trendnya. Jika didasarkan pada harga nominal, maka banjir impor terjadi ketika harga impor nominal jatuh hingga rata-rata 87.52 persen menurun 12.48 persen
untuk beras, 86.05 persen menurun 13.95 persen untuk jagung dan 86.01 persen menurun 13.99 persen untuk kedele di bawah rata-rata trendnya. Sedangkan
dari segi harga riil, banjir impor terjadi ketika harga riil jatuh hingga rata-rata 90.01 persen menurun 9.99 persen untuk beras, 89.18 persen 10.82 persen
untuk jagung dan 90.03 persen menurun 9.97 persen untuk kedele di bawah rata- rata trendnya. Nilai-nilai tersebut merupakan besaran volume trigger dan price
trigger bagi komoditas beras, jagung dan kedele. Hasil analisis menunjukkan
bahwa terjadi banjir impor terhadap komoditas beras, jagung, dan kedele dengan intensitas yang berbeda-beda, sehingga hiphotesis ketiga penelitian terbukti dan
diterima.
7.2. Rumusan Kerangka Special Safeguard Mechanism
7.2.1. Country Eligibility
Berdasarkan hasil analisis IRF, DFEV dan Pass-through effect dapat diperoleh kesimpulan bahwa telah terjadi banjir impor pada komoditas beras,
jagung dan kedele Indonesia, periode September 1994-Oktober 2009. Sesuai dengan peraturan WTO dan usulan kelompok G-33 mengenai SSM, maka
Indonesia merupakan salah satu Negara yang layak untuk memperoleh fasilitas SSM. SSM adalah sebuah alat perlindungan sementara untuk mengatasi serbuan
impor surge in import atau kejatuhan harga decline in price produk di pasar dunia, yang merupakan bagian dari perlakuan khusus dan berbeda atau special
and differential treatment SDT untuk negara berkembang. Hasil temuan ini
senada dengan hasil penelitian Sawit et al. 2005 dan 2006 menyatakan bahwa dalam hal eligibility sebagian besar anggota WTO yang mengusulkan perubahan
SSG menjadi SSM, menyepakati bahwa semua negara berkembang layak untuk mendapat SSM country eligibility dan semua produk layak untuk mendapat
SSM product eligibility, bahkan ada pendapat bahwa cakupan produk tidak hanya terbatas pada komoditas yang diproduksi dalam negeri saja, tetapi juga
komoditas yang tidak diproduksi namun merupakan produk substitusi impor. Berdasarkan hal itu, mengingat beras dan jagung merupakan komoditas yang
lebih dari 90 persen diproduksi dalam negeri dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk Indonesia, sementara itu kedele merupakan komoditas
dimana Indonesia menggantungkan lebih dari 50 persen dari impor untuk memenuhi konsumsinya, maka Negara Indonesia layak untuk mempunyai hak
dalam menggunakan fasilitas SSM.
7.2.2. Product Eligibilty
Product eligibility dimaksudkan sebagai kelayakan produk untuk
mendapat fasilitas SSM. Berdasarkan hasil analisis dapat diperoleh bukti bahwa telah banjir impor pada komoditas beras, jagung dan kedele Indonesia, dalam
periode September 1994-Oktober 2009. Hal ini menunjukkan bahwa komoditas beras, jagung dan kedele layak untuk memperoleh fasilitas SSM. Mengingat
impor komoditas beras terdiri dari benih gabah, beras pecah kulit, beras utuh, beras patahan, beras menir dan tepung beras, impor komoditas jagung terdiri dari
jagung kuning, beras jagung dan tepung jagung dan impor komoditas kedele terdiri dari kedele kuning utuh, kedele patah, tepung kedele dan bungkil kedele,
produk-produk turunan dari masing-masing komoditas tersebut juga layak untuk
memperoleh fasilitas SSM. Dalam perjanjian WTO dan proposal kelompok G-33 mengenai SSM, produk-produk turunan tersebut tercakup dalam kategori product
coverage . Dalam kaitannya dengan aspek product coverage dalam skema SSM,
Sawit et al. 2006, berpendapat bahwa perlindungan SSM diberikan pada peningkatan tingkat tarif SSM sebagai remedy SSM, bukan dalam bentuk batasan
kuantitatif quantitative restriction. Produk yang telah diikat dalam perjanjian tarifnya bound tariff pada tingkat yang tinggi, maka dengan sendirinya telah
terlindungi, demikian juga sebaliknya. Maka perhatian pemilihan produk SSM adalah produk yang rendah tingkat bound tariff. Sejumlah produk yang tingkat
bound tariff rendah di bawah 10 persen contohnya adalah corn flour 9 persen
dan rice flour 9 persen. Sementara itu dari segi applied tarif seluruh produk dari komoditas jagung dan kedele memilik tarif yang rendah 0 hingga 10 persen.
Berdasarkan temuan dari hasil penelitian ini, khususnya hasil analisis pass- through effect dari tekanan harga dunia, harga impor, volume impor maupun tarif
impor terhadap harga produsen, maka seluruh produk turunan dari komoditas beras, jagung dan layak untuk memperoleh fasiltas SSM, dengan tidak
memperdulikan apakah memiliki tingkat bound tariffnya tinggi atau rendah.
7.2.3. Volume and Price Trigger
Pernjanjian WTO mengenai SSG dan proposal kelompok G-33 tentang SSM mencakup batasan harga price trigger, batasan jumlah volume trigger,
dan tindakan yang perlu diambil remedy baik yang terkait dengan harga maupun volume impor. Berkaitan dengan volume impor, berdasarkan hasil analisis HPF
pada komoditas beras adalah SSM dibelakukan apabila volume impor telah melebihi 104.32 persen, pada komoditas jagung 109.06 persen dan untuk kedele
108.58 persen di atas rata-rata trendnya. Dari segi harga, maka SSM diperlakukan apabila harga impor nomimal jatuh hingga rata-rata 87.52 persen untuk beras,
86.05 persen untuk jagung dan 86.01 persen untuk kedele di bawah rata-rata trendnya. Sedangkan dari segi harga riil, banjir impor terjadi ketika harga impor
riil jatuh hingga rata-rata 90.01 persen untuk beras, 89.18 persen untuk jagung dan 90.03 persen untuk kedele di bawah rata-rata trendnya. Perhitungan trend dapat
dilakukan dalam jangka tiga tahun atau lebih.
7.2.4. Remedial Tariff
Remedial tariff adalah tindakan atau remedy berupa pemberlakukan tarif
tambahan untuk komoditas yang mengalami banjir impor dengan menggunakan tarif. Hasil nalisis pass-through effect menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
hasil antara jangka waktu analisis dua belas bulan satu tahun, dua puluh empat bulan dua tahun dan tiga puluh enam bulan tiga tahun, hingga enam puluh
bulan lima tahun. Berdasarkan hasil perhitungan jangka waktu stabilitas pengaruh guncangan harga dunia, harga impor, tarif impor dan volume impor
adalah antara tiga puluh tujuh bulan hingga empat puluh bulan seperti terlihat pada Tabel 79 atau lebih dari tiga tahun hingga empat tahun, maka diambil
analisis untuk pemberlakukan tarif beradasarkan hasil analisis empat puluh delapan bulan empat tahun dari analisis pass-through effect terhadap harga
produsen Tabel 77. Berdasarkan Tabel 78, untuk komoditas beras setiap penurunan satu persen harga produsen beras yang diakibatkan oleh perubahan
berupa penuruinan harga dunia beras diperlukan tambahan tarif remedial tariff adalah 11.16 persen, untuk penurunan satu persen harga produsen beras yang
diakibatkan oleh penurunan harga impor beras diperlukan tambahan tarif 10.68
persen dan penurunan harga produsen beras yang diakibatkan oleh setiap peningkatan lonjakan volume impor beras sebesar satu persen diperlukan
tambahan tarif 14.48 persen.
Tabel 78. Hasil Analisis Remedial Tariff Berdasarkan Pengaruh Harga
Dunia, Harga Impor, Volume Impor dan Tarif Impor Terhadap Harga Produsen Komoditas Beras, Jagung dan Kedele Indonesia,
Periode September 1994 – Oktober 2009
Komoditas Keterangan
Persentase Tambahan Tarif Akibat Penurunan Satu Persen
Harga Dunia
Harga Impor
Volume Impor
Beras Tambahan Tarif dari Pangaruh
Terhadap Harga Produsen 1.52
1.04 4.84
Tambahan Tarif dari Pengaruh Tarif Impor Terhadap Harga Produsen
9.63 9.63
9.63 Tambahan Tarif Total
11.16 10.68
14.48 Jagung
Tambahan Tarif dari Pangaruh Terhadap Harga Produsen
1.76 10.44
4.84 Tambahan Tarif dari Pengaruh Tarif
Impor Terhadap Harga Produsen 1.17
1.17 1.17
Tambahan Tarif Total 2.93
11.60 6.01
Kedele Tambahan Tarif dari Pangaruh
Terhadap Harga Produsen 1.63
1.73 1.52
Tambahan Tarif dari Pengaruh Tarif Impor Terhadap Harga Produsen
1.18 1.18
1.18 Tambahan Tarif Total
2.81 2.91
2.70
Sumber : Tabel 76 diolah
Pada komoditas jagung, penurunan satu persen harga produsen jagung yang diakibatkan penurunan harga dunia jagung diperlukan tambahan tarif 2.93
persen, untuk penuntunan yang diakibatkan oleh penurunan harga impor jagung sebesar satu persen diperlukan tambahan tarif 11.60 persen dan penurunan harga
produsen jagung yang diakibatkan peningkatan lonjakan volume impor jagung sebesar satu persen diperlukan tambahan tarif 6.01 persen. Pada komoditas
kedele, apabila terjadi penurunan harga produsen kedele yang diabikatkan oleh penurunan harga dunia kedele satu persen diperlukan tambahan tarif 2.81 persen,
penurunan harga produse yang diakibatkan oleh penurunan harga impor kedele sebesar satu persen diperlukan tambahan tarif sebesar 2.91 persen dan penurunan
harga produsen kedele akibat lonjakan volume impor kedele sebesar satu persen diperlukan tambahan tarif 2.70 persen. Temuan dari penelitian ini mengarahkan
bahwa pemberlakuan tarif untuk melindungi harga petani harus lebih tinggi dari besaran jatuhnya harga itu sendiri. Temuan ini berbeda dengan hasil penelitian
Sawit et al. 2006 yang menyatakan bahwa sesuai dengan aturan yang berlaku, tambahan tarif paling tinggi sebesar jatuhnya harga, dan tidak boleh melebihi dari
tingkatan itu. Sebagai contoh bagi komoditas beras, kejatuhan harga paling tinggi 38 persen, sehingga tambahan tarif SSM menjadi paling tinggi 38 persen. Akan
tetapi, bedasarkan hasil temuan dari penelitian ini mengarahkan bahwa pemberlakuan tarif untuk melindungi petani harus lebih tinggi dari besaran
jatuhnya harga itu sendiri.
7.2.5. Durasi Waktu Pemberlakuan Special Safeguards Mechanism
Durasi atau berapa lama SSM boleh diterapkan didasarkan atas hasil
analisis IRF, DFEV dan pass-through effect. Hasil analisis Tabel 79, menunjukkan bahwa jangka waktu pengaruh guncangan akan stabil berdasarkan
hasil analisis IRF dan DFEV adalah terpendek enam belas bulan dan terpanjang lima puluh lima bulan Jika dilihat dari segi rata-rata masing-masing sumber
guncangan, maka jangka waktu terpendek tiga puluh bulan dan terpanjang empat puluh lima bulan. Sementara itu rata-rata jangka waktu stabil tanpa guncangan
tarif impor adalah terpendek tiga puluh tujuh bulan dan terpanjang empat puluh bulan. Sedangkan rata-rata jangka waktu stabil dengan memasukkan guncangan
tarif impor adalah terpendek tiga puluh delapan bulan dan terpanjang adalah tiga
puluh sembilan bulan. Berdasarkan hal itu, maka durasi pemberlakuan antara tiga puluh tujuh bulan hingga empat puluh bulan. Dengan demikian diperoleh
kesimpulan bahwa jangka waktu pemberlakuan haruslah antara tiga tahun hingga empat tahun, dengan rata-rata tiga setengah tahun atau empat puluh dua bulan
dan permberlakuan SSM dalam jangka waktu empat tahun dapat diperlakukan secara umum.
Tabel 79. Jangka Waktu yang Diperlukan oleh Harga Konsumen dan Harga
Produsen Komoditas Beras, Jagung dan Kedele Indonesia untuk Stabil Kembali Akibat Guncangan Harga Dunia, Harga Impor,
Volume Impor, dan Tarif Impor pada Masing-masing Komoditas, Periode September 1994-Oktober 2009.
Bulan
Repon Terhadap Komoditas
Titik Mulai Stabil Harga Konsumen
Harga Produsen Harga Dunia
Beras 49
54 Jagung
41 43
Kedele 45
38 Rata-rata
45 45
Harga Impor Beras
55 49
Jagung 33
34 Kedele
21 25
Rata-rata 36
36 Volume Impor
Beras 33
36 Jagung
41 16
Kedele 41
38 Rata-rata
38 30
Tarif Impor Beras
33 32
Jagung 41
49 Kedele
38 47
Rata-rata 37
43 Rata-rata
Tanpa Tarif Impor 40
37 Dengan Tarif Impor
39 38
Sumber : Lampiran 22 hingga Lampiran 24 diolah
Dalam perjanjian WTO mengenai SSG, durasi yang ditetapkan dalam SSG adalah sampai dengan akhir tahun kalender pada saat SSG diterapkan dan tidak
ada penjelasan mengapa akhir tahun kalender harus dijadikan akhir masa berlakunya SSG. Dalam penelitian ini diperoleh temuan bahwa jangka waktu
perberlakuan SSM untuk beras, jagung dan kedele secara umum adalah tiga puluh enam bulan atau tiga tahun. Dalam penelitian lain, Sawit et al. 2006
berpendapat bahwa sebenarnya, prinsip yang harus diterapkan adalah bahwa SSM untuk suatu produk tetap diberlakukan selama masalah yang diakibatkan oleh
banjir impor belum berakhir dan dalam hal price-based SSM dasarnya haruslah siklus turunnya harga dunia. Berdasarkan pengalaman selama beberapa dekade
memperlihatkan siklus jatuhnya harga produk pertanian primer adalah sekitar tiga tahun atau tiga puluh enam bulan. Berdasarkan hasil temuan dari penelitian ini
jangka pemberlakuan SSM haruslah antara empat puluh dua bulan atau tiga setengah tahun hingga empat puluh delapan bulan atau empat tahun. Mengingat
jangka siklus jatuhnya harga dunia adalah tiga tahun, maka pemberlakukan SSM bagi Indonesia selama empat tahun dapatlah diperlakukan secara umum.
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN