nilai tukar yang dapat dipertimbangkan untuk diadopsi, yaitu i sistem peg terhadap satu mata uang asing single currency peg; ii sistem mata uang parallel
parallel currency dan iii sistem peg terhadap sekeranjang mata uang mitra dagang currency basket.
1. Single currency peg Single currency peg
adalah sistem nilai tukar dengan mengkaitkan masing- masing mata uang negara anggota kawasan dengan satu mata uang negara lain
yang ditetapkan sebagai mata uang jangkar anchor currency pada nilai yang tetap fixed parity. Dalam konteks kerja sama nilai tukar ini, negara peserta
kerjasama telah mencapai kata sepakat dan memutuskan bersama mengenai penetapan mata uang jangkar, apakah bersasal dari salah satu mata uang utama
dunia misalnya dollar AS, yen, atau euro atau salah satu mata uang kawasan misalnya : rupiah Indonesia atau dollar Singapura. Penentuan mata uang jangkar
dalam rezim nilai tukar peg ini tergantung pada dua kriteria, yaitu : pertama, mata uang jangkar mendominasi perdagangan dan investasi di kawasan. Kedua, pesaing
ekspor berlokasi di kawasan yang sama.
17
2. Parallel Currency
Dalam sistem nilai tukar paralel terhadap penciptaan mata uang sintesis, di mana mata uang sintesis tersebut digunakan bersamaan dengan mata uang
domestik masing-masing negara anggota. Mata uang sintesis tersebut dibentuk dari sekerangjang mata uang yang terdiri dari mata uang negara-negara di
kawasan yang berpartisipasi dalam pembentukan sistem tersebut. Mata uang domestik masing-masing negara anggota kemudian dikaitkan kepada mata uang
sintesis yang dijadikan mata uang bersama. Contoh populer penerapan parallel currency
adalah ECU dalam EMS dan Special Drawing Rights SDR dari International Monetary Fund
IMF.
18
17
Kurniati, Y. 2007. Integrasi Keuangan dan Moneter di Asia Timur. Peluang dan Tantangan bagi Indonesia. Eds. S. Arifin, R. Winantyo, dan Y. Kurniati. Kerjasama Perdagangan
Internasionl . Bank Indonesia, Jakarta.
18
Ibid.
102
3. Currency Basket Sistem nilai tukar regional lainnya adalah Currency Basket Arrangement
yang merupakan suatu sistem nilai tukar bersama di kawasan tempat masing- masing mata uang lokal negara anggota dalam kawasan dikaitkan terhadap
sekeranjang mata uang yang terdiri dari mata uang mitra dagang utama Kurniati, 2007. Sistem ini dirancang untuk menjamin kestabilan nilai tukar secara langsung
terhadap mata uang mitra dagang utama, dan secara langsung terhadap mata uang negara anggota kerjasama nilai tukar.
5.1.2. Kerjasama Nilai Tukar di ASEAN+3
Kerja sama sepuluh negara ASEAN dengan China, Jepang, dan Korea yang selanjutnya disebut sebagai kelompok negara ASEAN+3, diawali dengan
dideklarasikannya ”Pernyataan Bersama Kerja sama Asia Timur” pada tahun 1999. Adapun isi dari deklarasi tersebut berisi kesepakatan untuk meningkatkan
dialog dan kerja sama di berbagai bidang, yang diawali dengan kerja sama proses surveillance
ASEAN+3 yaitu Proses Review Ekonomi dan Dialog Kebijakan. Pada KTT ASEAN ke-7 di Brunei Darussalam bulan November 2001,
para pemimpin ASEAN menyepakati perlunya penyusunan Roadmap untuk Integrasi ASEAN RIA. Roadmap tersebut disusun secara sektoral yang
menjabarkan tahapan-tahapan kegiatan yang jelas dengan indikator dan jangka waktu dari program tersebut, dengan tujuan akhir memperluas integrasi ekonomi
ASEAN pada tahun 2020. Di bidang keuangan, RIA-financial disepakati dalam pertemuan ASEAN tingkat menteri keuangan ASEAN Finance ministers-
AFMM ke-7 di Makati City, Filipina, pada bulan Agustus 2003. RIA-financial meliputi empat sektor yang salah satunya adalah kerja sama nilai tukar Currency
Cooperation .
Adapun Roadmap di bidang kerja sama nilai tukar bertujuan untuk mewujudkan kerja sama mata uang yang lebih erat untuk meningkatkan
perdagangan intra kawasan dan memperdalam integrasi ekonomi regional. Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk merealisasikan tujuan tersebut, hingga
saat ini masih sebatas pada kajian atau studi untuk melihat bagaimana
103
kemungkinan interim currency arrangement. Hasil kajian yang telah dilakukan oleh ASEAN pada tahun 2002 menghasilkan beberapa kesimpulan.
Hasil studi yang dimaksud menunjukkan kondisi negara-negara ASEAN saat ini belum siap untuk membentuk common currency, karena belum dapat
memenuhi beberapa prasyarat pembentukannya. Hal ini disebabkan antara lain karena masih lemahnya konvergensi makroekonomi, celum memadainya regional
institutional framework dan relatif masih rendahnya perdagangan intra kawasan
ASEAN, serta tingginya kekhawatiran akan hilangnya sovereignty atas kebijakan nasional. Pergerakan ke arah single currency akan melalui banyak tahapan bila
tujuan monetary union yang sustainable ingin dicapai. Khususnya terdapat kebutuhan untuk trust building dan penciptaan komitmen politik yang tinggi.
Studi berikutnya yang dilakukan oleh ASEAN adalah pada tahun 2004- 2006 untuk mencari peluang terbentuknya currrency arrangement yang dapat
memfasilitasi dan mempromosikan perdagangan intra-kawasan dan memperdalam integrasi ekonomi regional. Hasil studi yang dimaksud, menyimpulkan bahwa
adanya kerja sama nilai tukar di kawasan ASEAN memang sangat diperlukan terutama untuk mencapai stabilitas keuangan regional. Namun demikian, berbagai
arrangement nilai tukar saat ini masih belum dilaksanakan.
5.1.3. Nilai Tukar dan Inflasi
Dalam penelitian ini, pilihan penentuan mata uang yang tepat bagi setiap negara ASEAN+3 adalah berdasarkan simulasi yang menggunakan Model VAR.
Nilai tukar ACU dan mata uang domestik setiap negara anggota ASEAN+3 akan di schok secara bersamaan dan dilihat bagaimana prilaku inflasi setiap negara
anggota ASEAN+3 dengan adanya shock tersebut. Landasan menggunakan variabel inflasi sebagai tolah ukurnya karena inflasi merupakan empat indikator
makroekonomi penting, selain pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan balance of payment
Blanchard, 2007. Nilai tukar mempunyai pengaruh terhadap variabel inflasi. Suatu negara
yang menyerahkan nilai tukarnya kepada pasar, berarti keleluasaan aliran modal dan perdagangan internasional sehingga nilai tukar dan harga-harga akan bergerak
dengan keterkaitan yang erat. Nilai tukar dapat mempengaruhi harga-harga
104