41
mengangkat salah seorang di antara mereka. Apabila ada yang terangkat maka dia berganti menjadi pemain dadi.
Jamur kethek menek: para pemain supaya menirukan kera sedang memanjat. Jadi mereka memanjat pohon, bangku, kursi, atau lainnya; yang penting tidak menginjak
tanah. Jamur gagak: para pemain menirukan gaya burung gagak yang sedang terbang.
Mereka merenggangkan tangan kanan dan kiri kemudian berlari-lari kesana-kemari seolah-olah seperti burung gagak sedang terbang. Masih banyak lagi jenis jamur-jamur,
tergantung kreasi anak-anak yang bermain.
BAB IV BELAJAR TEMBANG JAWA
A. Pemekaran Tembang Jawa
Dalam buku Seni Tembang Jawa, Endraswara 2010 secara mendalam memberkan rahasia belajar tembang. Lebih dari itu, juga perlu ada upaya memekarkan tembang.
Pemekaran dapat dilakukan melalui a penguasaan ragam tembang, b penguasaan berbagai cengkok, c pembahasan tembang-tembang yang menjadi tradisi lisan, d
kontekstualisasi tembang Jawa, e mengolah tembang ke dalam musik gamelan. Seni tembang Jawa, menurut Darmoatmodjo 1974, sudah mulai berkembang luas.
Tidak hanya mlalui seni baca, seperti macapatan di bangsal Wiyatapraja Kepatihan, tetapi juga di berbagai pendapa pedesaan. Boleh dikatakan tembang sekarang telah mengalami
pemekaran tampilan, fungsi, dan greget. Jika masa lalu tradisi jagong bayen dengan membaca Serat Jusuf atau Serat Ambiya, kini telah meluas dari itu. Tradisi tembang semakin
lentur dan bergerak di bidang apa saja. Tradisi tembang macapatan yang digelar di bangsal Kepatihan, kini telah dimekarkan
lagi, merambah jagad sekolah dan kampus. Kampus UNY, ISI, UGM, telah peduli menggelar pemekaran tembang. Di kampus tersebut tidak lagi sekedar macapat biasa, tetapi telah
dipoles dengan seni pertunjukan secara kolaboratif. Seni macapat yang dirangkai dengan tari, wayang, gamelan, menjadi semakin populer.
Instansi pemerintah seperti Balai Bahasa Yogyakarta, Jarahnitra, Sonobudoyo, dan Dinas Kebudayaan DIY, secara nyata telah ikut andil dalam pemekaran macapat.
Macapatan Malem Jumat Legi mereka prakarsai dengan dana dari APBD. Kegiatan semacam ini jelas membanggakan para pemerhati tembang Jawa. Pembinaan tidak hanya
menggelar macapat, melainkan juga menyelenggarakan lomba atau gelar prestasi. Ada lomba mamcapat antar anak SMP, SD, SMK, dan umum. Ada pula Lomba Tembang
Gembira Loka, oleh Dinas Kebudayaan, yang hampir pesertanya orang-orang mapan, yaitu pesinden dan pengrawit. Ki Rejomulyo biasanya yang menjadi motor kegiatan pemekaran
tembang bernuansa wisata ini. Berbagai Gerakan pemekaran tembang akhir-akhir ini sudah sulit dielakkan. Tidak
saja seni untuk seni, tembang juga dapat meluas ke jagad politik. Amin Rais misalnya, pernah menggelar macapatan di rumahnya. Meskipun tidak terus terang berpolitik, tetapi
aromanya tetap ke sana. Buktinya, dia sampai mampu menduduki posisi tertingngi di negeri ini. Bahkan tahun belakangan dia juga mempunyai acara khusus bertajuk Pangkur
Jenggleng di TVRI Yogyakarta. Tradisi semacam ini, sebenarnya amat memungkinkan wacana lain masuk.
Pagelaran macapatan di Rumah Dinas Walikota Yogyakarta dan rumah Dinas Bupati Sleman yang dimotori Ki Sarbini, cukup menggairahkan tembang Jawa. Pemekaran tembang
yang dirangkai dengan sarasehan, penuh muatan politik yang sensitif. Hal ini berarti bahwa pemekaran tembang memang tidak selalu berdiri sendiri. Konstruksi pemekaran yang
bernuansa politik boleh-boleh saja. Begitu pula pagelaran macapat di Dalem Rumah Dinas Bupati Bantul, sebagai representasi keunikan pejabat. Bahkan dengan nada hendak meraih
peringkat Muri, dengan tembang non-stop sampai sekian jam, silahkan saja. Dalih apa pun sah-sah saja untuk memekarkan tembang Jawa.
42
Yang menarik lagi, dewasa ini juga banyak para politisi dan caleg yang menggunakan tembang sebagai media praktis. Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo, ketika sesorah di
Konferensi Internasional Budaya Jawa di pendopa Bupati Banyumas juga melagukan tembang macapat. Bupati Banyumas pun tidak kalah dalam melagukan tembang. Bahkan
Mendagri Mardiyanto juga banyak terlibat dalam seni campursari. Terbukti ketika KBJ IV di Semarang, muncul album kenangan campursari bergambar dia dan isterinya.
Dalam berbagai arena apa saja, tampaknya tembang memang bisa masuk. Para pendakwah, pengkotbah, dan pemberi wejangan manten selalu menghadirkan tembang. Di
mesjid-mesjid, sering terdengar lantunan mamcapat, yang dirangkai dengan ayat-ayat. Bahkan KH. AR. Fachrudin juga pernah memberi pengantar Kidung Sari Rahayu, yaitu
lantunan macapat dari Al Quran. Dengan demikian, tembang Jawa dapat dimekarkan melalui apa saja, asalkan tidak merusak citra tembang itu sendiri.
B. Mencipta Tembang