58 melakukan ujicoba pencatatan pembelian premium dan minyak solar di Kota
Tanjung Pinang dan Kabupaten Bintan pada Tahun 2010. Apabila sistem pencatatan pembelian ini berhasil, maka pemerintah selanjutnya akan menerbitkan
payung hukum untuk membatasi pembelian premium dan minyak solar.
2.3.4. Keterkaitan dengan Perekonomian
BBM merupakan input energi
19
bagi kegiatan perekonomian nasional. Peranan BBM sebagai input energi sangat penting karena memberikan kontribusi
sebesar 36.51 persen dari total energi final.
20
Oleh sebab itu perubahan harga BBM akan mempengaruhi harga output nasional secara umum, seperti yang
terlihat pada Tabel 9. Ketika harga BBM mengalami kenaikan, maka inflasi cenderung mengalami peningkatan, yang ditransmisikan melalui fungsi BBM
sebagai input energi dan sebagai energi final. Menurut Survai Biaya Hidup BPS 2007 sumbangan harga premium terhadap inflasi nasional mencapai 3.00 persen.
Krisis ekonomi pada tahun 1998 dipicu oleh depresiasi nilai tukar rupiah yang mendekati 400 persen sehingga menyebabkan harga barang-barang termasuk
pinjaman pemerintah dan swasta dalam mata uang asing menjadi naik 4 kali lipat, dari nilai semula, dalam mata uang rupiah. Pada tahun itu inflasi mencapai 77.63
persen, subsidi BBM naik 3 kali lipat dari Rp. 9 814 miliar pada tahun 1997 menjadi Rp. 28 607 miliar pada tahun 1998, sementara harga jual eceran BBM
dan elpiji tertimbang naik sebesar 15.27 persen pada periode yang sama.
19
BBM yang merupakan input energi adalah BBM yang dimanfaatkan sebagai input bagi industri yang menghasilkan energi final, seperti energi listrik, batubara, gas alam, dll. Sebagai energi final,
BBM dimanfaatkan langsung oleh konsumen akhir seperti rumahtangga dan komersial, transportasi, industri, dan lainnya.
20
Sumber energi final lainnya adalah BBM non-subsidi 4.74 persen, listrik 7.60 persen, batubara 8.41 persen, kayu bakar 30.96 persen, gas bumialam 11.47 persen, dan arang 0.31
persen. Total konsumsi energi final di Indonesia pada tahun 2005 adalah 863 751 setara barrel minyak Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006.
59
Tabel 9. Perkembangan Indikator Perekonomian dan Harga Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1990-2005
Indikator Satuan Tahun
1990 1995 1997 1998 2000 2005
1. PDB
a
Rp. Triliun
875 1 340
1 513 1 314
1 389 1 749
2. Inflasi
b
Tahun
9.53 8.64 11.05 77.63 9.35 17.11 3. Tkt Sk Bunga
d
Tahun
20.30 15.80 17.34 23.16 16.59 15.43 4. Nilai Tukar
a
RpUS
1 905 2 308
4 650 8 025
9 595 9 830
5. Harga BBM
a
: a. Premium
RpLiter
450 700
700 1 000
1 150 3 117
b. Minyak Tanah
RpLiter
245 380 380 550 600 2
877 c. Minyak Solar
RpLiter
190 280 280 280 350 2
061 d. Elpiji
RpKg
370 1 000
1 000 1 500
1 500 4 250
6. Harga Dunia Minyak Bumi
a
USBarrel
22.31 17.11 19.04 12.47 28.39 53.66 7. Populasi
a
Ribu Jiwa
179 248 191 825
199 837 202 873
205 843 219 893
8. Pengangguran
a
Ribu Jiwa
1 952 6 251
4 275 5 062
5 813 10 854
9. Kemiskinan
c
Ribu Jiwa
27 200 23
530 29 290 49
500 38 700 35
100 10. Defisit
Anggaran
Rp. Miliar
34 127 13 953
26 317 143 583
16 132 11 634
Keterangan : Defisit Anggaran = Penerimaan Dalam Negeri – Anggaran Belanja Negara Sumber:
a. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006. b.
International Monetary Fund , 2006.
c. Badan Pusat Statistik, 2006. d. Badan Pusat Statistik, 2005.
Meskipun harga dunia minyak mentah pada tahun tersebut relatif tidak mengalami perubahan, namun akibat dari depresiasi nilai tukar rupiah yang luar
biasa, maka harga dunia BBM dalam rupiah meningkat tajam. Hal ini mengakibatkan dua hal secara bersama-sama, yaitu potensi kenaikan subsidi harga
BBM dan potensi kenaikan harga jual eceran BBM. Kenaikan harga jual eceran BBM cenderung memicu inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat.
Penurunan daya beli masyarakat memberikan tekanan pada peningkatan jumlah penduduk miskin yang berjumlah 29.29 juta jiwa pada tahun 1997 menjadi 49.50
juta jiwa pada tahun 1998. Tekanan kemiskinan tidak hanya berasal dari tingginya inflasi, tetapi merupakan kombinasi berbagai faktor lainnya termasuk peningkatan
jumlah pengangguran dari 4.27 juta jiwa pada tahun 1997 menjadi 5.06 juta jiwa
60 pada tahun 1998. Pengangguran disebabkan oleh lemahnya sisi permintaan
konsumsi domestik dan naiknya biaya input sehingga kegiatan produksi menurun dan akibatnya permintaan tenaga kerja menurun.
Pada tahun 2005 kembali terjadi gejolak perekonomian Indonesia yang dipicu oleh melonjaknya harga dunia minyak mentah sebesar 2 kali lipat
dibandingkan tahun 2000. Meskipun nilai tukar relatif stabil, namun gejolak harga dunia minyak mentah mengakibatkan gejolak subsidi BBM dari semula Rp. 53
810 miliar pada tahun 2000 menjadi Rp. 89 194 miliar pada tahun 2005 atau 22.71 persen dari belanja negara. Karena anggaran negara semakin terbatas
kemampuannya dalam belanja subsidi, maka untuk mengatasi kenaikan harga dunia minyak mentah, pemerintah menaikkan harga jual eceran BBM tertimbang
sebesar rata-rata 34.15 persen per tahun pada periode 2000-2005. Kenaikan harga jual eceran BBM turut mendorong inflasi sebesar 17.11
persen dan mendorong peningkatan pengangguran dari semula 5.81 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi 10.85 juta jiwa pada tahun 2005. Kedua hal ini memberikan
seharusnya memberikan tekanan pada peningkatan jumlah penduduk miskin. Namun pada kenyataannya jumlah penduduk miskin turun dari semula 38.70 juta
jiwa menjadi 35.10 juta jiwa. Penurunan jumlah penduduk miskin kemungkinan besar disebabkan oleh besarnya anggaran pemerintah, yang khusus dialokasikan
untuk mengatasi masalah kemiskinan, seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat PNPM Mandiri.
Analisa ini sejalan dengan temuan Soebiakto 1988 yang mengatakan bahwa harga dunia minyak mentah menyebabkan kondisi yang tidak pasti
terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini terjadi karena ketergantungan Indonesia
61 yang tinggi terhadap penerimaan dari ekspor minyak mentah, yang juga sangat
dipengaruhi oleh harga dunia minyak mentah dan nilai tukar rupiah. Oktaviani dan Sahara 2000a melakukan simulasi kenaikan harga BBM terhadap sektor
pertanian, agroindustri, dan rumahtangga pertanian di Indonesia. Berdasarkan hasil simulasi jangka pendek maupun jangka panjang, kenaikan harga BBM, baik
diikuti oleh program kompensasi maupun tidak, berdampak negatif terhadap semua output di sektor pertanian dan agroindustri. Penurunan output ini akan
diikuti oleh penurunan penyerapan tenaga kerja, penurunan upah nominal tenaga kerja tidak terdidik, dan penurunan sewa lahan pertanian. Hal ini berdampak pada
pengurangan pendapatan dan daya beli rumahtangga pertanian. Kenaikan harga BBM dan penyaluran dana kompensasi, yang pada awalnya diharapkan dapat
memperbaiki kondisi keluarga miskin, ternyata berdampak sebaliknya.
2.3.5. Keterkaitan dengan Defisit Anggaran