100 00 Perkembangan Volume Produksi Komoditas Beras, Jagung, dan Kedele Indonesia

ribu Ton dan produksi tertinggi terjadi pada bulan Februari tahun 2007 yang mecapai 2.77 juta lebih Ton per bulan. Sementara itu pada komoditas kedele, produksi bulanan tertinggi terjadi pada bulan Januari tahun 2000 yaitu 356.99 ribu Ton dan terendah terjadi pada bulan Maret tahun 2004 yaitu 21.70 ribu Ton. Perkembangan volume produksi bulanan beras, jagung, dan kedele periode September 1994 – Oktober 2009 disajikan pada Gambar 19. Sumber: BPS dan Ditjen Tanaman Pangan diolah Gambar 19. Perkembangan Rata-rata Volume Produksi Bulanan Komoditas Beras, Jagung dan Kedele Indonesia, Periode September 1994 – Oktober 2009 Produksi beras, jagung dan kedele dipengaruhi oleh berbagai perubahan sebagai berikut Pertama adalah perkembangan luas panen dan produktivitas. Berdasarkan Tabel 26, luas panen beras padi meningkat rata-rata 1.01 persen per tahun, luas panen jagung meningkat rata-rata 2.59 per tahun, dan luas panen kedele menurun rata-rata 3.10 persen per tahun. Sementara itu produktivitas beras meningkat 0.82 persen per tahun, produktivitas jagung meningkat 4.16 persen per tahun, dan produktivitas kedele meningkat 0.85 persen per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa selama periode 1994 - 2009, pertambahan luas panen beras 0.00 100 000.00 200 000.00 300 000.00 400 000.00 500 000.00 600 000.00 700 000.00 800 000.00 900 000.00 V o lu m e Pro d u k si To n Bulan Beras x 10 Jagung x 10 Kedele x 1 dan jagung sangat kecil, serta bahkan menurun untuk kedele. Sementara itu dari segi produktivitas menunjukkan terjadi pelandaian atau leveling off untuk beras dan kedele. Peningkatan produktivitas hanya terjadi pada komoditas jagung, kecuali dalam dua tahun terakhir atau 2008 dan 2009. Tabel 26. Perkembangan Luas Panen dan Produktivitas Komoditas Beras, Jagung, dan Kedele Indonesia, Tahun 1994 – 2009 Tahun Luas Panen Ha Produktivitas Ton per Ha Beras Jagung Kedele Beras Jagung Kedele 1994 10 717 734.00 3 047 378.00 1 406 038.00 2.94 2.22 1.11 1995 11 420 680.00 3 595 700.00 1 476 284.00 2.95 2.26 1.14 1996 11 550 045.00 3 685 459.00 1 277 736.00 2.99 2.50 1.19 1997 11 126 396.00 3 301 795.00 1 118 140.00 3.00 2.63 1.21 1998 11 730 325.00 3 815 919.00 1 094 262.00 2.84 2.65 1.19 1999 11 963 204.00 3 456 357.00 1 151 079.00 2.88 2.66 1.20 2000 11 793 475.00 3 500 318.00 824 484.00 2.98 2.77 1.23 2001 11 499 997.00 3 285 866.00 678 848.00 2.97 2.85 1.22 2002 11 521 166.00 3 126 833.00 544 522.00 3.03 3.09 1.24 2003 11 488 034.00 3 358 511.00 526 796.00 3.07 3.24 1.28 2004 11 922 974.00 3 356 914.00 565 155.00 3.07 3.34 1.28 2005 11 839 060.00 3 625 987.00 621 541.00 3.10 3.45 1.30 2006 11 786 430.00 3 345 805.00 580 534.00 3.13 3.47 1.29 2007 12 147 637.00 3 630 324.00 459 116.00 3.19 3.66 1.29 2008 12 327 425.00 4 001 724.00 590 956.00 3.31 4.08 1.31 2009 12 842 739.00 4 194 143.00 728 200.00 3.37 4.21 1.33 R1 1.01 2.59 -3.10 0.82 4.16 0.85 Keterangan : Perkiraan hingga akhir tahun berdasarkan data sampai dengan bulan Oktober 2009 R1 = Rata-rata perkembangan tahunan dalam persen per tahun Sumber : BPS dan Ditjen Tanaman Pangan diolah Berdasarkan hasil penelitian Sumaryanto et al. 1995, Irawan et al. 2001, dan Irawan et al. 2003, diperoleh informasi bahwa konversi lahan sawah dan lahan pertanian secara umum menjadi kendala dalam pengembangan areal panen dan peningkatan produktivitas. Dalam periode 1981 hingga 1999 terjadi pertambahan luas areal lahan sawah sekitar 1.6 juta Ha. Sementara itu, dalam periode 1999 - 2002 terjadi konversi lahan sawah menjadi lahan non pertanian seluas 563 159 Ha atau rata-rata 187 720 Ha per tahun, dimana rata-rata laju alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non pertanian sebesar 110 164 Ha per tahun dan alih fungsi ke penggunaan jenis pertanian lainnya sebesar 77 556 Ha per tahun, sedangkan alih fungsi lahan kering pertanian ke non pertanian sebesar rata-rata 9 152 Ha per tahun. Di samping masalah konversi lahan, pengembangan produksi beras, jagung dan kedele terkendala rusaknya 22.4 persen jaringan irigasi dan kurangnya perhatian pemerintah daerah dalam penyediaan dana pengelolaan irigasi dan pengembangan pertanian pangan khususnya beras, jagung dan kedele. Kedua adalah faktor kondisi iklim dan curah hujan. Dalam periode 1994 – 2009, kondisi iklim tidak normal dan fenomena terjadi El Nino pada tahun 1994, 1997, 2002 dan 2006, 2007, 2008 dan 2009, sedangkan La Nina terjadi tahun 1998. Sekalipun dalam kondisi normal, pada periode 1995 - 1996, 1999 - 2001 dan 2003 - 2005, ternyata situasi dan kondisi tidaklah benar-benar normal. Keterlambatan musim tanam, musim panen dan kekeringan serta banjir menjadi fenomena yang mengganggu produksi pangan Indonesia, khususnya beras, jagung dan kedele. Dalam tahun-tahun tersebut, sekalipun tidak masuk tahun siklus El Nino atau La Nina, terjadi gangguan atmosfer dalam bentuk osilasi gelombang Madden-Julian Oscillation MJO, kondisi iklim regional El Nino La Nina Southern Oscillation ENSO dan Indian Ocean Dipole IOD dari Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Fenomena MJO terkait langsung dengan pemanasan di Samudra Hindia bagian Timur dan Samudra Pasifik bagian Barat sehingga pergerakan MJO ke arah Timur bersama angin Barat sepanjang garis Khatulistiwa selalu diikuti dengan konveksi awan kumulus tebal dan menyebabkan hujan dengan intensitas tinggi di Indonesia. MJO juga menyebabkan munculnya siklon tropis dan gangguan instabilitas atmosfer, seperti depresi atau tekanan rendah. Intensitas curah hujan tinggi dan dalam waktu cukup lama terjadi di Laut Jawa dan Pantai Utara Jawa menyebabkan wilayah produksi padi dan palawija di Pantai Utara Jawa mengalami banjir. Kondisi iklim regional IOD yang berada pada wilayah Samudra Hindia dinilai oleh para ahli sebagai faktor kondusif meningkatnya intensitas curah hujan harian secara lokal di Indonesia. Kondisi ini dapat menyebabkan di satu lokasi tertentu terjadi banjir karena hujan berlebihan, sementara di lokasi lain terjadi kekeringan. Berbagai studi tentang perubahan iklim menunjukkan bahwa El Nino, La Nina, IOD dan MJO menimbulkan dampak tidak kecil terhadap luas banjir dan kekeringan dan oleh karena itu luas areal pertanian yang terkena banjir dan kekeringan cenderung meningkat, baik yang dalam keadaan terkena maupun yang mengalami puso. Disamping itu, saat terjadinya El Nino, selain terjadi kekeringan juga terjadi banjir, sebaliknya pada waktu La Nina di samping terjadi banjir, juga terjadi kekeringan. Akibat perubahan angin kencang, bahkan banjir dan kekeringan dapat terjadi di Indonesia yang seharusnya pada kondisi normal, padahal El Nino, La Nina, IOD dan MJO sedang melanda wilayah luar Indonesia. Perubahan peralihan atau transisi antara El Nino dan La Nina cenderung acak, menyebabkan kondisi perubahan pola tanam dan panen dan cukup sulit diantisipasi. Sebagai contohnya adalah dampak El Nino yang terjadi pada tahun 1997 di Indonesia sangat terasa pada tahun 1998 dan 1999. Seperti juga yang terjadi pada tahun 2002 masih terasa pada tahun 2003 dan tahun 2006 masih berlanjut hingga 2007 dan 2008. Pengamatan terhadap lokasi banjir dan kekeringan berdasarkan data Ditjen Tanaman Pangan periode 2000 - 2008, menunjukkan bahwa banjir dan kekeringan memiliki kecenderungan untuk berulang pada tahun yang sama di lokasi yang sama menyebabkan dampak yang ditimbulkan cukup besar, sehingga intensitas puso juga sangat besar. Tabel 27. Perkembangan Luas Areal yang Terkena dan Puso Akibat Banjir dan Kekeringan, serta Besarnya Kehilangan Produksi Komoditas Beras Indonesia, Tahun 1994 – 2009 Tahun Terkena Ha Puso Ha Kehilangan Hasil Ton Kondisi Iklim 1994 782 473.00 238 186.00 1 735 217.00 Tidak Normal 1995 246 717.00 51 076.00 451 021.00 Normal 1996 166 945.00 50 649.00 369 541.00 Normal 1997 575 811.00 101 052.00 980 019.00 El-NinoIOD 1998 324 045.00 65 709.00 586 881.00 La Nina 1999 295 005.00 54 906.00 514 629.00 Normal 2000 334 699.00 63 932.00 590 427.00 Normal 2001 344 804.00 45 199.00 525 600.00 Normal 2002 568 092.00 105 149.00 988 688.00 El NinoIOD 2003 831 800.00 183 844.00 1 567 176.00 NormalIOD 2004 453 261.00 102 172.00 861 949.00 NormalIOD 2005 269 201.00 123 288.00 762 353.00 Normal 2006 589 564.00 201 114.00 1 394 020.00 El Nino 2007 503 715.00 73 123.00 796 207.00 Tidak NormalIODMJO 2008 697 056.00 171 204.00 1 381 872.00 El NinoMJO 2009 630 263.42 161 276.00 1 275 367.42 Tidak NormalIODMJO R1 475 840.71 111 992.44 923 810.46 R2 42.99 41.63 39.32 Keterangan: Perkiraan hingga akhir tahun berdasarkan data sampai dengan bulan Oktober 2009 R1 = Nilai rata-rata periode 1994 hingga 2009; R2 = Rata-rata perkembangan tahunan dalam persen per tahun; MJO = Madden-Julian Oscillation; IOD = Indian Ocean Dipole Sumber : BPS dan Ditjen Tanaman Pangan diolah Kondisi iklim dan curah hujan sangat mempengaruhi luas panen, produktivitas dan produksi beras, jagung dan kedele. Akibat kondisi iklim dan curah hujan yang tidak normal, terjadi kekeringan dan banjir, serta biasanya juga diiringi dengan serangan hama dan penyakit. Dalam periode 1994 – 2009 rata- rata luas areal yang tekena kekeringan dan banjir adalah 475 840.71 Ha per tahun dan yang puso atau gagal panen total adalah 111 992.44 Ha per tahun dengan perkiraan kehilangan hasil 923 810.46 Ton gabah per tahun pada komoditas beras seperti terinci pada Tabel 27. Dalam periode tersebut, luas areal terkena kekeringan dan banjir adalah meningkat rata-rata 42.99 per tahun, puso atau gagal panen total 41.63 persen per tahun, dan kehilangan hasil meningkat rata-rata 39.32 persen per tahun. Sementara itu, pada komoditas jagung Tabel 28, dalam periode yang sama, rata-rata luas areal yang terkena kekeringan dan banjir adalah 398 704.06 Ha per tahun, puso rata-rata 145 209.70 Ha per tahun dan kehilangan hasil mencapai rata-rata 834 333.17 Ton jagung pipilan kering per tahun, dengan rata-rata peningkatan masing-masing adalah 16.24 persen per tahun, 18.24 persen per tahun dan 15.36 persen per tahun. Tabel 28. Perkembangan Luas Areal yang Terkena dan Puso Akibat Banjir dan Kekeringan , serta Besarnya Kehilangan Produksi Komoditas Jagung Indonesia, Tahun 1994 – 2009 Tahun Terkena Ha Puso Ha Kehilangan Hasil Ton Kondisi Iklim 1994 259 190.00 93 427.00 539 471.00 Tidak Normal 1995 403 985.00 92 519.00 681 542.00 Normal 1996 260 053.00 62 604.00 447 866.00 Normal 1997 114 009.00 59 215.00 291 654.00 El-NinoIOD 1998 275 952.00 121 516.00 640 500.00 La Nina 1999 359 566.00 110 627.00 691 447.00 Normal 2000 478 858.00 125 512.00 855 394.00 Normal 2001 324 474.00 129 301.00 712 377.00 Normal 2002 473 416.00 213 034.00 1 112 518.00 El NinoIOD 2003 530 533.00 311 925.00 1 466 308.00 NormalIOD 2004 592 634.00 169 972.00 1 102 550.00 NormalIOD 2005 325 882.00 100 950.00 628 732.00 Normal 2006 458 556.00 221 086.00 1 121 814.00 El Nino 2007 430 119.00 188 893.00 996 798.00 Tidak Normal IODMJO 2008 533 955.00 126 438.00 913 269.00 El NinoMJO 2009 558 083.00 196 336.00 1 147 091.00 Tidak NormalIODMJO R1 398 704.06 145 209.70 834 333.17 R2 16.24 18.24 15.36 Keterangan: Perkiraan hingga akhir tahun berdasarkan data sampai dengan bulan Oktober 2009 R1 = Nilai rata-rata periode 1994 hingga 2009; R2 = Rata-rata perkembangan tahunan dalam persen per tahun; MJO = Madden-Julian Oscillation; IOD = Indian Ocean Dipole Sumber : BPS dan Ditjen Tanaman Pangan diolah Pada komoditas kedele Tabel 29, rata-rata luas areal yang terkena kekeringan dan banjir adalah 125 184.31 Ha per tahun, yang mengalami puso adalah 50 848.31 Ha per tahun, dan kehilangan hasil akibat terkena kekeringan, banjir dan mengalami puso adalah 100 922.54 Ton per tahun. Dalam periode 1994 – 2009, masing-masing mengalami peningkatan rata-rata 26.01 persen per tahun, 29.91 persen per tahun dan 27.93 persen per tahun. Nilai kehilangan hasil yang diakibatkan oleh kondisi iklim dan curah hujan sangatlah tinggi dan meningkat dari tahun ke tahun. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab peningkatan produksi beras, jagung, dan kedele sangat lambat. Tabel 29. Perkembangan Luas Areal yang Terkena dan Puso Akibat Banjir dan Kekeringan, serta Besarnya Kehilangan Produksi Komoditas Kedele Indonesia, Tahun 1994 – 2009 Tahun Terkena Hektar Puso Hektar Kehilangan Hasil Ton Kondisi Iklim 1994 178 640.00 91 193.00 162 649.00 Tidak Normal 1995 63 845.00 25 538.00 51 076.00 Normal 1996 63 315.00 25 324.00 50 650.00 Normal 1997 126 315.00 50 526.00 101 052.00 El-NinoIOD 1998 82 136.00 32 854.00 65 708.40 La Nina 1999 68 632.00 27 453.00 54 905.80 Normal 2000 79 915.00 31 966.00 63 932.00 Normal 2001 56 498.00 22 595.00 45 194.00 Normal 2002 131 436.00 52 574.00 105 148.00 El NinoIOD 2003 229 805.00 91 922.00 183 844.00 NormalIOD 2004 127 715.00 51 086.00 102 172.00 NormalIOD 2005 154 110.00 61 644.00 123 288.00 Normal 2006 251 392.00 100 557.00 201 114.00 El Nino 2007 91 403.00 36 561.00 73 122.00 Tidak NormalIODMJO 2008 146 461.00 58 462.00 117 046.00 El Nino MJO 2009 151 331.00 53 326.00 113 858.00 Tidak NormalIODMJO R1 125 184.31 50 848.81 100 922.54 R2 26.01 29.91 27.93 Keterangan : Perkiraan hingga akhir tahun berdasarkan data sampai dengan bulan Oktober 2009 R1 = Nilai rata-rata periode 1994 hingga 2009; R2 = Rata-rata perkembangan tahunan dalam persen per tahun; MJO = Madden-Julian Oscillation; IOD = Indian Ocean Dipole Sumber : BPS dan Ditjen Tanaman Pangan diolah Ketiga adalah harga produsen berpengaruh terhadap produksi atau pun sebaliknya, dimana pada saat harga tinggi produksi akan meningkat pada periode berikutnya atau sebaliknya pada saat produksi melimpah harga produsen dapat saja menurun tajam. Berdasarkan Tabel 23, Tabel 24 dan Tabel 25 dapat diketahui bahwa apabila harga di tingkat produsen tinggi, pada saat itu produksi meningkat atau lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya. Memperhatikan Tabel 16 dan Tabel 17, dapat juga dilihat bahwa kecuali pada kondisi tidak normal seperti terjadinya krisis, setiap penurunan volume impor adalah seiring dengan peningkatan harga produsen dan volume produksi dan demikian pula sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa produksi akan meningkat apabila pada saat itu harga produsen mampu memberikan insentif kepada produsen. Di samping itu, kondisi ini juga menunjukkan adanya pengaruh harga internasional dan harga impor terhadap harga produsen sekaligus produksi. Keempat adalah kurangnya dukungan bagi peningkatan produksi beras, jagung, dan kedele. Kebijakan pemerintah dalam upaya peningkatan produksi telah banyak diluncurkan. Sebagai contohnya adalah Program Gema Palagung tahun 1999, Program Peningkatan Mutu Intensifikasi sejak 1996, Program Primatani tahun 2003, Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan PUAP tahun 2006, Program Peningkatan Peningkatan Produksi Beras Nasional P2BN tahun 2005, Gerakan Peningkatan Produksi Beras Satu Juta Ton Gentaton tahun 2007 dan target swasembada jagung pada tahun 2007 dan swasembada kedelai pada tahun 2011 dan masih banyak lagi. Dengan hanya melihat Tabel 19 yang menunjukkan perkembangan konsumsi dan membandingkannya dengan Tabel 23 yang menunjukkan perkembangan produksi, dapat diketahui dengan mudah bahwa program yang diluncurkan tidak berhasil. Diantara penyebabnya adalah: 1 perencanaan dan implementasi pembangunan pertanian dan upaya peningkatan produksi tidak disusun secara sistematis, terpadu dan terencana dengan baik dalam jangka panjang dan berkesinambungan dengan program-program sebelumnya, 2 di bawah tekanan liberalisasi ekonomi dan perdagangan, serta desentralisasi dan otonomi daerah, kebijakan makro ekonomi baik fiskal, moneter, perdagangan, maupun prioritas dalam pengembangan ekonomi nasional dinilai tidak kondusif bagi keberlanjutan dan kemampuan daya saing usaha pertanian, khususnya beras, jagung, dan kedele, 3 setelah tercapainya swasembada beras tahun 1985, pembangunan pertanian diberikan beban berat akan tetapi miskin dukungan, 4 sejak tahun 19691970 sampai dengan 2009 melalui berbagai kebijakan Inpres, pemerintah telah berupaya menetapkan kebijakan pemasaran gabahberas melalui mekanisme penentuan harga dasar dan perlindungan terhadap jatuhnya harga di tingkat produsen, 5 peningkatan produksi terhambat oleh rendahnya laju inovasi, lemahnya bimbingan dan penyuluhan, tingginya laju konversi lahan subur, tingginya frakmentasi lahan dan hampir dapat dipastikan semakin buruknya fasilitas irigasi, sementara pembangunan irigasi sangat kecil, pencetakan lahan sawah dan pengembangan lahan pertanian subur lainnya di luar Jawa terkendala dana pembangunan dan rendahnya daya saing komoditas beras, jagung dan kedele, jika dibandingkan dengan komoditas lain misalnya kelapa sawit, 6 memasuki tahun 1990, praktis sektor pertanian tidak lagi memperoleh dukungan kredit dan permodalan usaha yang memadai. Pada tahun 1990 pemerintah telah telah mengeluarkan kebijakan Paket Januari 1990 yang mengurangi Kredit Likuiditas Bank Indonesia KLBI secara bertahap, dan 7 berada di bawah tekanan liberalisasi perdagangan dan desentralisasi dan otonomi daerah yang kurang menguntungkan bagi sektor pertanian khususnya pangan, dan berbagai dukungan yang semakin rendah, berdasarkan alasan stabilisasi harga di tingkat konsumen, produsen komoditas pangan padi, beras, jagung dan kedele menerima dampak ganda yaitu memperoleh perlakuan tidak adil di dalam negeri dan di arena perdagangan global. Setelah periode orde baru berakhir, perencanaan dan implementasi pembangunan pertanian dan upaya peningkatan produksi tidak disusun secara sistematis, terpadu dan terencana dengan baik dalam jangka panjang dan berkesinambungan dengan program-program pada periode sebelumnya. Hal ini sangat berbeda dengan masa-masa sebelumnya, pada era setelah reformasi upaya peningkatan produksi diilakukan dengan pendekatan charitas, serba instant dan berupaya menyelesaikan masalah dalam jangka pendek. Padahal pertumbuhan produksi pangan pada dasarnya merupakan fenomena jangka panjang yang melibatkan dinamika berbagai faktor ekonomi, teknis dan lingkungan. Berada di bawah tekanan liberalisasi ekonomi dan perdagangan, serta desentralisasi dan otonomi daerah, kebijakan makro ekonomi baik fiskal, moneter, perdagangan, maupun prioritas dalam pengembangan ekonomi nasional dinilai tidak kondusif bagi keberlanjutan dan kemampuan daya saing usaha pertanian, khususnya beras, jagung, dan kedele. Berdasarkan Tabel 13, Tabel 14, Tabel 15, Tabel 18, Tabel 19, Tabel 22, dan Tabel 23, diperoleh gambaran bahwa kebijakan lebih memberikan insentif kepada importir, konsumen, para pedagang, para pengolahan hasil pertanian dan tidak atau kurang memberikan insentif kepada para produsen, kecuali dalam dua tahun terakhir 20072008 dan 2009. Dikaitkan pula dengan Tabel 20, Tabel 21, Tabel 24, Tabel 25, Tabel 26, Tabel 27 dan Tabel 29, maka adalah suatu kewajaran jika laju pertumbuhan produksi tidak mampu mengimbangi laju kebutuhan konsumsi. Setelah tercapainya swasembada beras tahun 1985, pembangunan pertanian diberikan beban berat akan tetapi miskin dukungan. Meninjau kilas balik anggaran pembangunan pada masa lalu diperoleh gambaran bahwa subsidi pada tahun 1984 hingga 1985 subsidi yang dikeluarkan pemerintah pangsanya mencapai 11.00 persen dari biaya pembangunan nasional. Jika kita bandingkan dengan kondisi subsidi pada tahun tersebut, maka anggaran subsidi pertanian dan pangan dalam lima tahun terakhir amat sangat kecil karena tidak mencapai 1 persen dari anggaran pembangunan pertanian. Peningkatan penggunaan pupuk berperan besar dalam meningkatkan peningkatan produksi pangan baik beras, jagung maupun kedele. Namun demikian, dengan dikeluarkannya Paket Kebijakan Desember 1998, yang diantaranya meliputi: 1 menghapus perbedaan harga pupuk yang dialokasikan untuk tanaman pangan maupun tanaman perkebunan, 2 menghapus subsidi pupuk, 3 menghilangkan monopoli distribusi dan membuka peluang bagi distributor pendatang baru PT. Pusri tidak lagi menjadi distributor tunggal dalam penyaluran pupuk, 4 menghapus holding company untuk mendorong terjadinya kompetisi yang sehat antar produsen pupuk, dan 5 menghapus quota ekspor dan kontrol terhadap impor pupuk. Mengamati perkembangan harga-harga sarana produksi pertanian BPS, penghapusan subsidi harga pupuk mengakibatkan harga eceran pupuk Urea meningkat 147 persen, pupuk SP-36 meningkat 137 persen, pupuk KCl meningkat 173 persen, dan untuk pupuk ZA meningkat kenaikan 98 persen. Berdasarkan data harga dunia Wolrd Bank dan IMF diketahui bahwa harga gas dan pupuk dunia meningkat tahun 2000. Kondisi ini menyebabkan Pemerintah merespon dengan berusaha memberikan subsidi kembali pupuk pada tahun 2001. Dalam keadaan yang sudah sangat terlambat, sejak tahun 2003 pemerintah meningkatkan dan memperluas subsidi, tidak saja subsidi gas untuk Urea tetapi juga subsidi harga untuk pupuk SP-36, ZA dan NPK, dan perlu diakui bahwa upaya ini berhasil meningkatkan produksi beras pada tahun 2005 dibanding tahun 2004. Sejak tahun 19691970 sampai dengan 2009 melalui berbagai kebijakan Inpres, pemerintah telah berupaya menetapkan kebijakan pemasaran gabahberas melalui mekanisme penentuan harga dasar dan perlindungan terhadap jatuhnya harga ditingkat produsen. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa petani belum dapat sepenuhnya menikmati kebijakan harga dasar tersebut. Diketahui bersama bahwa BULOG memiliki keterbatasan dalam menyerap hasil panen petani maksimum 5 persen dari produksi nasional, sehingga mengakibatkan pada saat panen raya, sebagian besar petani terpaksa menjual gabahnya dibawah harga dasar yang telah ditetapkan. Berdasarkan data perbandingan antara dasar dengan harga jual di tingkat produsen, diperoleh gambaran bahwa hingga saat ini kecuali tahun 2007 - 2009, sebagian besar petani tidak pernah menikmati harga di atas HPP. Peningkatan produksi beras, jagung, dan kedele, terhambat oleh rendahnya laju inovasi, lemahnya bimbingan dan penyuluhan, tingginya laju konversi lahan subur, tingginya frakmentasi lahan dan hampir dapat dipastikan semakin buruknya fasilitas irigasi, sementara pembangunan irigasi sangat kecil, pencetakan lahan sawah dan pengembangan lahan pertanian subur lainnya di luar Jawa terkendala dana pembangunan dan rendahnya daya saing komoditas beras, jagung dan kedele, jika dibandingkan dengan komoditas lain misalnya kelapa sawit. Disamping telah lama tidak lagi ada pembangunan irigasi dan pencetakan sawah baru, permasalahan yang dihadapi saat ini adalah tingginya laju konversi lahan pertanian produktif ke penggunaan lain dan sekitar 40 persen irigasi dalam kondisi jaringan irigasi rusak. Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur selama tahun 1993 hingga tahun 2002 mengalami penurunan. Pada tahun 19931994, rasio pengeluaran untuk infrastruktur terhadap Produk Domestik Brutto PDB sekitar 5.34 persen, sementara tahun 2002 hanya 2.33 persen. Sekalipun dalam nilai menunjukkan peningkatan yang signifikan, dalam persentase atau porsi belanja infrastruktur sejak tahun 2003 – 2008 masih tetap rendah karena masih berada dalan kisaran 2 persen hingga 3 persen dari PDB. Sejak tahun 1990, praktis sektor pertanian tidak lagi memperoleh dukungan kredit dan permodalan usaha yang memadai. Pada tahun 1990 pemerintah telah telah mengeluarkan kebijakan Paket Januari 1990 yang mengurangi Kredit Likuiditas Bank Indonesia KLBI secara bertahap. Puncaknya adalah kredit ringan bagi pertanian dikurangi, namun demikian BLBI diluncurkan akibat krisis tahun 1997 – 1999. Besarnya nilai BLBI yang diluncurkan kepada sebagian kecil pengusaha skala besar adalah Rp. 700 trilyun dan akhirnya bermasalah, karena tidak tepat sasaran. Dampaknya kemungkinan akan berbeda jika BLBI tersebut dikucurkan untuk sektor pertanian yang menampung 49 juta rumah tangga dan memberikan lapangan pekerjaan bagi 70 persen penduduk Indonesia, serta memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang sangat kuat dan andalan ekspor non migas. Sektor pertanian berada di bawah kondisi tekanan liberalisasi perdagangan serta desentralisasi dan otonomi daerah yang kurang menguntungkan bagi sektor pertanian khususnya pangan, dan sektor ini menghadapi berbagai dukungan yang semakin rendah dari segi infrastruktur teknologi, permodalan dan pemasaran. Khususnya dari segi pemasaran, berdasarkan alasan stabilisasi harga di tingkat konsumen, produsen komoditas pangan padi, beras, jagung dan kedele menerima dampak ganda yaitu memperoleh perlakuan tidak adil di dalam negeri dan di arena perdagangan global. Sebagai contohnya adalah pemerintah juga mengeluarkan kebijakan stabilisasi pangan pokok melalui Surat Menko Perekonomian No. S-19M.Ekon022008 tanggal 1 Februari 2008. Kebutuhan pokok yang termasuk dalam kebijakan ini adalah beras, minyak goreng, kedele, gula, dan minyak tanah. Kebijakan tersebut memiliki maksud untuk mengantisipasi dan merespon dampak dari kondisi perekonomian global yang sedang dilanda krisis, terutama yang terkait dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, khususnya minyak dan pangan. Kebijakan tersebut bertujuan untuk mengurangi dampak gejolak shock kenaikan harga, menstabilkan harga, dan pada gilirannya diharapkan dapat menurunkan harga. Instrumen kebijakan yang digunakan adalah instrumen fiskal, tataniaga, dan kerjasama dengan dunia usaha. Secara operasional kebijakan dilaksanakan secara terpadu dan diarahkan untuk mengurangi biaya perdagangan melalui pengurangan penghapusan penghapusan bea masuk, pengurangan atau penghapusan PPN dan PPh impor, penerapan „jalur hijau‟ bagi impor komoditi pangan, penyederhanaan tataniaga impor komoditi pangan. Kebijakan ini mengurangi insentif petani untuk berproduksi karena menurunkan harga konsumen dan selanjutnya harga produsen juga akan menurun. Di samping kebijakan tersebut, pemerintah sedang berusaha meningkatkan penerimaan pajak yang salah satu sasarannya adalah komoditas pertanian. Berada dalam kondisi serangkaian dukungan yang demikian rendah seperti tersebut di atas, adalah wajar apabila upaya peningkatan produksi dan pencapaian target swasembada sulit diperoleh, dan kebijakan pemerintah yang menjadi sumber masalah kenapa swasembada tidak tercapai dan petani hampir tidak pernah menikmati harga yang layak. Berkaitan dengan resiko banjir impor, akibat tidak pernah mampu mencapai swasembada, maka muncul tekanan eksternal yang lebih besar akibat impor selalu dibutuhkan, dan dalam kondisi perekonomian yang semakin terbuka harga produsen dan konsumen akan memiliki keterkaitan yang semakin tinggi terhadap harga internasional. Berdasarkan hal itu, maka dalam menganalisis banjir impor, faktor eksternal yaitu situasi penawaran dan permintaan dunia dan kondisi internal yaitu situasi dan kondisi internal domestik perlu dianalisis secara bersamaan. Oleh karenanya, penelitian ini memiliki keunggulan dibandingkan penelitian lain sebelumnya, dimana faktor-faktor domestik yang turut menekan dan mendorong terjadinya banjir impor dimasukkan sebagai variabel penelitian. Oleh karena itu, pada kesimpulannya nanti banjir impor yang terjadi sudah mempertimbangkan pengaruh faktor domestik, sehingga tidak terbantahkan. 5.12. Pentingnya Perlindungan Komoditas Beras, Jagung, dan Kedele Indonesia dari Dampak Negatif Liberalisasi Dalam jangka panjang, permintaan komoditas pangan utama yaitu beras, jagung dan kedele di Indonesia mengalami pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan produksi. Dalam periode 1994 - 2009 misalnya, pertumbuhan konsumsi beras mencapai rata-rata 0.75 persen per tahun, jagung 2.67 persen per tahun dan kedele 1.78 persen per tahun, seperti terinci pada Tabel 20. Sementara itu, di sisi lain pertumbuhan produksi hanya mencapai 0.29 persen per tahun untuk beras, 4.89 persen per tahun untuk jagung dan menurun rata-rata 3.14 persen per tahun untuk kedele Tabel 24. Jika dikaitkan dengan data BPS, yang menunjukkan bahwa dalam periode 1994 - 2008, jumlah penduduk Indonesia meningkat rata-rata 1.42 persen per tahun, maka hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa produksi tidak mencukupi kebutuhan konsumsi, sehingga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi diperlukan impor yang semakin meningkat. Tabel 30. Perkembangan Pangsa Volume Impor Indonesia Terhadap Volume Impor Dunia dan Pangsa Volume Impor Terhadap Volume Konsumsi Komoditas Beras, Jagung dan Kedele Indonesia, Tahun 1994 – 2008 Tahun Pangsa Volume Impor Indonesia Terhadap Total Volume Impor Dunia Pangsa Volume Impor Indonesia Terhadap Total Volume Konsumsi Indonesia Beras Jagung Kedele Beras Jagung Kedele 1994 10.59 6.50 2.04 5.25 35.06 31.32 1995 14.29 4.97 1.88 9.69 32.60 38.99 1996 9.71 6.60 2.47 6.45 37.45 54.95 1997 2.20 5.31 1.98 1.23 30.17 11.51 1998 11.56 6.95 1.25 8.60 39.17 22.95 1999 17.16 5.20 2.55 13.71 31.91 35.58 2000 5.95 4.90 2.75 3.94 29.00 37.49 2001 2.78 4.81 2.51 1.86 27.78 34.72 2002 6.69 4.45 2.43 5.07 27.30 65.16 2003 5.84 4.31 2.24 4.76 26.25 63.22 2004 2.67 4.69 2.41 2.02 25.75 68.95 2005 2.94 4.21 2.27 2.11 23.48 84.82 2006 2.12 5.44 2.43 1.66 30.95 74.38 2007 4.88 3.73 2.84 3.92 23.43 69.61 2008 6.32 4.09 2.73 3.59 24.06 64.22 R1 7.05 5.08 2.32 4.92 29.62 53.40 R2 4.92 3.63 6.29 51.74 -1.41 16.36 Keterangan : R1 = Rata-rata periode 1994 – 2008; R1 = Rata-rata peningkatan dalam persen per tahun Sumber : World Bank, FAO, BPS dan Badan Bimas dan Ketahanan Pangan diolah Data Tabel 30, menunjukkan bahwa dalam periode 1994 - 2008, pangsa volume impor beras Indonesia terhadap volume impor dunia meningkat 4.92 persen per tahun untuk beras dengan rata-rata pangsa 7.05 persen per tahun, meningkat 3.63 persen per tahun untuk jagung dengan rata-rata pangsa 5.08 persen per tahun dan meningkat 6.29 persen per tahun untuk kedele dengan rata- rata pangsa 2.32 persen per tahun. Disamping itu, tingkat ketergantungan impor untuk memenuhi konsumsi sangat tinggi untuk beras dan kedele dengan peningkatan rata-rata 51.74 persen per tahun untuk beras dengan rata-rata pangsa 4.92 persen per tahun dan meningkat rata-rata 16.36 persen per tahun untuk kedele dengan rata-rata pangsa 53.40 persen per tahun. Sedangkan pada komoditas jagung mengalami penurunan 1.41 persen per tahun dengan pangsa rata-rata 29.62 persen per tahun. Berdasarkan data Tabel 30, diperoleh gambaran bahwa Pertama, volume impor beras, jagung dan kedele Indonesia menunjukkan tingkat yang mengkhawatirkan. Pangsa Indonesia pada impor komoditas beras, jagung dan kedele dunia cukup besar, dan menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Pada kondisi demikian dapat saja Indonesia berperan untuk mempengaruhi perubahan harga internasional apabila Indonesia memutuskan untuk melakukan impor harga dunia dapat meningkat atau pun jika tidak impor harga dunia dapat menurun. Dalam penelitian ini, diasumsikan bahwa Indonesia adalah negara kecil dengan perekonomian terbuka, sehingga Indonesia merupakan negara penerima harga. Kedua, Indonesia berada pada tingkat ketergantungan impor yang tinggi dan meningkat dari tahun ke tahun. Kondisi ini membahayakan Indonesia apabila secara tiba-tiba terjadi gejolak pada pasar dunia. Pada kondisi dimana tiba-tiba harga dunia meningkat tajam, maka dampaknya akan secara langsung dirasakan di dalam negeri berupa peningkatan harga impor, peningkatan harga konsumen namun belum tentu disertai peningkatan harga produsen sama besarannya dengan perubahan harga impor dan harga konsumen. Seperti telah diuraikan dimuka bahwa peran pedagang importir, pedagang pengecer, distributor, pedagang pengumpul dan pedagang pengolah sangat besar dalam mempengaruhi perubahan harga yang ditunjukan oleh data-data pada Tabel 13, Tabel 18 dan Tabel 22. Sementara itu, Tabel-tabel seperti Tabel 9, Tabel 10, Tabel 11, Tabel 12, Tabel 14, Tabel 15, Tabel 16, Tabel 17, Tabel 19, dan Tabe1 23 menunjukkan bahwa pada kondisi tiba-tiba penawaran dunia meningkat dan harga dunia menurun, maka dampaknya berupa meningkatnya volume impor menurunnya harga impor, menurunnya harga konsumen dan menurunnya harga produsen, sehingga resiko terjadinya banjir impor di Indonesia meningkat. Ketiga, tingkat resiko kerawanan Indonesia dari segi ketahanan pangan dan kemandirian pangan meningkat. Tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap pasokan dari impor menempatkan Indonesia pada situasi yang sangat rawan, baik dari segi ketahanan pangan maupun kemandirian pangan. Setelah AoA WTO mulai di implementasikan, harga komoditas pertanian menunjukkan kecenderungan yang menurun dan disertai dengan meningkatnya volume impor pangan secara mendadak atau banjir impor di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia meningkat. Kejadian banjir impor di negara-negara berkembang Tabel 2 menunjukkan bukti bahwa mekanisme perlindungan SSG yang terdapat pada AoA WTO tidak efektif untuk melindungi dan mencegah dampak negatif liberalisasi perdagangan. Keempat, negara berkembang termasuk Indonesia dipaksa menurunkan tarif dan membuka pasar, sementara negara maju meningkatkan subsidi dan proteksi. Keharusan menurunkan tarif dan membuka pasar atau meningkatkan akses pasar market access merupakan sumber penyebab perubahan harga dunia ditransaksikan ke pasar konsumen maupun petani produsen di seluruh negara- negara anggota WTO. Para petani dan produsen di negara-negara maju memiliki kemampuan bertahan menghadapi penurunan harga dalam jangka waktu yang panjang karena mereka memperoleh subsidi dan proteksi yang amat besar. Sementara itu, petani di negara-negara sedang berkembang pada umumnya termasuk Indonesia tidak memperoleh subsidi dan memiliki proteksi sangat kecil. Pada kasus Indonesia, seperti telah diuraikan dimuka bahwa disamping penurunan tarif juga dilakukan penghapusan subsidi, walaupun akhirnya disadari bahwa subsidi sangat diperlukan sehingga secara bertahap ditambah untuk subsidi pupuk, namun subsidi BBM tetap dikurangi. Nilai Producer Support Estimate PSE dapat dipakai sebagai indikator yang menunjukkan besaran subsidi dan proteksi atau dukungan yang diberikan suatu negara kepada produsennya dalam menghasilkan suatu komoditas. Makin besar nilai PSE menunjukkan bahwa subsidi dan perlindungan kepada produsen juga semakin besar. Berdasarkan data pada Tabel 31, dapat dilihat bahwa negara- negara maju yang tergabung dalam OECD memberikan subsidi dan proteksi kepada para produsen beras di negaranya rata-rata 80.77 persen pada tahun 1986 hingga 1988, sedikit menurun menjadi 79.80 pada tahun 1986 - 1994 sebelum berlakunya perjanjian AoA WTO. Sementara itu, setelah perjanjian WTO dalam periode 1995 - 2004, rata-rata subsidi adalah 77.49 persen dan jika dibagi dua periode yaitu sebelum DDA 1995 - 2001 dan sesudah DDA 2002 - 2004 nilai masing-masing subsidi dan proteksinya adalah 77.97 persen dan 77.36 persen. Berdasarkan contoh beberapa negara maju, seperti Australia misalnya, telah menurukan subsidinya menjadi 5.59 persen pada periode 1995 - 2004, jika diperhatikan subsidi ditingkatkan dari 5.46 persen pada periode 1995 - 2001 menjadi 5.87 persen pada periode 2002 - 2004. Negara-negara Uni Eropa menurunkan subsidinya dalam rangka penerapan perjanjian WTO dari rata-rata 60.63 persen sebelum AoA diterapkan, menjadi 30.59 persen setalah AoA WTO diterapkan, namun jika diperhatikan subsidi ditingkatkan pada periode 2002 - 2004 menjadi rata-rata 35.17 persen. Hal yang sama juga dilakukan oleh USA, sementara Jepang hampir tidak pernah menurunkan proteksi. Bahkan dalam periode 2002 - 2004, subsidi dan proteksi justru meningkat dan kesepakatan AoA WTO tidak dipenuhi. Fenomena bahwa negara-negara maju tidak mematuhi AoA dan meningkatkan subsidi dan proteksinya juga terjadi pada komoditas jagung dan kedele termasuk salah satu jenis oils seeds. Disamping fenomena tersebut, data pada Tabel 31 juga menunjukkan bahwa pendapatan petani padi, jagung dan kedele pada negara anggota OECD dan negara maju adalah berasal dari dukungan pemerintah dan dengan kemampuan subsidi yang besar. Berdasarkan besarnya kemampuan subsidi tersebut, ditambah dengan tingkat efisiensi teknologi yang tinggi, pemilikan dan penguasaan lahan produsen yang luas, dukungan subsidi ekspor dan kredit ekspor yang memadai serta kondisi infrastruktur baik kebijakan maupun fisik yang lebih kondusif, maka negara-negara maju memiliki surplus beras, jagung dan kedele yang tinggi dan diekspor dengan harga yang relatif murah pasar dunia. Kondisi inilah yang mengancam negara-negara berkembang termasuk Indonesia, yang telah menurunkan tarif, mencabut subsidi dan menghapus monopoli impor BULOG sejak tahun 1998. Pada periode sebelum 1998, memiliki peran stabilisasi, namun sejak 1998 hingga sekarang BULOG tidak lagi memiliki kemampuan seperti masa sebelumnya. Tabel 31. Besarnya Nilai Producer Support Estimate Komoditas Beras, Jagung, dan Biji Berlemak atau Oils Seeds di Negara-negara OECD dan Beberapa Negara Terpilih Lainnya, Tahun 1986 - 2004 Komoditas Negara Referensi Dasar Kesepakatan AoA Kesepakatan DDA Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah 1986- 1988 1986- 1994 1995 - 2004 1995- 2001 2002- 2004 Beras Australia 16.90 9.79 5.59 5.46 5.87 European Union 59.54 60.63 30.59 28.63 35.17 Japan 83.74 82.20 83.80 83.95 83.43 Mexico 3 10.70 -8.93 19.84 15.44 30.13 United States 51.74 45.14 29.59 28.18 32.88 OECD 4 80.77 79.80 77.49 77.97 76.36 Jagung Canada 24.49 19.49 12.14 11.01 14.76 European Union 2 53.02 49.27 38.52 38.41 38.79 Hungary 1 2.24 6.29 -15.68 -22.36 -6.75 Mexico 3 45.63 37.43 28.87 26.39 34.67 New Zealand 1.65 1.09 0.17 0.18 0.14 Poland 1 28.20 26.40 13.65 14.70 9.41 Slovak Republic 1 29.32 32.79 -4.53 -2.21 -11.95 Switzerland 80.39 76.28 66.79 66.81 66.76 Turkey 20.91 26.44 29.90 28.97 32.07 United States 38.39 25.60 21.38 21.99 19.95 OECD 4 39.79 31.33 24.83 24.75 25.02 Biji Berlemak oil seeds Australia 5.13 4.76 3.13 3.03 3.37 Canada 25.59 20.91 12.02 10.95 14.53 Czech Republic 1 15.77 25.25 -14.09 -18.66 4.24 European Union 2 58.61 58.79 44.01 47.22 36.52 Hungary 1 -36.78 -5.72 -3.73 -6.93 5.47 Japan 74.56 49.94 46.38 41.71 57.28 Mexico 3 19.68 19.45 33.67 27.42 48.25 Poland 1 8.54 15.54 15.37 15.96 13.05 Slovak Republic 1 11.86 24.90 -5.69 -5.44 -8.43 Switzerland 84.97 84.62 83.40 83.05 84.20 Turkey 19.63 24.91 30.88 35.61 19.85 United States 7.70 7.09 16.31 15.50 18.18 OECD 4 26.49 26.34 23.36 23.71 22.56 Keterangan : 1. For the Czech Republic, Hungary, Poland and the Slovak Republic, 1986-88 is replaced by 1991-93 and 2002-04 by 2001-03.; 2. EU-12 for 1986-94 including ex-GDR from 1990; EU-15 for 1995-2003; EU-25 from 2004. The value of transfers to producers PSE; in the EU-15 for 2004 is estimated to be EUR 100 263 million USD 124 192 million.; 3. For Mexico, 1986-88 is replaced by 1991-93.; 4. Austria, Finland and Sweden are included in the OECD total for all years and in the EU from 1995. The OECD total does not include the six non-OECD EU member states. Sumber : OECD, PSECSE database 2005 diolah Berada pada kondisi tarif impor yang rendah Tabel 13 dan seringnya pemerintah melakukan penghapusan bea masuk, bea masuk tambahan, pajak penghasilan, dan pajak pertambahan nilai atas barang impor khususnya bahan pangan berupa beras, jagung, dan kedele khususnya dan umumnya kebutuhan pokok dengan pertimbangan stabilisasi harga, maka dapat dipastikan resiko banjir impor terhadap komoditas beras, jagung, dan kedele juga meningkat. Terlebih lagi upaya peningkatan produksi dalam negeri dalam upaya meningkatkan pemenuhan konsumsi dan menekan volume impor banyak menghadapi kendala. Tabel 32. Persentase Perubahan Rata-rata Peranan Komoditas Beras, Jagung, dan Kedele Terhadap Perekonomian Indonesia, Tahun 2005 – 2009 Dibandingkan Tahun 1995 – 2004 Jenis Peranan Persentase Perubahan Tahun 2005 –2009 dibandingkan Tahun 1995-2004 Beras Jagung Kedele Terhadap Total PDB Pertanian 0.46 2.73 0.11 Dalam Penyerapan Tenaga Kerja Pertanian 0.27 3.89 0.93 Terhadap Total Areal Pertanian -3.67 -1.52 -1.28 Unit Usaha Mikro, Kecil dan Rumah Tangga 2.09 4.28 7.91 Produksi Terhadap Pemenuhan Konsumsi Pangan 0.49 -6.88 -22.99 Tingkat Partisipasi Konsumsi Penduduk -2.36 17.89 4.41 Pemenuhan Konsumsi Kalori -3.04 0.04 -0.26 Pemenuhan Konsumsi Protein -24.58 -0.59 -4.17 Tingkat Ketergantungan Impor -1.74 6.88 22.99 Sumber : Tabel 3 dan Hutabarat et al., 2005 diolah Tabel 32 menggambarkan kondisi perlindungan terhadap komoditas beras, jagung dan kedele dari sisi perdagangan internasional dan peningkatan semakin dibutuhkan. Dibandingkan dengan rata-rata kondisi 1995 – 2004, pada periode 2005 – 2009 menunjukan Pertama bahwa kontribusi beras, jagung, dan kedele terhadap nilai tambah PDB sektor pertanian semakin meningkat sekalipun relatif kecil. Kedua, bahwa kemampuan beras, jagung, dan kedele untuk menampung tenaga kerja dan memberikan lapangan kerja untuk mengurangi pengangguran juga meningkat. Jumlah tenaga kerja yang bekerja pada ketiga ini semakin meningkat dari tahun ke tahun. Ketiga, daya saing ketiga komoditas ini dibandingkan dengan komoditas lainnya dalam sektor petanian semakin menurun, yang ditunjukkan penurunan kontribusi areal ketiga komoditas ini dibandingkan total komoditas yang berada dalam sektor pertanian. Keempat, bahwa jumlah rumah tangga yang mengusahakan komoditas ini semakin meningkat, dengan skala usaha yang semakin menurun. Hal ini berarti bahwa skala pengusahaan per rumah tangga semakin sempit. Kelima, bahwa konsumsi per kapita beras menurun, sedangkan konsumsi per kapita jagung dan kedele meningkat cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi beras sebagai karbohidrat utama dapat digantikan komoditas lain. Namun demikian sayangnya bukan dari jagung atau kedele, karena sumbangan kalori dan protein ketiga komoditas ini juga menurun. Penelitian ini tidak mengamati perubahan komoditas lain, sebagai sumber karbohidrat lain kecuali yang diproduksi di dalam negeri. Namun demikian dapat diduga sumber karbohidrat yang menggantikan beras bukanlah dari komoditas yang produksi dalam negeri, karena sumbangan komoditas tanaman pangan lainnya yang diproduksi dalam negeri misalnya kacang tanah, ubi kayu dan tanaman pangan lainnya juga menurun. Keenam, produksi tidak mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri. Tingkat ketergantungan impor beras menurun, akan tetapi untuk komoditas jagung dan kedele tetap meningkat tajam. Pada kondisi beras sebagai sumber karbohidrat dengan konsumsi per kapita yang menurun ternyata digantikan oleh bukan dari produksi dalam negeri, maka tingkat ketergantungan terhadap impor sebenarnya tidak menurun dan hanya beralih dari komoditas beras ke komoditas substitusi beras. Sebagai komoditas substitusi, apabila komoditas tersebut tiba-tiba impornya melonjak, juga akan mempengaruhi komoditas beras. Oleh karena itu, dalam lima tahun terakhir 2005 – 2009 dari sisi kepentingan nasional, kondisi perdagangan komoditas dan resiko terhadap banjir impor meningkat, dan demikian juga kerawanan pangan juga meningkat, sementara kemandirian pangan menurun dan disertai dengan kondisi dan situasi kemampuan yang dimiliki Indonesia justru juga menurun. Mengingat pentingnya peranan komoditas beras, jagung, dan kedele terhadap perekonomian, dan dihadapkan pada kondisi dan situasi dalam negeri dengan segala keterbatasannya, serta ditambah dengan adanya ancaman dampak negatif liberalisasi perdagangan, maka sebagai anggota WTO, berjuang menciptakan kesepakatan yang lebih menguntungkan dan memberikan perlindungan terhadap komoditas beras, jagung, dan kedele khususnya dan komoditas pangan utama dan pertanian umumnya adalah sangat penting. Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat hal-hal yang penting untuk diperhatikan adalah Pertama, upaya untuk memanfaatkan setiap fasilitas yang diberikan kepada negara berkembang seperti SSM, SP dan mekanisme perlakuan khusus lainnya perlu terus dilakukan. Kedua, menggalang kerjasama dengan negara- negara berkembang lainnya untuk menyeimbangkan kekuatan di meja perundingan antara negara maju dan berkembang perlu terus ditingkatkan. Indonesia perlu menggalang kerjasama dan kekuatan bersama G-33 yang anggotanya sudah mencapai 50 negara hingga Juli 2008, agar negara-negara maju tidak semena-semena seperti yang terjadi pada hasil perundingan sebelumnya. Kesempatan perundingan masih terbuka, perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya. Ketiga, meningkatkan perlindungan dan dukungan pengembangan komoditas dalam negeri. Dalam kenyataannya subsidi dan proteksi negara maju meningkat setelah penerapan AoA WTO. Sementara, Indonesia melakukan hal yang sebaliknya. Mengacu pada analisis periode 1994 - 2009, maka apapun dan bagaimanapun kondisinya, pada masa yang akan datang, dukungan dan perlindungan terhadap komoditas pertanian dan pangan dalam negeri perlu ditingkatkan. Keempat, memberikan perlakuan yang sama pada setiap jenis perundingan perdagangan baik yang bersifat multilateral dan regional atau WTO, ASEAN, APEC dan lainnya, maupun yang bersifat bilateral atau antar negara. Apabila tidak demikian, maka upaya negoisiasi di WTO dapat dikatakan sia-sia. Sebagai contoh adalah bagaimana komitmen perjanjian perdagangan China - ASEAN Free Trade Area CAFTA menjadi bumerang bagi Indonesia. Banjir impor produk dari China terjadi, tetapi Indonesia tidak dapat berbuat apa-apa. Kelima, negara-negara maju dan negara mitra dagang Indonesia menggunakan senjata pinjaman, investasi, IMF, World Bank maupun lembaga donor lainnya menggunakan senjata itu untuk memenangkan perundingan. Renegoisasi CAFTA pun gagal karena Indonesia diiming-imingi dengan pinjaman dan investasi. Demikian juga, perundingan dengan Jepang, Australia, India dan Korea. Apalagi dalam perundingan dengan UE dan USA, dan juga perundingan dalam forum WTO. Jika tidak berhasil menekan pada meja perundingan, maka mereka mengirim delegasi langsung ke negara bersangkutan. Nilai nominal pinjaman atau utang luar negeri Indonesia dalam periode 2005 - 2009 adalah sama besarnya dengan sekitar seperempat hingga sepertiga dari nilai pinjaman luar negeri Indonesia selama 33 tahun masa orde baru. Adalah wajar sejak KTM VI di Hongkong Desember 2005, Indonesia tidak memiliki kekuatan untuk diperhitungkan. Pada pada masa perundingan lima tahun sebelumnya kekuatan Indonesia bersama Brasil diperhitungkan dan Direktur Jenderal WTO sampai datang ke Indonesia untuk melunakkan sikap Indonesia. Belajar dari pengalaman ini, dan bintang perundingan beralih ke China dan India pada perundingan 14 - 21 Juli 2008, maka Indonesia harus menjaga sikap dan integritasnya apabila ingin membela kepentingan bangsa dan negara. Indonesia yang dalam lima tahun terakhir senantiasa menempuh kebijakan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional APBN dan mengupayakan kebijakan defisit APBN tersebut ditutup dari pinjaman luar negeri dan investasi asing semakin dipandang sebelah mata dalam forum-forum perundingan internasional. Kebijakan defisit APBN sama saja menyerahkan perundingan dan urusan negara kepada pihak asing. Keenam, perlindungan SSM yang dikaji dalam penelitian ini sekalipun bagian terkecil dari urusan nasional berkaitan dengan perdagangan internasional dan nasib bangsa ke depan. Oleh karena itu, adalah penting untuk menempatkan SSM sebagai bagian penting untuk dijadikan perhatian bagi seluruh masyarakat Indonesia dan mengupayakan agar mendapatkan dukungan seluruh pihak terkait. Ketujuh, berdasarkan pengalaman masa lalu, hasil-hasil perundingan dan penerapannya tidak pernah tersosialisasikan dan teradvokasikan dengan baik kepada seluruh masyakat Indonesia yang akan menerima dampak. Oleh karena itu mempersiapkan masyarakat untuk menerima segala kemungkinan yang terjadi adalah penting, agar pada saat penerapannya nanti tidak menimbulkan guncangan atau gejolak yang menimbulkan kerawanan sosial, ekonomi dan politik, mengingat beras, jagung dan kedele merupakan tiga komoditas yang bernilai politis dan strategis bagi bangsa Indonesia. Kedelapan, Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki pelabuhan yang banyak. Sementara itu konsumen menyebar di seluruh wilayah Indonesia, sedangkan sentra produksi berpusat pada wilayah tertentu. Disamping itu, perundingan SSM mebutuhkan waktu lama, sementara upaya untuk melindungi diri dari banjir impor tidak bisa ditunda. Dalam rangka melokalisir dampak terhadap produsen, sementara kebutuhan konsumsi perlu tetap terpenuhi, maka Indonesia perlu menerapkan strategi pengaturan waktu impor dan pelabuhan masuk impor pada lokasi yang memiliki kebutuhan konsumsi lebih besar jika dibandingkan dengan kemampuan produksinya. Kebijakan ini juga perlu disertai peningkatan produksi, peningkatan kapasitas dan kualitas infrastruktur, pemberdayaan produsen, dan peningkatan produksi pada wilayah-wilayah yang selama ini memerlukan tambahan pasokan komoditas untuk memenuhi konsumsi.

VI. ANALISIS BANJIR IMPOR KOMODITAS BERAS, JAGUNG, DAN KEDELE INDONESIA, SERTA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

6.1. Hasil Analisis Proses Penyiapan Data

6.1.1. Uji Stasioneritas Data

Hasil uji stasioneritas data dengan menggunakan ADF test berdasarkan Schwarz Information Criterion SC pada maximum lag 13, disajikan pada Tabel 33. Dalam uji ini, jika nilai t-ADF lebih kecil daripada nilai kritis MacKinnon 1996 maka dapat disimpulkan data yang gunakan tidak mengandung akar unit stasioner. Pengujian kestasioneran data dilakukan pada tingkat level baik menggunakan intercept, intercept and trend maupun tanpa intercept dan tanpa intercept and trend none pada taraf nyata 1 persen, 5 persen dan 10 persen. Berdasarkan hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa data untuk masing-masing komoditas stasioner di tingkat level karena nilai t-ADF banyak variabel lebih besar daripada nilai kritis Mackinnon. Hal ini berarti bahwa data yang digunakan pada penelitian ini terintegrasi pada ordo 0 atau dapat disingkat menjadi I0.

6.1.2. Penentuan Selang Optimal

Penggunaan selang lag optimal sangat penting dalam pendekatan VAR karena lag dari variabel endogen dalam sistem persamaan akan digunakan sebagai variabel eksogen. Pengujian panjang lag optimal ini sangat berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR. Sehingga dengan digunakannya lag optimal diharapkan tidak lagi muncul masalah autokorelasi.