1 000 00 Perkembangan Harga Produsen Komoditas Beras, Jagung, dan Kedele Indonesia
tersebut harga produsen beras terendah terjadi pada bulan Nopember 1996 yaitu sebesar Rp. 623 149.01 per Ton dan tertinggi pada bulan April 2008 yaitu sebesar
Rp. 4 109 310.08 per Ton. Pada komoditas jagung, harga produsen terendah terjadi pada bulan September 1994 yaitu sebesar Rp. 364 353.56 per Ton dan
tertinggi terjadi pada bulan Maret 2009 yaitu Rp. 2 929 727.58 per Ton. Sementara itu untuk komoditas kedele, harga produsen terendah terjadi pada
bulan Oktober 1994 yaitu sebesar Rp. 825 132.18 dan tertinggi terjadi pada bulan April 2008 yaitu Rp. 8 638 220.69 per Ton. Perkembangan rata-rata harga
produsen bulanan beras, jagung dan kedele bulan September 1994 - Oktober 2009 disajikan pada Gambar 18.
Sumber: BPS dan Departemen Perdagangan diolah
Gambar 18. Perkembangan Rata-rata Harga Produsen Bulanan Komoditas
Beras, Jagung, dan Kedele Indonesia, Periode September 1994 –
Oktober 2009
Berdasarkan perkembangan data rata-rata harga bulanan produsen, perubahan harga yang terjadi baik untuk beras, jagung maupun kedele
dipengaruhi oleh Pertama, tinggi rendahnya pasokan pada saat panen raya.
0.00 1 000 000.00
2 000 000.00 3 000 000.00
4 000 000.00 5 000 000.00
6 000 000.00 7 000 000.00
8 000 000.00 9 000 000.00
10 000 000.00
1 9
9 4
M 9
1 9
9 5
M 7
1 9
9 6
M 5
1 9
9 7
M 3
1 9
9 8
M 1
1 9
9 8
M 1
1 1
9 9
9 M
9 2
M 7
2 1
M 5
2 2
M 3
2 3
M 1
2 3
M 1
1 2
4 M
9 2
5 M
7 2
6 M
5 2
7 M
3 2
8 M
1 2
8 M
1 1
2 9
M 9
H a
rg a
P ro
duse n
R p
pe r
To n
Bulan Beras
Jagung Kedele
Semakin tinggi produksi pada saat panen raya, maka pada umumnya harga
produsen juga jatuh, kecuali terjadi krisis ekonomi dan finansial. Kedua, tinggi
rendahnya pasokan impor. Pada saat pasokan impor tinggi harga konsumen mengalami penurunan dan seterusnya akan menekan harga produsen. Hal ini
seperti yang terjadi pada tahun September dan Oktober 1994 untuk beras dan kedele dan tahun September 1995 untuk jagung. Sekalipun pada saat itu paceklik,
karena pasokan impor tinggi maka harga konsumen rendah dan selanjutya harga
produsen juga rendah. Ketiga, kelancaran distribusi pasokan dari produsen ke
konsumen. Dalam kondisi normal tidak terjadi bencana dan distribusi lancar, seiring dengan musim panen raya pada umumnya harga konsumen beras, jagung
dan kedele mengalami penurunan dibanding bulan-bulan tidak panen raya. Kecuali pada masa krisis moneter, ekonomi maupun finansial 1997 - 1999 dan
2007 - 2009, pada saat periode panen selama periode Januari-Juni untuk beras, Desember hingga Februari dan April hingga Juli untuk kedele dan jagung harga
rata-rata konsumen lebih rendah dibanding bulan-bulan sebelumnya atau sesudahnya. Pada bulan bulan lain seperti pada saat terjadi banjir pada jalur
pantura pada tahun 2007, sekalipun harga konsumen meningkat akibat terhambatnya, harga produsen tetap rendah.
Keempat, perubahan harga internasional, harga impor dan harga
konsumen, serta kondisi krisis dan perubahan nilai tukar Rupiah terhadap US . Disamping tinggi rendahnya pasokan impor, perubahan harga produsen
nampaknya seiring dengan perubahan harga dunia, harga impor dan harga konsumen terutama jika harga dunia dan harga impor dinilai dengan dalam
bentuk mata uang Rupiah. Hal ini terjadi terutama sejak tahun 1997 ketika
diberlakukan kebijakan nilai tukar mengambang yang diikuti oleh perubahan BULOG menjadi Perusahaan Umum, perubahan harga konsumen semakin
sejalan dengan pergerakan harga dunia pergerakannya. Gejolak harga dunia, baik beras, jagung maupun kedele terlihat semakin mempengaruhi perubahan harga
konsumen dan produsen. Kelima, kebijakan pemerintah dalam melakukan
kebijakan intervensi seperti operasi pasar, kebijakan mengurangi subsidi BBM, meningkatkan HPP dan menaikkan HET pupuk, juga terlihat seiring dan
mendorong peningkan harga konsumen, namun belum tentu mendorong peningkatan harga produsen. Hasil-hasil penelitian Analisis Kebijakan :
Antisipatif dan Respon Terhadap Isu-Isu Aktual pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian PSEKP, tahun 1995 - 2009 yang berkaitan
dengan kenaikan harga dan pengurangan subsidi BBM menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM akan meningkatkan inflasi yang berarti menurunkan nilai
riil atau daya beli laba usahatani dan pendapatan total keluarga petani. Secara spesifik, inflasi akan menurunkan nilai riil harga di tingkat produsen. Adanya
kenaikan harga BBM sebesar 10 persen akan menyebabkan inflasi akan meningkat dengan kisaran 0.70 persen hingga 1.60 persen, dengan nilai tengah
1.15 persen. Walaupun harga komoditas pertanian di tingkat konsumen meningkat, kenaikan harga BBM akan menentukan harga di tingkat produsen.
Hal ini terjadi karena pada tingkat produsen, biaya usahatani, penanganan panen dan pasca panen, serta pemasaran akan meningkat. Pada kasus usahatani padi,
dalam rentang waktu kenaikan harga BBM tahun 1993 - 2002, jika harga BBM naik 10 persen, akan menyebabkan harga produsen akan turun 2.20 persen. Di
samping penurunan harga produsen, kenaikan harga BBM memberikan dampak
pada kenaikan harga input usatahani. Penelitian yang sama juga menemukan bahwa jika harga BBM naik 10 persen, maka harga pupuk di tingkat petani akan
naik sekitar 13 - 18 persen. Selanjutnya hasil penelitian PSEKP untuk kenaikan harga BBM tahun
2003 - 2008, menunjukkan bahwa dampak yang jauh lebih besar dari kenaikan harga BBM adalah terhadap upah tenaga kerja dan sewa traktor. Jika harga BBM
naik 10 persen maka upah tenaga kerja pertanian naik 5.70 persen dan sewa jasa traktor naik 4.20 persen. Secara keseluruhan, jika harga BBM naik 10 persen
maka laba usahatani padi akan turun 4.00 persen, dengan rincian 1.20 persen berasal dari kenaikan harga input usahatani dan 2.80 persen berasal dari
penurunan harga produksi. Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat diperoleh gambaran bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku ikut menekan harga di
tingkat produsen. Sepanjang periode analisis September 1994 - Oktober 2009, setelah harga BBM dinaikkan pada Januari 1993, pemerintah juga telah
menaikkan harga BBM pada bulan Mei 1998, Oktober 2000, Juni 2001, Januari 2002, Januari 2003, Maret 2005, Oktober 2005 dan Mei 2008, serta menurunkan
harga BBM pada bulan Desember 2008 dan Januari 2009. Diketahui bahwa sepanjang periode analisis, jatuhnya harga di tingkat produsen salah satunya juga
disebabkan oleh dampak dari kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah itu sendiri. Selama ini, kebijakan kenaikan harga BBM selalu efektif meningkatkan
harga BBM di tingkat eceran. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh PSEKP tahun 2005 - 2008, sama halnya dengan BBM, kebijakan kenaikan
harga pupuk selalu efektif meningkatkan HET pupuk dan bahkan
implementasinya lebih tinggi dari itu, namun demikian kebijakan harga dasar atau HPP gabah dan beras tidak sepenuhnya efektif.
Sepanjang periode analisis yaitu September 1994 - Oktober 2009, dapat diperoleh empat kategori kelompok dampak atau pengaruh kebijakan pemerintah
berdasarkan waktu yaitu: 1 pada periode September 1994 - Desember 1999, harga produsen rata-rata lebih tinggi jika dibandingkan HPP, 2 pada periode
Januari 2000 - Desember 2000, harga produsen gabah lebih rendah dari HPP sepanjang tahun, 3 pada periode Januari 2001 hingga Desember 2004, harga
produsen lebih rendah HPP umumnya pada bulan Januari hingga Juli, dan 4 dalam periode Januari 2005 hingga Oktober 2009 umumnya harga produsen beras
lebih tinggi dari pada HPP. Pada periode September 1994 - Desember 1999, harga produsen rata-rata
lebih tinggi jika dibandingkan HPP. Hal ini terjadi karena setiap awal tahun HPP dinaikkan, dan subsisi pupuk dicabut mulai tahun 1998 dan Perum BULOG
direstrukturisasi dan hak-haknya untuk melakukan monopoli impor dan menjaga stabilitas pangan dikurangi. Pada periode ini, harga produsen gabah, jagung dan
kedele tinggi di atas HPP karena pengaruh krisis 1997 dan dampak dari cekaman iklim tahun 1994 yang berpengaruh pada tahun 1995 dan 1996, serta cekaman
iklim tahun 2007. Namun demikian harga tetap turun ketika volume impor meningkat dan harga impor menurun.
Pada periode Januari 2000 - Desember 2000, harga produsen gabah lebih rendah dari HPP sepanjang tahun. Hal ini terjadi karena sekalipun pemerintah
menaikkan HPP, harga produsen tetap lebih rendah karena: 1 pemerintah menggenjot produksi, 2 BULOG mengurangi peran pembelian gabah pada
panen raya atau pada saat harga jatuh akibat restrukturisasi, 3 penurunan tarif impor beras dari Rp. 680 per kg menjadi Rp. 480 per kg, pada komoditas kedele
tarif turun 10 persen dan pada komoditas jagung tarif menjadi nol persen menyebabkan harga impor turun, 4 volume impor beras masih tinggi, volume
impor jagung dan kedele meningkat dibanding tahun sebelumnya. Kesemua hal tersebut menyebabkan harga produsen menjadi tertekan.
Di samping tersebut, tekanan terhadap harga produsen juga muncul sebagai akibat dari dicabutnya subsidi dan kontrol tata niaga pupuk, kenaikan
harga BBM pada Oktober 2000, dan subsidi bunga kredit dan modal kerja di sektor pertanian, kredit pengadaan pangan dan usaha kecil, mikro dan rumah
tangga juga dikurangi kalaupun tidak dicabut sejak tahun 1998. Kredit sektor pertanian yang sebelumnya didanai oleh dana Kredit Likuiditas Bank Indonesia
KLBI dicabut dan dihentikan secara bertahap pada tahun 2003. Alokasi lebih diarahkan oleh BI untuk dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia BLBI kepada
usaha perbankan dan usaha skala besar yang terkena dampak krisis ekonomi. Pada periode Januari 2001 - Desember 2004, harga produsen lebih rendah
HPP umumnya pada bulan Januari hingga Juli. Hal ini terjadi karena adanya kesadaran kerasnya dampak liberalisasi WTO dan kelirunya formula LOI IMF
1998 mulai dirasakan oleh banyak kalangan. Pada saat yang sama pemerintah mengalami kesulitan dana pembangunan dan likuiditas, sehingga pengurangan
subsidi berlanjut dan harga BBM dinaikkan pada Juni 2001, Januari 2002 dan Januari 2003. Jika pada tahun 2001 harga produsen komoditas beras, jagung, dan
kedele rendah akibat tinggi volume impor yang tinggi dan kenaikan harga BBM Oktober 2001, maka dalam penurunan harga periode 2002 hingga 2003 adalah
akibat dampak ikutan berikutnya. Dalam periode ini harga dunia mengalami penurunan, khususnya untuk beras dan jagung, bahkan untuk beras mencapai titik
terendah dan nilai tukar stabil membawa pengaruh pada harga impor, harga konsumen dan juga harga produsen. Sekalipun pupuk mulai disubsidi kembali
tahun 2003 dan HPP gabah juga dinaikkan, harga gabah pada periode 2003 - 2004 tetap tidak tertolong karena volume impor tinggi dan harga impor yang
rendah. Pemerintah menurunkan tarif impor beras dari Rp. 480 per Kg menjadi Rp. 430 per Kg, situasi ini menyebabkan Inpres No. 92001 yang berlaku sejak 1
Januari 2002, nampaknya juga tidak mampu menahan jatuhnya harga produsen pada Januari hingga Juli. Sebagai informasi tambahan, mulai tahun 2002
Departemen Pertanian mulai menghitung HPP untuk komoditas pangan dan pertanian utama dan mengajak Pemerintah Daerah untuk melakukan upaya
stabilisasi jika harga produsen jatuh. Namun demikian berbeda dengan beras, HPP untuk komoditas selain beras tidak dijadikan Peraturan Presiden dan hanya
disediakan dana talangan untuk melakukan pembelian harga komoditas tertentu oleh Pemerintah Daerah jika harga produsen jatuh di bawah HPP.
Dalam periode Januari 2005 - Oktober 2009 umumnya harga produsen beras lebih tinggi dari pada HPP. Sekalipun peran BULOG belum berubah, mulai
tahun 2005 harga produsen lebih tinggi dari HPP karena: 1 pada saat itu, sebelum menaikkan harga BBM, pemerintah menaikkan tarif impor beras dari Rp.
430 per Kg menjadi Rp. 450 per Kg, 2 peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 9MPPKep12004 mulai diberlakukan, 3 volume impor
menurun, 4 harga internasional mulai meningkat, dan 5 subsidi input dinaikkan dan HPP juga dinaikkan. Sekalipun volume impor meningkat pada tahun 2004,
karena bencana Aceh dan Nias tahun 2004, serta gempa Yogyakarta dan lumpur Lapindo pada tahun 2005, pemerintah juga menaikkan HPP dan meningkatkan
nilai subsidi pupuk dan volume impor berhasil diturunkan pada tahun 2005. Adanya pengaruh El Nino pada tahun 2006, menyebabkan volume impor
meningkat kembali tahun 2006 dan 2007. Harga internasional dan volume impor juga meningkat. Sekalipun tekanan volume impor terhadap harga produsen
terjadi, namun harga produsen periode ini tetap lebih tinggi dari HPP akibat pengaruh harga internasional dan kondisi krisis keuangan global dan berlanjut
hingga Oktober 2009.
Keenam, perubahan khususnya penurunan harga internasional, harga
impor dan kebijakan penurunan tarif impor, bea masuk dan bea masuk tambahan barang impor dan pajak pertambahan nilai menyebabkan penurunan harga
produsen. Ketika pemerintah menyampaikan pengumuman akan melakukan impor, menurunkan tarif dan bea masuk serta pembebasan pajak pertambahan
nilai atas barang impor pada periode 1999 - 2008, maka harga-harga konsumen mengalami penurunan pada bulan-bulan berikutnya dan selanjutnya diikuti oleh
penurunan harga produsen. Penurunan terlihat semakin cepat apabila operasi pasar BULOG dan Sembako diberlakukan. Sama halnya dengan ketika
dibebaskan, ketika bea masuk dan bea masuk tambahan barang impor dan pajak pertambahan nilai diberlakukan kembali atau dinaikkan, harga produsen
mendapatkan tekanan yang lebih besar. Hal ini disebabkan oleh kondisi dimana setiap adanya kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah, direspon oleh
pedagang, pengolah dan distributor dengan menaikkan marjin dan menekan harga produsen. Oleh karena itu, setiap perubahan kebijakan manfaatnya tidak
dinikmati oleh produsen, akan tetapi pelaku usaha lainnya seperti pedagang importir, pedagangan perantara, distributor, pedagang pengumpul dan pengolahan
hasil beras, jagung, dan kedele. Hal ini ditunjukkan besaran nilai marjin perdagangan antara importir konsumen dan antara konsumen produsen yang terus
meningkat saat dan setelah kebijakan diberlakukan, sedangkan untuk harga produsen tidak demikian.
Ketujuh, harga produsen mengalami peningkatan seiring dengan
peningkatan harga konsumen yang selalu meningkat pada saat hari-hari besar nasional seperti Hari Raya Idul Fitri, Hari Natal dan Tahun Baru. Sekalipun
dengan peningkatan yang lebih rendah dari peningkatan harga konsumen, harga produsen selalu meningkat pada saat perayaan hari besar tersebut, terutama
Ramadhan dan Idul Fitri. Kedelapan, harga produsen meningkat pada saat
terjadinya produksi yang tidak normal, seperti pada saat terjadinya kemunduran pola tanam dan panen, bencana alam banjir dan kekeringan atau lainnya.
Bahasan mengenai lebih lanjut berkaitan kondisi iklim dibahas lebih mendalam pada pembahasan mengenai perkembangan volume produksi.