Teknik Berlatih Menggunakan Unggah-Ungguh Basa dalam Media Wayang Purwa

126 Hamungkasi atur mboten ngaping kalihi, samangke ing purnaning gati Kangmas Sukarjiyo sakkulawarga nyuwun agunging samodra pangaksami mbokbilih anggen kita sowan wonten solah bawa una-uni ingkang kirang mranani dhumateng penggalih panjenengan sami, mliginipun kulawarga ageng Bapak Asngadi. Ing wusana, kula sakgotrah samangke nyuwun pamit madal pahargyan wangsul dhateng Ngayogyakarta, kanthi panyuwun donga pangestu panjengan mugi lampah kula sedaya kalis sing sambekala. Para tamu ingkang minulya, mekaten ingkang dados atur kula pinangka talang basa, dene pinangka atur kula pribadi, keparenga kula nyuwun lumunturing sih samodra pangaksami saking para tamu, dalasan kulawarga ageng Bapak Asngadi, mbokbilih anggen kula matur kirang trawaca dalasan kirang subasita. Wusasaning atur wabilahi taufik wal hidayah wassalammu’alaikum warahmatullahi wabarakatu.

e. Wacana Tulis Dialog, Deskripsi, Narasi, dan Pidato

Contoh-contoh di atas bisajuga disebut sebagai wacana tulis dialog, deskripsi, narasi, dan pidato. Wacana di atas dapat dikatakan sebagai wacana lisan jika disampaikan dalam tuturan lisan, tetapi jika dipandang dari penuturan gagasan dalam bentuk tulisan bisa dikatakan sebagai wacana tulis.Wacana di atas bisa digunakan sebagai contoh dua jenis wacana tersebut sekaligus.

4. Teknik Berlatih Menggunakan Unggah-Ungguh Basa dalam Media Wayang Purwa

Belajar berkomunikasi dengan tingkat tutur yang benar harus dilatih secara intensif. Salah satu media untuk mempelajarinya adalah media wayang purwa. Dipilih wayang purwa karena tokoh-tokoh wayang purwa menggunakan tingkat tutur secara konsisten. Tokoh yang berstatus lebih rendah akan selalu bertutur dengan krama alus inggil terhadap mitra tutur yang lebih tinggi. Tokoh yang sederajad pada kelompok bangsawan akan selalu menggunakan tingkat tutur ngoko alus, sedangkan tingkat tutur ngoko digunakan oleh tokoh yang berstrata tinggi kepada tokoh yang lebih rendah, atau yang sederajad pada kelompok tokoh kalangan kecil, seperti prajurit dan punakawan. Pola yang demikian akan memudahkan siswa dalam mengenali tipe tuturan dari tokoh-tokoh yang dimainkan atas dasar kedudukan para tokoh. Disamping itu siswa akan mendapat tambahan wawasan tentang warisan budaya yang berupa wayang purwa, yang disinyalir banyak orang telah mulai menjauh dari kehidupan generasi muda Jawa. Pada hal wayang purwa mengandung nilai-nilai luhur yang tak ternilai pentingnya. 127 Berkomunikasi dengan tingkat tutur yang tepat akan membuat perasaan nyaman, sebaliknya jika terjadi kesalahan pemilihan tingkat tutur yang seharusnya, akan menimbulkan masalah bagi para penuturnya. Untuk itu perhatikan komponen tutur yang bisa memperlancar proses komunikasi, seperti: siapa kita, dimana, kapan, sedang apa, apa yang dibicarakan. Untuk jelasnya perhatikan contoh tuturan dalam media wayang purwa berikut ini. 4 Bagong : Ndara Jayawikatha wilujêng? Jayawikatha : Iyoh pamujimu Nala Garèng. Nurhayati, 2005:346 „Bagong : Tuan Jayawikatha baik-baik saja tanpa aral? Jayawikatha : Iya atas doamu Nala Garèng. Tuturan Bagong pada kalimat 4 bertingkat tutur krama. Bagong adalah punakawan atau abdi, maka menurut kaidah Bagong harus menggunakan tuturan krama alus seperti tuturan di atas. Sebaliknya Jayawikatha adalah tuan maka dia boleh menggunakan tuturan dalam tingkat tutur ngoko lugu. 128 Tuturan serupa terjadi pada kalimat 5 berikut ini. 5 Salyantaka : Rèhné kowé kuwi patih, luwih akèh kawruhmu,luwih jêmbar olatanmu, aku taktakon karokowe Patih Sêngkuni. Kira-kira kiwa têngên kêpatihan Plasa jênar apa déné kiwa têngêné kutha nêgara Ngastina kéné apa ya ana anak mantu sing wani karo maratuwa? Nurhayati, 2005:367 „Salyantaka : Karena kamu itu patih, lebih banyak pengetahuanmu, lebih luas wawasanmu, aku bertanya kepadamu Patih Sêngkuni. Kira-kira kanan kiri kepatihan Plasajênar atau kanan kiri kota negara Hastina sini apa ya ada anak menantu yang berani dengan mertua?‟ Tuturan 5 yaitu tuturan Salyantaka dengan Sengkuni yang menggunakan tingkat tutur ngoko lugu. Salyantaka menggunakan tingkat tutur ngoko lugu karena dia seorang raja, sedangkan Sengkuni hanya seorang patih, sehingga Salyantaka memiliki kebebasan bertutur, maka dia boleh memakai tingkat tutur ngoko lugu sebaliknya Sengkuni harus bertutur dalam krama alus inggil. Dalam kesantunan bertutur posisi wayang juga bisa digunakan sebagai penanda perilaku. Pada tuturan 4 gambar Bagong tidak boleh ditancapkan pada pohon pisang posisi atas. Hal ini sebagai penanda strata rendah. 129 Perhatikan pula pada tuturan 5 Sengkuni tidak boleh ditancapkan pada pohon pisang bagian atas. Sikap Bagong dan Sengkuni juga tidak bebas, tangan Bagong dalam posisi wajar menghormat, sedangkan tangan Sengkuni ngapurancang sebagai tanda hormat. Inilah sikap yang benar atau santun menurut etiket Jawa. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa setiap tuturan akan selalu dibarengi tingkah laku atau sikap yang mendukung nilai tuturannya. Tuturan berikut 6 adalah tuturan Karna, yang menggunakan tingkat tutur krama hurmat alusinggil. Pemakaian tingkat tutur ini disebabkan karena Karna seorang menantu, yang sedang berkomunikasi dengan mertua yang berkedudukan raja. Adapun Salyantaka menggunakan ngoko lugu. 6 Karna : Rama Prabu kêparênga sumêné sawêtawis ingkang putra wangsul dhatêng Ngawangga. Salyantaka : Nanging aja suwé-suwé aku sêlak kêpéngin dadi kusir. Nurhayati,2005:369 Karna : Rama Ayahanda Prabu semoga berkenan istirahat sebentar ananda akan pulang ke Awangga. Salyantaka : Tetapi jangan lama- lama aku terburu ingin menjadi sais.‟ Berikutnya tuturan 7 Dursasana bertutur dalam tingkat tutur ngoko lugu terhadap Togok, karena Togok hanya seorang abdi. Tuturan yang sama digunakan Togok terhadap Mbilung. Hal ini dilakukan karena antara Togok dan Mbilung memiliki kedudukan yang sama yaitu abdi. Posisi Togok dan Mbilung berada di bawah letak Dursasana. Posisi badan kedua abdi inipun tertunduk, tidak boleh tegak seperti Dursasana dan Banowati para majikan. Posisi yang sama terjadi pada Limbuk dan cangik yang juga abdi. Perhatikan tuturan dan gambar berikut ini. 7 Dursasana : Aja kowé mèlu-mèlu sumingkir Gok Togok : Yung yuuung piyé Lung? Bilung : Mbok ya uwis, dinêngké waé wong wis dadi kersané. Nurhayati, 2005:370 130 „Dursasana : Jangan kamu ikut campur menyingkir Gok Togok : Aduh aduuuh bagaimana Lung? Bilung : Biar saja, didiamkan saja orang sudah dikehendaki..‟ Tuturan berikut ini yaitu tuturan 8 yaitu tuturan Janaka terhadap Kresna kakak ipar dan sepupunya, yang berkedudukan sebagai raja. Janaka menggunakan tingkat tutur krama lugu bukan krama inggil karena dia membicarakan dirinya terhadap kakaknya Karna. Posisi Janaka sebagai bangsawan muda berposisi di pohon pisang bawah sebagai penanda posisi dan sikap hurmat.Perhatikan tuturan dan gambar berikut ini. 8 Janaka : Mbotên mêntala raosing manah kula ingatas Kaka Adipati Ngawangga mênika taksih pêpundhèn kula piyambak. Nurhayati,2005:374 „Janaka : Tidak tega rasa hatiku karena Kakak Adipati Ngawangga itu masih saudara tuakuleluhurku‟ 131 Uraian di atas menjelaskan bahwa strata masyarakat memegang peran dalam memilih unggah-ungguh dan undha-usuk basa sebagai penanda kesopanan dalam berkomunikasi. Pemakaian contoh tuturan dan gambar di atas akan lebih komunikatif jika diolah dalam gerak, sehingga dapat diketahui dengan jelas siapa yang bertutur. Andaikan tidak dengan gambar, bisa digunakan media wayang secara langsung oleh guru dan siswa, atau tayangan audio visual pertunjukan wayang purwa. Dengan cara ini siswa mampu praktik berkomunikasi dengan nyaman dari pada dengan tuturan riil langsung yang kadang membuat siswa malas praktik karena malu.

D. Latihan dan Tugas