II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perlindungan Terhadap Dampak Negatif Liberalisasi Perdagangan
2.1.1. Special Safeguard
Sebelum membahas mengenai Special Safeguard Mechanism SSM, adalah penting untuk mengetahuai secara sekilas mengenai Special Safeguards
SSG. SSM dilahirkan atas dasar upaya untuk memberikan perlindungan khusus yang relatif lebih baik dan adil bagi negara-negara berkembang dari dampak
negatif liberalisasi perdagangan, dimana SSG merupakan mekanisme perlindungan khusus dalam perjanjian WTO sebelumnya. Kesepakatan dalam
perjanjian WTO pada intinya adalah untuk mengurangi segala jenis hambatan perdagangan dan proses liberalisasi perdagangan dimulai sejak kesepakatan
tersebut berlaku. Kesepakatan WTO memiliki tiga prinsip yang dapat dikatakan
sebagai ciri utama. Pertama, diturunkannya tarif bea masuk produk yang diperdagangkan tariff reduction. Kedua, dihilangkannya hambatan-hambatan
non tarif non tariff barriers elimination. Ketiga, dibukanya pasar produk yang
bersangkutan di dalam negeri market access. Pemberlakukan ketiga hal tersebut, akan menimbulkan berbagai dampak baik positif maupun negatif.
Sesuai dengan perjanjian WTO, dalam rangka mengantisipasi dampak negatif yang mungkin terjadi, ada dua macam perlindungan yang dapat
dipergunakan. Pertama, perlindungan yang termasuk dalam AoS WTO. Kedua,
perlindungan khusus yang diperuntukkan bagi produk pertanian, dan termuat
tersendiri dalam Pasal 5 AoA. Jenis perlindungan pertama merupakan perjanjian
tersendiri dan berlaku untuk semua jenis produk baik produk pertanian maupun bukan pertanian. Sebelum SSG diterapkan, suatu negara harus mampu
membuktikan telah terjadi injury atas industri dalam negeri Action Aid, 2005. Perlindungan yang diterapkan antara lain dilakukan dengan menggunakan
quantitative restriction batasan kuantitatif atau menaikkan tingkat tarif. Jenis
perlindungan kedua mengatur bahwa produk pertanian yang memperoleh
perlakuan khusus dicatat dalam SoC dengan SSG. Negara yang ingin menerapkan SSG harus memberitahukan secara tertulis dalam periode 10 hari sejak diterapkan
dengan dukungan data yang relevan kepada CoA WTO. Pada penerapannya, perubahan volume konsumsi harus dialokasikan ke dalam bentuk pos tarif
individu sesuai dengan Pasal 5 AoA Alinea 4. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan data yang relevan adalah data tersebut harus mencakup informasi dan
metode yang digunakan untuk mengalokasikan perubahan tersebut. Dukungan data yang relevan dan metode yang digunakan inilah yang menjadi sumber
permasalahan yang dihadapi oleh negara berkembang dalam menerapkan SSG.
Penerapan SSG harus memperhatikan lima hal penting. Pertama, trigger yang terdiri atas price trigger dan volume trigger. Kedua, remedy yaitu tindakan
yang harus dilakukan sesuai dengan kedua trigger tersebut memenuhi syarat atau
tidak. Ketiga, durasi atau jangka waktu penerapan SSG. Keempat, negara yang
menggunakan instrumen SSG harus memberikan kesempatan kepada anggota lainnya yang berkepentingan untuk melakukan konsultasi mengenai penerapan
SSG tersebut. Kelima, hanya negara yang telah terdaftar dalam SoC yang berhak
menggunakan SSG dan tidak semua negara berkembang mendapatkan hak untuk menerapkan SSG.
Dalam hal trigger, berdasarkan price-based harga referensi SSG, tambahan kenaikan tarif tergantung kepada berapa besaran jatuhnya harga di
bawah trigger level besaran trigger. Parameter yang digunakan adalah price- based
untuk menentukan trigger price. Price-based mengacu pada harga impor rata-rata pada periode 1986-1988.
Dalam hal volume-based SSG, penentuan volume trigger didasarkan atas
tiga hal. Pertama, rata-rata volume impor selama 3 tahun terakhir. Kedua,
pangsa impor terhadap konsumsi domestik selama periode 3 tahun tersebut.
Ketiga, perubahan volume konsumsi 3 tahun terakhir, selama data tersedia.
Dalam SSG, yang dimaksud dengan remedy adalah tambahan tarif tanpa melakukan quantitative restriction dan durasi atau jangka waktu pada saat SSG
diterapkan, remedy berlaku sampai dengan akhir tahun kalender. Berdasarkan hasil pengkajian penulis terhadap publikasi WTO sejak tahun
2000-2006, diperoleh enam catatan penting. Pertama, negara-negara berkembang
mendesak forum WTO agar semua anggotanya berhak memperoleh perlindungan
SSG, tanpa harus memperdulikan apakah digunakan atau tidak. Kedua,
pembuktian adanya injury tidaklah mudah bagi negara berkembang dan penerapan SSG memerlukan biaya mahal, waktu yang relatif panjang dan kemampuan yang
tinggi, dan sulit dipenuhi oleh negara-negara berkembang. Oleh karena itu, negara-negara berkembang mendesak forum WTO agar merubah penjanjian SSG
menjadi lebih adil dan efektif untuk diterapkan sebagai mekanisme perlindungan
dari dampak negatif liberalisasi. Ketiga, penetapan price-based dengan
menggunakan rata-rata periode 1986 – 1988 tidaklah tepat, karena tidak
disesuaikan secara periodik agar dapat merefleksikan kecenderungan perubahan jangka panjang sehingga transmisi perubahan harga dunia terhadap harga
domestik tidak merusak kelangsungan produk dalam negeri. Keempat, volume-
based dinilai tidak tepat karena akan menimbulkan trigger level yang tinggi
sehingga merugikan negara berkembang yang umumnya adalah net importir. Trigger level
negara net importir akan cenderung tinggi karena rata-rata volume impor selama 3 tahun umumnya tinggi dengan pangsa impor terhadap konsumsi
rendah dan pertumbuhan konsumsi yang relatif tinggi. Kelima, dalam remedy
penentuan tambahan tarif yang sesuai untuk kombinasi komoditas dan negara yang berbeda tentu akan sangat bervariasi. Pada umumnya perubahan harga
produk pertanian berkisar antara 30 persen hingga 50 persen, namun demikian rumusan SSG hanya dimungkinkan pemberlakuan tambahan tarif antara 10 persen
hingga 15 persen, sehingga tidak cukup untuk menanggulangi dampak negatif dari
banjir impor. Keenam, dari segi durasi remedy berlaku sampai dengan akhir
tahun kalender, namun tidak ada penjelasan mengenai akhir tahun kalender sebagai akhir masa berlakunya SSG. Seharusnya durasi penerapan SSG
menyesuaikan dengan kapan diperlukan dan berlaku hingga kondisi negara yang mengalami banjir impor dan menerapkan SSG sudah berada dalam kondisi stabil
kembali.
2.1.2. Special Safeguard Mechanism
Adanya kesulitan dalam penerapan SSG, menyebabkan negara-negara berkembang terutama yang bergabung dalam G-33 berusaha memperjuangkan
mekanisme baru untuk perlindungan dari ancaman banjir impor. G-33 juga menuntut agar diberikan fleksibilitas tinggi untuk perlindungan sementara bagi
negara berkembang. Mekanisme baru itulah yang kemudian dikenal sebagai SSM dan diusulkan sebagai pengganti SSG. SSM diusulkan oleh G-33 berdasarkan
July Framework 2004 .
SSM adalah sebuah alat perlindungan sementara untuk mengatasi serbuan impor surge in import atau kejatuhan harga decline in price produk di pasar
dunia, yang merupakan bagian dari special and differential treatment SDT atau perlakuan khusus dan berbeda untuk negara berkembang G-33 2006a dan
2006b. Berbeda dengan SSG, SSM dirancang relatif lebih fleksibel sehingga menjadi efektif apabila dilaksanakan oleh negara berkembang. G-33 telah
mengajukan proposal yang berkaitan dengan SSM yang memuat lima aspek
pokok G-33 2006a dan 2006b; WTO 2006a dan 2006b. Pertama, perlindungan boleh dilakukan dalam bentuk menaikkan tarif. Kedua, perlindungan tersebut
adalah bersifat sementara temporer. Ketiga, semua negara berkembang berhak mendapatkannya dan berlaku untuk semua produk pertanian. Keempat, hanya
negara berkembang yang berhak mendapatkan SSM
,
dan dapat digunakan tanpa
perlu membuktikan adanya injury. Kelima, SSM perlu dimasukkan dalam AoA
dalam rangka melindungi negara berkembang dari pengaruh negatif penurunan tarif akibat berlakunya perjanjian WTO.
Konsep SSM yang telah dituangkan dalam proposal G-33 memperoleh perdebatan keras dan kritikan terutama dari negara-negara maju. Namun
demikian, berbagai kritik atas SSM telah dijawab secara konsepsional oleh G-33 WTO 2006a dan 2006b dan juga Bernal 2004 tentang garis besar rasional dan
konsep SSM. Menurut Sawit et al. 2006, ada lima hal yang perlu diperhatikan
dalam memanfaatkan SSM. Pertama, berkaitan dengan kelayakan negara country eligibilty untuk mempunyai hak menggunakan SSM. Kedua, berkaitan
dengan kelayakan produk product eligibility untuk mendapat fasilitas SSM.
Ketiga, berkaitan dengan trigger yang terdiri volume trigger dan price trigger.
Keempat, berkaitan dengan remedy, yaitu tindakan yang harus dilakukan sesuai
dengan kedua trigger tersebut, apakah kenaikan tarif, tarif kuota, atau batasan
kuantitatif yang harus diterapkan untuk merespon banjir impor. Kelima, durasi
atau berapa lama SSM boleh diterapkan. Dalam hal eligibility sebagian besar anggota WTO yang mengusulkan
perubahan SSG menjadi SSM, menyepakati bahwa semua negara berkembang layak untuk mendapat SSM country eligibility dan semua produk layak untuk
mendapat SSM product eligibility, bahkan bahwa cakupan produk tidak hanya terbatas pada komoditas yang diproduksi dalam negeri saja, tetapi juga komoditas
yang tidak diproduksi namun merupakan produk substitusi impor WTO, 2006 dan 2005; FAO, 2005; G-33 2006a dan 2006b. Menurut Sawit et al. 2006
prinsip yang harus diterapkan adalah bahwa SSM untuk suatu produk tetap diberlakukan selama masalah yang diakibatkan oleh banjir impor belum berakhir
dan SSM harus menggunakan harga referensi yang ditetapkan berdasarkan siklus turunnya harga dunia, karena pengalaman selama beberapa dekade
memperlihatkan bahwa siklus jatuhnya harga produk pertanian primer adalah sekitar 3 tahun.
Berdasarkan proposal
G-33, banjir
impor digunakan
untuk menggambarkan dua jenis fenomena yang berasal dari external shock gejolak
eksternal. Pertama, fenomena gejolak volume impor, dimana volume impor meningkat secara tajam di atas trendnya. Kedua, fenomena tekanan harga impor,
yang sebagian besar diakibatkan oleh fluktuasi harga dunia, yang dapat menyebabkan kejatuhan harga domestik dan mengancam produksi domestik.
Aplikasi SSM seperti halnya SSG, adalah sebagai alat perlindungan sementara
sehingga diterapkan jika SSM memenuhi syarat. Persyaratan yang dimaksud terutama menyangkut price trigger maupun volume trigger. Trigger adalah
tingkatan atau besaran nilai tertentu dimana SSM memenuhi syarat untuk dipakai sebagai alat perlindungan sementara atas terjadinya banjir impor. Menurut WTO
2005, proposal G-33 menyebutkan bahwa SSM akan diterapkan berdasarkan volume trigger
dan price trigger. Menurut Sawit et al. 2006, sesuai dengan proposal G-33 mengenai SSM, rumus yang dipakai untuk penentuan falling
import price besaran kejatuhan harga impor sebagai berikut:
x100 PT
PT t
CP t
FP
......................................................................... 1 dimana:
FP = besaran jatuhnya harga falling price dalam persen. CP = harga yang berlaku current price bulanan dari harga impor yang
dinilai dalam rupiah, dengan memakai kurs tengah Bank Indonesia. PT = batasan harga price trigger SSM yang dihitung dengan metode
MA atas dasar harga CIF dalam nilai rupiah.
Dikemukakan oleh Sawit et al. 2006, dalam perhitungan PT digunakan metode MA secara bulanan dalam 36 bulan terakhir dengan alternatif lainnya, PT
dihitung dengan harga rata-rata 36 bulan terakhir. Proposal kelompok G-33 juga menyatakan bahwa apabila harga jatuh lebih dari 5 persen, maka SSM akan
dipakai sebagai alat perlindungan. Remedy untuk ini dikenakan kapal per kapal dan tambahan tarif t SSM tidak boleh melebihi dari perbedaan harga impor
dengan harga referensi dalam persen. Oleh karena itu, tambahan tarif SSM t dirumuskan sebagai berikut :
5 persen t ≤ FP
t
...................................................................................... 2
dimana: t
= tarif rate FP
t
= jatuhnya harga impor atau falling import price. Sawit et al. 2006 juga mengemukakan bahwa adanya banjir impor dapat
dilihat dari meningkatnya volume impor suatu barang di luar batas normal. Volume trigger yang digunakan sebagai dasar acuannya akan sangat menentukan
tinggi rendahnya peningkatan volume impor yang dapat menyebabkan banjir impor dan setiap negara akan memiliki tingkatan yang berbeda mengenai
besarannya. Dalam proposal G-33 dinyatakan bahwa volume trigger didefinisikan sebagai jumlah impor suatu produk telah melewati tingkatan rata-rata selama tiga
tahun terakhir sesuai dengan ketersediaan data. Jadi trigger disini adalah indikator tunggal dari tingkatan impor yang berlangsung selama ini.
Dalam proposal G-33 disebutkan akan dipakai metode MA untuk menghitung terjadi tidaknya banjir impor. Jangka waktu yang diusulkan G-33
adalah MA 3 tahun atau 5 tahun terakhir sesuai ketersediaan data. Metode MA dipakai untuk menentukan volume trigger yang dijadikan sebagai patokannya.
Berdasarkan Sawit et al. 2006, sesuai dengan proposal G-33, rumus yang dapat dipakai untuk penentuan besaran banjir impor adalah sebagai berikut:
x100 VT
VT t
VM t
IS
..................................................................... 3 dimana:
IS
t
= besaran banjir impor dalam persen. VM
t
= volume impor yang berlaku tahunan. VT = adalah volume trigger yang dihitung berdasarkan metode MA
untuk impor dalam 3 tahunan dan 5 tahunan terakhir.
Mengacu kepada formula tersebut apabila IS
t
lebih dari 5 persen IS
t
5 persen, maka SSM memenuhi syarat untuk diterapkan oleh negara berkembang.
Proposal G-33 juga menyatakan bahwa suatu negara yang mengalami banjir telah melebihi 5 persen, maka dengan sendirinya dapat diterapkan remedy dengan
menambah besaran tarif atau kemudian disebut tambahan tarif SSM di atas tingkatan yang telah didaftarkan di dalam SoC WTO periode 1995-2004 seperti
terinci pada Tabel 4. Tabel 4. Tambahan Tarif Menurut Kelompok Gejolak Impor Berdasarkan
Proposal G-33, Tahun 2006 Kelompok Gejolak
Impor Tambahan tarif t
1
Tambahan tarif t terkait
dengan BT
1
IS ≤ 5 t = 0
t = 0 5 IS ≤ 10
t = 40 t = 50BT
10 IS ≤ 30 t = 50
t = 75BT IS 30
t = 60 t = 100BT
Keterangan:
1
dipilih angka yang tertinggi, t= tambahan tarif; BT= bound tariff; dan IS = persentase lonjakan impor
Sumber : Sawit, et al. 2006
2.2. Analisis yang Digunakan untuk Membuktikan Terjadinya Banjir