Optimum Currency Area OCA

meningkatkan ekspor dan neraca perdagangan negaranya, tetapi perekonomian negara kecil tidak mampu mendukung tekanan nilai-nilai yang menjatuhkan mata uangnya sebelum keadaannya stabil kembali. Depresiasi mata uang domestik akan mengurangi daya beli lokal sedangkan daya beli dari asing akan meningkat. Oleh karena itu, banyak perekonomian yang lebih kecil boleh menentukan dan menerapkan nilai tukar tetap dimana mata uang mereka ditetapkan oleh mata uang negara lain, biasanya digunakan dollar Amerika. Apabila hal itu merupakan sebuah kasus, pertanyaannya adalah apakah semua negara dengan perekonomian kecil perlu mengadopsi satu sistem nilai tukar tetap untuk menstabilkan nilai dari mata uang mereka. Teori mengenai OCA pertama kali dikemukan oleh Robert A. Mundell dengan tulisannya yang berjudul A Theory of Optimum Currency Areas. Teori ini muncul pada akhir periode Bretton Woods dalam debat mengenai pro dan kontra dari flexible exchange rate Kucerova, 2003. Perdebatan ini muncul karena sistem Bretton Wood telah memaksimalkan capital control pada banyak negara. Meskipun banyak penelitian tentang pilihan rezim exchange rate sejak awal tahun 1950an, Mundell adalah yang pertama kali mengungkapkan konsep optimum currency area memungkinkan untuk diterapkan dalam suatu wilayah. Mundell mencoba untuk menjawab pertanyaan kapan seharusnya suatu wilayah mempunyai mata uang sendiri dan wilayah yang bagaimana yang sesuai dengan sebuah common currency area Broz, 2005. Menurut Mundell 1961, Optimum Currency Area OCA mempunyai definisi suatu wilayah geografis yang mempunyai guncangan supply dan demand yang simetrik dan memenuhi beberapa kriteria atau kondisi tertentu. Kriteria tersebut meliputi : 1. Memiliki derajat internal factor mobility yang tinggi dan derajat external facor mobility yang rendah. 2. Memiliki upah dan harga yang stabil. 3. Mobilitas tenaga kerja yang mudah dalam batasan-batasan nasional budaya, peundang-undangan, kemakmuran, dll namun mobilitas tersebut tidak mudah apabila melewatidi luar batasan-batasan nasional national 34 borders . Spesialisasi dan keterampilan suatu negara juga menjadi faktor pendukung. Selanjutnya, Krugman-Obstfeld, 15 mendefinisikan OCA sebagai suatu kelompok negara-negara dalam suatu kawasan yang perekonomiannya terkait erat terutama karena faktor perdagangan barang dan jasa serta mobilitas faktor produksi. Definisi ini merupakan hasil pengamatan Krugman dan Obstfeld yang menyimpulkan bahwa sebuah kawasan yang menetapkan suatu nilai tukar tetap di antara negara-negara anggota akan berhasil mewujudkan semua tujuannya apabila tingkat output dan keterkaitan sektor perdagangan di antara negara-negara tersebut tinggi. Selain Mundell, Kenen dan McKinnon juga merupakan pelopor teori OCA. Kenen dalam Bergman 2000 mengemukakan bahwa sebuah currency area dibentuk dari negara-negara yang memproduksi dan mengekspor barang- barang yang mempunyai diversifikasi yang luas dan struktur yang sama. Kriteria Kenen meliputi : 1. Mempunyai sedikit goncangan asimetris, dan 2. Mempunyai tingkat diversifikasi ekonomi yang tinggi. Yang pada dasarnya hal ini dapat melawan guncangan asimetrik. Sedangkan McKinnon 1963 mengemukakan bahwa sebuah OCA dibentuk dari negara-negara yang mempunyai keterbukaan perdagangan yang tinggi. Di lain pihak, Ngian dan H Yuen, 16 mengungkapkan bahwa OCA merupakan suatu keadaan dimana negara-negara yang tergabung dalam kerjasama tersebut secara bersama menetapkan sistem nilai tukar tetap mata uang masing-masing negara anggota di peg terhadap satu mata uang jangkar dan menjalankan kebijakan moneter bersama. Melihat bagaimana proses integrasi di kawasan Eropa, dalam perjalanannya, teori OCA ini tidak dapat diimplementasikan oleh Uni Eropa karena beberapa alasan yang telah dikemukakan pada pembahasan sebelumnya. 15 Definisi OCA menurut Krugman-Obstfeld dalam Sholihah dan Saichu. 2007. Tinjauan Teoritis Integrasi Keuangan Regional. Eds. S. Arifin, R. Winantyo, dan Y. Kurniati. Kerjasama Perdagangan Internasional . Bank Indonesia, Jakarta. 16 Definisi OCA oleh Ngian dan H Yuen dalam Sholihah dan Saichu. 2007. Tinjauan Teoritis Integrasi Keuangan Regional. Eds. S. Arifin, R. Winantyo, dan Y. Kurniati. Kerjasama Perdagangan Internasional . Bank Indonesia, Jakarta. 35 Oleh sebab itu, pendekatan lain digunakan untuk menggantikan pra syarat OCA yakni pra syarat yang dikenal dengan Maastricht Treaty Convergence Criteria.

2.5. Maastricht Treaty Convergence Criteria

Dalam Integrasi ekonomi, penyatuan pasar bukan hanya terjadi pada pasar barang. Pasar-pasar jasa pun mengalami proses konsolidasi yang sangat dinamis. Industri perbankan dan sektor keuangan lainnya mulai dapat memasuki wilayah negara lain. Seperti halnya di Eropa, setelah adanya integrasi di sektor riil, integrasi ekonomi di sektor lainnya pun mulai merambah antar negara-negara anggota Uni Eropa. Suatu hal yang menarik adalah perkembangan yang terjadi sehubungan dengan mata uang antar negara. Sebagaimana dimaklumi, dengan terjadinya perbedaan penggunaan mata uang tersebut, perdagangan antar negara di antara sesama anggota akhirnya memperhitungkan perkembangan nilai mata uang tersebut. Pada masa berlakunya sistem Brettonwoods, dimana semua mata uang dikaitkan dengan US Dollar, maka hubungan mata uang antarnegara anggota pada hakikatnya tidaklah banyak berubah dari waktu ke waktu. Namun, dengan runtuhnya sistem tersebut melalui Presiden Nixon pada tanggal 15 Agustus 1971, maka hubungan mata uang antar negara anggota tidaklah linier. Hal itulah yang mendasari negara-negara di Eropa akhirnya memiliki kesepakatan untuk mengkaitkan mata uang mereka satu sama lain, melalui apa yang disebut dengan Snake in the Tunnel. Bahkan, diantara negara Belgia, Belanda, dan Luxemburg, kesempatan itu lebih sempit lagi sehingga muncul istilah worm atau cacing di antara mereka dan Snake di antara anggota komunitas yang lebih besar. Sistem tersebut terus berlangsung sampai tahun 1979, yakni pada saat sistem tersebut diformalisasikan secara lebih sistematis melalui terbentuknya EMS, dan ERM merupakan tulang punggung dari sistem tersebut. Perkembangan itu terus berlangsung sampai munculnya suatu kesepakatan baru yang lebih ambisius. Kesepakatan baru tersebut disepakati di Belanda pada Bulan Desember Tahun 1991, di suatu kota di ujung selatan negara tersebut yang berbatasan dengan Jerman, Belgia, dan Perancis. 36 Oleh karena itu, kesepakatan tersebut diberi nama kota itu, yakni Trakta Maastricht atau Maastricht Treaty. Kesepakatan tersebut menjadi mengikat setelah diratifikasi oleh negara-negara anggota pada tahun 1992. Dengan kesepakatan tersebut, hubungan mata uang antar negara anggota akhirnya lebih didekatkan lagi. Untuk itu, negara-negara anggota harus mengadopsi suatu kebijakan yang mendekatkan perekonomian mereka melalui apa yang disebut sebagai kriteria konvergensi. Kriteria tersebut mencakup laju inflasi, suku bunga jangka pendek, defisit APBN yang diperlukan, dan rasio utang terhadap PDB yang terjadi di setiap negara.

2.6. Penelitian Empiris Terkait

Penelitian mengenai Asian Currency Unit oleh Ogawa dan Shimizu 2005 membahas empat estimasi pendekatan Asian Monetary Unit AMU. Pendekatan tersebut berdasarkan variabel trade volume intra kawasan, GDP nominal, GDP- PPP, dan international reverse. Diantara semua itu, variabel pendekatan AMU dengan menggunakan bobot variabel GDP-PPP dan bobot variabel trade lebih tepat dari sudut pandang stabilitas AMU. Dari indikator divergen yang dihitung, hanya Dollar Singapura dan Dollar Brunei yang mengalami deviasi sebesar 2.5 persen dari benchmark rates. Selebihnya, sebagian besar mata uang negara ASEAN+3 Cina, Jepang, dan Korea mengalami deviasi lebih dari tiga puluh persen pada periode Noverber tahun 2004 dengan menggunakan benchmark harga dasar tahun 2001. Penelitian ini tidak hanya melakukan penghitungan secara nominal, melainkan juga secara penghitungan riil. Setelah memahami penelitian yang dilakukan oleh Ogawa dan Shimizu di atas, Baharumshah et al. 2005 mengkonstruksi Regional Monetary Unit RMU ASEAN-5 +3 Indonesia, Thailand, Singapura, Filipina, Malaysia, Cina, Jepang, dan Korea untuk dibandingkan dengan penelitian Ogawa dan Shimizu 2005 yang mengkonstruksi RMU berdasarkan tiga belas negara ASEAN+3 Indonesia, Thailand, Singapura, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, Kamboja, Myanmar, Laos, Cina, Jepang, dan Korea. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah delapan negara ASEAN-5 +3 mempunyai potensi untuk bekerjasama dalam membentuk International trade dan economic cooperation untuk 37