100 00 Perkembangan Volume Produksi Komoditas Beras, Jagung, dan Kedele Indonesia
                                                                                ribu    Ton  dan  produksi  tertinggi  terjadi  pada  bulan  Februari  tahun  2007  yang mecapai  2.77  juta  lebih
Ton  per  bulan.    Sementara  itu  pada  komoditas  kedele, produksi bulanan tertinggi terjadi pada bulan Januari tahun 2000 yaitu 356.99 ribu
Ton  dan  terendah  terjadi  pada  bulan  Maret  tahun  2004  yaitu  21.70  ribu  Ton. Perkembangan  volume  produksi  bulanan  beras,  jagung,  dan  kedele  periode
September 1994 – Oktober 2009 disajikan pada Gambar 19.
Sumber: BPS dan Ditjen Tanaman Pangan diolah
Gambar 19. Perkembangan  Rata-rata  Volume  Produksi  Bulanan  Komoditas
Beras,  Jagung  dan  Kedele  Indonesia,  Periode  September  1994 –
Oktober 2009 Produksi  beras,  jagung  dan  kedele  dipengaruhi  oleh  berbagai  perubahan
sebagai  berikut  Pertama  adalah  perkembangan  luas  panen  dan  produktivitas.
Berdasarkan  Tabel  26,  luas  panen  beras  padi    meningkat  rata-rata  1.01  persen per tahun, luas panen jagung meningkat rata-rata 2.59 per tahun, dan luas panen
kedele menurun rata-rata 3.10 persen per tahun. Sementara itu produktivitas beras meningkat 0.82 persen per tahun, produktivitas jagung meningkat 4.16 persen per
tahun,  dan  produktivitas  kedele  meningkat  0.85  persen  per  tahun.  Hal  ini menunjukkan bahwa selama periode 1994  - 2009, pertambahan luas panen beras
0.00 100 000.00
200 000.00 300 000.00
400 000.00 500 000.00
600 000.00 700 000.00
800 000.00 900 000.00
V o
lu m
e Pro
d u
k si
To n
Bulan Beras x 10
Jagung x 10 Kedele  x 1
dan jagung sangat kecil, serta bahkan menurun untuk kedele.  Sementara itu dari segi  produktivitas  menunjukkan  terjadi  pelandaian  atau  leveling  off    untuk  beras
dan  kedele.    Peningkatan  produktivitas  hanya  terjadi  pada  komoditas  jagung, kecuali dalam dua tahun terakhir atau 2008 dan 2009.
Tabel 26. Perkembangan  Luas  Panen  dan  Produktivitas  Komoditas  Beras,
Jagung, dan Kedele Indonesia, Tahun 1994 – 2009
Tahun Luas Panen Ha
Produktivitas Ton per Ha Beras
Jagung Kedele
Beras Jagung
Kedele 1994
10 717 734.00 3 047 378.00
1 406 038.00 2.94
2.22 1.11
1995 11 420 680.00
3 595 700.00 1 476 284.00
2.95 2.26
1.14 1996
11 550 045.00 3 685 459.00
1 277 736.00 2.99
2.50 1.19
1997 11 126 396.00
3 301 795.00 1 118 140.00
3.00 2.63
1.21 1998
11 730 325.00 3 815 919.00
1 094 262.00 2.84
2.65 1.19
1999 11 963 204.00
3 456 357.00 1 151 079.00
2.88 2.66
1.20 2000
11 793 475.00 3 500 318.00
824 484.00 2.98
2.77 1.23
2001 11 499 997.00
3 285 866.00 678 848.00
2.97 2.85
1.22 2002
11 521 166.00 3 126 833.00
544 522.00 3.03
3.09 1.24
2003 11 488 034.00
3 358 511.00 526 796.00
3.07 3.24
1.28 2004
11 922 974.00 3 356 914.00
565 155.00 3.07
3.34 1.28
2005 11 839 060.00
3 625 987.00 621 541.00
3.10 3.45
1.30 2006
11 786 430.00 3 345 805.00
580 534.00 3.13
3.47 1.29
2007 12 147 637.00
3 630 324.00 459 116.00
3.19 3.66
1.29 2008
12 327 425.00 4 001 724.00
590 956.00 3.31
4.08 1.31
2009 12 842 739.00
4 194 143.00 728 200.00
3.37 4.21
1.33 R1
1.01 2.59
-3.10 0.82
4.16 0.85
Keterangan :  Perkiraan hingga akhir tahun berdasarkan data sampai dengan bulan Oktober 2009 R1 = Rata-rata perkembangan tahunan dalam persen per tahun
Sumber        :  BPS dan Ditjen Tanaman Pangan diolah
Berdasarkan  hasil  penelitian  Sumaryanto  et  al.  1995,  Irawan  et  al. 2001,  dan  Irawan  et  al.  2003,  diperoleh  informasi  bahwa    konversi  lahan
sawah  dan  lahan  pertanian  secara  umum  menjadi  kendala  dalam  pengembangan areal  panen  dan  peningkatan  produktivitas.    Dalam  periode  1981  hingga  1999
terjadi  pertambahan  luas  areal  lahan  sawah  sekitar  1.6  juta  Ha.  Sementara  itu, dalam  periode  1999  -  2002  terjadi  konversi  lahan  sawah  menjadi  lahan  non
pertanian seluas 563 159 Ha atau rata-rata 187 720 Ha per tahun, dimana rata-rata laju alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non pertanian sebesar 110 164 Ha per
tahun  dan  alih  fungsi  ke  penggunaan  jenis  pertanian  lainnya  sebesar  77  556  Ha per tahun, sedangkan alih fungsi lahan kering pertanian ke non pertanian sebesar
rata-rata 9 152 Ha per tahun. Di samping masalah konversi lahan, pengembangan produksi beras, jagung dan kedele terkendala rusaknya 22.4 persen jaringan irigasi
dan  kurangnya  perhatian  pemerintah  daerah
dalam  penyediaan  dana  pengelolaan irigasi dan pengembangan pertanian pangan khususnya beras, jagung dan kedele.
Kedua adalah faktor kondisi iklim dan curah hujan.  Dalam periode 1994
–  2009,  kondisi  iklim  tidak  normal  dan  fenomena  terjadi  El  Nino  pada  tahun 1994,  1997,  2002  dan  2006,  2007,  2008  dan  2009,  sedangkan  La  Nina  terjadi
tahun 1998.   Sekalipun dalam kondisi normal, pada periode 1995 - 1996,  1999 - 2001 dan 2003 - 2005, ternyata situasi dan kondisi tidaklah benar-benar  normal.
Keterlambatan  musim  tanam,  musim  panen  dan  kekeringan  serta  banjir  menjadi fenomena yang mengganggu produksi pangan Indonesia, khususnya beras, jagung
dan  kedele.  Dalam  tahun-tahun  tersebut,  sekalipun  tidak  masuk  tahun  siklus  El Nino  atau  La  Nina,    terjadi  gangguan  atmosfer  dalam  bentuk  osilasi  gelombang
Madden-Julian  Oscillation MJO,  kondisi  iklim  regional  El  Nino    La  Nina
Southern  Oscillation ENSO  dan  Indian  Ocean  Dipole  IOD  dari  Samudra
Pasifik dan Samudra Hindia. Fenomena  MJO  terkait  langsung  dengan  pemanasan  di  Samudra  Hindia
bagian  Timur  dan  Samudra  Pasifik  bagian  Barat  sehingga  pergerakan  MJO  ke arah  Timur  bersama  angin  Barat  sepanjang  garis  Khatulistiwa  selalu  diikuti
dengan  konveksi  awan  kumulus  tebal  dan  menyebabkan  hujan  dengan  intensitas tinggi  di  Indonesia.  MJO  juga  menyebabkan  munculnya  siklon  tropis  dan
gangguan  instabilitas  atmosfer,  seperti  depresi  atau  tekanan  rendah.    Intensitas
curah hujan tinggi dan dalam waktu  cukup lama  terjadi di  Laut Jawa dan Pantai Utara  Jawa  menyebabkan  wilayah  produksi  padi  dan  palawija  di  Pantai  Utara
Jawa mengalami banjir.     Kondisi iklim regional  IOD  yang  berada pada  wilayah Samudra  Hindia  dinilai  oleh  para  ahli  sebagai  faktor  kondusif  meningkatnya
intensitas  curah  hujan  harian  secara  lokal  di  Indonesia.  Kondisi  ini  dapat menyebabkan  di  satu  lokasi  tertentu  terjadi  banjir  karena  hujan  berlebihan,
sementara  di  lokasi  lain  terjadi  kekeringan.    Berbagai  studi  tentang  perubahan iklim  menunjukkan  bahwa  El  Nino,  La  Nina,  IOD  dan  MJO  menimbulkan
dampak  tidak  kecil  terhadap  luas  banjir  dan  kekeringan  dan  oleh  karena  itu  luas areal  pertanian  yang  terkena  banjir  dan  kekeringan  cenderung  meningkat,  baik
yang  dalam  keadaan  terkena  maupun  yang  mengalami  puso.  Disamping  itu,  saat terjadinya  El  Nino,  selain  terjadi  kekeringan  juga  terjadi  banjir,  sebaliknya  pada
waktu  La  Nina  di  samping  terjadi  banjir,  juga  terjadi  kekeringan.  Akibat perubahan angin kencang, bahkan banjir dan kekeringan dapat terjadi di Indonesia
yang seharusnya  pada kondisi normal, padahal  El Nino, La Nina,  IOD  dan MJO sedang melanda wilayah luar Indonesia.
Perubahan  peralihan  atau  transisi  antara  El  Nino  dan  La  Nina  cenderung acak,  menyebabkan  kondisi  perubahan  pola  tanam  dan  panen  dan  cukup  sulit
diantisipasi.  Sebagai contohnya adalah dampak El Nino yang terjadi pada tahun 1997  di  Indonesia  sangat  terasa  pada  tahun  1998  dan  1999.  Seperti  juga  yang
terjadi  pada  tahun  2002  masih  terasa  pada  tahun  2003  dan  tahun  2006  masih berlanjut  hingga  2007  dan  2008.    Pengamatan  terhadap  lokasi  banjir  dan
kekeringan  berdasarkan  data  Ditjen  Tanaman  Pangan  periode  2000  -  2008, menunjukkan  bahwa  banjir  dan  kekeringan  memiliki  kecenderungan  untuk
berulang pada tahun  yang sama di lokasi  yang sama menyebabkan dampak yang ditimbulkan cukup besar, sehingga intensitas puso juga sangat besar.
Tabel 27. Perkembangan  Luas  Areal  yang  Terkena  dan  Puso  Akibat    Banjir
dan  Kekeringan,  serta  Besarnya  Kehilangan  Produksi  Komoditas Beras Indonesia, Tahun 1994
– 2009
Tahun Terkena
Ha Puso
Ha Kehilangan Hasil
Ton Kondisi Iklim
1994 782 473.00
238 186.00 1 735 217.00
Tidak Normal 1995
246 717.00 51 076.00
451 021.00 Normal
1996 166 945.00
50 649.00 369 541.00
Normal 1997
575 811.00 101 052.00
980 019.00 El-NinoIOD
1998 324 045.00
65 709.00 586 881.00
La Nina 1999
295 005.00 54 906.00
514 629.00 Normal
2000 334 699.00
63 932.00 590 427.00
Normal 2001
344 804.00 45 199.00
525 600.00 Normal
2002 568 092.00
105 149.00 988 688.00
El NinoIOD 2003
831 800.00 183 844.00
1 567 176.00 NormalIOD
2004 453 261.00
102 172.00 861 949.00
NormalIOD 2005
269 201.00 123 288.00
762 353.00 Normal
2006 589 564.00
201 114.00 1 394 020.00
El Nino 2007
503 715.00 73 123.00
796 207.00   Tidak NormalIODMJO 2008
697 056.00 171 204.00
1 381 872.00 El NinoMJO
2009 630 263.42
161 276.00 1 275 367.42   Tidak NormalIODMJO
R1 475 840.71
111 992.44 923 810.46
R2 42.99
41.63 39.32
Keterangan:  Perkiraan hingga akhir tahun berdasarkan data sampai dengan bulan Oktober 2009 R1 =  Nilai rata-rata periode 1994 hingga 2009;  R2 = Rata-rata perkembangan tahunan dalam
persen per tahun;
MJO = Madden-Julian Oscillation;   IOD = Indian Ocean Dipole
Sumber       :  BPS dan Ditjen Tanaman Pangan diolah
Kondisi  iklim  dan  curah  hujan  sangat  mempengaruhi  luas  panen, produktivitas  dan  produksi  beras,  jagung  dan  kedele.    Akibat  kondisi  iklim  dan
curah hujan yang tidak normal, terjadi kekeringan dan banjir, serta biasanya juga diiringi  dengan  serangan  hama  dan  penyakit.    Dalam  periode  1994
– 2009 rata- rata luas areal yang tekena kekeringan dan banjir adalah 475 840.71 Ha per tahun
dan  yang  puso  atau  gagal  panen  total  adalah  111  992.44  Ha  per  tahun  dengan perkiraan kehilangan hasil  923 810.46 Ton gabah per tahun pada komoditas beras
seperti  terinci  pada  Tabel  27.    Dalam  periode  tersebut,  luas  areal  terkena kekeringan dan banjir adalah meningkat rata-rata 42.99 per tahun, puso atau gagal
panen total 41.63 persen per tahun, dan kehilangan hasil meningkat rata-rata 39.32 persen  per  tahun.    Sementara  itu,  pada  komoditas  jagung  Tabel  28,  dalam
periode yang sama, rata-rata luas areal yang terkena kekeringan dan banjir adalah 398 704.06 Ha per tahun, puso rata-rata 145 209.70 Ha per tahun dan kehilangan
hasil mencapai rata-rata 834 333.17 Ton jagung pipilan kering per tahun, dengan rata-rata peningkatan masing-masing adalah 16.24 persen per tahun, 18.24 persen
per tahun dan 15.36 persen per tahun. Tabel 28.
Perkembangan Luas Areal yang Terkena dan Puso Akibat Banjir dan Kekeringan , serta Besarnya Kehilangan Produksi Komoditas
Jagung  Indonesia, Tahun 1994 – 2009
Tahun Terkena
Ha Puso
Ha Kehilangan Hasil
Ton Kondisi Iklim
1994 259 190.00          93 427.00
539 471.00 Tidak Normal
1995 403 985.00          92 519.00
681 542.00 Normal
1996 260 053.00          62 604.00
447 866.00 Normal
1997 114 009.00          59 215.00
291 654.00 El-NinoIOD
1998 275 952.00        121 516.00
640 500.00 La Nina
1999 359 566.00        110 627.00
691 447.00 Normal
2000 478 858.00        125 512.00
855 394.00 Normal
2001 324 474.00        129 301.00
712 377.00 Normal
2002 473 416.00        213 034.00
1 112 518.00 El NinoIOD
2003 530 533.00        311 925.00
1 466 308.00 NormalIOD
2004 592 634.00        169 972.00
1 102 550.00 NormalIOD
2005 325 882.00        100 950.00
628 732.00 Normal
2006 458 556.00        221 086.00
1 121 814.00 El Nino
2007 430 119.00        188 893.00
996 798.00 Tidak Normal
IODMJO 2008
533 955.00        126 438.00 913 269.00
El NinoMJO 2009
558 083.00        196 336.00 1 147 091.00
Tidak NormalIODMJO
R1 398 704.06
145 209.70 834 333.17
R2 16.24
18.24 15.36
Keterangan:  Perkiraan hingga akhir tahun berdasarkan data sampai dengan bulan Oktober 2009 R1 =  Nilai rata-rata periode 1994 hingga 2009; R2 = Rata-rata perkembangan tahunan dalam
persen per tahun;
MJO = Madden-Julian Oscillation;   IOD = Indian Ocean Dipole Sumber    : BPS dan Ditjen Tanaman Pangan diolah
Pada  komoditas  kedele  Tabel  29,  rata-rata  luas  areal  yang  terkena kekeringan  dan  banjir    adalah  125  184.31  Ha  per  tahun,    yang  mengalami  puso
adalah 50 848.31 Ha per tahun,  dan kehilangan hasil akibat terkena kekeringan,
banjir  dan  mengalami  puso  adalah  100  922.54  Ton  per  tahun.    Dalam  periode 1994
– 2009, masing-masing mengalami peningkatan rata-rata 26.01 persen per tahun, 29.91 persen per tahun dan 27.93 persen per tahun.  Nilai kehilangan hasil
yang  diakibatkan  oleh  kondisi  iklim  dan  curah  hujan  sangatlah  tinggi  dan meningkat  dari  tahun  ke  tahun.    Kondisi  ini  menjadi  salah  satu  penyebab
peningkatan produksi beras, jagung, dan kedele sangat lambat. Tabel 29.
Perkembangan  Luas  Areal  yang  Terkena  dan  Puso  Akibat  Banjir dan  Kekeringan,  serta  Besarnya  Kehilangan  Produksi  Komoditas
Kedele Indonesia, Tahun 1994 – 2009
Tahun Terkena
Hektar Puso
Hektar Kehilangan Hasil
Ton Kondisi Iklim
1994 178 640.00          91 193.00
162 649.00 Tidak Normal
1995 63 845.00          25 538.00
51 076.00 Normal
1996 63 315.00          25 324.00
50 650.00 Normal
1997 126 315.00          50 526.00
101 052.00 El-NinoIOD
1998 82 136.00          32 854.00
65 708.40 La Nina
1999 68 632.00          27 453.00
54 905.80 Normal
2000 79 915.00          31 966.00
63 932.00 Normal
2001 56 498.00          22 595.00
45 194.00 Normal
2002 131 436.00          52 574.00
105 148.00 El NinoIOD
2003 229 805.00          91 922.00
183 844.00 NormalIOD
2004 127 715.00          51 086.00
102 172.00 NormalIOD
2005 154 110.00          61 644.00
123 288.00 Normal
2006 251 392.00        100 557.00
201 114.00 El Nino
2007 91 403.00          36 561.00
73 122.00 Tidak
NormalIODMJO 2008
146 461.00          58 462.00 117 046.00
El Nino MJO 2009
151 331.00          53 326.00 113 858.00
Tidak NormalIODMJO
R1 125 184.31          50 848.81
100 922.54 R2
26.01                 29.91 27.93
Keterangan :  Perkiraan hingga akhir tahun berdasarkan data sampai dengan bulan Oktober 2009 R1 =  Nilai rata-rata periode 1994 hingga 2009; R2 = Rata-rata perkembangan tahunan dalam
persen per tahun;
MJO = Madden-Julian Oscillation;   IOD = Indian Ocean Dipole
Sumber      :   BPS dan Ditjen Tanaman Pangan diolah
Ketiga  adalah  harga  produsen  berpengaruh  terhadap  produksi  atau  pun
sebaliknya, dimana pada saat harga tinggi produksi akan meningkat pada periode berikutnya  atau  sebaliknya  pada  saat  produksi  melimpah  harga  produsen  dapat
saja  menurun  tajam.    Berdasarkan  Tabel  23,  Tabel  24  dan  Tabel  25  dapat
diketahui  bahwa  apabila  harga  di  tingkat  produsen  tinggi,  pada  saat  itu  produksi meningkat atau lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya.  Memperhatikan Tabel
16  dan  Tabel  17,  dapat  juga  dilihat  bahwa  kecuali  pada  kondisi  tidak  normal seperti  terjadinya  krisis,  setiap  penurunan  volume  impor  adalah  seiring  dengan
peningkatan harga produsen dan volume produksi dan demikian pula sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa produksi akan meningkat apabila pada saat itu harga
produsen mampu memberikan insentif kepada produsen. Di samping itu, kondisi ini  juga  menunjukkan  adanya  pengaruh  harga  internasional  dan  harga  impor
terhadap harga produsen sekaligus produksi.
Keempat  adalah  kurangnya  dukungan  bagi  peningkatan  produksi  beras,
jagung,  dan  kedele.  Kebijakan  pemerintah  dalam  upaya  peningkatan  produksi telah  banyak  diluncurkan.    Sebagai  contohnya  adalah  Program  Gema  Palagung
tahun  1999,  Program  Peningkatan  Mutu  Intensifikasi  sejak  1996,  Program Primatani  tahun  2003,  Program  Pengembangan  Usaha  Agribisnis  Pedesaan
PUAP tahun 2006, Program Peningkatan Peningkatan Produksi Beras Nasional P2BN  tahun  2005,  Gerakan  Peningkatan  Produksi  Beras  Satu  Juta  Ton
Gentaton  tahun  2007  dan  target  swasembada  jagung  pada  tahun  2007  dan swasembada  kedelai  pada  tahun  2011  dan  masih  banyak  lagi.    Dengan  hanya
melihat  Tabel  19  yang  menunjukkan  perkembangan  konsumsi  dan membandingkannya dengan Tabel 23 yang menunjukkan perkembangan produksi,
dapat  diketahui  dengan  mudah  bahwa  program  yang  diluncurkan  tidak  berhasil. Diantara  penyebabnya  adalah:  1  perencanaan  dan  implementasi  pembangunan
pertanian dan upaya peningkatan produksi tidak disusun secara sistematis, terpadu dan terencana dengan baik dalam jangka panjang dan berkesinambungan dengan
program-program  sebelumnya,  2  di  bawah  tekanan  liberalisasi  ekonomi  dan perdagangan,  serta  desentralisasi  dan  otonomi  daerah,  kebijakan  makro  ekonomi
baik  fiskal,  moneter,  perdagangan,  maupun  prioritas  dalam  pengembangan ekonomi nasional dinilai tidak kondusif bagi keberlanjutan dan kemampuan daya
saing  usaha  pertanian,  khususnya  beras,  jagung,  dan  kedele,  3  setelah tercapainya  swasembada  beras  tahun  1985,  pembangunan  pertanian  diberikan
beban  berat  akan  tetapi  miskin  dukungan,  4  sejak  tahun  19691970  sampai dengan  2009  melalui  berbagai  kebijakan  Inpres,  pemerintah  telah  berupaya
menetapkan  kebijakan  pemasaran  gabahberas  melalui  mekanisme  penentuan harga  dasar  dan  perlindungan  terhadap  jatuhnya  harga  di  tingkat  produsen,  5
peningkatan  produksi  terhambat  oleh  rendahnya  laju  inovasi,  lemahnya bimbingan  dan  penyuluhan,  tingginya  laju  konversi  lahan  subur,  tingginya
frakmentasi lahan dan hampir dapat dipastikan semakin buruknya fasilitas irigasi, sementara  pembangunan  irigasi  sangat  kecil,  pencetakan  lahan  sawah  dan
pengembangan  lahan  pertanian  subur  lainnya  di  luar  Jawa  terkendala  dana pembangunan dan rendahnya daya saing komoditas beras, jagung dan kedele, jika
dibandingkan dengan komoditas lain misalnya kelapa sawit, 6 memasuki tahun 1990,  praktis  sektor  pertanian  tidak  lagi  memperoleh  dukungan  kredit  dan
permodalan  usaha  yang  memadai.  Pada  tahun  1990  pemerintah  telah  telah mengeluarkan kebijakan  Paket Januari 1990   yang mengurangi Kredit  Likuiditas
Bank  Indonesia  KLBI  secara  bertahap,  dan  7  berada  di  bawah  tekanan liberalisasi  perdagangan  dan  desentralisasi  dan  otonomi  daerah  yang  kurang
menguntungkan bagi sektor pertanian khususnya pangan, dan berbagai dukungan yang  semakin  rendah,  berdasarkan  alasan  stabilisasi  harga  di  tingkat  konsumen,
produsen  komoditas  pangan  padi,  beras,  jagung  dan  kedele  menerima  dampak ganda  yaitu  memperoleh  perlakuan  tidak  adil  di  dalam  negeri  dan  di  arena
perdagangan global. Setelah  periode  orde  baru  berakhir,  perencanaan  dan  implementasi
pembangunan  pertanian  dan  upaya  peningkatan  produksi  tidak  disusun  secara sistematis,  terpadu  dan  terencana  dengan  baik  dalam  jangka  panjang  dan
berkesinambungan  dengan  program-program  pada  periode  sebelumnya.    Hal  ini sangat berbeda dengan masa-masa sebelumnya,  pada era setelah reformasi upaya
peningkatan  produksi  diilakukan  dengan  pendekatan  charitas,  serba  instant  dan berupaya  menyelesaikan  masalah  dalam  jangka  pendek.    Padahal  pertumbuhan
produksi  pangan  pada  dasarnya  merupakan  fenomena  jangka  panjang  yang melibatkan dinamika berbagai faktor ekonomi, teknis dan lingkungan.
Berada  di  bawah  tekanan  liberalisasi  ekonomi  dan  perdagangan,  serta desentralisasi dan otonomi daerah, kebijakan makro ekonomi baik fiskal, moneter,
perdagangan,  maupun  prioritas  dalam  pengembangan  ekonomi  nasional  dinilai tidak  kondusif  bagi  keberlanjutan  dan  kemampuan  daya  saing  usaha  pertanian,
khususnya beras, jagung, dan kedele.  Berdasarkan Tabel 13, Tabel 14, Tabel 15, Tabel 18,  Tabel 19, Tabel 22, dan Tabel 23, diperoleh gambaran bahwa kebijakan
lebih  memberikan  insentif  kepada  importir,  konsumen,  para  pedagang,  para pengolahan  hasil  pertanian  dan  tidak  atau  kurang  memberikan  insentif  kepada
para  produsen,  kecuali  dalam  dua  tahun  terakhir  20072008  dan  2009. Dikaitkan pula dengan Tabel 20, Tabel 21, Tabel 24, Tabel 25, Tabel 26, Tabel 27
dan Tabel 29,  maka adalah suatu kewajaran jika laju  pertumbuhan produksi tidak mampu mengimbangi laju kebutuhan konsumsi.
Setelah  tercapainya  swasembada  beras  tahun  1985,  pembangunan pertanian  diberikan  beban  berat  akan  tetapi  miskin  dukungan.    Meninjau  kilas
balik anggaran  pembangunan pada masa lalu diperoleh gambaran bahwa subsidi pada  tahun  1984  hingga  1985  subsidi  yang  dikeluarkan  pemerintah  pangsanya
mencapai  11.00  persen  dari  biaya  pembangunan  nasional.  Jika  kita  bandingkan dengan kondisi subsidi pada tahun tersebut, maka anggaran subsidi pertanian dan
pangan  dalam  lima  tahun  terakhir  amat  sangat  kecil  karena  tidak  mencapai  1 persen  dari  anggaran  pembangunan  pertanian.    Peningkatan  penggunaan  pupuk
berperan  besar  dalam  meningkatkan  peningkatan  produksi  pangan  baik  beras, jagung  maupun  kedele.    Namun  demikian,  dengan  dikeluarkannya  Paket
Kebijakan Desember 1998,  yang diantaranya meliputi: 1 menghapus perbedaan harga  pupuk  yang  dialokasikan  untuk  tanaman  pangan  maupun  tanaman
perkebunan,  2  menghapus  subsidi  pupuk,  3  menghilangkan  monopoli distribusi dan membuka peluang bagi distributor pendatang baru PT. Pusri tidak
lagi menjadi distributor tunggal dalam penyaluran pupuk, 4 menghapus holding company
untuk mendorong terjadinya kompetisi yang sehat antar produsen pupuk, dan  5  menghapus  quota  ekspor  dan  kontrol  terhadap  impor  pupuk.  Mengamati
perkembangan harga-harga sarana produksi pertanian BPS,  penghapusan subsidi harga  pupuk  mengakibatkan  harga  eceran  pupuk  Urea  meningkat  147  persen,
pupuk SP-36 meningkat 137 persen, pupuk KCl meningkat 173 persen, dan untuk pupuk  ZA  meningkat  kenaikan  98  persen.  Berdasarkan  data  harga  dunia  Wolrd
Bank  dan  IMF  diketahui  bahwa  harga  gas  dan  pupuk  dunia  meningkat  tahun 2000.    Kondisi  ini  menyebabkan  Pemerintah  merespon  dengan  berusaha
memberikan subsidi kembali pupuk pada tahun 2001. Dalam keadaan yang sudah
sangat  terlambat,  sejak  tahun  2003  pemerintah  meningkatkan  dan  memperluas subsidi,  tidak  saja  subsidi  gas  untuk  Urea  tetapi  juga  subsidi  harga  untuk  pupuk
SP-36,  ZA  dan  NPK,  dan  perlu  diakui  bahwa  upaya  ini  berhasil  meningkatkan produksi beras pada tahun  2005 dibanding tahun 2004.
Sejak  tahun  19691970  sampai  dengan  2009  melalui  berbagai  kebijakan Inpres,  pemerintah  telah  berupaya  menetapkan  kebijakan  pemasaran  gabahberas
melalui  mekanisme  penentuan  harga  dasar  dan  perlindungan  terhadap  jatuhnya harga  ditingkat  produsen.  Namun  kenyataan  di  lapangan  menunjukkan  bahwa
petani  belum  dapat  sepenuhnya  menikmati  kebijakan  harga  dasar  tersebut. Diketahui  bersama  bahwa  BULOG  memiliki  keterbatasan  dalam  menyerap  hasil
panen  petani  maksimum  5  persen  dari  produksi  nasional,  sehingga mengakibatkan  pada  saat  panen  raya,  sebagian  besar  petani  terpaksa  menjual
gabahnya  dibawah  harga  dasar  yang  telah  ditetapkan.  Berdasarkan  data perbandingan  antara  dasar  dengan  harga  jual  di  tingkat  produsen,  diperoleh
gambaran  bahwa  hingga  saat  ini  kecuali  tahun  2007  -  2009,    sebagian  besar petani tidak pernah menikmati harga di atas HPP.
Peningkatan produksi beras, jagung, dan kedele, terhambat oleh rendahnya laju inovasi, lemahnya bimbingan dan penyuluhan, tingginya laju konversi lahan
subur, tingginya frakmentasi lahan dan hampir dapat dipastikan semakin buruknya fasilitas  irigasi,  sementara  pembangunan  irigasi  sangat  kecil,  pencetakan  lahan
sawah  dan  pengembangan  lahan  pertanian  subur  lainnya  di  luar  Jawa  terkendala dana  pembangunan  dan  rendahnya  daya  saing  komoditas  beras,  jagung  dan
kedele,  jika  dibandingkan  dengan  komoditas  lain  misalnya  kelapa  sawit. Disamping telah lama tidak lagi ada pembangunan irigasi dan pencetakan sawah
baru,  permasalahan  yang  dihadapi  saat  ini  adalah  tingginya  laju  konversi  lahan pertanian  produktif  ke  penggunaan  lain  dan  sekitar  40  persen  irigasi  dalam
kondisi jaringan irigasi rusak. Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur selama tahun  1993  hingga  tahun  2002  mengalami  penurunan.  Pada  tahun  19931994,
rasio  pengeluaran  untuk  infrastruktur  terhadap  Produk  Domestik  Brutto  PDB sekitar  5.34  persen,  sementara  tahun  2002  hanya  2.33  persen.    Sekalipun  dalam
nilai  menunjukkan  peningkatan  yang  signifikan,  dalam  persentase  atau  porsi belanja  infrastruktur  sejak  tahun  2003
–  2008  masih  tetap  rendah  karena  masih berada dalan kisaran 2 persen hingga 3 persen dari PDB.
Sejak  tahun  1990,  praktis  sektor  pertanian  tidak  lagi  memperoleh dukungan  kredit  dan  permodalan  usaha  yang  memadai.  Pada  tahun  1990
pemerintah  telah  telah  mengeluarkan  kebijakan  Paket  Januari  1990  yang mengurangi Kredit Likuiditas Bank Indonesia KLBI secara bertahap. Puncaknya
adalah kredit ringan bagi pertanian dikurangi, namun demikian BLBI diluncurkan akibat  krisis  tahun  1997
– 1999.  Besarnya nilai BLBI yang diluncurkan kepada sebagian  kecil  pengusaha  skala  besar  adalah  Rp.  700  trilyun  dan  akhirnya
bermasalah,  karena  tidak  tepat  sasaran.    Dampaknya  kemungkinan  akan  berbeda jika  BLBI  tersebut  dikucurkan  untuk  sektor  pertanian  yang  menampung  49  juta
rumah  tangga  dan  memberikan  lapangan  pekerjaan  bagi  70  persen  penduduk Indonesia,  serta  memiliki  keterkaitan  ke  depan  dan  ke  belakang  sangat  kuat  dan
andalan ekspor non migas. Sektor pertanian berada di bawah kondisi tekanan liberalisasi perdagangan
serta desentralisasi dan otonomi daerah  yang kurang menguntungkan bagi sektor pertanian khususnya pangan, dan sektor ini menghadapi berbagai dukungan yang
semakin  rendah  dari  segi  infrastruktur  teknologi,  permodalan  dan  pemasaran. Khususnya  dari  segi  pemasaran,  berdasarkan  alasan  stabilisasi  harga  di  tingkat
konsumen,  produsen  komoditas  pangan  padi,  beras,  jagung  dan  kedele menerima dampak ganda  yaitu  memperoleh perlakuan tidak adil di dalam negeri
dan  di  arena  perdagangan  global.    Sebagai  contohnya  adalah  pemerintah  juga mengeluarkan  kebijakan  stabilisasi  pangan  pokok  melalui  Surat  Menko
Perekonomian  No.  S-19M.Ekon022008  tanggal  1  Februari  2008.    Kebutuhan pokok  yang  termasuk  dalam  kebijakan  ini  adalah  beras,  minyak  goreng,  kedele,
gula, dan minyak tanah. Kebijakan  tersebut  memiliki  maksud  untuk  mengantisipasi  dan  merespon
dampak  dari  kondisi  perekonomian  global  yang  sedang  dilanda  krisis,  terutama yang  terkait  dengan  kenaikan  harga-harga  kebutuhan  pokok,  khususnya  minyak
dan  pangan.    Kebijakan  tersebut  bertujuan  untuk  mengurangi  dampak  gejolak shock  kenaikan  harga,  menstabilkan  harga,  dan  pada  gilirannya  diharapkan
dapat menurunkan harga.  Instrumen kebijakan yang digunakan adalah instrumen fiskal, tataniaga, dan kerjasama dengan dunia usaha. Secara operasional kebijakan
dilaksanakan secara terpadu dan diarahkan untuk mengurangi biaya perdagangan melalui  pengurangan  penghapusan  penghapusan  bea  masuk,  pengurangan  atau
penghapusan  PPN  dan  PPh  impor,  penerapan  „jalur  hijau‟  bagi  impor  komoditi pangan,  penyederhanaan  tataniaga  impor  komoditi  pangan.    Kebijakan  ini
mengurangi  insentif  petani  untuk  berproduksi  karena  menurunkan  harga konsumen  dan  selanjutnya  harga  produsen  juga  akan  menurun.  Di  samping
kebijakan  tersebut,  pemerintah  sedang  berusaha  meningkatkan  penerimaan  pajak yang salah satu sasarannya adalah komoditas pertanian.
Berada dalam kondisi serangkaian dukungan yang demikian rendah seperti tersebut di atas, adalah wajar apabila upaya peningkatan produksi dan pencapaian
target  swasembada  sulit  diperoleh,  dan  kebijakan  pemerintah  yang  menjadi sumber  masalah  kenapa  swasembada  tidak  tercapai  dan  petani  hampir  tidak
pernah menikmati harga yang layak.  Berkaitan dengan resiko banjir impor, akibat tidak pernah mampu mencapai swasembada, maka muncul tekanan eksternal yang
lebih besar akibat impor selalu dibutuhkan, dan dalam kondisi perekonomian yang semakin  terbuka  harga  produsen  dan  konsumen  akan  memiliki  keterkaitan  yang
semakin  tinggi  terhadap  harga  internasional.    Berdasarkan  hal  itu,  maka  dalam menganalisis  banjir  impor,  faktor  eksternal  yaitu  situasi  penawaran  dan
permintaan dunia dan kondisi internal yaitu situasi dan kondisi internal domestik perlu  dianalisis  secara  bersamaan.  Oleh  karenanya,  penelitian  ini  memiliki
keunggulan  dibandingkan  penelitian  lain  sebelumnya,  dimana  faktor-faktor domestik yang turut menekan dan mendorong terjadinya banjir impor dimasukkan
sebagai  variabel  penelitian.    Oleh  karena  itu,  pada  kesimpulannya  nanti  banjir impor yang terjadi sudah mempertimbangkan pengaruh faktor domestik, sehingga
tidak terbantahkan.
5.12.  Pentingnya Perlindungan Komoditas Beras, Jagung, dan Kedele Indonesia dari Dampak Negatif Liberalisasi
Dalam  jangka  panjang,  permintaan  komoditas  pangan  utama  yaitu  beras,
jagung  dan  kedele  di  Indonesia  mengalami  pertumbuhan  yang  lebih  besar dibandingkan  dengan  pertumbuhan  produksi.    Dalam  periode  1994  -  2009
misalnya, pertumbuhan konsumsi beras mencapai rata-rata 0.75 persen per tahun, jagung  2.67  persen  per  tahun  dan  kedele  1.78  persen  per  tahun,  seperti  terinci
pada Tabel 20.  Sementara itu, di sisi lain pertumbuhan produksi hanya mencapai 0.29  persen  per  tahun  untuk  beras,  4.89  persen  per  tahun  untuk  jagung  dan
menurun rata-rata 3.14 persen per tahun untuk kedele Tabel 24.  Jika dikaitkan dengan data BPS,  yang menunjukkan bahwa dalam periode 1994  - 2008, jumlah
penduduk  Indonesia  meningkat  rata-rata  1.42  persen  per  tahun,  maka  hal  ini menimbulkan konsekuensi bahwa produksi tidak mencukupi kebutuhan konsumsi,
sehingga  untuk  memenuhi  kebutuhan  konsumsi  diperlukan  impor  yang  semakin meningkat.
Tabel 30. Perkembangan Pangsa Volume Impor Indonesia Terhadap Volume
Impor  Dunia  dan  Pangsa  Volume  Impor  Terhadap  Volume Konsumsi Komoditas Beras, Jagung dan Kedele Indonesia, Tahun
1994 – 2008
Tahun Pangsa Volume Impor Indonesia
Terhadap Total Volume Impor Dunia
Pangsa Volume Impor Indonesia Terhadap
Total Volume Konsumsi Indonesia Beras
Jagung Kedele
Beras Jagung
Kedele 1994
10.59 6.50
2.04 5.25
35.06 31.32
1995 14.29
4.97 1.88
9.69 32.60
38.99 1996
9.71 6.60
2.47 6.45
37.45 54.95
1997 2.20
5.31 1.98
1.23 30.17
11.51 1998
11.56 6.95
1.25 8.60
39.17 22.95
1999 17.16
5.20 2.55
13.71 31.91
35.58 2000
5.95 4.90
2.75 3.94
29.00 37.49
2001 2.78
4.81 2.51
1.86 27.78
34.72 2002
6.69 4.45
2.43 5.07
27.30 65.16
2003 5.84
4.31 2.24
4.76 26.25
63.22 2004
2.67 4.69
2.41 2.02
25.75 68.95
2005 2.94
4.21 2.27
2.11 23.48
84.82 2006
2.12 5.44
2.43 1.66
30.95 74.38
2007 4.88
3.73 2.84
3.92 23.43
69.61 2008
6.32 4.09
2.73 3.59
24.06 64.22
R1 7.05
5.08 2.32
4.92 29.62
53.40 R2
4.92 3.63
6.29 51.74
-1.41 16.36
Keterangan :  R1 = Rata-rata periode 1994 – 2008;  R1 = Rata-rata peningkatan dalam persen per
tahun Sumber        : World Bank, FAO, BPS dan Badan Bimas dan Ketahanan Pangan diolah
Data  Tabel  30,  menunjukkan  bahwa  dalam  periode  1994  -  2008,  pangsa volume  impor  beras  Indonesia  terhadap  volume  impor  dunia  meningkat  4.92
persen  per  tahun  untuk  beras  dengan  rata-rata  pangsa  7.05  persen  per  tahun, meningkat  3.63  persen  per  tahun  untuk  jagung  dengan  rata-rata  pangsa  5.08
persen per tahun dan meningkat 6.29 persen per tahun untuk kedele dengan rata- rata pangsa 2.32 persen per tahun.  Disamping itu, tingkat ketergantungan impor
untuk  memenuhi  konsumsi  sangat  tinggi  untuk  beras  dan  kedele  dengan peningkatan rata-rata 51.74 persen per tahun untuk beras dengan rata-rata pangsa
4.92  persen  per  tahun  dan  meningkat  rata-rata  16.36  persen  per  tahun  untuk kedele  dengan  rata-rata  pangsa  53.40  persen  per  tahun.    Sedangkan  pada
komoditas  jagung  mengalami  penurunan  1.41  persen  per  tahun  dengan  pangsa rata-rata 29.62 persen per tahun.
Berdasarkan data Tabel 30, diperoleh gambaran bahwa  Pertama, volume
impor  beras,  jagung  dan  kedele  Indonesia  menunjukkan  tingkat  yang
mengkhawatirkan.    Pangsa  Indonesia  pada  impor  komoditas  beras,  jagung  dan
kedele  dunia  cukup  besar,  dan  menunjukkan  peningkatan  dari  tahun  ke  tahun. Pada  kondisi  demikian  dapat  saja  Indonesia  berperan  untuk  mempengaruhi
perubahan  harga  internasional  apabila  Indonesia  memutuskan  untuk  melakukan impor  harga  dunia  dapat  meningkat  atau  pun  jika  tidak  impor  harga  dunia  dapat
menurun.  Dalam penelitian ini, diasumsikan bahwa Indonesia adalah negara kecil dengan  perekonomian  terbuka,  sehingga  Indonesia  merupakan  negara  penerima
harga.    Kedua,  Indonesia  berada  pada  tingkat  ketergantungan  impor  yang  tinggi
dan meningkat dari tahun ke tahun.  Kondisi ini membahayakan Indonesia apabila secara  tiba-tiba  terjadi  gejolak  pada  pasar  dunia.    Pada  kondisi  dimana  tiba-tiba
harga dunia meningkat tajam, maka dampaknya akan secara langsung dirasakan di dalam  negeri  berupa  peningkatan  harga  impor,  peningkatan  harga  konsumen
namun belum tentu disertai peningkatan harga produsen sama besarannya dengan perubahan  harga  impor  dan  harga  konsumen.    Seperti  telah  diuraikan  dimuka
bahwa  peran  pedagang  importir,  pedagang  pengecer,  distributor,  pedagang pengumpul dan pedagang pengolah sangat besar dalam mempengaruhi perubahan
harga  yang  ditunjukan  oleh  data-data  pada  Tabel  13,  Tabel  18  dan  Tabel  22. Sementara itu, Tabel-tabel  seperti Tabel 9, Tabel 10, Tabel 11, Tabel 12, Tabel
14, Tabel 15, Tabel 16,  Tabel 17, Tabel 19, dan Tabe1 23 menunjukkan bahwa pada  kondisi  tiba-tiba  penawaran  dunia  meningkat  dan  harga  dunia  menurun,
maka dampaknya berupa meningkatnya volume impor  menurunnya harga impor, menurunnya  harga  konsumen  dan  menurunnya  harga  produsen,  sehingga  resiko
terjadinya banjir impor di Indonesia meningkat.  Ketiga, tingkat resiko kerawanan
Indonesia  dari  segi  ketahanan  pangan  dan  kemandirian  pangan  meningkat. Tingkat  ketergantungan  yang  tinggi  terhadap  pasokan  dari  impor  menempatkan
Indonesia  pada  situasi  yang  sangat  rawan,  baik  dari  segi  ketahanan  pangan maupun  kemandirian  pangan.  Setelah  AoA  WTO  mulai  di  implementasikan,
harga  komoditas  pertanian  menunjukkan  kecenderungan  yang  menurun  dan disertai dengan meningkatnya volume impor pangan secara mendadak atau banjir
impor  di  negara-negara  sedang  berkembang  termasuk  Indonesia  meningkat. Kejadian banjir impor di negara-negara berkembang Tabel 2 menunjukkan bukti
bahwa mekanisme perlindungan SSG yang terdapat pada AoA WTO tidak efektif untuk melindungi dan mencegah dampak negatif liberalisasi perdagangan.
Keempat,  negara  berkembang  termasuk  Indonesia  dipaksa  menurunkan
tarif  dan  membuka  pasar,  sementara  negara  maju  meningkatkan  subsidi  dan proteksi.    Keharusan  menurunkan  tarif  dan  membuka  pasar  atau  meningkatkan
akses pasar market access merupakan sumber penyebab perubahan harga dunia ditransaksikan  ke  pasar  konsumen  maupun  petani  produsen  di  seluruh  negara-
negara anggota WTO. Para petani dan produsen di negara-negara maju memiliki kemampuan  bertahan  menghadapi  penurunan  harga  dalam  jangka  waktu  yang
panjang  karena  mereka  memperoleh  subsidi  dan  proteksi  yang  amat  besar. Sementara  itu,  petani  di  negara-negara  sedang  berkembang  pada  umumnya
termasuk  Indonesia    tidak  memperoleh  subsidi  dan  memiliki  proteksi  sangat kecil.    Pada  kasus  Indonesia,  seperti  telah  diuraikan  dimuka  bahwa  disamping
penurunan tarif juga dilakukan penghapusan subsidi, walaupun akhirnya disadari bahwa subsidi sangat diperlukan sehingga secara bertahap ditambah untuk subsidi
pupuk, namun subsidi BBM tetap dikurangi. Nilai  Producer  Support  Estimate  PSE  dapat  dipakai  sebagai  indikator
yang  menunjukkan  besaran  subsidi  dan  proteksi  atau  dukungan  yang  diberikan suatu  negara  kepada  produsennya  dalam  menghasilkan  suatu  komoditas.  Makin
besar  nilai  PSE  menunjukkan  bahwa  subsidi  dan  perlindungan  kepada  produsen juga semakin besar.  Berdasarkan data pada Tabel 31, dapat dilihat bahwa negara-
negara  maju  yang  tergabung  dalam  OECD  memberikan  subsidi  dan  proteksi kepada para produsen beras di negaranya  rata-rata 80.77 persen pada tahun 1986
hingga  1988,  sedikit  menurun  menjadi  79.80  pada  tahun  1986  -  1994  sebelum berlakunya perjanjian AoA WTO.  Sementara itu, setelah perjanjian WTO dalam
periode  1995  -  2004,  rata-rata  subsidi  adalah  77.49  persen  dan  jika  dibagi  dua
periode yaitu sebelum DDA 1995 -  2001 dan sesudah DDA 2002 - 2004 nilai masing-masing  subsidi  dan  proteksinya  adalah  77.97  persen  dan  77.36  persen.
Berdasarkan    contoh  beberapa  negara  maju,  seperti    Australia  misalnya,    telah menurukan  subsidinya  menjadi  5.59  persen  pada  periode  1995  -  2004,  jika
diperhatikan  subsidi  ditingkatkan  dari  5.46  persen  pada  periode  1995  -  2001 menjadi  5.87  persen  pada  periode  2002  -  2004.    Negara-negara  Uni  Eropa
menurunkan  subsidinya  dalam  rangka  penerapan  perjanjian  WTO  dari  rata-rata 60.63 persen sebelum AoA diterapkan,  menjadi 30.59 persen setalah AoA WTO
diterapkan,  namun  jika  diperhatikan  subsidi  ditingkatkan  pada  periode  2002  - 2004  menjadi  rata-rata  35.17  persen.    Hal  yang  sama  juga  dilakukan  oleh  USA,
sementara  Jepang  hampir  tidak  pernah  menurunkan  proteksi.    Bahkan  dalam periode 2002 - 2004, subsidi dan proteksi justru meningkat dan kesepakatan AoA
WTO tidak dipenuhi. Fenomena  bahwa  negara-negara  maju  tidak  mematuhi  AoA  dan
meningkatkan  subsidi  dan  proteksinya  juga  terjadi  pada  komoditas  jagung  dan kedele termasuk salah satu jenis oils seeds. Disamping fenomena tersebut, data
pada  Tabel  31  juga  menunjukkan  bahwa  pendapatan  petani  padi,  jagung  dan kedele pada negara anggota OECD dan negara maju adalah berasal dari dukungan
pemerintah  dan  dengan  kemampuan  subsidi  yang  besar.    Berdasarkan  besarnya kemampuan  subsidi  tersebut,  ditambah  dengan  tingkat  efisiensi  teknologi  yang
tinggi,  pemilikan  dan  penguasaan  lahan  produsen  yang  luas,    dukungan  subsidi ekspor dan kredit ekspor yang memadai serta kondisi infrastruktur baik kebijakan
maupun  fisik  yang  lebih  kondusif,  maka  negara-negara  maju  memiliki  surplus beras,  jagung  dan  kedele  yang  tinggi    dan  diekspor  dengan  harga  yang  relatif
murah pasar dunia.   Kondisi inilah  yang mengancam negara-negara berkembang termasuk  Indonesia,  yang  telah  menurunkan  tarif,  mencabut  subsidi  dan
menghapus  monopoli  impor  BULOG  sejak  tahun  1998.    Pada  periode  sebelum 1998,    memiliki  peran  stabilisasi,  namun  sejak  1998  hingga  sekarang  BULOG
tidak lagi memiliki kemampuan seperti masa sebelumnya. Tabel 31.
Besarnya  Nilai  Producer  Support  Estimate  Komoditas  Beras, Jagung,  dan  Biji  Berlemak  atau  Oils  Seeds    di  Negara-negara
OECD dan Beberapa Negara Terpilih Lainnya, Tahun 1986 - 2004
Komoditas Negara
Referensi Dasar
Kesepakatan AoA Kesepakatan DDA
Sebelum Sesudah
Sebelum Sesudah
1986- 1988
1986- 1994
1995 - 2004
1995- 2001
2002- 2004
Beras Australia
16.90 9.79
5.59 5.46
5.87 European Union
59.54 60.63
30.59 28.63
35.17 Japan
83.74 82.20
83.80 83.95
83.43 Mexico 3
10.70 -8.93
19.84 15.44
30.13 United States
51.74 45.14
29.59 28.18
32.88 OECD 4
80.77 79.80
77.49 77.97
76.36 Jagung
Canada 24.49
19.49 12.14
11.01 14.76
European Union 2 53.02
49.27 38.52
38.41 38.79
Hungary   1 2.24
6.29 -15.68
-22.36 -6.75
Mexico 3 45.63
37.43 28.87
26.39 34.67
New Zealand 1.65
1.09 0.17
0.18 0.14
Poland   1 28.20
26.40 13.65
14.70 9.41
Slovak Republic 1 29.32
32.79 -4.53
-2.21 -11.95
Switzerland 80.39
76.28 66.79
66.81 66.76
Turkey 20.91
26.44 29.90
28.97 32.07
United States 38.39
25.60 21.38
21.99 19.95
OECD 4 39.79
31.33 24.83
24.75 25.02
Biji Berlemak
oil seeds Australia
5.13 4.76
3.13 3.03
3.37 Canada
25.59 20.91
12.02 10.95
14.53 Czech Republic 1
15.77 25.25
-14.09 -18.66
4.24 European Union 2
58.61 58.79
44.01 47.22
36.52 Hungary   1
-36.78 -5.72
-3.73 -6.93
5.47 Japan
74.56 49.94
46.38 41.71
57.28 Mexico 3
19.68 19.45
33.67 27.42
48.25 Poland   1
8.54 15.54
15.37 15.96
13.05 Slovak Republic 1
11.86 24.90
-5.69 -5.44
-8.43 Switzerland
84.97 84.62
83.40 83.05
84.20 Turkey
19.63 24.91
30.88 35.61
19.85 United States
7.70 7.09
16.31 15.50
18.18 OECD 4
26.49 26.34
23.36 23.71
22.56 Keterangan :    1. For the Czech Republic, Hungary, Poland and the Slovak Republic,  1986-88 is replaced by
1991-93 and 2002-04 by 2001-03.; 2.  EU-12 for 1986-94 including ex-GDR from 1990; EU-15 for 1995-2003; EU-25 from
2004. The value of transfers to producers PSE;  in the EU-15 for 2004 is estimated to be EUR 100 263 million USD 124 192 million.;
3.  For Mexico, 1986-88 is replaced by 1991-93.; 4.  Austria, Finland and Sweden are included in the OECD total for all years and in the EU
from 1995. The OECD total does not include the six non-OECD EU member states.
Sumber        :  OECD, PSECSE database 2005 diolah
Berada  pada  kondisi  tarif  impor  yang  rendah  Tabel  13  dan  seringnya pemerintah  melakukan  penghapusan  bea  masuk,  bea  masuk  tambahan,  pajak
penghasilan,  dan  pajak  pertambahan  nilai  atas  barang  impor  khususnya  bahan pangan  berupa  beras,  jagung,  dan  kedele  khususnya  dan  umumnya  kebutuhan
pokok dengan pertimbangan stabilisasi harga, maka dapat dipastikan resiko banjir impor  terhadap  komoditas  beras,  jagung,  dan  kedele  juga  meningkat.    Terlebih
lagi  upaya  peningkatan  produksi  dalam  negeri  dalam  upaya  meningkatkan pemenuhan konsumsi dan menekan volume impor banyak menghadapi kendala.
Tabel 32. Persentase Perubahan Rata-rata Peranan Komoditas Beras, Jagung,
dan Kedele Terhadap Perekonomian Indonesia, Tahun 2005 – 2009
Dibandingkan Tahun 1995 – 2004
Jenis Peranan Persentase Perubahan Tahun 2005
–2009 dibandingkan Tahun 1995-2004
Beras Jagung
Kedele Terhadap Total PDB Pertanian
0.46 2.73
0.11 Dalam Penyerapan Tenaga Kerja
Pertanian 0.27
3.89 0.93
Terhadap Total Areal Pertanian -3.67
-1.52 -1.28
Unit Usaha Mikro, Kecil dan Rumah Tangga
2.09 4.28
7.91 Produksi  Terhadap Pemenuhan
Konsumsi Pangan 0.49
-6.88 -22.99
Tingkat Partisipasi Konsumsi Penduduk
-2.36 17.89
4.41 Pemenuhan Konsumsi Kalori
-3.04 0.04
-0.26 Pemenuhan Konsumsi Protein
-24.58 -0.59
-4.17 Tingkat Ketergantungan Impor
-1.74 6.88
22.99
Sumber :  Tabel 3 dan Hutabarat et  al., 2005 diolah
Tabel 32 menggambarkan kondisi perlindungan terhadap komoditas beras,
jagung  dan  kedele  dari  sisi  perdagangan  internasional  dan  peningkatan  semakin dibutuhkan.    Dibandingkan  dengan  rata-rata  kondisi  1995
– 2004, pada periode 2005
–  2009  menunjukan  Pertama  bahwa  kontribusi  beras,  jagung,  dan  kedele
terhadap nilai tambah PDB sektor pertanian semakin meningkat sekalipun relatif
kecil.  Kedua,  bahwa  kemampuan  beras,  jagung,  dan  kedele  untuk  menampung
tenaga  kerja  dan  memberikan  lapangan  kerja  untuk  mengurangi  pengangguran juga  meningkat.    Jumlah  tenaga  kerja  yang  bekerja  pada  ketiga  ini  semakin
meningkat  dari  tahun  ke  tahun.  Ketiga,  daya  saing  ketiga  komoditas  ini
dibandingkan dengan komoditas lainnya dalam sektor petanian semakin menurun, yang  ditunjukkan  penurunan  kontribusi  areal  ketiga  komoditas  ini  dibandingkan
total  komoditas  yang  berada  dalam  sektor  pertanian.  Keempat,  bahwa  jumlah
rumah  tangga  yang  mengusahakan  komoditas  ini  semakin  meningkat,  dengan skala usaha yang semakin menurun.  Hal ini berarti bahwa skala pengusahaan per
rumah  tangga  semakin  sempit.  Kelima,  bahwa  konsumsi  per  kapita  beras
menurun,  sedangkan  konsumsi  per  kapita  jagung  dan  kedele  meningkat  cukup tinggi.  Hal ini menunjukkan bahwa fungsi beras sebagai karbohidrat utama dapat
digantikan  komoditas  lain.    Namun  demikian  sayangnya  bukan  dari  jagung  atau kedele, karena sumbangan kalori dan protein ketiga komoditas ini juga menurun.
Penelitian  ini  tidak  mengamati  perubahan  komoditas  lain,  sebagai  sumber karbohidrat lain kecuali yang diproduksi di dalam negeri.  Namun demikian dapat
diduga  sumber  karbohidrat  yang  menggantikan  beras  bukanlah  dari  komoditas yang  produksi  dalam  negeri,  karena  sumbangan  komoditas  tanaman  pangan
lainnya  yang  diproduksi  dalam  negeri  misalnya  kacang  tanah,  ubi  kayu  dan
tanaman  pangan  lainnya  juga  menurun.  Keenam,  produksi  tidak  mampu
mencukupi  kebutuhan  dalam  negeri.    Tingkat  ketergantungan  impor  beras menurun, akan tetapi untuk komoditas jagung dan kedele tetap meningkat tajam.
Pada kondisi beras sebagai sumber karbohidrat dengan konsumsi per kapita yang
menurun ternyata digantikan oleh bukan dari produksi dalam negeri, maka tingkat ketergantungan terhadap impor sebenarnya tidak menurun dan hanya beralih dari
komoditas  beras  ke  komoditas  substitusi  beras.    Sebagai  komoditas  substitusi, apabila komoditas tersebut tiba-tiba impornya melonjak, juga akan mempengaruhi
komoditas beras.  Oleh karena itu, dalam lima tahun terakhir 2005 – 2009 dari
sisi  kepentingan  nasional,  kondisi  perdagangan  komoditas  dan  resiko  terhadap banjir  impor  meningkat,    dan  demikian  juga  kerawanan  pangan  juga  meningkat,
sementara  kemandirian  pangan  menurun  dan  disertai  dengan  kondisi  dan  situasi kemampuan yang dimiliki Indonesia justru juga menurun.
Mengingat  pentingnya  peranan  komoditas  beras,  jagung,  dan  kedele terhadap  perekonomian,  dan  dihadapkan  pada  kondisi  dan  situasi  dalam  negeri
dengan  segala  keterbatasannya,  serta  ditambah  dengan  adanya  ancaman  dampak negatif  liberalisasi  perdagangan,  maka  sebagai  anggota  WTO,  berjuang
menciptakan  kesepakatan  yang  lebih  menguntungkan  dan  memberikan perlindungan  terhadap  komoditas  beras,  jagung,  dan  kedele  khususnya  dan
komoditas  pangan  utama  dan  pertanian  umumnya  adalah  sangat  penting. Berkaitan  dengan  hal  tersebut,  terdapat  hal-hal  yang  penting  untuk  diperhatikan
adalah  Pertama,  upaya  untuk  memanfaatkan  setiap  fasilitas  yang  diberikan
kepada  negara  berkembang  seperti  SSM,  SP  dan  mekanisme  perlakuan  khusus
lainnya  perlu  terus  dilakukan.    Kedua,  menggalang  kerjasama  dengan  negara-
negara  berkembang  lainnya  untuk  menyeimbangkan  kekuatan  di  meja perundingan  antara  negara  maju  dan  berkembang  perlu  terus  ditingkatkan.
Indonesia  perlu  menggalang  kerjasama  dan  kekuatan  bersama  G-33  yang anggotanya sudah mencapai 50 negara hingga Juli 2008, agar negara-negara maju
tidak  semena-semena  seperti  yang  terjadi  pada  hasil  perundingan  sebelumnya. Kesempatan  perundingan  masih  terbuka,  perlu  dimanfaatkan  sebaik-baiknya.
Ketiga,  meningkatkan  perlindungan  dan  dukungan  pengembangan  komoditas
dalam negeri.  Dalam kenyataannya subsidi dan proteksi negara maju meningkat setelah  penerapan  AoA  WTO.    Sementara,  Indonesia  melakukan  hal  yang
sebaliknya.    Mengacu  pada  analisis  periode  1994  -  2009,  maka  apapun  dan bagaimanapun  kondisinya,  pada  masa  yang  akan  datang,  dukungan  dan
perlindungan  terhadap  komoditas  pertanian  dan  pangan  dalam  negeri  perlu
ditingkatkan.    Keempat,  memberikan  perlakuan  yang  sama  pada  setiap  jenis
perundingan perdagangan baik yang bersifat multilateral dan regional atau WTO, ASEAN,  APEC  dan  lainnya,  maupun  yang  bersifat  bilateral  atau  antar  negara.
Apabila  tidak  demikian,  maka  upaya  negoisiasi  di  WTO  dapat  dikatakan sia-sia. Sebagai  contoh  adalah  bagaimana  komitmen  perjanjian  perdagangan  China  -
ASEAN  Free  Trade  Area  CAFTA  menjadi  bumerang  bagi  Indonesia.  Banjir impor produk dari China terjadi, tetapi Indonesia tidak dapat berbuat apa-apa.
Kelima,  negara-negara  maju  dan  negara  mitra  dagang  Indonesia
menggunakan  senjata  pinjaman,  investasi,  IMF,  World  Bank  maupun  lembaga donor  lainnya  menggunakan  senjata  itu  untuk  memenangkan  perundingan.
Renegoisasi CAFTA pun gagal karena Indonesia diiming-imingi dengan pinjaman dan  investasi.    Demikian  juga,  perundingan  dengan  Jepang,  Australia,  India  dan
Korea.  Apalagi dalam perundingan dengan UE dan USA, dan juga perundingan dalam  forum  WTO.  Jika  tidak  berhasil  menekan  pada  meja  perundingan,  maka
mereka  mengirim  delegasi  langsung  ke  negara  bersangkutan.    Nilai  nominal pinjaman atau utang luar negeri Indonesia dalam periode 2005 - 2009 adalah sama
besarnya  dengan  sekitar  seperempat  hingga  sepertiga  dari  nilai  pinjaman  luar negeri Indonesia selama 33 tahun masa orde baru.  Adalah wajar sejak KTM VI di
Hongkong  Desember  2005,  Indonesia  tidak  memiliki  kekuatan  untuk diperhitungkan.    Pada  pada  masa  perundingan  lima  tahun  sebelumnya  kekuatan
Indonesia  bersama  Brasil  diperhitungkan  dan  Direktur  Jenderal  WTO  sampai datang ke Indonesia untuk melunakkan sikap Indonesia.  Belajar dari pengalaman
ini, dan bintang perundingan beralih ke China dan India pada perundingan 14 - 21 Juli  2008,  maka  Indonesia  harus  menjaga  sikap  dan  integritasnya  apabila  ingin
membela  kepentingan  bangsa  dan  negara.    Indonesia  yang  dalam  lima  tahun terakhir  senantiasa  menempuh  kebijakan  defisit  Anggaran  Pendapatan  dan
Belanja  Nasional  APBN  dan  mengupayakan  kebijakan  defisit  APBN  tersebut ditutup dari pinjaman luar negeri dan investasi asing semakin dipandang sebelah
mata  dalam  forum-forum  perundingan  internasional.    Kebijakan  defisit  APBN sama saja menyerahkan perundingan dan urusan negara kepada pihak asing.
Keenam,  perlindungan  SSM  yang  dikaji  dalam  penelitian  ini  sekalipun
bagian  terkecil  dari  urusan  nasional  berkaitan  dengan  perdagangan  internasional dan nasib bangsa ke depan. Oleh karena itu, adalah penting untuk menempatkan
SSM  sebagai  bagian  penting  untuk  dijadikan  perhatian  bagi  seluruh  masyarakat Indonesia dan mengupayakan agar mendapatkan  dukungan seluruh pihak  terkait.
Ketujuh,  berdasarkan  pengalaman  masa  lalu,  hasil-hasil  perundingan  dan
penerapannya  tidak  pernah  tersosialisasikan  dan  teradvokasikan  dengan  baik kepada  seluruh  masyakat  Indonesia  yang  akan  menerima  dampak.    Oleh  karena
itu mempersiapkan masyarakat untuk menerima segala kemungkinan yang terjadi adalah penting, agar pada saat penerapannya nanti tidak menimbulkan guncangan
atau  gejolak  yang  menimbulkan  kerawanan  sosial,  ekonomi  dan  politik, mengingat  beras,  jagung  dan  kedele  merupakan  tiga  komoditas  yang  bernilai
politis  dan  strategis  bagi  bangsa  Indonesia.  Kedelapan,  Indonesia  merupakan
negara  kepulauan  yang  memiliki  pelabuhan  yang  banyak.    Sementara  itu konsumen  menyebar  di  seluruh  wilayah  Indonesia,  sedangkan  sentra  produksi
berpusat  pada  wilayah  tertentu.      Disamping  itu,  perundingan  SSM  mebutuhkan waktu  lama,  sementara  upaya  untuk  melindungi  diri  dari  banjir  impor  tidak  bisa
ditunda.    Dalam  rangka  melokalisir  dampak  terhadap  produsen,  sementara kebutuhan  konsumsi  perlu  tetap  terpenuhi,  maka  Indonesia  perlu  menerapkan
strategi  pengaturan  waktu  impor  dan  pelabuhan  masuk  impor  pada  lokasi  yang memiliki kebutuhan konsumsi lebih besar jika dibandingkan dengan kemampuan
produksinya.  Kebijakan ini juga perlu disertai peningkatan produksi, peningkatan kapasitas  dan  kualitas  infrastruktur,    pemberdayaan  produsen,  dan  peningkatan
produksi  pada  wilayah-wilayah  yang  selama  ini  memerlukan  tambahan  pasokan komoditas untuk memenuhi konsumsi.
                