shock yang diidentifikasi melalui inflasi harga minyak oil price. Kedua,
gejolak dari sisi permintaan demand shock yang diidentifikasi dengan menggunakan proksi output gap yang dihitung dari selisih output riil dengan
output potensial ditambah gejolak dari sisi penawaran. Ketiga, gejolak dari sisi
kurs yang diidentifikasi melalui perubahan pergerakan kurs ditambah guncangan sisi permintaan dan penawaran. Selanjutnya menurut McCarthy 2000, efek
tidak langsung yang diakibatkan oleh perubahan nilai tukar ditransmisikan melalui Producer Price Index PPI. Sementara itu, hasil penelitian Sato et al.
2005 menemukan bahwa efek tidak langsung yang ditimbulkan oleh perubahan kurs melalui gejolak sisi permintaan dan sisi penawaran. Analisis dari sisi
permintaan mengindikasikan bahwa peningkatan pendapatan eksportir dalam negeri akan meningkatkan permintaan mereka terhadap barang dan jasa.
Kemudian dari sisi penawaran adalah peningkatan harga bahan baku intermediate input yang memiliki komponen impor yang pada selanjutnya akan
meningkatkan biaya produksi perusahaan. Hyder dan Shah 2004 juga menemukan bahwa di Pakistan efek tidak langsung yang bersumber dari
peningkatan harga bahan baku pada akhirnya akan meningkatkan harga barang ekspor sehingga ekspor menjadi tidak murah lagi ketika terjadi depresiasi mata
uang Pakistan Pak Rupee.
2.4. Review Hasil Penelitian Sebelumnya
Hasil penelitian FAO 2005 memperlihatkan telah terjadi banjir impor produk pertanian di negara berkembang. Dalam periode 1984-2000 misalnya,
telah terjadi peristiwa banjir yang cukup beragam dan terjadi dibanyak negara berkembang baik di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. FAO 2005 melaporkan
bahwa dalam periode itu, ada sepertiga produk pertanian negara berkembang yang terkena banjir impor. Produk yang paling sering terkena banjir impor dengan
angka frekuensi banyak adalah beberapa jenis daging dan minyak sayur. Pengalaman banjir impor di sejumlah negara berkembang juga telah banyak
diperlihatkan hasil penelitian Oxfarm International 2002 dan 2002a dan Action Aid 2002. Sebagai contohnya adalah Jamaica kebanjiran daging ayam, Kenya
kebanjiran produk susu dairy product, Sinegal terkena banjir pasta tomat dan Haiti kebanjiran beras. Negara yang paling sering mengalami banjir impor adalah
Nigeria, Malawi dan Philipina. Berdasarkan hasil penelitian FAO 2005, dalam periode implementasi
AoA tahun 1995-2004, hanya 22 negara atau 56 persen jumlah negara berkembang dari total 139 negara anggota WTO yang mendapatkan perlakuan
SSG dan hanya 6 negara atau 22 persen yang memperoleh hak SSG yang telah menggunakannya sebagai alat perlindungan. Sejumlah 22 negara berkembang
tersebut, mempunyai hak atas 2 125 pos tarif atau hanya 35 persen dari total sebanyak 6 156 pos tarif yang didaftarkan di WTO. Dengan demikian, negara-
negara maju mempunyai hak atas 4 031 pos tarif, atau 65 persen dari total pos tarif yang terdaftar di WTO. FAO 2005 juga melaporkan bahwa dari jumlah
163 pos tarif yang diperoleh negara berkembang, ternyata hanya 1 persen saja yang telah dimanfaatkan. Pada umumnya, negara berkembang mendaftarkan SSG
untuk kelompok komoditas atau produk daging, serealia dan susu. Selain itu, secara individu negara yang memanfaatkan SSG juga kecil, dapat dilihat dari
tingkat pemanfaatannya. Sebagai contohnya Korea Selatan hanya memiliki tingkat pemanfaatan SSG sebanyak 7 persen, Nikaragua hanya 2.4 persen, Costa
Rica hanya 1 persen, dan Philipina hanya 0.8 persen. Dalam hal pemanfaatan batasan pemicu volume atau harga, jika China Taiwan dikeluarkan dari
perhitungan, maka negara berkembang paling banyak menggunakan price triggers dibandingkan dengan volume trigger. Dari 163 triggers yang digunakan, maka 80
persen triggers tersebut adalah dalam bentuk price trigger SSG. Hasil penelitian FAO 2005, juga menyebutkan bahwa penggunaan SSG, pasti akan terkait
dengan sejumlah beban seperti biaya pembuktian dan beban biaya administrasi. Oleh karena itu, ada banyak alasan mengapa pemanfaatan SSG begitu rendah oleh
negara berkembang. Padahal SSG adalah satu-satunya instrumen perlindungan sementara yang amat diperlukan oleh negara berkembang. Ditemukan dua jenis
kendala dalam penerapan SSG. Pertama, SSG tidaklah cukup sederhana dan kurang fleksibel dalam penerapannya. Kedua, adalah tarif yang dicatat bound
cukup tinggi, namun penerapannya applied tariff harus rendah. Hal itu
terkendala oleh beberapa faktor yang salah satunya adalah persyaratan hutang luar
negeri, seperti yang terjadi di Ghana dan Indonesia FAO, 2005.
Kesulitan penerapan SSG telah dialami oleh banyak negara berkembang,
sebagai contohnya adalah Kenya yang ingin menerapkan mekanisme perlindungan SSG untuk komoditas gula pada tahun 2003, setelah pada tahun
2001 terjadi kebanjiran impor gula. Kenya mengalami kesulitan menyediakan data yang akurat mengenai asal produk impor tersebut secara rinci Action Aid,
2005. Akhirnya, Kenya tidak mampu menggunakan instrumen ini untuk melindungi industri gula serta industri lain yang terkait dengannya. Akibatnya,
terjadi kehancuran industri gula dan industri lain yang terkait dengannya dan
berpengaruh buruk terhadap pembangunan ekonomi, penanggulangan kemiskinan serta penciptaan lapangan kerja.
Indonesia memperoleh SSG untuk dua komoditas susu atau mentega dan cengkeh dengan jumlah 13 pos tarif. Namun sejak didaftarkan di WTO pada
tahun 1994, Indonesia tidak pernah menggunakannya sebagai alat perlindungan sementara. Disamping menghadapi kendala seperti yang telah disebutkan di atas,
yang tidak kalah pentingnya adalah kebutuhan perlindungan pada saat sekarang, ternyata berbeda dengan apa yang dipikirkan pada 1994. Industri peternakan
ayam, gula, kedelai, beras Indonesia hampir mengalami kehancuran collapse, karena serbuan produk impor, dimana harga produk impor relatif sangat lebih
murah jika dibandingkan dengan produk dalam negeri. Masalah seperti ini belum pernah terbayangkan pada waktu Indonesia mengusulkan SSG di Puturan
Uruguay. Berdasarkan hasil penelitian FAO 2005, SSG memiliki setidaknya empat
kelemahan. Pertama, tidak semua negara berkembang mendapatkan hak yang sama. Kedua, justru negara maju yang paling banyak memperoleh fasilitas SSG,
padahal negara maju tidak menghadapi masalah sisi penawaran dan seharusnya
tidak memerlukan SSG. Ketiga, adalah bahwa produk-produk yang didaftarkan pada masa lalu berbeda dengan kebutuhan sekarang. Keempat, peraturan dalam
SSG tidak cukup fleksibel untuk negara berkembang. Ketentuan dalam AoS, maupun dalam AoA pasal 5 tidaklah mudah bagi negara berkembang, terutama
untuk membuktikan adanya “injury” yang terjadi atas industri primer yang dihasilkan oleh jutaan orang atau perusahaan yang sangat heterogen. Pembuktian
terjadinya injury tentu akan memerlukan waktu yang lama dan biaya yang mahal,
sehingga menyulitkan negara berkembang untuk melindungi diri dari perlakuan yang tidak fair. Banyak negara-negara berkembang yang tidak dapat
memanfaatkan SSG yang diperolehnya. Berdasarkan hal ini, maka SSG tidak pernah efektif untuk dapat digunakan dan memberikan perlindungan bagi negara-
negara anggota WTO yang mengalami kejadian banjir impor. Penelitian mengenai SSM bagi Indonesia masih sangat terbatas dan hingga
saat ini baru ditemukan dua sumber pernah mencoba melakukan pengkajian yaitu Hutabarat dan Rahmanto 2004 yang mengkaji secara teoritis dan Sawit et al.
2006 yang menggunakan pendekatan MA. Hutabarat dan Rahmanto 2004 mengemukakan penekanan agar Indonesia tidak kehilangan kesempatan untuk
sewaktu-waktu ingin melindungi pasar domestik dari lonjakan volume impor yang dapat menyebabkan terjadinya banjir impor dan penurunan harga impor secara
tiba-tiba. Indonesia berkewajiban membuat suatu kerangka untuk mewujudkan SSM tersebut dan juga perlu menyusun bahan rumusan rekomendasi kebijakan
yang diperlukan untuk penerapan isi kerangka SSM tersebut. Kerangka SSM yang diusulkan oleh Hutabarat dan Rahmanto 2004 memiliki enam persyaratan.
Pertama, SSM diberlakukan tidak hanya terbatas pada keadaan, jenis dan jumlah produk tertentu. Kedua, mekanisme harus sederhana dan efektif, yang dapat
digunakan untuk semua produk pertanian yang mungkin akan terpengaruh oleh
melonjaknya volume impor dan menurunnya harga. Ketiga, penerapannya tidak membutuhkan pembuktian korban kerugian. Keempat, penerapannya tidak
menuntut harus ada imbalan pada pihak korban. Kelima, penggunaanya bersifat
tetap dan tidak hanya dibatasi selama terjadi proses perubahan seperti pada SSG.
Keenam, alat yang dipakai dalam penerapan SSM dapat berupa tarif bea masuk
yang tinggi atau pembatasan jumlah atau volume impor. Dari segi mekanisme Hutabarat dan Rahmanto 2004 mengusulkan empat
hal penting. Pertama, pemicu trigger yang digunakan dapat berupa
peningkatan jumlah impor dan atau penurunan harga yang tiba-tiba. Penentuannya dilakukan dengan penetapan volume dan atau harga acuan terlebih dahulu dengan
metode sederhana regresi trend dan MA dalam suatu kurun waktu tertentu.
Kedua, harga acuan atau referensi yang dipakai adalah harga CIF dalam dolar AS
Amerika Serikat atau mata uang lain yang umumnya dipakai dalam perdagangan
komoditas bersangkutan. Ketiga, apabila volume impor berada di atas nilai trend-
nya atau harga berada di bawah nilai trend-nya, maka salah satu kasus berikut ini dapat dipilih: i Bea masuk tambahan surcharge diberlakukan pada impor
komoditas yang bersangkutan dan besarnya bea masuk tambahan ditetapkan paling tinggi sebesar 50 persen dari tarif yang berlaku atau ii Besarnya volume
yang dapat di impor paling tinggi sebesar 50 persen dari rata-rata volume impor
selama tiga periode di atas nilai trend volume impor. Keempat, apabila volume
impor berada di bawah nilai trend-nya atau harga berada di atas nilai trend-nya, maka bea masuk tambahan atau pembatasan impor tidak perlu diberlakukan.
Sesuai dengan kerangka SSM dan proposal G-33, Sawit et al. 2006 menggunakan metode MA tiga tahunan sebagai volume trigger, maka Indonesia
mengalami kejadian banjir impor untuk beras empat kali, jagung dan kedele masing-masing tiga kali. Komoditas beras merupakan komoditas yang paling
sering terkena serbuan impor dengan lonjakan impor yang paling tinggi untuk beras pernah mencapai 84 persen, jagung 72 persen dan kedele 39 persen. Pada
metode MA lima tahunan, frekuensi banjir impor untuk komoditas untuk jagung empat kali dan kedele lima kali dan beras tidak pernah terjadi. Beras tidak
mengalami banjir impor, padahal diketahui bahwa impor beras begitu besar dalam periode krisis 1998 dan 1999, masing-masing mencapai 2.9 juta ton dan 4.8 juta
ton. Padahal tahun-tahun sebelumnya hanya sekitar 1 hingga 1.5 juta ton per tahun. Kejadian itu tidak terekam dalam MA lima tahunan yang tinggi awal
periode, namun setelah itu volume impor menurun, sehingga serbuan impor tidak terdeteksi. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa semakin pendek perhitungan,
maka akan lebih terlihat serbuan impornya, apalagi bila impor pada tahun-tahun awalnya amat tinggi. Oleh karena itu, adalah akan lebih tepat menggunakan MA
periode tiga tahunan tahunan sebagai tahun dasar untuk menentukan serbuan impor, daripada MA periode lima tahunan. Menurut Sawit et al. 2006, dalam
priode 1996 - 2005, dengan metode MA 36 bulanan, terlihat komoditas yang paling sering terjadi jatuhnya harga adalah jagung 55 kali, kemudian diikuti
beras 45 kali, dan kedele 13 kali. Sesuai dengan aturan yang berlaku, tambahan tarif tersebut paling tinggi sebesar jatuhnya harga dan tidak boleh
melebihi dari tingkatan itu. Bagi komoditas beras, kejatuhan harga paling tinggi 38 persen sehingga tambahan tarif SSM menjadi paling tinggi 38 persen. Pada
saat harga jatuh hanya 5.9 persen, maka tambahan tarif SSM untuk beras paling tinggi 5.9 persen.
Dalam proposal kelompok G-33 tentang SSM, disebutkan bahwa semua negara berkembang dan semua produk atau komoditas pertanian negara
berkembang berhak mendapatkan perlindungan sementara SSM. Sawit et al. 2006 berpendapat proposal G-33 tentang SSM berlaku untuk semua jenis
komoditas, tampaknya akan sulit berhasil. Hal ini kemungkinan terjadi karena banyak negara, terutama negara maju seperti AS, Cairn Group, UE belum setuju
dengan proposal tersebut di atas. Selama ini, catatan penting yang telah berhasil diperjuangkan adalah semua negara berkembang memperoleh perlindungan
sementara SSM. Selanjutnya menurut Sawit et al. 2006, kalau jumlah SSM itu akan dibatasi, maka untuk Indonesia perlu menentukan prioritas yang perlu dipilih
sebagai produk calon SSM. Ada tiga pilihan yang dapat diusulkan. Pertama,
semua produk strategis yang ditetapkan dalam Rencana Strategis Pembangunan Pertanian yang jumlahnya 36 komoditas termasuk tambahan satu komoditas yaitu
susu dan olahannya memperoleh perlakuan SSM. Kedua, jika hal itu terlalu
banyak, maka produk SSM dapat dikurangi, menjadi seperti produk yang tertuang dalam produk strategis pemerintah sesuai dengan Program Revitalisasi
Pembangunan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan yang jumlahnya 17 komoditas
termasuk tambahan satu komoditas yaitu susu dan olahannya. Ketiga, apabila
kedua pilihan di atas tidak berhasil, maka paling rendah adalah memperjuangkan semua produk yang ditetapkan sebagai Strategic Product SP yang mendapatkan
perlakuan SSM. Dalam kaitannya dengan products coverage, Sawit et al. 2006 berpendapat bahwa perlindungan SSM diberikan pada peningkatan tingkat tarif
SSM sebagai remedy SSM, bukan dalam bentuk quantitative restriction. Produk yang telah diikat dalam bound tariff pada tingkat yang tinggi, maka dengan
sendirinya telah terlindungi, demikian juga sebaliknya. Perhatian pemilihan produk SSM adalah produk memiliki tingkat bound tariff yang rendah. Indonesia
memiliki sejumlah produk yang berada pada tingkat bound tariff yang rendah di
bawah 10 persen sebagai contohnya adalah corn flour 9 persen dan rice flour 9 persen.
III. KERANGKA PEMIKIRAN