Pengalaman Eropa – ECU KERJA SAMA NILAI TUKAR ASIAN CURRENCY UNIT ACU ASEAN+3

yang tergabung dalam ECU, walaupun pada periode tersebut tidak ada mata uang yang mengalami perubahan bobot melebihi 25. Perubahan bobot yang terjadi di Eropa pada periode 1979-1984 dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Komposisi Awal ECU Negara Economic Shares Effective Share Sep-74 Mar-79 Mar-83 Jerman 25 26.4 33 37.38 Perancis 20.2 20.5 19.8 26.93 Inggris 17.9 17.4 13.6 14.05 Belanda 7.9 9 10.5 11.46 Italia 13 14 9.5 7.86 Belgia dan Luksemburg 10 8.2 9.5 8.57 Denmark 3 3 3 2.7 Irlandia 1.5 1.1 1.1 1.06 Sumber : Gros dan Thygesen 1998, Van Ypersele 1989 Motif politis untuk mengkomposisi ulang ECU adalah sebuah ketakutan yang disebabkan mata uang yang kuat akan mendominasi pangsa terbesar ECU. Jika dilihat pada Tabel 5, Negara Jerman dengan mata uang deucthmark-nya mempunyai pangsa ekonomi terbesar dari awal hingga akhir periode. Hal yang ditakutkan pada saat itu adalah akan adanya dominasi mata uang Jerman dalam ECU apabila tidak dilakukan revisi bobot pada periode selanjutnya. Pada saat ECU dideklarasikan, terdapat tiga kriteria ekonomi yang digunakan dalam membangun bobot mata uang setiap negara anggota dalam ECU. Ketiga kriteria ekonomi yang digunakan antara lain : i pangsa GDP setiap negara anggota terhadap GDP EC, ii kontribusi setiap negara anggota EC terhadap total perdagangan EC, iii kuota setiap negara anggota dalam short-term support facility . Sebelum memasuki periode selanjutnya, ECU mengalami revisi pertama pada Bulan September 1984. Revisi tersebut dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini : 65 Tabel 6. Revisi Pertama dari Komposisi ECU Negara Effective Share Sep-84 Sep-87 Jerman 32.07 34.93 Perancis 19.06 18.97 Inggris 14.98 11.87 Belanda 10.13 11.04 Italia 9.98 9.44 Belgia dan Luksemburg 8.57 9.07 Denmark 2.69 2.79 Irlandia 1.21 1.13 Yunani 1.31 0.76 Sumber : Gros dan Thygesen 1998, Van Ypersele 1989 Pada periode 1984-1989 terdapat penambahan anggota baru dalam ECU yakni Yunani. Sama seperti pada periode sebelumnya, pada periode ini Jerman masih menguasai pangsa ekonomi di EC tersebut. Pada periode ini terdapat penurunan bobot yang dialami oleh Inggris dan Yunani. Negara Inggris, yang bobot awalnya pada periode September 1984 adalah sebesar 14.98 mengalami penurunan bobot sebanyak 20.76 persen menjadi 11.87. Pada periode September 1984-September 1987, walaupun Yunani mengalami penurunan bobot hingga mencapai 40 persen, dewan EEC tidak melakukan revisi bobot seperti pada kesepakatan sebelumnya. Revisi bobot seharusnya dilakukan berdasarkan kesepakatan 5 Desember 1978, yang mengatakan bahwa selain interval waktu 5 tahunan, revisi bobot dilakukan jika ada mata uang suatu negara yang mengalami perubahan bobot sebesar 25 persen. Bagaimanapun, dalam ECU ini dapat disimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada aturan jelas mengenai bagaimana revisi bobot itu harus dilakukan . Sementara itu, revisi kedua untuk ECU dapat dilihat pada Tabel 7. 66 Tabel 7. Revisi Kedua dari Komposisi ECU Negara Economic Share Effective Share Sep-89 Des-96 Jerman 23.8 30.3 32 Perancis 18.4 19 20.3 Inggris 16.3 12.9 11.9 Belanda 8.4 9.4 10.1 Italia 13.7 10.7 7.9 Belgia dan Luksemburg 6.9 7.9 8.5 Denmark 2.5 2.5 2.7 Irlandia 1.3 1.1 1.1 Yunani 1.3 0.8 0.5 Spain 6.1 5.3 4.2 Portugal 1.1 0.8 0.7 Sumber : Gros dan Thygesen 1998 Dari revisi kedua ECU pada tahun 1989, terdapat tambahan dua negara anggota baru yaitu Spanyol dan Portugal yang dapat dilihat pada Tabel 6. Pada situasi tersebut, tidak ada batas bobot terbawah yang digunakan. Sebagai contoh adalah negara Yunani dan Portugal yang mempunyai bobot dibawah 1 persen. Penurunan bobot yang terjadi pada kedua negara ini tidak memicu adanya revisi bobot sekalipun. 4.3. Kesiapan ASEAN+3 Membentuk Uni Moneter Regional Di tengah perkembangan kerja sama ekonomi yang semakin meningkat dan mengarah pada integritas ekonomi di kawasan ASEAN+3, perdebatan mengenai kelayakan kawasan ini dalam mencapai integrasi ekonomi semakin intensif. Menurut Rohmadyanti dan Kosotali 2007, beberapa ekonomom berpendapat bahwa inisiatif integrasi ekonomi merupakan salah satu pilihan yang layak dilakukan oleh negara-negara di kawasan ASEAN+3 untuk menciptakan stabilitas ekonomi kawasan. Namun, pada sisi lain tidak sedikit yang bersikap skeptis bahwa kondisi negara-negara di kawasan ASEAN+3 belum layak dalam mewujudkan ambisi menuju integrasi ekonomi secara penuh. Baharumshah et. al. 2006 mengatakan 67 bahwa kondisi dan perkembangan kerja sama ekonomi di kawasan ASEAN+3 dinilai belum mencapai tahapan yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Hal itu dilandasi dari hasil penelitiannya yang mempunyai kesimpulan bahwa negara-negara di kawasan ASEAN+3 tidak dapat melakukan integrasi ekonomi secara penuh karena tidak semua negara memenuhi kriteria OCA. Sementara itu, dalam penelitian ini kesiapan ASEAN+3 membentuk Unit Moneter Regional akan dianalisis berdasarkan penerapan kriteria konvergensi Maastricht Treaty di kawasan ASEAN+3. Semenjak Uni Eropa mendeklarasikan dirinya pada tahun 1983, banyak ahli ekonomi mendiskusikan wacana yang serupa untuk diterapkan di kawasan ASEAN+3. Namun, untuk menuju satu kawasan perekonomian baru membutuhkan proses dan ketentuan-ketentuan yang berlaku seperti yang telah dilakukan di Eropa. Pertanyaanya adalah apakah semua negara di kawasan ASEAN+3 sudah siap untuk menghadapi ini? Di Eropa, suatu kriteria dipilih sebagai tolak ukur prestasi ekonomi bagi negara-negara yang akan tergabung dalam Uni Eropa. Kriteria ini dikenal sebagai Kriteria Konvergensi Maastricth Maastricth Treaty Convergence. Ruang lingkup dari kriteria ini meliputi inflasi, suku bunga, defisit fiskal, dan utang pemerintah. Seperti yang telah disinggung, kriteria Maastricth ini merupakan kriteria- kriteria yang ditetapkan oleh masyarakat Eropa menuju monetary union. Melalui kriteria ini, kebijakan ekonomi negara yang akan berpartisipasi dalam monetary union diharapkan mencapai tingkat konvergensi yang telah ditetapkan sebelum bergabung dalam monetary union. Hal ini penting mengingat negara-negara yang telah bergabung tidak mempunyai kewenangan lagi untuk melakukan kebijakan moneter dan nilai tukar secara unilateral. Adapun berbagai persyaratan dalam kriteria Maastricht yang harus dipenuhi adalah : 1. Tingkat inflasi tidak melebihi 1.5 persen di atas rata-rata inflasi tiga negara anggota dengan inflasi terendah. 2. Tingkat suku bunga tidak melebihi 2 persen di atas rata-rata suku bunga tiap negara anggota dengan inflasi terendah. 3. Defisit fiskal terhadap GDP setiap negara tidak melebihi batas 3 persen. 4. Utang Pemerintah terhadap GDP setiap negara tidak melebihi 60 persen. 68