commit to user
serta ”juknis” Tuhan. Alam pun tak sedang menciptakan bencana bagi dirinya sendiri. Istilah bencana baru muncul ketika dinamika alam terkait
dengan keberadaan manusia yang nunut menumpang hidup pada alam. Maka, manusia dituntut cerdas dan visioner untuk memahami alam
sehingga tak jadi korban. Artinya, manusia mesti patuh dan menyesuaikan diri pada hukum alam.
Terminologi bencana alam lahir dari pandangan sekuler yang memahami alam sebagai sumber potensi destruktif, sebagai ”raksasa” yang selalu
mengamuk. Alam dihadirkan sebagai musuh manusia sehingga harus ditaklukkan, dikuasai, dan dieksploitasi. Cara berpikir semacam ini picik,
tak adil, sekaligus arogan.”
Pada kutipan di atas terlihat bahwa terminologi bencana alam didapat dari pandangan sekuler yang hanya memahami alam sebagai sember potensi destruktif.
Alam digambarkan sebagai raksasa yang selalu mengamuk. Padahal bergolaknya merupakan kodrat dari Tuhan. Alam pun tak sedang menciptakan bencana bagi
dirinya sendiri. Oleh karena itu terminologi bencana alam dianggap kurang tepat karena seharusnya manusia menyesuaikan diri pada hukum alam yang telah
ditakdirkan oleh Tuhan.
d. Sintaksis
Sintaksis adalah elemen analisis, secara umum digunakan dalam menampilkan diri secara positif dengan menggunakan kalimat. Sintaksis terdiri
dari beberapa aspek yakni koherensi, bentuk kalimat maupun kata ganti pertama. Koherensi yang dipakai dalam artikel opini adalah koherensi pembanding terdapat
pada kutipan berikut : “Bangsa ini telah jauh bergerak tanpa gagasan besar yang memuliakan
manusiakemanusiaan dan keadilan. Para pemimpin masih terpaku pada panggilan kekuasaan daripada panggilan kemanusiaan dan keadilan. Setiap
hari rakyat diguyur awan panas wedhus gembel dari letusan gunung korupsi dan penyimpangan atas konstitusi.
commit to user
Para pemimpin kita—meminjam istilah Eep Syaifullah—lebih memilih ”kekaguman” konstituen daripada berpihak kepada konstitusi. Mereka
cenderung kurang berani mengambil langkah konstitusional hanya karena takut tak populer atau citra dirinya jatuh. Gelembung-gelembung citra
dianggap jauh lebih penting daripada semangat pengabdian menjalankan konstitusi.”
Penggunaan koherensi pembanding pada kalimat di atas dimaksudkan
untuk memperlihatkan perbedaan yang terjadi antara para pemimpin dan rakyatnya. Walau hanya bermaksud membandingkan, namun dari kalimat di atas
dengan jelas memperlihatkan adanya sesuatu yang kontras dari nilai kehidupan antara pemimpin dan rakyat. Jika melihat perbandingan seperti ini, maka pihak
pemimpin digambarkan dengan negatif melalui langkah konstitusi yang mereka ambil hanya berdasarkan politik pencitraan bukan pengabdian menjalankan
konstitusi itu sendiri. Selanjutnya, penulis menggunakan kata ganti “ia” sebagai kata ganti yang
menunjuk kepada gunung Merapi. Penggunaan kata “ia” menggambarkan bahwa gunung bukan benda mati, gunung juga berproses dan beraktivitas. Seperti pada
salah satu kutipan berikut : “Seperti manusia, gunung pun selalu menggeliat dan bergolak untuk
menemukan keseimbangan baru. Ini terjadi karena alam bukan benda mati. Ia selalu berproses secara dinamis. Ketika Gunung Merapi menggeliat dan
batuk-batuk, sesungguhnya ia sedang melakukan berbagai penyesuaian atas semesta.”
Selain itu, penulis juga menggunakan kata ganti “kita” yang menunjuk
kepada semua pihak yang berkaitan dengan peristiwa bencana Merapi. Seperti pada salah satu kutipan berikut :
“Kita berharap erupsi Merapi—juga tsunami Mentawai dan banjir Wasior—menjadi daya dorong atas magma keadilan di negara ini untuk
commit to user
segera muncrat dan melahirkan letusan dahsyat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Penggunaan kata “kita” memberi makna, bahwa tidak hanya penulis
artikel secara personal melainkan seluruh masyarakat Indonesia berharap erupsi Merapi menjadi daya dorong yang akan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
e. Stilistik