulone gunung, ing pradesan wiwit obah, lanang wadon smya anambut
kardi, netepi kuwajiban .”
Tembang tersebut sungguh problematis sebagai sastra lisan, siapa dan kapan dicipta tidak jelas. Jadi baik sastra tulis maupun lisan memiliki peran penting dalam pembelajaran.
Sebagian sastra lisan menurut hemat saya amat menarik diperbincangkan, dari aspek nilai pendidikan karakter. Genre sastra lisan pun amat banyak ragamnya. Dalam buku Tradisi
Lisan Jawa, 2003, banyak dipaparkan sastra lisan yang memiliki nilai budi luhur. Karya-karya tersebut amat menarik dijadikan bahan ajar di sekolah.
8
C. Sastra dan Bahasa Jawa