Keterkaitan dengan Kemiskinan Subsidi Bahan Bakar Minyak di Indonesia

62 subsidi BBM terjadi ketika harga dunia minyak mentah meningkat tajam sementara pemerintah mempertahankan harga jual eceran BBM. Pada tahun 1990 defisit anggaran sebesar Rp. 34 127 miliar, kemudian turun menjadi Rp. 13 953 miliar pada tahun 1995 sebagai akibat dari dinaikkannya harga jual eceran BBM dalam negeri. Defisit anggaran kemudian membengkak menjadi Rp. 143 583 miliar pada tahun 1998 menyusul depresiasi nilai tukar rupiah dan relatif stabilnya harga jual eceran BBM dalam negeri. Pada tahun 2000 defisit anggaran turun drastis menjadi Rp. 16 132 miliar yang kemungkinan besar disebabkan oleh penambahan penerimaan negara bukan pajak seperti dari hasil penjualan asset, privatisasi badan usaha milik negara, dan penjualan obligasi pemerintah surat utang negara ke pasar dalam negeri. Dengan demikian terdapat hubungan yang erat antara besaran subsidi BBM dengan kecenderungan defisit anggaran. Defisit anggaran seringkali berdampak pada peningkatan utang luar negeri baik yang berasal dari pinjaman maupun penjualan obligasi. Karena itu kebijakan pemerintah mengenai subsidi BBM tidak dapat dilepaskan dari potensi defisit anggaran yang mungkin terjadi.

2.3.6. Keterkaitan dengan Kemiskinan

Masalah kemiskinan tidak hanya meliputi jumlah dan persentase penduduk miskin, tetapi terkait pula dengan batas kemiskinan, kedalaman kemiskinan, dan keparahan kemiskinan, seperti yang terlihat pada Tabel 10. Batas kemiskinan, baik di perdesaan dan perkotaan, dari tahun 1999 sampai tahun 2008 cenderung meningkat. Batas kemiskinan di perkotaan secara umum lebih besar dibandingkan di perdesaan. Hal ini menunjukkan tingginya tingkat biaya hidup di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah perdesaan. 63 Tabel 10. Beberapa Indikator Kemiskinan di Indonesia Tahun 1999-2008 Tahun Batas Kemiskinan Rp. Kedalaman Kemiskinan 21 Keparahan Kemiskinan 22 Rp. Juta Kota Desa Kota Desa Kota+ Desa Kota Desa Kota+ Desa 1999 92 409.00 74 272.00 3.52 4.84 4.33 0.98 1.39 1.23 2002 130 499.00 96 512.00 2.59 3.34 3.01 0.71 0.85 0.79 2005 150 799.00 117 259.00 2.05 3.34 2.78 0.60 0.89 0.76 2006 174 290.00 130 584.00 2.61 4.22 3.43 0.77 1.22 1.00 2007 187 942.00 146 837.00 2.15 3.78 2.99 0.57 1.09 0.84 2008 204 896.00 161 831.00 2.07 3.42 2.77 0.56 0.95 0.76 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2008. Tingkat kedalaman kemiskinan di perkotaan dan perdesaan cenderung turun kecuali untuk tahun 2006. Pada tahun 2008 tingkat kedalaman kemiskinan sebesar 2.07 untuk di perkotaan dan 3.42 untuk di perdesaan. Penurunan ini mengindikasikan adanya perbaikan rata-rata kesenjangan standar hidup penduduk miskin dan garis kemiskinan. Tingkat kedalaman kemiskinan di perdesaan lebih besar dibandingkan tingkat kedalaman kemiskinan di perkotaan. Hal ini berarti bahwa jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin perdesaan terhadap garis kemiskinan perdesaan relatif lebih besar dibandingkan perkotaan. Tingkat keparahan kemiskinan perkotaan dan perdesaan cenderung mengalami penurunan pada periode 1999-2008 kecuali untuk tahun 2006. Pada tahun 2008 tingkat keparahan kemiskinan perkotaan dan perdesaan masing- masing sebesar 0.56 dan 0.95. Penurunan ini menunjukkan bahwa ketimpangan pengeluaran penduduk miskin, baik di desa maupun di kota, secara umum semakin berkurang. Indeks keparahan kemiskinan di perdesaan relatif lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Oleh sebab itu distribusi pengeluaran penduduk 21 Kedalaman kemiskinan adalah ukuran sejauh mana rata-rata pengeluaran penduduk miskin mendekati atau menjauhi garis kemiskinan. Apabila tingkat kedalaman kemiskinan menurun maka rata-rata pengeluaran penduduk miskin makin mendekati garis kemiskinan. 22 Keparahan kemiskinan adalah ukuran sejauh mana perbedaan atau ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin. Jika keparahan kemiskinan menurun maka ketimpangan pengeluaran penduduk miskin semakin menyempit. 64 miskin perdesaan memiliki ketimpangan yang lebih tinggi daripada distribusi pengeluaran penduduk miskin perkotaan. BPS 2008c menyajikan data dan analisa mengenai perkembangan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Pada periode Maret 2007 - Maret 2008 terjadi kenaikan Garis Kemiskinan GK 23 sebesar 9.56 persen dari Rp. 166 697 menjadi Rp. 182 636 per kapita per bulan. Komponen pembentuk GK adalah Garis Kemiskinan Makanan 24 GKM dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan 25 GKBM. Komponen GKM memberikan kontribusi terhadap GK sebesar 74.07 persen dan GKBM sebesar 25.93 persen, pada bulan Maret 2008. Pada periode 1996-2007 jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia mengalami fluktuasi, seperti yang terlihat pada Tabel 11. Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13.96 juta jiwa karena krisis ekonomi, yaitu dari 34.01 juta menjadi 47.97 juta. Pada periode 2000-2005 jumlah penduduk miskin cenderung menurun dari 38.70 juta menjadi 35.10 juta. Namun pada tahun 2006 terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin, yaitu dari 35.10 juta pada bulan Februari 2005 menjadi 39.30 juta pada bulan Maret 2006. Peningkatan jumlah penduduk miskin terjadi salah satunya karena harga BBM 26 yang naik sehingga menyebabkan naiknya harga berbagai barang dan 23 Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan GK. Pada bulan Maret 2008 kontribusi beberapa produk terhadap pembentukan GK adalah beras sebesar 38.97 persen di perdesaan dan 28.06 persen di perkotaan; listrik, angkutan, dan minyak tanah di perkotaan sebesar 3.07 persen, 2.72 persen, dan 2,65 persen, sementara di perdesaan kontribusi ketiga barang tersebut dibawah 2 persen. 24 GKM adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2 100 kalori per kapita per bulan yang diwakili oleh 52 jenis komoditi. 25 GKBM merupakan kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan yang diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan. 26 Pada awal Maret 2005 harga BBM bersubsidi dinaikkan rata-rata sebesar 29 persen. Kemudian pada Tanggal 1 Oktober 2005 harga BBM bersubsidi kembali dinaikkan rata-rata sebesar 127 persen, yang dimaksudkan untuk mengurangi defisit APBN. Kenaikan BBM pada Tanggal 1 Oktober 2005 tersebut memicu inflasi bulan Oktober 2005 sebesar 8.7 persen Bappenas, 2006. 65 inflasi mencapai 17.95 persen periode Februari 2005 – Maret 2006. Akibatnya penduduk yang tergolong tidak miskin namun penghasilannya berada di sekitar garis kemiskinan banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin. Tabel 11. Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia menurut Daerah Tahun 1996-2007 Tahun Penduduk Miskin dalam Juta Penduduk Miskin dalam Persen Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa 1996 9.42 24.59 34.01 13.39 19.78 17.47 1998 17.60 31.90 49.50 21.92 25.72 24.23 1999 15.64 32.33 47.97 19.41 26.03 23.43 2000 12.30 26.40 38.70 14.60 22.38 19.14 2001 8.60 29.30 37.90 9.76 24.84 18.41 2002 13.30 25.10 38.40 14.46 21.10 18.20 2003 12.20 25.10 37.30 13.57 20.23 17.42 2004 11.40 24.80 36.10 12.13 20.11 16.66 2005 12.40 22.70 35.10 11.68 19.98 15.97 2006 14.49 24.81 39.30 13.47 21.81 17.75 2007 13.56 23.61 37.17 12.52 20.37 16.58 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2008c. Pada Tabel 5 disajikan pemakaian energi, khususnya minyak tanah dan elpiji, oleh rumahtangga di Indonesia untuk memasak. Secara keseluruhan dari tahun 1985-2007, sumber energi memasak rumahtangga lebih banyak menggunakan kayu bakar daripada listrik, elpiji, minyak tanah, arang, dan lainnya. Walaupun mempunyai kecenderungan yang menurun, namun pada tahun 2007 penggunaan kayu bakar meningkat sehingga menjadi 49.38 persen dibanding tahun 2001 yang sebesar 43.23 persen. Sumber energi memasak rumahtangga pada tahun 1985 didominasi oleh kayu bakar sebesar 71.57 persen, minyak tanah sebesar 25.93 persen, dan elpiji sebesar 1.06 persen. Konsumsi minyak tanah untuk memasak rumahtangga mengalami pasang surut, dimana pada periode tahun 2001-2007 mengalami penurunan dari 44.10 persen menjadi 36.57 persen. Penurunan konsumsi minyak tanah ini disebabkan oleh kenaikan harga jual eceran minyak tanah pada periode 66 tersebut dari semula Rp. 388 per liter pada tahun 2001 menjadi Rp. 2 000 per liter pada tahun 2007. Kenaikan harga jual eceran minyak tanah menyebabkan konsumen rumahtangga mengalihkan sumber energinya ke kayu bakar yang meningkat menjadi 49.38 persen dan elpiji yang meningkat menjadi 10.57 persen. Tingginya konsumsi kayu bakar dan elpiji pada tahun 2007, selain disebabkan oleh naiknya harga jual eceran minyak tanah, kemungkinan besar sebagai akibat dari pelaksanaan program konversi minyak tanah ke elpiji pada tahun 2007. Dalam pelaksanaan program konversi, pada daerah-daerah yang telah dikonversi, minyak tanah ditarik dari peredaran dan digantikan oleh elpiji. Hal ini menyebabkan masyarakat mampu akan beralih mengkonsumsi elpiji, namun masyarakat kurang mampu, khususnya di perdesaan, yang semula mengkonsumsi minyak tanah akan kembali mengkonsumsi kayu bakar.

2.4. Subsidi Energi di Negara Lain