145
- Biasanya digunakan sebagai langkah awal membuat keputusan atau memecahkan masalah
- Para peserta diminta untuk mengemukakan ide sebanyak mungkin dalam waktu yang berkelanjutan menuju pemecahan masalah
- Ide-ide yang muncul tidak diberi kritik atau tanggapan Ciri-ciri model
studi kasus atau „Case Study: - Jumlah anggota kelompok bersifat luwes
- Waktu pertemuan bervariasi sesuai dengan tingkat kerumitan kasus - Para peserta dihadapkan kepada suasana problematik
- Para peserta dituntut untuk berbagai evaluasi terhadap kasus dan memberi jalan
melakukan tindakan Ciri-ciri
model bermain peran atau „Role Play: - Jumlah anggota kelompok bervariasi
- Waktu pertemuan bervariasi sesuai dengan peran yang harus dimainkan - Peserta mencoba sendiri peran-peran yang harus dimainkan dalam suasana
interaktif Ciri-ciri model simulasi atau simulation :
- Jumlah anggota kelompok fleksibel - Waktu pertemuan bervariasi sesuai dengan lama pertemuan yang tersedia
- Para peserta dihadapkan kepada model kehidupan nyata - Para peserta diminta mengandaikan peran tertentu dan bertindak sesuai dengan
aturan tertentu
D. Rangkuman
Pembelajaran Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa perlu memperhatikan kedudukan dan fungsi bahasa Jawa sebagai bahasa daerah. Standar kompetensi mata pelajaran
Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa yang mencakup kemampuan berbahasa dan bersastra dalam kerangka budaya Jawa. Aspek-aspek tersebut perlu mendapat porsi yang
seimbang dan dilaksanakan secara terpadu. Di samping itu, kompetensi berbahasa dan bersastra dalam kerangka budaya Jawa meliputi aspek menyimak, berbicara, membaca,
dan menulis, keempat aspek kompetensi tersebut dalam pelaksanaannya harus secara terpadu.
Untuk melrealisasikan hal tersebut hendaknya digunakan model-model pembelajaran yang sesuai dengan berbagai aspek yang melingkupinya agar
146
pembelajaran Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa benar-benar dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
E. Daftar Puskata
Saripuddin, Udin. 1994. Model-model Pembelajaran. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Soekamto, Toeti. 1994. Teori Belajar. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Dinas Pendidikan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. 2006. Kurikulum Muatan Lokal Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Bahasa,
sastra, dan Budaya Jawa. Yogyakarta
Suparman, Atwi. 1994. Desain Instruksional. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
147
CATATAN :
148
149
RAYON 111 UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
TAHUN 2012
MODUL PENDIDIKAN DAN LATIHAN PROFESI GURU
PENGEMBANGAN ASESMEN PROSES DAN
HASIL BELAJAR
Oleh MULYANA
150
151
PENGEMBANGAN ASESMEN PROSES DAN HASIL BELAJAR
A. Pendahuluan
Berkaitan dengan perubahan kurikulum, yakni dari kurikulum 2004 atau yang sering disebut sebagai Kurikulum Berbasis Kompetensi KBK menjadi Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan KTSP, tampaknya memunculkan sejumlah perubahan signifikan dalam proses pembelajaran di sekolah. Tidak terkecuali, mata pelajaran Bahasa Jawa di
SMASMKMA. Keadaan ini tentu saja mendorong guru untuk bersikap aspiratif terhadap gejala-gejala yang muncul di dunia pendidikan. Dalam kondisi ini, kemampuan guru, mulai
dari penguasaan materi, penguasaan kelas, penguasaan pengembangan proses pembelajaran, dan penguasaan asesmen atau penilaian proses belajar harus benar-
benar relevan dan sesuai dengan tuntutan kualitas pendidikan itu sendiri.
Khusus pada persoalan asesmen, para guru dituntut bersikap bijak, adil, dan proporsional terhadap kemampuan dan kemajuan belajar siswa. Dalam persoalan ini,
sikap profesionalisme guru harus komprehensif. Mencakup makna proses perbaikan sistem dan praksis pendidikan Suyanto, 2007:6. Mengapa seorang guru perlu menilai
hasil belajar siswa? Apa yang perlu dinilai? Bagaimana cara menilai? Apa manfaat melakukan penilaian? Masih ada sederet pertanyaan sejenis yang dapat diajukan.
Sebelum mendiskusikan sejumlah pertanyaan tersebut, kiranya perlu dikemukakan di sini bahwa istilah penilaian - yang sering disamakan dengan asesmen, evaluasi atau tes
– menimbulkan banyak penafsiran yang berbeda-beda, bahkan ada yang berkonotasi
negatif. Penilaian dalam konotasi negatif sering dipandang sebagai sesuatu yang
menakutkan, tidak menyenangkan, khususnya bagi pihak yang akan dikenai “tindakan” penilaian, baik pihak itu bernama siswa, mahasiswa, guru, lembaga, atau pihak-pihak lain.
Penilaian mungkin dipandangnya sebagi suatu pelanggaran terhadap hak, atau sesuatu yang membatasi ruang gerak, atau sebaliknya pemaksaan untuk melakukan sesuatu hal
Nurgiyantoro, 1988:4.
Bagaimanapun, penilaian tetap perlu dilakukan. Apalagi, dalam dunia pendidikan. Sebagaimana kita tahu, pendidikan atau belajar adalah sebuah proses yang dilakukan
untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan Mulyana, 2006. Oleh karena itu untuk mengetahui tingkat keberhasilan pencapaian tujuan tersebut, diperlukan suatu alat
atau kegiatan yang disebut penilaian.
152
B. Sistem dan Proses Penilaian