commit to user
alam secara fungsional dan menguntungkan. Artinya, manusia tersebut hanya mau mengambil untung dari alam dan kurang bertanggungjawab terhadapnya.
Ditengah tulisan, gagasan selanjutnya yang dipaparkan oleh penulis artikel adalah mengenai gunung Merapi yang dianggap mampu memberi pelajaran bagi
kehidupan manusia. Disinilah letak gagasan utama artikel ini. Gunung Merapi dianggap sebagai guru kemanusiaan yang memberi pelajaran tentang solidaritas
sosial dan kualitas penghidupan. Dalam penjelasan selanjutnya, penulis artikel mengaitkan tentang pelajaran hidup yang dapat diambil dari gunung Merapi
dengan perilaku para pemimpin bangsa yang masih menyimpang. Para pemimpin hanya berbasis pada aspek pencitraan dan kurang peka terhadap nilai-nilai
kemanusiaan yang ada. Hal inilah yang mengakibatkan tidak sedikit dari mereka menjadi menyimpang dari konstitusi dan orientasi nilai negara.
c. Semantik
Latar yang dikemukakan untuk mendukung tema bahwa Merapi mampu memberi pejalaran bagi kehidupan adalah sikap manusia yang tidak mampu
bersyukur kepada Tuhan. Beberapa manusia hanya mau memanfaatkan alam. Artinya mereka hanya mau berhubungan secara fungsional dan menguntung saja.
Berikut kutipan dalam artikel ini: “Seperti sifat Tuhan, alam memberikan segalanya kepada manusia
sehingga manusia dapat membangun kebudayaan dan peradaban. Anehnya, tidak semua manusia mampu memahami alam dan bersyukur
kepada Tuhan. Mereka hanya mau berhubungan dengan alam secara fungsional dan menguntungkan.”
commit to user
Penekanan yang dilakukan penulis artikel pada latar tersebut adalah tentang Tuhan, manusia, kebudayaan dan peradaban. Menitik beratkan pada
hubungan ketiga aspek tersebut. Selanjutnya, penggunaan elemen detail dalam artikel opini ini adalah
mengenai para pemimpin yang digambarkan secara negatif. Para pemimpin banyak yang tidak mementingkan pengabdian terhadap konstitusi dan hanya
mementingkan politik pencitraan. Untuk mempertegas detail ini, penulis juga memberikan pembanding antara para pemimpin dan rakyatnya. Berikut
kutipannya: “Bangsa ini telah jauh bergerak tanpa gagasan besar yang memuliakan
manusiakemanusiaan dan keadilan. Para pemimpin masih terpaku pada panggilan kekuasaan daripada panggilan kemanusiaan dan keadilan. Setiap
hari rakyat diguyur awan panas wedhus gembel dari letusan gunung korupsi dan penyimpangan atas konstitusi.
Para pemimpin kita—meminjam istilah Eep Syaifullah—lebih memilih ”kekaguman” konstituen daripada berpihak kepada konstitusi. Mereka
cenderung kurang berani mengambil langkah konstitusional hanya karena takut tak populer atau citra dirinya jatuh. Gelembung-gelembung citra
dianggap jauh lebih penting daripada semangat pengabdian menjalankan konstitusi.
Konstitusi adalah rumah bangsa sekaligus peta orientasi nilai negara. Ketika konstitusi itu ditinggalkan dan para pemimpin lebih asyik dalam
gelombang pencitraan berdasarkan dinamika pasar, negara ini pun semakin dalam memasuki jurang ”negara gagal”. Kepemimpinan berbasis
pencitraan akhirnya tak lebih dari gelembung-gelembung sabun. Hampa dan rapuh.”
Dalam elemen maksud, penulis artikel memberikan penekanan atau penjelasan pada masalah terminologi berncana alam. Dalam artikel ini,
terminologi bencana alam dianggap kurang tepat dengan menampilkan fakta-fakta yang mendukung gagasan tersebut.
“Dalam konteks itu, sesungguhnya terminologi ”bencana alam” kurang tepat. Sebab, alam bergolak merupakan kodrat sesuai dalil dan ”juklak”
commit to user
serta ”juknis” Tuhan. Alam pun tak sedang menciptakan bencana bagi dirinya sendiri. Istilah bencana baru muncul ketika dinamika alam terkait
dengan keberadaan manusia yang nunut menumpang hidup pada alam. Maka, manusia dituntut cerdas dan visioner untuk memahami alam
sehingga tak jadi korban. Artinya, manusia mesti patuh dan menyesuaikan diri pada hukum alam.
Terminologi bencana alam lahir dari pandangan sekuler yang memahami alam sebagai sumber potensi destruktif, sebagai ”raksasa” yang selalu
mengamuk. Alam dihadirkan sebagai musuh manusia sehingga harus ditaklukkan, dikuasai, dan dieksploitasi. Cara berpikir semacam ini picik,
tak adil, sekaligus arogan.”
Pada kutipan di atas terlihat bahwa terminologi bencana alam didapat dari pandangan sekuler yang hanya memahami alam sebagai sember potensi destruktif.
Alam digambarkan sebagai raksasa yang selalu mengamuk. Padahal bergolaknya merupakan kodrat dari Tuhan. Alam pun tak sedang menciptakan bencana bagi
dirinya sendiri. Oleh karena itu terminologi bencana alam dianggap kurang tepat karena seharusnya manusia menyesuaikan diri pada hukum alam yang telah
ditakdirkan oleh Tuhan.
d. Sintaksis