68
BAB VII APRESIASI WAYANG
A. Wayang Purwa
Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Wayang: Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya 1978, mengumpulkan berbagai pendapat yang menyatakan bahwa drama wayang telah
ada sejak zaman Jawa Kuna, antara lain yang terdapat dalam prasasti Balitung 907 M yang menuliskan “mawayang buat Hyang” dan adanya lakon “Bhimaya Kumara”.
Sebelumnya, yakni pada prasasti Jaha tahun 840 M juga ditemukan istilah aringgit yang berarti „petugas yang mengurus wayang kulit‟ Bandem, 1996: 22.
Menurut Poensen kemungkinan yang paling mendekati kenyataan ialah bahwa pertunjukan wayang mula-mula lahir di Jawa dengan bantuan dan bimbingan orang Hindu.
Sedang menurut Brandes, pada kenyataannya orang Hindu memiliki teater yang sama sekali berbeda dengan teater Jawa, dan hampir seluruh istilah teknis yang terdapat dalam
pertunjukan wayang adalah khas Jawa, bukan sansekerta. Niemann juga berpendapat bahwa wayang tidak mungkin berasal dari Hindu. Hazeu, dengan menyitir beberapa
pendapat pakar juga berkesimpulan bahwa wayang tidak berasal dari Hindu. Hazeu juga menelusuri beberapa kata yang berhubungan dengan teknik pementasan wayang, yakni
kata wayang, kelir, blencong, kepyak, dhalang, kothak, dan cempala. Kata-kata tersebut merupakan kata asli Jawa. Namun demikian menurut Vert, baik dalam gamelan maupun
wayang, ada pengaruh dari bangsa yang lebih besar yakni bangsa Hindu Mulyono, 1978: 8- 9.
B. Sumber-sumber Cerita Wayang Purwa
Pada prasasti Balitung telah disinggung adanya lakon Bimaya Kumara, tidak jelas bagaimana cerita itu. Namun saat ini yang dapat ditemukan dalam cerita wayang purwa,
hampir semuanya berasal dari kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana yang semula merupakan kitab suci Hindu. Bila diteliti lebih lanjut, sebenarnya telah banyak terjadi
penyimpangan cerita lakon wayang dari sumber Mahabharata dan Ramayana aslinya, yang tampaknya memang gubahan orang Jawa, baik berasal dari kakawin, berupa kreasi dalang
tertentu sanggit atau memang penciptaan lakon carangan. Pada masa Jawa Kuna disalin dan digubah cerita-cerita pewayangan, antara lain:
Arjuna Wiwaha Kakawin, Bhomakawya Kakawin, Bharatayudha Kakawin, Hariwangsa Kakawin, Parthayadna Kakawin, Dewaruci Kakawin, Sudamala, dsb.
Saat ini ditemukan beberapa buku yang diyakini sebagai sumber cerita wayang purwa, yakni:
1
Serat Pustaka Raja Purwa karya R.Ng. Ranggawarsita gaya Surakarta.
2
Serat Padhalangan Ringgit Purwa karya K.G.P.A.A Mangkunegara VII gaya Surakarta
3
Serat Kandha atau Serat Purwakandha gaya Yogyakarta
4
Serat Pedhalangan Ringgit Purwa Pancakaki Klaten gaya Yogyakarta
5
Serat Babad Lokapala Dalam hubungannya dengan sumber induknya, yakni Ramayana dan Mahabharata,
dalam wayang purwa tersebar tiga jenis lakon, yakni 1 lakon baku, 2 lakon carangan dan 3. lakon sempalan. Lakon baku, atau lakon pokok, yaitu lakon yang diangkat dari cerita
induknya, yakni dari Ramayana atau Mahabharata. Lakon carangan adalah lakon karangan yang masih mengambil dari lakon baku tetapi sudah diberi cerita dan bentuk baru. Adapun
lakon sempalan, yaitu lakon yang dikembangkan dari sebuah peristiwa yang termuat dalam Ramayana atau Mahabharata, tetapi sudah sangat jauh atau sama sekali terlepas dari lakon
baku bdk. Mertosedono, 1992: 75
C. Wayang Dongeng dan Karakter Manusia