commit to user
Gagasan utama pada artikel ini terletak di awal tulisan dimana penulis memaparkan mengenai kelambanan dan kebebalan dari sistem birokrasi
pemerintah.
c. Semantik
Elemen semantik terdiri dari latar, detail, maksud. Latar yang digunakan adalah mengenai sistem birokrasi pemerintah yang mengalami persoalan-
persoalan mendasar pada tubuhnya sendiri. Berikut kutipannya : “Pemerintah seperti tak punya pengetahuan apa pun terhadap manajemen
penanggulangan bencana. Perangkat yang ada berupa ilmu pengetahuan, sistem hukum, administrasi negara, adanya visi tata mekanisme
penyelenggaraan negara seperti sia-sia. Temuan itu jadi refleksi dasar betapa sistem yang dioperasikan untuk menyelenggarakan tata
pemerintahan mengalami persoalan-persoalan dasar.
Jelasnya, tidak ada perawatan yang kontinu terhadap mekanisme birokrasi yang sudah terbangun. Birokrasi jadi sistem yang gemuk, lamban, dan
tidak tanggap. Jika melihat filsafat birokrasi sejak awal, sebetulnya sistem birokrasi diciptakan atas nama rasionalitas pekerjaan yang kian besar dan
tidak stabil.”
Melalui latar di atas penulis ingin menegaskan, bahwa perangkat
pemerintah yang berupa ilmu pengetahuan, sistem hukum, administrasi negara, adanya visi tata mekanisme penyelenggaraan negara tidak efektif. Latar ini tentu
dimaksudkan penulis tidak hanya menampilkan birokrasi pemerintah secara negatif, melainkan juga sebagai upaya kritik terhadap perangkat dan sistem
birokrasi yang ada dalam pemerintah sekarang ini yang dianggap tidak efektif dan mengalami kelambanan dalam pelaksanaannya.
Selanjutnya, penggunaan elemen detail dalam artikel opini ini adalah mengenai ciri-ciri sistem birokrasi yang mengalami kebebalan dan kelambanan.
commit to user
Dalam penjelasannya penulis artikel penggunakan pedukung berupa pendapat dari Levit dan March yang menjelaskan masalah kebebalan dan kelambanan sistem
birokrasi. Hal ini dimaksudkan sebagai pendukung gagasan mengenai kebebalan dan kelambanan sisten birokrasi pemeritah. Berikut kutipannya:
“Pada perkembangannya, rasionalitas birokrasi ternyata bukan garansi untuk keluaran yang memuaskan. Kita baru tahu dari Levit dan March
1988 yang menjawab pertanyaan kenapa birokrasi jadi bebal dan lamban inertia tendency. Ada tiga ciri utama: tak tanggap dengan kondisi yang
dihadapi, tak mampu belajar dari masa lalu, gagal menciptakan prosedur belajar untuk masa datang 1988: 320”
Dalam elemen maksud, penulis artikel menjelaskan secara eksplisit mengenai nilai-nilai dasar kemanusiaan dalam sistem birokrasi yang teridiri dari
unsur fisik, psikis, dan spiritual. Dalam hal ini, penekan dilakukan dari sudut korban bencana yang mengalami masalah fisik, psikis, dan spitirual. Berikut
kutipannya : “Jika menyelami lebih jauh, apa yang dibutuhkan dari birokrasi adalah
penanganan terhadap bencana berbasis pada nilai-nilai dasar kemanusiaan. Analisis filsafat manusia menghasilkan konsep, pemahaman dasar nilai-
nilai esensial manusia terletak pada unsur fisik, psikis, dan spiritual. Secara fisik, sebelumnya desa yang dihuni terasa tenteram bersama satwa
di daratan dan udara. Tetapi dalam waktu singkat mereka menyaksikan kejadian mengerikan.
Lahar dan awan panas meluluhlantakkan tempat tinggal mereka. Secara psikis, mereka tak hanya mengalami gangguan mental berupa trauma
pascabencana. Kejadian mengerikan itu menimbulkan perasaan jera, kehilangan mendalam, kesendirian, dan hilangnya harapan.
Terapi psikologi klinis yang lebih mengikuti mazhab cognitive behavioral therapy hanya sampai pada upaya membantu korban melihat realitas.
Terapi ini tak mampu mengisi perasaan kehilangan yang mendalam. Karena itu, penanganan terapi psikologi berbasis aliran behavioral dan
yang selama ini dilakukan para psikolog tidak banyak menuai manfaat. Kita membutuhkan sebuah tim kerja untuk memahami secara menyeluruh
kebutuhan-kebutuhan psikis dari para korban. Secara spiritual, korban bencana mengalami guncangan pemahaman dan
keyakinan. Mereka mencari-cari sandaran spiritual dari kekuatan adikodrati. Contoh, munculnya pandangan ”awan petruk” merupakan
commit to user
bukti guncangan spiritual. Mereka mencari legitimasi keyakinan mitis dan mistis dari sumber-sumber yang selama ini mengendap dalam kesadaran
kolektif.”
d. Sintaksis