Prinsip Fermat

7.3.5 Prinsip Fermat

Pierre de Fermat pada tahun 1650an mengadopsi cara pandang Aristotelians bahwa alam selalu memilih lintasan paling pendek, dan merumuskan sebuah “prinsip waktu minimal” pada optika geometrik. Prinsip ini mengatakan bahwa sebuah sinar yang bergerak dari satu titik ke titik lainnya melalui sebuah lintasan yang waktunya paling pendek.

Jika kecepatan sinar cahaya dalam sebuah medium adalah v maka waktu yang dibutuhkan untuk bergerak dari A ke B adalah Z ds

T=

′2 1+y 1/2 dx v

(dx) + (dy) =

dengan y(x) adalah lintasan sinar. Dalam optik, sebuah kuantitas yang berguna ada- lah indeks bias n, yaitu

c n= , v

dengan c adalah kecepatan cahaya dalam vakum, yang merupakan konstanta. Agar waktunya paling pendek, maka integral berikut haruslah stasioner

Z B 1/2

I=

n1+y 2 dx.

Marilah kita asumsikan n tidak bergantung x. Dalam kasus ini, integran

F=n1+y ′2 1/2

7.3. Solusi Persoalan Terkenal 391

Gambar 7.9: Hukum Snell: n 1 sin θ 1 =n 2 sin θ 2 . Jika n 1 >n 2 maka θ 1 <θ 2 .

tidak secara eksplisit mengandung variabel bebas x. Jadi

dengan k sebuah konstanta. Setelah kita turunkan, kita memiliki

′2 n1+y 1/2 − ny =k1+y .

n=k1+y ′2 1/2 .

Karena y ′ adalah kemiringan dari y(x), jadi y ′ = tan φ dengan φ adalah sudut antara arah sesaat sinar dengan sumbu−x. Jadi persamaan terakhir dapat dituliskan sebagai

cos φ Jadi secara umum

cos 2

n cos φ = k.

Jika n tidak berubah, maka φ haruslah berupa konstanta karena k juga konstan. Hal ini berarti sinar bergerak dalam garis lurus.

Anggap sinar bergerak dari satu medium dengan indeks bias n 1 ke medium lain dengan indeks bias n 2 . Bidang antar mukanya ditunjukkan Gambar 7.9. Karena k konstan sepanjang lintasan, maka

n 1 cos φ 1 =n 2 cos φ 2 .

7. Kalkulus Variasi

Gambar 7.10: Cahaya bergerak dalam medium yang indeks biasnya semakin besar.

Ini adalah hukum Snell yang biasanya dituliskan sebagai

n 1 sin θ 1 =n 2 sin θ 2 ,

dengan θ 1 dan θ 2 adalah sudut sinar dan arah normal permukaan batas seperti Gambar

7.9. Karena θ 1 +φ 1 =θ 2 +φ 2 = π/2, dua buah persamaan terakhir identik. Jika sinar datang dari medium 1 ke medium 2, θ 1 dinamakan sebagai sudut datang

θ i dan θ 2 sebagai sudut pantul θ t . Jika θ t = π/2, sudut datang dikenal sebagai sudut kritis θ c

θ c = sin −1 n 2 . n 1

Jika sudut datang lebih besar daripada sudut kritis, sinar dipantulkan sempurna. Sudut antara sinar pantul dengan garis normal disebut sudut pantul θ r . Dalam kasus

ini n 1 θ i =n 1 θ r . Jadi

θ i =θ r

yang merupakan fakta optika geometrik yang sudah kita kenal. Perlu ditekankan di sini bahwa semua prinsip dalam optika geometrik dapat diturunkan dari prinsip Fermat.

Anggap cahaya bergerak melalui medium yang berbeda seperti Gambar 7.10. Jika n 1 >n 2 >n 3 >n 4 , maka θ 1 <θ 2 <θ 3 . Jika θ 3 lebih besar dari sudut kritis, maka si- nar akan dipantulkan kembali seperti yang ditunjukkan pada gambar. Jelaslah bahwa jika indeks biasnya semakin kecil (atau kecepatan cahayanya bertambah). Lintasan sinar akan berupa sebuah kurva kontinu. Jika v sebanding dengan √y (arah positif y ke bawah), lintasan sinar akan menjadi kurva Brachistochrone seperti Gambar 7.2. Jo- hann Bernoulli adalah orang pertama yang menyelesaikan persoalan Brachistochrone dengan analogi optik ini.

Ini juga merupakan alasan fatamorgana yang sering kita lihat saat mengemudi di jalan yang panas. Kita melihat “air” di jalan, tetapi ketika kita sampai di sana,

7.4. Beberapa Perluasan 393

kering. Penjelasannya adalah ini. Udara sangat panas tepat di atas jalan dan lebih dingin ketika semakin tinggi. Cahaya bergerak lebih cepat di daerah panas karena udara lebih renggang dan karena itu lebih tipis. Jadi cahaya dari langit, menuju jalan, akan lebih cepat dan lebih cepat. Sebagai akibatnya, maka jalurnya melengkung, seperti kurva Brachistochrone ditunjukkan pada Gambar 7.2. Ketika cahaya sampai di mata kita, kita berpikir cahaya terpantul dari air di jalan.