213 mempunyai nilai U lebih besar dari 20 persen. Nilai U-Theil tertinggi adalah
0.5865 yaitu pada persamaan tingkat pertumbuhan ekonomi yang merupakan persamaan identitas dengan nilai proporsi bias UM kecil yaitu 0.01. Dilihat dari
komponen statistik U, terlihat bahwa proporsi bias UM dan proporsi keragaman US mendekati nol, dan proporsi covarians UC mendekati satu.
Dengan demikian, jika dilihat secara keseluruhan, maka model yang dibangun cukup valid digunakan untuk melakukan simulasi peramalan dampak
perubahan faktor eksternal dan kebijakan.
6.2. Hasil Skenario Simulasi Periode Peramalan Tahun 2010-2014
Program dan hasil peramalan variabel endogen tanpa perubahan faktor eksternal dan kebijakan nilai dasar variabel endogen per tahun pada periode
peramalan 2007-2014, dapat dilihat pada Lampiran 9 dan Lampiran 10. Dalam penelitian ini dilakukan 8 simulasi yang terdiri dari 1 simulasi
perubahan faktor eksternal, 4 simulasi perubahan kebijakan, dan 3 simulasi merupakan gabungan perubahan faktor eksternal dan kebijakan. Program simulasi
kebijakan peramalan dapat dilihat pada Lampiran 11. Sebagai contoh, ditampilkan pula hasil Simulasi 8 pada Lampiran 12. Hasil simulasi kebijakan peramalan yang
lengkap disajikan pada Lampiran 13.
6.2.1. Simulasi Kenaikan Harga Dunia Minyak Mentah 5 Persen
Ketersediaan energi di suatu negara seringkali dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi negara itu. Apakah ketersediaan energi menjadi penyebab
terjadinya pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi mengakibatkan tingginya permintaan akan energi? Hal ini dijawab oleh Afiatno 2006 yang
menemukan bahwa konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi memiliki
214 hubungan multivariat dua arah, yaitu konsumsi energi berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi mempengaruhi konsumsi energi. Karena keduanya memiliki hubungan kuat yang timbal balik, maka
pemerintah harus berhati-hati dalam mengendalikan konsumsi energi karena mempunyai dampak yang luas, biayanya besar, dan dapat berpotensi menurunkan
tingkat pertumbuhan ekonomi. Pengendalian konsumsi suatu barang dapat menggunakan mekanisme
harga, yang dilakukan dengan pengenaan pajak atau subsidi. Minyak mentah memiliki peranan sangat penting dalam perekonomian dunia Barsky and Kilian,
2004. Pergerakan naik turun harga dunia minyak tidak hanya semata-mata disebabkan oleh mekanisme penawaran dan permintaan Krichene, 2005, tetapi
juga disebabkan oleh faktor-faktor keamanan dan spekulasi perdagangan minyak mentah. Minyak mentah dan produk turunannnya, hingga saat ini, masih menjadi
sumber energi utama di negara-negara berkembang dan negara maju. Meskipun untuk pembangkit listrik sudah banyak digunakan sumber energi alternatif seperti
energi nuklir, air, atau gas alam, namun untuk kebutuhan di sektor transportasi masih disuplai utamanya dari energi minyak mentah dan produk turunannya.
Begitu pentingnya sumber energi minyak mentah dan produk turunannya ini sebagai sumber energi utama, sehingga fluktuasi harganya berpengaruh
terhadap kegiatan perekonomiannya. Raymond and Rich 1997 menemukan bahwa fluktuasi harga dunia minyak mentah memberikan kontribusi atas
rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat. Yunchang 1996 menemukan bahwa pergerakan harga dunia minyak mentah berpengaruh negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi negara Taiwan. Dampak dari fluktuasi harga
215 dunia minyak mentah tidak hanya negatif terhadap negara-negara maju seperti
Amerika Serikat dan Taiwan, tetapi juga terhadap perekonomian Indonesia. Bahkan untuk beberapa kasus, Indonesia mengalami dampak yang lebih berat
karena beban subsidi energi BBM. Hingga saat ini masih sulit bagi pemerintah untuk melepaskan subsidi BBM ketika harga dunia minyak mentah meningkat.
Borenstein, et al.
1997 menemukan dalam penelitiannya bahwa harga gasoline
di Indonesia setara dengan premium berfluktuasi secara asimetri terhadap harga dunia minyak mentah. Ketika harga dunia minyak mentah naik
maka harga gasoline dengan segera menyesuaikan diri, apabila harga dunia minyak mentah turun maka harga gasoline tidak segera turun. Penyesuaian harga
gasoline yang asimetri ini dibantah oleh Bachmeier and Griffin 2003, yang
dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pergerakan harga gasoline simetri terhadap harga dunia minyak mentah. Penyesuaian harga gasoline segera terjadi
ketika harga dunia minyak mentah berfluktuasi. Di Indonesia, subsidi energi BBM tidak hanya berkaitan dengan
kemampuan daya beli masyarakat dan kemiskinan, tetapi telah menjadi komoditas politik. Soebiakto 1988 dalam disertasinya menyimpulkan bahwa fluktuasi
harga dunia minyak mentah menimbulkan dampak ketidakpastian terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini terjadi karena ketergantungan yang tinggi dari
penerimaan ekspor minyak mentah, yang sangat dipengaruhi oleh harga dunia minyak mentah dan nilai tukar rupiah. Soebiakto juga menemukan bahwa setiap
penurunan harga dunia minyak mentah US1 per barrel akan mengakibatkan penurunan belanja pemerintah US32 juta, peningkatan defisit neraca pembayaran
US10 juta, dan peningkatan hutang eksternal US145 juta, demikian pula
216 sebaliknya. Penghitungan Soebiakto belum memperhitungkan penambahan
subsidi harga ketika harga jual eceran BBM konstan. Karena itu sangat penting untuk mengetahui dampak dari kenaikan harga
dunia minyak mentah sebesar 5 persen terhadap perekonomian Indonesia, besaran subsidi harga BBM, dan dampak terhadap jumlah orang miskin di Indonesia, yang
disajikan pada Tabel 52. Subsidi harga BBM ternyata sangat elastis terhadap perubahan harga dunia BBM. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan harga dunia
BBM akan sangat direspon oleh pemerintah melalui kenaikan subsidi harganya. Dari hasil estimasi parameter persamaan subsidi harga premium, sebagai contoh,
setiap kenaikan harga dunia premium US1 per barrel akan mengakibatkan kenaikan subsidi harga premium sebesar Rp. 19.2383 per liter, dan sebaliknya.
Responsifnya subsidi harga terhadap pergerakan harga dunia minyak mentah memberikan indikasi bahwa pemerintah Indonesia cenderung
mempertahankan harga jual eceran BBM pada tingkat harga yang berlaku. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk meredam gejolak perekonomian dunia,
yang salah satunya dapat berasal dari harga dunia minyak mentah, agar tidak mempengaruhi perekonomian domestik. Meskipun subsdi harga sangat responsif
terhadap fluktuasi harga dunia minyak mentah, namun ternyata harga jual eceran BBM mengalami kenaikan yang lebih besar dibandingkan dengan kenaikan
subsidi harganya. Hal ini antara lain disebabkan oleh ketersediaan anggaran yang cenderung menurun sebesar 0.201 persen, yang tampaknya membatasi
kemampuan pemerintah dalam memberikan respon subsidi yang sesuai, sehingga terjadi kenaikan harga jual eceran BBM yang melampaui kenaikan subsidi
harganya.
217
Tabel 52.
1 2
3 4
5 6
7 8
PNWJPR Penawaran Premium Ribu Liter
33 898 969 0.109
0.160 3.339
1.628 3.796
4.360 4.874
10.043
PNWJSL Penawaran M.Solar Ribu Liter
37 315 237 0.213
0.098 1.330
0.639 1.511
1.945 2.191
3.697
PNWJKR Penawaran M.Tanah Ribu Liter
7 818 580 -1.152
-0.026 -0.322
-0.154 -0.366
-1.598 -1.664
-2.007
PNWJLG Penawaran Elpiji Ribu Kilogram
1 305 403 -1.381
-0.015 -0.340
-0.167 -0.387
-1.836 -1.890
-2.418
PNWJBM Penawaran BBM Ribu Liter
87 773 312 0.030
0.101 1.826
0.887 2.076
2.369 2.666
5.272
KOSJPRT Kons. Premium di Transport. Rb Lt
26 466 929 -0.918
0.010 -2.819
-0.069 -2.851
-3.849 -3.887
-4.258
KOSJPR Konsumsi Premium Ribu Liter
26 846 754 -0.905
0.010 -2.779
-0.068 -2.810
-3.795 -3.832
-4.198
KOSJSLT Kons. M.Solar di Transport. Rb Lt
17 122 380 -3.243
1.087 -5.040
-0.289 -5.149
-8.632 -8.759 -10.081
KOSJSLI Kons. M.Solar di Industri Rb Lt
14 315 475 -0.105
0.034 -0.143
-0.012 -0.147
-0.265 -0.274
-0.295
KOSJSLK Kons. M.Solar di RT Kom. Rb Lt
783 877 -0.867
0.290 -1.303
-0.083 -1.334
-2.276 -2.318
-2.628
KOSJSL Konsumsi Minyak Solar Rb Lt
34 496 949 -1.673
0.560 -2.590
-0.150 -2.647
-4.446 -4.514
-5.186
KOSJKRT Kons. M.Tanah di Transport. Rb Lt
2 423 -4.886
1.184 -25.883
-35.635 -36.468
-41.796 -42.023 -43.851
KOSJKRI Kons. M.Tanah di Industri Rb Lt
417 944 -6.863
1.666 -36.385
-50.096 -51.259
-58.733 -59.043 -61.642
KOSJKRK Kons. M.Tanah di RT Kom. Rb Lt
11 827 549 -3.188
0.781 -16.420
-22.612 -23.165
-26.486 -26.650 -27.653
KOSJKR Konsumsi Minyak Tanah Ribu Liter
12 789 797 -3.174
0.777 -16.378
-22.555 -23.104
-26.421 -26.583 -27.595
KOSJLGI Kons. Elpiji di Industri Rb Kg
399 185 -1.085
0.140 -2.852
3.819 3.558
1.704 1.648
0.888
KOSJLGK Kons. Elpiji di RT Kom. Rb Kg
917 056 -0.110
-0.018 0.584
4.294 4.266
3.864 3.874
3.589
KOSJLG Konsumsi Elpiji Ribu Kilogram
1 316 242 -0.405
0.030 -0.458
4.150 4.051
3.209 3.199
2.770
KOSCPR Konsumsi Premium Miliar Rp
73 485 7.769
-0.009 24.287
0.689 24.587
32.696 33.166
35.149
KOSCSL Konsumsi Minyak Solar Miliar Rp
113 628 5.827
-1.974 8.193
0.642 8.420
14.412 14.760
16.158
KOSCKR Konsumsi Minyak Tanah Miliar Rp
17 275 15.789
-3.890 68.779
85.769 87.185
94.671 95.010
96.952
KOSCLG Konsumsi Elpiji Miliar Rp
3 319 3.603
-0.452 10.913
-10.127 -8.909
-2.139 -1.748
-0.066
KOSCBM Konsumsi BBM Miliar Rp
231 145 6.566
-1.271 17.046
6.799 18.343
24.524 24.875
26.362
HJECPR Harga Jual Eceran Premium RpLt
2 720 8.757
-0.029 27.775
0.743 28.120
37.881 38.407
41.120
HJECSL Harga Jual Eceran M.Solar RpLt
3 283 7.730
-2.549 11.235
0.801 11.537
20.034 20.491
22.854
HJECKR Harga Jual Eceran M.Tanah RpLt
1 349 19.720
-4.654 102.742 141.352
145.116 166.956 168.134 174.203
HJECLG Harga Jual Eceran Elpiji RpKg
2 516 4.051
-0.489 11.476
-13.734 -12.498
-5.215 -4.834
-2.731
IMPJPR Jumlah Impor Premium Ribu Liter
24 380 853 0.151
0.223 4.642
2.263 5.278
6.062 6.777
13.964
IMPJSL Jumlah Impor M.Solar Ribu Liter
25 231 664 0.315
0.144 1.967
0.946 2.234
2.877 3.240
5.467
IMPJKR Jumlah Impor M.Tanah Ribu Liter
3 260 140 -2.764
-0.064 -0.773
-0.369 -0.877
-3.832 -3.991
-4.813
IMPRPR Impor Premium Miliar Rp
109 922 5.825
0.409 6.610
3.172 7.524
14.880 16.119
25.506
IMPRSL
Impor Minyak Solar Miliar Rp
118 397 6.006
0.307 3.702
1.759 4.208
11.167 11.956
15.855
IMPRKR Impor Minyak Tanah Miliar Rp
16 064 2.684
0.066 0.779
0.376 0.883
3.626 3.759
4.475
IMPBBM Impor Bahan Bakar Minyak Miliar Rp
255 417 5.462
0.323 4.610
2.205 5.245
11.811 12.719
18.612
EKSJLG Jumlah Ekspor Elpiji Ribu Kg
334 733 5.387
0.059 1.326
0.649 1.508
7.162 7.372
9.432
EKSRLG Ekspor Bahan Bakar Minyak Miliar Rp
999 11.448
0.110 2.692
1.311 3.062
15.311 15.771
20.494
BOTBBM Ekspor Bersih BBM Miliar Rp
- 254 417 5.439
0.323 4.618
2.209 5.254
11.798 12.707
18.605
SUBHPR Subsidi Harga Premium RupiahLiter
1 697 0.595
0.389 -40.415
0.766 -40.415
-37.426 -37.426 -37.426
SUBHSL Subsidi Harga M.Solar RupiahLiter
1 359 0.530
6.610 -21.775
0.640 -21.775
-17.851 -17.851 -17.851
SUBHKR Subsidi Harga M.Tanah RupiahLiter
3 555 0.270
1.944 -36.832
-52.624 -52.624
-50.262 -50.262 -50.262
SUBHLG Subsidi Harga Elpiji RpKg
546 12.779
2.929 -44.160
67.338 67.338
75.760 75.760
75.760
Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian dan Kemiskinan di Indonesia Periode Peramalan Tahun 2010 - 2014
Variabel Nilai
Dasar Simulasi persen
Uraian
218
Tabel 52. 1
2 3
4 5
6 7
8
SUBRPR Subsidi Premium Miliar Rp
46 014 -0.348
0.404 -42.276
0.709 -42.296
-42.906 -42.930 -43.151
SUBRSL Subsidi Minyak Solar Miliar Rp
46 927 -1.185
7.245 -23.784
0.489 -23.831
-25.308 -25.366 -25.903
SUBRKR Subsidi Minyak Tanah Miliar Rp
45 488 -2.976
2.751 -47.373
-63.512 -63.785
-65.400 -65.483 -65.948
SUBRLG Subsidi Elpiji Miliar Rp
722 12.360
2.993 -44.575
74.103 73.923
72.454 72.440
71.706
SUBBBM Subsidi Bahan Bakar Minyak Miliar Rp
139 150 -1.424
3.492 -37.718
-19.978 -42.491
-43.726 -43.781 -44.191
REVTAX Penerimaan Pajak Miliar Rp
330 922 -0.074
10.000 -0.330
-0.204 -0.387
10.000 10.000
10.000
REVDDN Penerimaan DN Pemerintah Miliar Rp
486 623 -0.051
10.274 -0.224
-0.138 -0.263
10.274 10.274
10.274
FISCGP GAP Fiskal Miliar Rp
- 95 277 -0.972
9.906 -52.291
-27.900 -58.905
-54.474 9.678
11.874
KOSNBM Konsumsi Non-BBM Miliar Rp
1 408 642 -0.834
0.014 -2.245
-1.089 -2.547
-3.549 -3.734
-5.178
KOSNAS Konsumsi Nasional Miliar Rp
1 639 787 0.209
-0.167 0.474
0.023 0.397
0.408 0.299
-0.732
INVRMG Investasi MIGAS Miliar Rp
55 718 -0.026
0.159 -0.119
-0.075 -0.140
-0.020 0.149
-0.017
INVNMG Investasi Non-MIGAS Miliar Rp
177 407 -0.610
-0.027 -1.671
-0.829 -1.903
-2.688 -2.882
-6.343
INVEST Investasi Nasional Miliar Rp
233 125 -0.471
0.018 -1.300
-0.649 -1.481
-2.050 -2.157
-4.831
GOVENS Belanja Non-Subsidi BBM Miliar Rp
442 750 0.183
12.327 0.355
0.123 0.389
13.312 27.135
27.736
GOVEXP Belanja Pemerintah Miliar Rp
581 900 -0.201
10.214 -8.749
-4.684 -9.865
-0.327 10.177
10.536
IMPNBM Impor Non-BBM Miliar Rp
346 479 0.162
0.104 0.393
0.170 0.441
0.731 0.877
0.523
IMPORT Impor Nasional Miliar Rp
601 895 2.411
0.197 2.183
1.034 2.480
5.433 5.902
8.199
EKSNBM Ekspor Non-BBM Miliar Rp
787 297 0.078
0.085 1.595
0.775 1.813
2.120 2.376
4.750
EKSPOR Ekspor Nasional Miliar Rp
788 296 0.093
0.086 1.597
0.776 1.815
2.137 2.393
4.770
GDPNAS GDP Nasional Miliar Rp
2 641 213 -0.478
2.129 -1.769
-1.079 -2.081
-0.600 1.606
0.996
MONEYS Jumlah Penawaran Uang Miliar Rp
1 256 557 -0.609
2.905 -2.420
-1.484 -2.845
-0.775 2.266
0.475
MONEYD Jumlah Permintaan Uang Miliar Rp
1 366 987 -0.788
3.153 -2.990
-1.790 -3.501
-1.417 1.852
-0.649
NTUKRR Nilai Tukar RpUS
8 483 0.578
0.120 1.537
0.737 1.745
2.593 2.886
4.549
CPINDX Indeks Harga Konsumen indeks
298.40 1.542
0.335 4.055
1.944 4.591
6.836 7.607
13.183
INTRIL Tingkat Suku Bunga persen
2.76 1.121
-6.676 5.040
3.182 5.929
0.936 -6.121
0.178
LABORS Jlh. Penawaran Tenaga Kerja Juta Jiwa
121.10 0.000
0.165 0.000
0.000 0.000
0.083 0.248
0.248
LABORD Jlh. Permintaan Tenaga Kerja Juta Jiwa
108.30 -0.092
0.646 -0.554
-0.277 -0.646
-0.185 0.554
0.185
UMRNAS Upah Minimum Nasional Rb RpBulan
528.10 -0.095
-1.041 -0.284
-0.170 -0.322
-1.534 -2.708
-2.746
UNEMPL Jumlah Pengangguran Juta Jiwa
12.83 1.114
-4.493 4.362
2.670 5.126
2.204 -2.456
0.479
INFLSI Tingkat Inflasi Domestik Tahun
9.44 4.736
1.931 12.083
5.552 13.634
21.241 24.468
27.408
NETEKS Ekspor Bersih Nasional Miliar Rp
186 400 -7.394
-0.273 -0.296
-0.057 -0.330
-8.508 -8.938
-6.302
GROWTH Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Thn
3.40 -4.021
14.015 -11.485
-6.756 -13.559
-4.721 9.591
19.729
JOVDES Jumlah Penduduk Miskin Desa Jt Jiwa
13.78 1.526 -12.936
13.615 7.425
15.479 5.034
-8.322 -4.821
JOVKOT Jumlah Penduduk Miskin Kota Jt Jiwa
5.72 1.768 -22.464
23.250 11.717
25.560 6.297 -16.467
-16.303
POVERT Tingkat Penduduk Miskin Nasional
8.17 1.587 -15.588
16.313 8.616
18.291 5.385 -10.590
-7.967
Keterangan: Simulasi 1 Harga Dunia Minyak Mentah naik 5 persen
Simulasi 2 Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah naik 10 persen Simulasi 3 Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, Minyak Tanah, dan Elpiji
Simulasi 4 Konversi Minyak Tanah ke Elpiji Simulasi 5 Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, dan Konversi Minyak Tanah ke Elpiji
Simulasi 6 Simulasi 1 + Simulasi 2 + Simulasi 5 Simulasi 7 Simulasi 1 + Simulasi 2 + Simulasi 5 + Realokasi Anggaran sebesar Rp. 60 845 Miliar.
Simulasi 8 Simulasi 1 + Simulasi 2 + Simulasi 5 + Indek Harga Konsumen naik 5 persen + Realokasi Anggaran sebesar Rp. 61 492 Miliar.
Lanjutan Variabel
Uraian Nilai
Dasar Simulasi persen
219 Kenaikan harga jual eceran BBM, sesuai dengan hukum penawaran dan
permintaan, akan menurunkan konsumsinya. Kenaikan harga jual eceran premium sebesar 8.757 persen mengakibatkan penurunan konsumsi premium di sektor
transportasi sebesar 0.918 persen. Hal ini sesuai dengan konsumsi premium di sektor transportasi yang tidak elastis terhadap harganya, sebesar 0.0642 dalam
jangka pendek. Secara umum kenaikan harga jual eceran BBM akan menurunkan tingkat konsumsi masing-masing.
Fenomena penurunan tingkat konsumsi energi BBM, memiliki dampak yang luas dan berpotensi mengurangi tingkat pertumbuhan ekonomi. Hal ini
sebagaimana yang ditemukan oleh Afiatno 2006 bahwa terdapat hubungan timbal balik antara konsumsi energi dengan pertumbuhan ekonomi. Dari simulasi
ini jelas terlihat bahwa penurunan konsumsi BBM, sebagai akibat dari kenaikan harga jual ecerannya, berdampak pada penurunan GDP nasional 0.478 persen dan
penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 4.021 persen. Salah satu faktor yang membuat GDP nasional turun adalah menurunnya ekspor bersih, yang
diakibatkan oleh tingginya harga beli minyak mentah dunia. Ketika harga dunia minyak mentah meningkat, konsumsi energi yang tidak elastis terhadap harganya,
membutuhkan devisa yang lebih besar untuk membiayai impornya. Peningkatan nilai impor yang besar ini pada akhirnya membuat neraca perdagangan menjadi
defisit dan GDP nasional menjadi negatif. Selanjutnya penurunan jumlah penawaran uang yang lebih besar dari permintaannya, akan berdampak pada
peningkatan tingkat suku bunga sebesar 1.121 persen. Hal ini ikut memberikan andil terhadap penurunan investasi nasional sebsear 0.471 persen.
220 Selanjutnya simulasi ini memberikan dampak terhadap kenaikan tingkat
inflasi sebesar 4.736 persen. Penelitian Hasan, Sugema, dan Ritonga 2005 menunjukkan bahwa peningkatan inflasi berakibat pada penurunan pendapatan riil
masyarakat. Penurunan pendapatan riil masyarakat, jika terjadi pada masyarakat yang berada pada dan sekitar garis kemiskinan, akan menyebabkan mereka jatuh
pada kelompok orang miskin. Pada tingkat inflasi tersebut, jumlah penduduk miskin perdesaan meningkat 1.526 persen dan penduduk miskin perkotaan
meningkat 1.768 persen, sehingga tingkat penduduk miskin nasional meningkat sebesar 1.587 persen. Peningkatan penduduk miskin ini juga dipengaruhi oleh
semakin besarnya angka pengangguran yang meningkat 1.114 persen sebagai dampak dari penurunan investasi nasional. Meningkatnya pengangguran
mengakibatkan semakin berkurangnya pendapatan yang biasanya diterima oleh pekerja, sehingga hal ini berpotensi juga mengurangi pendapatan riil masyarakat.
Selain pengangguran yang meningkat, juga tingkat upah nasional mengalami penurunan sebesar 0.095 persen. Keempat hal diatas, yaitu belanja pemerintah dan
upah nasional yang berkurang, inflasi dan pengangguran yang meningkat, secara bersama-sama mengakibatkan penurunan pendapatan riil masyarakat, sehingga
semakin banyak penduduk yang masuk dalam kategori penduduk miskin.
Simulasi Kenaikan Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 10 Persen
Instrumen kebijakan fiskal bersama-sama dengan kebijakan moneter seringkali dilakukan pemerintah dalam rangka menjaga momentum pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan. Sebagian komponen kebijakan moneter merupakan domain kewenangan Bank Indonesia seperti target inflasi dan menjaga kestabilan
nilai tukar rupiah. Dalam prakteknya Bank Indonesia selalu melakukan koordinasi
221 dengan pemerintah dalam rangka menjalankan kewenangannya. Berbeda dengan
kebijakan moneter, maka kebijakan fiskal merupakan domain utama kewenangan pemerintah yang dalam pelaksanannya seringkali harus dikonsultasikan dengan
para wakil rakyat. Sehingga kebijakan fiskal di Indonesia, sebagaimana juga kebijakan fiskal di negara lain, merupakan produk dari suatu proses politik.
Secara garis besar komponen dari kebijakan fiskal adalah alokasi anggaran untuk pos-pos atau kegiatan tertentu, sumber-sumber dan target penerimaan dalam
negeri dan luar negeri, asumsi-asumsi makro yang mendasari perhitungan penerimaan dan belanja, serta besaran dari belanja itu sendiri. Dalam rangka
mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi pada tahun-tahun paska reformasi, pemerintah berupaya meningkatkan besaran belanja negara dengan
sumber pendanaan dari dalam negeri. Besarnya utang luar negeri dan dalam negeri pemerintah telah membebani anggaran belanja negara melalui pos
pembayaran cicilan pokok dan bunga. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah pada masa sebelumnya yang mengandalkan sumber pembiayaan dari
luar negeri atau pinjaman dalam negeri untuk menutup defisit anggaran. Belajar dari pengalaman, saat ini pemerintah berupaya untuk lebih mengutamakan
sumber-sumber pembiayaan dalam negeri dengan mengoptimalkan penerimaan pajak dan bukan pajak. Komponen terbesar dari penerimaan pajak adalah pajak
penghasilan. Saat ini pemerintah telah melakukan upaya-upaya ekstensifikasi dan intensifikasi penarikan pajak penghasilkan melalui sosialisasi Nomor Pokok
Wajib Pajak NPWP yang harus dimiliki oleh setiap warganegara. Penerimaan bukan pajak antara lain bersumber dari keuntungan Badan Usaha Milik Negara,
222 hasil penjualan asset yang dimiliki negara seperti penjualan saham BUMN, dan
pungutan lainnya. Dalam beberapa tahun terakhir Departemen Keuangan, 2009b, strategi
kebijakan fiskal lebih diarahkan untuk memberikan stimulus fiskal dengan tetap memperhatikan langkah-langkah konsolidasi fiskal guna mewujudkan APBN
yang sehat dan berkelanjutan. Langkah konsolidasi fiskal ditempuh melalui optimalisasi sumber-sumber penerimaan negara, peningkatan efisiensi dan
efektivitas belanja negara, serta pemilihan alternatif pembiayaan yang tepat untuk meminimalkan resiko keuangan di masa mendatang. Optimalisasi sumber-sumber
penerimaan negara dapat ditempuh melalui peningkatan penerimaan dari pajak dan bukan pajak. Reformasi kebijakan dan administrasi perpajakan ditempuh
melalui: 1 perubahan paket undang-undang perpajakan, kepabeanan, dan cukai, 2 peningkatan pengawasan terhadap wajib pajak dan pengawasan internal
terhadap petugas pajak, 3 peningkatan kapasitas sumber daya manusia, 4 perbaikan sistem informasi dan teknologi, dan 5 modernisasi perpajakan.
Penerimaan dalam negeri terdiri dari penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak. Penerimaan pajak mengalami kenaikan sangat signifikan
pada tahun 2005, 2006, 2007, 2008, dan 2009 yaitu berturut-turut Rp. 347.0 triliun, Rp. 409.2 triliun, Rp. 491.0 triliun, Rp. 633.8 triliun, dan Rp. 725.8 triliun
atau rata-rata 20.23 persen per tahun pada periode tersebut. Penerimaan pajak pada tahun 2009 mencapai 13.6 persen dari PDB nasional. Sementara penerimaan
negara bukan pajak mengalami kenaikan cukup besar pada tahun 2005, 2006, 2007, 2008, dan 2009 yaitu berturut-turut Rp. 149.9 triliun, Rp. 227.0 triliun, Rp.
215.1 triliun, Rp. 325.7 triliun, dan Rp. 258.9 triliun atau rata-rata 14.71 persen
223 per tahun pada periode tersebut. Penerimaan negara bukan pajak pada tahun 2009
mencapai 4.9 persen dari PDB nasional. Fluktuasi penerimaan negara bukan pajak lebih banyak disebabkan oleh fluktuasi harga dunia minyak mentah dan nilai tukar
rupiah. Secara umum penerimaan dalam negeri pemerintah mengalami kenaikan rata-rata sebesar 18.83 persen per tahun pada periode 2005-2009.
Peningkatan penerimaan dalam negeri pemerintah dimaksudkan untuk memberikan fiscal space atau ruang fiskal
32
yang lebih besar pada pemerintah untuk dapat digunakan pada program-program yang muncul mendadak namun
sangat mendesak untuk segera diselesaikan, tanpa mengganggu rencana program yang sudah ada. Peningkatan penerimaan dalam negeri pemerintah sebesar 10
persen, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 52, ditujukan untuk menciptakan ruang fiskal apabila ditengah tahun anggaran berjalan terjadi kenaikan kebutuhan
anggaran seperti kenaikan harga dunia minyak mentah. Simulasi tunggal ini dilakukan untuk mengetahui dampak dari peningkatan ruang fiskal terhadap
kinerja perekonomian, gap fiskal yaitu selisih antara penerimaan dalam negeri dengan belanja negara, dan terhadap kemiskinan.
Kenaikan penerimaan dalam negeri pemerintah, yang memperbesar ruang fiskal, ternyata dimanfaatkan pemerintah untuk meningkatkan anggaran subsidi
BBM sebesar 3.492 persen dan anggaran diluar subsidi BBM sebesar 12.327 persen. Besarnya peningkatan anggaran non-subsidi dibandingkan dengan
anggaran subsidi, tampaknya disebabkan oleh kebutuhan belanja non-subsidi yang
32
Fiscal space atau ruang fiskal menurut Heller, 2005 dalam Departemen Keuangan, 2009b
adalah ketersediaan ruang yang cukup pada anggaran pemerintah untuk menyediakan sumber daya tertentu dalam rangka mencapai suatu tujuan tanpa mengancam kesinambungan posisi keuangan
pemerintah. Konsep fiscal space terutama mengacu kepada kemampuan anggaran pemerintah untuk menambah pengeluarannya tanpa menyebabkan terjadinya fiscal insolvency. Untuk
menciptakan fiscal space dapat dilakukan berbagai cara antara lain peningkatan penerimaan pajak, memangkas belanja yang kurang prioritas, dan menambah hibah atau pinjaman.
224 lebih besar sementara kebutuhan belanja subsidi BBM relatif konstan. Relatif
konstannya kebutuhan belanja subsidi BBM dikarenakan relatif konstannya harga dunia minyak mentah.
Sebagai dampak dari meningkatnya anggaran subsidi BBM, maka anggaran subsidi harga BBM mengalami peningkatan. Subsidi harga minyak solar
meningkat paling besar yaitu 6.610 persen. Secara umum, peningkatan subsidi harga BBM akan menurunkan harga jual eceran BBM rata-rata sebesar 1.93
persen, dimana penurunan terbesar pada harga jual eceran minyak tanah sebesar 4.654 persen. Dampak selanjutnya dari penurunan harga jual eceran BBM adalah
peningkatan konsumsinya rata-rata sebesar 0.34 persen. Peningkatan konsumsi energi, seperti yang disampaikan oleh Siddiqui 2004 berhubungan erat dengan
potensi pertumbuhan ekonomi yang membaik. Hal ini terlihat dari meningkatnya GDP nasional sebesar 2.129 persen dan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar
14.015 persen. Ditinjau dari pasar uang, kebijakan ini diperkirakan akan memberikan
dampak yang positif bagi sektor keuangan dengan menciptakan suku bunga yang relatif rendah. Rendahnya tingkat suku bunga menciptakan iklim yang kondusif
bagi perekonomian untuk merangsang tingkat investasi agar lebih besar lagi. Selain itu juga perlu disadari bahwa rendahnya tingkat suku bunga perbankan
akan mengakibatkan terjadinya pergeseran modal dari sistem perbankan ke pasar modal yang diharapkan dapat memberikan keuntungan lebih besar. Pergeseran
investasi ke pasar modal akan semakin menggairahkan sistem perekonomian dan memperkuat landasan ekonomi pasar di Indonesia. Modal yang diperoleh dari
pasar modal dapat digunakan oleh pengusaha untuk melakukan kegiatan investasi
225 lanjutan. Sehingga penurunan tingkat suku bunga riil pada sistem perbankan
memiliki dua keuntungan sekaligus. Pertama adalah semakin murahnya biaya pinjaman uang cost of money dari sistem perbankan sehingga merangsang
pengusaha untuk berinvestasi. Kedua, menurunnya tingkat suku bunga riil di sektor perbankan akan membuat deposan mengalihkan uang dari perbankan ke
pasar modal. Peningkatan transaksi di pasar modal akan semakin menggairahkan jual beli saham di pasar modal dan sekaligus memperbesar peluang pengusaha
dalam memanfaatkan dana berlimpah di pasar modal. Penawaran uang akan naik sebesar 2.905 persen dan permintaan uang akan naik sebesar 3.153 persen. Hal ini
mengakibatkan tingkat suku bunga mengalami penurunan sebesar 6.676 persen. Selain itu, kebijakan ini mampu memberikan dampak positif bagi
perekonomian, yang terlihat dari penurunan jumlah penduduk miskin perdesaan sebesar 12.936 persen dan penduduk miskin perkotaan sebesar 22.464 persen,
sehingga tingkat penduduk miskin nasional mengalami penurunan sebesar 15.888 persen. Besarnya penurunan angka kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari
pengaruh positif peningkatan belanja pemerintah, penurunan pengangguran, serta penurunan harga jual eceran elpiji, yang sangat penting bagi konsumsi energi
masyarakat perkotaan.
Simulasi Pengurangan Subsidi Harga Premium, Minyak Solar, Minyak Tanah, dan Elpiji
Alokasi belanja subsidi energi yaitu subsidi BBM dan listrik cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yaitu dari 2.15 persen dari PDB pada
tahun 2002 menjadi 6.68 persen dari PDB pada tahun 2009. Subsidi memiliki dua sisi yang berbeda. Di satu pihak subsidi sangat diperlukan oleh masyarakat ketika
terjadi krisis atau lonjakan harga barang-barang kebutuhan primer. Salah satu ciri
226 barang kebutuhan primer adalah tidak elastisnya permintaan barang tersebut
terhadap harganya, selain juga sulit atau tidak ada barang substitusinya. Kenaikan harga barang primer, sebagai contoh barang primer adalah BBM, cenderung akan
menurunkan kemampuan daya beli dan kualitas hidup masyarakat. Untuk itu, diperlukan peran pemerintah dalam menjaga stabilitas harga barang primer
melalui mekanisme pajak atau subsidi. Minyak tanah adalah sumber energi utama rumahtangga di banyak negara Asia. Karena itu subsidi minyak tanah masih lazim
diberikan di beberapa negara Asia, seperti Turkmenistan, Bhutan, India, dan Indonesia Shikha Jha, et al., 2009.
Di pihak lain, belanja subsidi merupakan belanja non-discretionary spending
atau belanja wajib seperti halnya pembayaran biaya bunga dan hutang pokok pinjaman. Belanja subsidi ini cenderung meningkat dan akan berpotensi
mengganggu keberlanjutan anggaran pemerintah. Hal ini seterusnya akan dapat mengurangi kepercayaan terhadap ekonomi Indonesia yang dapat mengakibatkan
terjadinya capital flight dan melemahnya mata uang rupiah. Jika nilai tukar rupiah melemah maka harga barang-barang domestik akan ikut melonjak karena
tingginya porsi barang-barang impor dalam perekonomian Indonesia. Inflasi yang tinggi akan meningkatkan beban perekonomian rakyat, melemahnya daya beli
masyarakat, pertumbuhan ekonomi terganggu, pengangguran dan kemiskinan akan meningkat. Dampak lain dari peningkatan beban subsidi adalah
berkurangnya fiscal space dan sekaligus juga berkurangnya kesempatan pemerintah untuk melaksanakan berbagai program penting dalam rangka
peningkatan kesejahteraan rakyat dalam bentuk program-program pengentasan kemiskinan dan pembangunan prasarana lainnya.
227 Menyadari hal-hal diatas, pemerintah melakukan upaya kebijakan antara
lain berupa penyesuaian harga BBM, konversi minyak tanah ke elpji, efisiensi PT Pertamina melalui pengurangan biaya distribusi dan margin faktor alpha,
pengendalian konsumsi BBM, serta pemanfaatan energi alternatif Departemen Keuangan, 2009b. Penyesuaian harga BBM merupakan salah satu pilihan
kebijakan yang dapat dilakukan baik ketika harga dunia minyak mentah meningkat, nilai tukar rupiah merosot, atau pemerintah berupaya mengurangi
beban APBN melalui penghematan subsidi BBM. Pengurangan subsidi harga dilakukan dengan mengurangi porsi subsidi harga terhadap harga keekonomian
masing-masing jenis BBM. Porsi subsidi harga premium yang semula 38.42 persen dari harga keekonomiannya, diturunkan menjadi 20.00 persen. Porsi
subsidi harga minyak solar yang semula 29.27 persen dari harga keekonomiannya, diturunkan menjadi 20.00 persen. Porsi subsidi harga minyak tanah yang semula
72.49 persen dari harga keekonomiannya, diturunkan menjadi 40.00 persen. Porsi subsidi harga elpiji yang semula 17.84 persen dari harga keekonomiannya,
diturunkan menjadi 10.00 persen. Dampak dari pengurangan subsidi harga BBM dapat dilihat pada Tabel 52.
Ditinjau dari sisi pasar BBM, kebijakan ini berdampak pada peningkatan harga-harga BBM. Peningkatan harga tertinggi terjadi pada minyak tanah sebesar
102.742 persen. Peningkatan harga ini berdampak pada penurunan tingkat konsumsi, yang tertinggi adalah konsumsi minyak tanah yang turun sebesar
16.378 persen. Penurunan tingkat konsumsi energi, seperti yang dikemukakan oleh Afiatno 2006, memiliki pengaruh terhadap tingkat kegiatan perekonomian
pada umumnya.
228 Siddiqui 2004 meneliti hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan
konsumsi energi di Pakistan periode 1971-2003. Peningkatan penawaran energi pada harga yang terjangkau sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi.
Pengaturan harga energi agar terjangkau masyarakat dilakukan melalui deregulasi. Kenaikan harga energi akan mengurangi permintaan energi, dan akibatnya akan
menurunkan pertumbuhan ekonomi. Karena itu kebijakan mengenai harga energi, khususnya harga jual eceran BBM, harus mempertimbangkan dampaknya
terhadap pertumbuhan ekonomi. Lamech and O’Sullivan 2002 dalam Siddiqui 2004 menekankan pentingnya peran energi dalam upaya pengentasan
kemiskinan. Strategi pengentasan kemiskinan harus terkait dengan upaya perluasan akses terhadap energi, menerapkan strategi fiskal berkelanjutan,
mengurangi ketergantungan pada anggaran negara dalam rangka melaksanakan kebijakan energi, dan kebijakan fiskal yang ketat untuk mengoptimalkan
penggunaan energi. Hasil simulasi peramalan kebijakan ini mengakibatkan dampak negatif
terhadap perkembangan perekonomian pada umumnya. Kondisi ini terlihat dari menurunnya investasi dan ekspor bersih serta penurunan besaran GDP nasional.
Penurunan GDP nasional tampaknya diakibatkan oleh penurunan konsumsi energi sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan.
Selanjutnya, perrmintaan uang mengalami penurunan lebih cepat dari penawarannya, sehingga mengakibatkan tingkat suku bunga meningkat sebesar
5.040 persen. Peningkatan suku bunga mengakibatkan investasi baik investasi migas maupun investasi non-migas mengalami penurunan. Penyediaan
kesempatan kerja yang menyerap pencari kerja, sangat ditentukan oleh besarnya
229 investasi dalam negeri. Oleh karena penurunan investasi juga berdampak pada
penurunan permintaan tenaga kerja, maka jumlah tenaga kerja yang tidak terserap pada lapangan kerja mengalami peningkatan sebesar 4.362 persen.
Kenaikan harga-harga BBM berdampak pada peningkatan biaya transportasi dan biaya transaksi pada umumnya, sehingga inflasi mengalami
peningkatan sebesar 12.083 persen, dimana pada saat yang bersamaan tingkat upah nasional turun sebesar 0.284 persen. Kombinasi dari tingginya inflasi,
penurunan tingkat upah nasional, dan penurunan belanja pemerintah mengakibatkan jumlah penduduk miskin perdesaan dan perkotaan mengalami
peningkatan sehingga tingkat penduduk miskin nasional naik 16.313 persen. Meskipun simulasi kebijakan ini berdampak kurang baik bagi
perekonomian, namun penurunan subsidi harga telah mampu mengurangi defisit anggaran pemerintah melalui penurunan subsidi BBM sebesar 37.718 persen.
Penurunan subsidi ini disebabkan oleh penurunan anggaran subsidi harga yang diikuti oleh penurunan jumlah konsumsinya. Artinya dengan kebijakan ini
pemerintah berhasil melakukan penghematan anggaran belanja sebagai akibat dari penurunan subsidi BBM sebesar Rp. 52 484 miliar. Penghematan ini selanjutnya
juga berhasil menurunkan gap fiskal pemerintah sebesar Rp. 49 821 miliar. Penghematan belanja negara merupakan suatu peluang bagi pemerintah
memperbesar fiscal space atau menetapkan kebijakan realokasi anggaran bagi pos anggaran yang memerlukan penambahan dana seperti pembangunan prasarana
dan pengentasan kemiskinan. Khusus pada tahun fiskal 2009, strategi kebijakan fiskal pemerintah antara lain: 1 pengendalian capping subsidi BBM dan listrik,
dan 2 reformulasi dana perimbangan dengan memasukkan beban subsidi BBM
230 dan subsidi pupuk sebagai variabel penerimaan dalam negeri PDN dalam
perhitungan Dana Alokasi Umum Departemen Keuangan, 2009b.
Simulasi Konversi Minyak Tanah ke Elpiji
Dalam rangka menciptakan kebijakan fiskal yang sehat dan sustainable, pemerintah berusaha mengendalikan beban anggaran subsidi. Pada tahun fiskal
2009, langkah-langkah penghematan subsidi energi yang dilakukan pemerintah antara lain meliputi percepatan dan perluasan program konversi BBM ke elpiji
Departemen Keuangan, 2009b. Dalam penelitian ini, konversi BBM ke elpiji dilakukan dengan menaikkan harga jual eceran minyak tanah dan pada saat
bersamaan menurunkan harga jual eceran elpiji, melalui pengurangan atau penambahan subsidi harganya. Apabila harga jual eceran minyak tanah
meningkat, maka sesuai mekanisme pasar, jumlah permintaannya akan menurun sehingga terjadi penghematan volume konsumsi minyak tanah. Minyak tanah
yang dihemat atau dikurangi konsumsinya akan digantikan oleh elpiji yang harga jual ecerannya diturunkan.
Pengurangan subsidi harga minyak tanah dilakukan dengan mengurangi porsi subsidi harga minyak tanah terhadap harga keekonomiannya, yang semula
72.49 persen menjadi 30.00 persen. Penambahan subsidi harga elpiji dilakukan dengan meningkatkan porsi subsidi harga elpiji terhadap harga keekonomiannya,
yang semula 17.84 persen menjadi 30.00 persen. Tabel 52 menyajikan dampak dari simulasi program konversi minyak tanah ke elpiji.
Seperti yang sudah diperkirakan sebelumnya, penurunan subsidi minyak tanah mengakibatkan harga minyak tanah meningkat sebesar 141.352 persen,
sementara harga elpiji mengalami penurunan sebesar 13.734 persen. Dengan
231 demikian diharapkan bahwa jumlah konsumsi minyak tanah akan turun yang
kemudian akan digantikan oleh konsumsi elpiji yang harga jual ecerannya turun. Dalam kenyataannya, jumlah konsumsi minyak tanah mengalami penurunan
sebesar 22.555 persen, sementara jumlah konsumsi elpiji mengalami kenaikan sebesar 4.150 persen.
Dampak dari simulasi kebijakan ini sangat dirasakan oleh rumahtangga yang kebutuhan energi memasaknya berasal dari minyak tanah. Menurut BPS,
2008a, kebutuhan energi untuk memasak rumahtangga Indonesia tahun 2007 berasal dari kayu bakar 49.38 persen, minyak tanah 36.57 persen, dan elpiji 10.57
persen. Transformasi penyediaan energi dari minyak tanah ke elpiji sangat dirasakan oleh penduduk miskin perkotaan karena keterbatasan alternatif energi
memasak yaitu minyak tanah dan elpiji, sementara penduduk miskin perdesaan memiliki alternatif yang lebih luas yaitu minyak tanah, elpiji, dan kayu bakar.
Karena itu jelas terlihat bahwa simulasi ini membawa dampak peningkatan jumlah orang miskin di perkotaan yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan
jumlah orang miskin di perdesaan. Penduduk miskin di perkotaan lebih sensitif terhadap dampak negatif program konversi minyak tanah ke elpiji, dibandingkan
dengan penduduk miskin di perdesaan. Hasil simulasi ini ternyata mampu menurunkan volume konsumsi dan
subsidi minyak tanah berturut-turut 22.555 persen dan 63.512 persen, yang pada saat bersamaan menaikkan volume konsumsi dan subsidi elpiji berturut-turut
4.150 persen dan 74.103 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa simulasi kebijakan ini menurunkan subsidi BBM 19.978 persen atau penghematan
sebesar Rp. 27 799 miliar dan pengurangan gap fiskal sebesar Rp. 26 582 miliar.
232 Simulasi kebijakan ini berdampak pada penurunan GDP nasional sebesar
1.079 persen. Penurunan GDP nasional disumbang sebagian besar oleh penurunan belanja nasional sebesar 4.684 persen, yang disebabkan oleh penurunan belanja
subsidi. Selanjutnya tingkat pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan sebesar 6.756 persen. Dampak kurang baik terhadap perekonomian, selain berasal dari
penurunan belanja negara, kemungkinan besar juga berasal dari penurunan konsumsi energi minyak tanah yang lebih besar dibandingkan dengan kenaikan
konsumsi elpiji. Hasil simulasi menunjukkan bahwa konsumsi minyak tanah turun sebesar
2 884 704 kiloliter yang kemudian dikompensasi oleh kenaikan konsumsi elpiji sebesar 54 626 ton. Pada faktor substitusi 0.35
33
, penurunan konsumsi minyak tanah sebesar itu harus dikompensasi dengan tambahan konsumsi elpiji sebanyak
1 009 646 ton atau terdapat selisih hampir 1 juta ton elpiji. Karena tidak seluruh pengurangan konsumsi minyak tanah dapat dikompensasi oleh elpiji, ada
kemungkinan sebagian masyarakat mengurangi tingkat konsumsi energinya atau kembali menggunakan kayu bakar. Kedua hal ini yang kemungkinan besar
memberikan sumbangan terhadap penurunan kegiatan perekonomian nasional. Konversi minyak tanah ke elpiji berdampak pada peningkatan biaya
transportasi dan biaya transaksi pada umumnya, sehingga inflasi mengalami peningkatan sebesar 5.552 persen, dimana pada saat yang bersamaan tingkat upah
nasional turun sebesar 0.170 persen. Kombinasi dari tingginya inflasi, penurunan
33
Menggunakan asumsi bahwa pola konsumsi rumahtangga akan minyak tanah dan elpiji pada periode peramalan 2010-2014 sama dengan pola konsumsi tahun 2007, maka 12 789 797 kiloliter
minyak tanah mensuplai 36.57 persen rumahtangga dan 1 316 242 ton elpiji mensuplai 10.57 persen rumahtangga. Apabila kebutuhan 10.57 persern rumahtangga dipenuhi dari minyak tanah,
maka diperlukan sekitar 0.10570.3657 12 789 797 kiloliter = 3 696 695 kiloliter minyak tanah yang setara dengan 1 316 242 ton elpiji. Jadi faktor substitusi minyak tanah terhadap elpiji adalah
1 316 242 3 696 695 = 0.35. Artinya, untuk menggantikan 1 316 242 ton elpiji dibutuhkan sekitar 3 696 695 kiloliter minyak tanah.
233 tingkat upah nasional, dan penurunan belanja pemerintah mengakibatkan jumlah
penduduk miskin perdesaan dan perkotaan mengalami peningkatan sehingga tingkat penduduk nasional naik sebesar 8.616 persen.
Simulasi Kombinasi Pengurangan Subsidi Harga Premium dan Minyak Solar dengan Konversi Minyak Tanah ke Elpiji
Dalam APBN tahun fiskal 2009 Departemen Keuangan, 2009b, pemerintah berusaha menekan peningkatan konsumsi BBM. Beberapa upaya yang
akan dilakukan pemerintah antara lain adalah: 1 mempercepat program konversi bahan bakar minyak rumahtangga ke elpiji, 2 memanfaatkan energi alternatif
seperti batubara, gas bumi, panas bumi, air, dan bahan bakar nabati, 3 mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi melalui kebijakan fiskal dan non-
fiskal. Dalam rangka menjabarkan kebijakan peramalan tersebut, simulasi ini melakukan program konversi minyak tanah ke elpiji dan pengendalian konsumsi
BBM bersubsidi melalui kebijakan fiskal. Dengan asumsi bahwa premium banyak dikonsumsi oleh masyarakat
golongan menengah atas, maka subsidi harganya diturunkan lebih besar dibandingkan dengan subsidi harga minyak solar. Sementara minyak solar, yang
seringkali dikaitkan dengan kegiatan usaha dan industri, penurunan subsidi harganya lebih kecil dibandingkan dengan premium. Hal ini dimaksudkan agar
kenaikan harga jual eceran premium lebih besar dibandingkan dengan kenaikan harga jual eceran minyak solar, sedemikian sehingga harga jual eceran minyak
solar relatif masih lebih terjangkau dibandingkan dengan premium. Dengan demikian, subsidi harga premium dikurangi dari semula 38.42 persen menjadi
20.00 persen dari harga keekonomiannya, subsidi harga minyak solar dikurangi dari semula 29.27 persen menjadi 20.00 persen dari harga keekonomiannya,
234 subsidi harga minyak tanah dikurangi dari semula 72.49 persen menjadi 30.00
persen dari harga keekonomiannya, dan subsidi harga elpiji ditambah dari semula 17.84 persen menjadi 30.00 persen dari harga keekonomiannya. Hasil simulasi
kebijakan peramalan ini dapat dillihat pada Tabel 52. Dalam rangka mendukung program konversi minyak tanah ke elpiji,
simulasi kebijakan peramalan ini menaikkan harga jual eceran minyak tanah luar biasa tinggi yaitu 145.136 persen. Di lain pihak, meskipun harga jual eceran elpiji
diturunkan agar konsumsinya meningkat, namun penurunan harga jual ecerannya relatif kecil yaitu 12.498 persen.
Hasil simulasi ini mengurangi jumlah konsumsi premium, minyak solar, dan minyak tanah. Jumlah konsumsi premium dan minyak solar berkurang
masing-masing sebesar 2.180 dan 2.647 persen. Sementara jumlah konsumsi minyak tanah berkurang 23.104 persen atau 2 954 955 kiloliter yang
dikompensasi dengan penambahan elpiji sebesar 4.051 persen atau 53 321 ton. Jumlah kompensasi elpiji masih jauh dari yang diharapkan dan tidak sebanding
dengan pengurangan minyak tanah. Karena itu diperkirakan ada rumahtangga yang mengurangi jumlah konsumsi energinya atau melakukan substitusi sumber
energi dari minyak tanah ke kayu bakar atau sumber energi lainnya. Simulasi peramalan kebijakan ini berdampak kurang baik bagi
perekonomian. Hal ini diindikasikan oleh penurunan investasi nasional, penurunan net ekspor, dan GDP nasional. Sebagai akibat dari penurunan belanja
subsidi, maka anggaran belanja negara mengalami penurunan cukup besar yaitu 9.865 persen, yang selanjutnya mengurangi GDP nasional sebesar 2.081 persen.
Dari segi pandangan kebijakan moneter, penurunan GDP nasional mampu
235 menurunkan permintaan uang sedemikian sehingga tingkat suku bunga
mengalami peningkatan sebesar 5.929 persen. Besarnya biaya uang akan mengakibatkan investor mengurangi kegiatan investasinya, baik investasi di
sektor migas maupun non-migas. Penurunan GDP nasional memiliki arti lain dari pandangan sektor riil yaitu mengindikasikan kurangnya gairah pengusaha
meningkatkan produksi karena lemahnya daya serap konsumen dan berkurangnya investasi baru. Kedua hal ini berdampak pada penurunan permintaan tenaga kerja
dan juga penurunan upah. Penurunan permintaan tenaga kerja, pada kondisi penawaran tenaga kerja relatif konstan, berdampak pada peningkatan jumlah
pengangguran sebesar 5.126 persen. Kombinasi dari peningkatan pengangguran, penurunan belanja anggaran
negara, penurunan upah nasional, tingginya inflasi, yang meskipun dinetralisasi dengan penurunan harga jual eceran elpiji, membawa dampak pada peningkatan
jumlah penduduk miskin perdesaan sebesar 15.479 persen dan penduduk miskin perkotaan sebesar 25.560 persen, sehingga tingkat penduduk miskin nasional
meningkat sebesar 18.291 persen. Pengurangan subsidi BBM cenderung mengakibatkan dampak kurang baik
bagi perekonomian. Namun disisi lain terlihat bahwa pengurangan subsidi memberikan dampak positif berupa penciptaan ruang fiskal yang lebih besar dan
kesempatan realokasi anggaran pada pos-pos kegiatan yang sangat membutuhkan. Penempatan anggaran pada ruang fiskal menjadi sangat penting karena besarnya
ketidakpastian perekonomian dunia dan juga sebagai dampak dari globalisasi. Globalisasi telah mendekatkan kepentingan antar negara dan menciptakan
ketergantungan sangat tinggi antar negara, terutama negara-negara yang memiliki
236 hubungan dagang yang penting. Gejolak politik, keamanan, sosial, bahkan
moneter yang memiliki dampak terhadap nilai tukar, inflasi, atau pasar saham di suatu negara akan menjalar dengan cepat ke negara mitra dagangnya. Krisis
keuangan subprime mortgage di Amerika Serikat pada tahun 2008 telah memicu ketidakstabilan dunia, dimana nilai tukar dan pasar saham Indonesia sempat
mengalami penurunan. Ketidakstabilan eksternal tersebut ditambah dengan masalah-masalah internal seperti gejolak politik dan penataan kehidupan
demokrasi, mengharuskan pemerintah bersikap hati-hati dalam melakukan kebijakan fiskal. Dalam kerangka inilah ruang fiskal menjadi sangat penting
peranannya dalam menjaga momentum pembangunan. Dibandingkan dengan simulasi 4, maka simulasi peramalan ini mampu
mengurangi subsidi dalam jumlah yang lebih besar, karena premium dan minyak solar juga berkurang subsidinya. Subsidi harga premium dan minyak solar
berkurang berturut-turut sebesar 40.415 persen atau Rp. 686 per liter dan 21.775 persen atau Rp. 296 per liter. Subsidi harga minyak tanah berkurang sebesar
52.624 persen atau Rp. 1 871 per liter, dan subsidi harga elpiji meningkat sebesar 68.880 persen atau Rp. 376 per kilogram. Kombinasi dari penurunan subsidi harga
dengan penurunan jumlah konsumsi mengakibatkan subsidi berkurang dalam jumlah yang besar atau terjadi penghematan subsidi BBM sebesar Rp. 59 126
miliar. Selanjutnya penghematan yang berasal dari penurunan belanja subsidi BBM mampu memberikan tambahan ruang fiskal bagi anggaran belanja negara
sebesar Rp. 56 123 miliar.
237
Simulasi Kombinasi Kenaikan Harga Dunia Minyak Mentah 5 Persen, Peningkatan Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 10
Persen, Pengurangan Subsidi Harga Premium dan Minyak Solar, dan Konversi Minyak Tanah ke Elpiji
Dalam rangka mengatasi dampak kenaikan harga dunia minyak mentah terhadap kestabilan anggaran belanja negara, pemerintah melakukan berbagai
upaya. Dari sisi penerimaan, upaya yang dilakukan antara lain berupa pengoptimalan penerimaan negara, intensifikasi perpajakan, peningkatan produksi
migas lifting, dan pencarian sumber-sumber penerimaan lain. Dari sisi pengeluaran, upaya pemerintah antara lain melakukan penghematan belanja,
penjadwalan pelaksanaan proyek-proyek yang tidak terlalu penting, penjadwalan pembayaran hutang dalam negeri atau luar negeri, dan terakhir adalah peningkatan
harga jual eceran BBM. Simulasi peramalan ini, sebagaimana yang dapat dilihat pada Tabel 52,
merupakan kombinasi simulasi 1 + simulasi 2 + simulasi 5. Simulasi ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah kebijakan peningkatan penerimaan dalam
negeri dapat mengatasi dampak dari kebijakan pengurangan subsidi BBM yang dilakukan ketika harga dunia minyak mentah meningkat. Kebijakan pengurangan
subsidi BBM, di satu pihak, telah mengakibatkan dampak kurang baik bagi perekonomian. Hal ini terutama dikarenakan pengurangan subsidi berakibat pada
penurunan anggaran belanja negara yang selanjutnya akan cenderung menyebabkan kontraksi perekonomian.
Dalam rangka mengatasi penurunan anggaran belanja negara, simulasi ini meningkatkan penerimaan dalam negeri pemerintah. Peningkatan penerimaan
dalam negeri tidak hanya akan menambah anggaran belanja negara, tetapi juga akan memperbaiki gap fiskal karena sumber pendanaannya berasal dari dalam
238 negeri. Meningkatnya penerimaan dalam negeri dapat digunakan untuk
menambah subsidi harga BBM, yang harga dunianya meningkat sebesar 5 persen. Ketika harga dunia minyak mentah meningkat dan harga jual eceran BBM relatif
konstan, maka selisih antara harga keekonomian dengan harga jual ecerannya akan semakin melebar. Karena itu, ketika harga dunia minyak mentah meningkat,
maka anggaran subsidi cenderung meningkat, yang salah satu sumber pendanaannya berasal dari peningkatan penerimaan dalam negeri.
Simulasi peramalan kebijakan ini tampaknya mampu menjaga stabilitas anggaran belanja negara, dimana anggaran belanja negara hanya turun sebesar
0.327 persen. Penurunan anggaran belanja negara yang relatif kecil diharapkan dapat meredam dampak negatif dari penurunan subsidi. Meskipun demikian, nilai
ekspor bersih dan investasi nasional mengalami penurunan yang cukup besar sehingga GDP nasional tetap mengalami penurunan sebesar 0.600 persen.
Meskipun GDP nasional mengalami perlambatan penurunan, namun tingkat pertumbuhan ekonomi nasional masih menurun sebesar 4.721 persen.
Pada simulasi ini terlihat bahwa subsidi harga BBM menanggung sebagian porsi dari kenaikan harga dunia minyak mentah 5 persen. Ketika harga dunia
minyak mentah meningkat, maka meningkat pula subsidi harga dan harga jual eceran BBM secara proporsional. Dibandingkan dengan simulasi 5, subsidi harga
BBM rata-rata mengalami kenaikan 5 persen, yaitu subsidi harga premium naik dari Rp. 1 011 per liter menjadi Rp. 1 062 per liter, subsidi harga minyak solar
naik dari Rp. 1 063 per liter menjadi Rp. 1 116 per liter, subsidi harga minyak tanah naik dari semula Rp. 1 684 per liter menjadi Rp. 1 768 per liter, dan subsidi
harga elpiji naik dari Rp. 914 per kg menjadi Rp. 960 per kg.
239 Bagian lain dari kenaikan harga dunia minyak mentah akan dibebankan
kepada konsumen melalui peningkatan harga jual eceran. Dibandingkan dengan simulasi 5, harga jual eceran premium naik 7.63 persen dari semula Rp. 3 485 per
liter menjadi Rp. 3 751 per liter, minyak solar naik 7.62 persen dari semula Rp. 3 662 per liter menjadi Rp. 3 941 per liter, minyak tanah naik 8.89 persern dari
semula Rp. 3 308 per liter menjadi Rp. 3 602 per liter, dan elpiji naik 8.31 persen dari semula Rp. 2 201 per kg menjadi Rp. 2 384 per kg. Akibat lanjut dari
kenaikan harga jual eceran adalah menurunnya konsumsi BBM. Sebagai contoh, konsumsi minyak tanah turun dari semula 9.83 juta kiloliter menjadi 9.41 juta
kiloliter, sedangkan konsumsi elpiji juga mengalami penurunan dari semula 1.37 juta ton menjadi 1.36 juta ton.
Terhadap nilai dasar peramalan, konsumsi minyak tanah turun 26.421 persen atau 3 379 182 kiloliter dan konsumsi elpiji naik 3.209 persen atau 42 237
ton. Dari kondisi ini terdapat indikasi bahwa pengurangan konsumsi minyak tanah tidak diimbangi dengan penambahan konsumsi elpiji, sehingga ada
rumahtangga yang mengalihkan sumber energinya ke sumber lain seperti ke kayu bakar, biomassa lain, atau mengurangi konsumsi energinya.
Secara umum simulasi peramalan kebijakan ini masih mengakibatkan dampak kurang baik bagi perekonomian, meskipun kenaikan penerimaan dalam
negeri telah berhasil meredam sebagian dampak negatifnya. Tingkat suku bunga masih mengalami kenaikan sehingga investasi migas dan non-migas mengalami
perlambatan, yang nantinya akan berdampak pada penurunan GDP nasional. Penurunan anggaran belanja negara dan perlambatan pertumbuhan ekonomi telah
memaksa kegiatan ekonomi mengalami ’slowing-down’ sehingga permintaan
240 tenaga kerja juga mengalami penurunan. Akibat lanjutnya adalah terjadi
penurunan upah nasional dan terjadi peningkatan jumlah pengangguran sebesar 2.204 persen.
Interaksi dari berbagai faktor diatas ternyata berhasil mempengaruhi tingkat kehidupan masyarakat miskin yang berada di dekat garis kemiskinan.
Penurunan upah nasional, peningkatan pengangguran, dan berkurangnya anggaran belanja negara turut memberikan sumbangan atas pertambahan jumlah penduduk
miskin perdesaan dan perkotaan, sehingga tingkat penduduk miskin nasional meningkat sebesar 5.385 persen.
Strategi pengurangan subsidi BBM tampaknya berhasil memperbaiki gap fiskal anggaran belanja negara, meningkatkan ruang fiskal, serta realokasi
anggaran bagi program-program yang lebih mendesak. Simulasi ini berhasil menghemat subsidi BBM sebesar Rp. 60 845 miliar atau penurunan sebesar
43.276 persen. Penghematan subsidi berdampak pada pengurangan gap fiskal sebesar Rp. 51 901 miliar atau penurunan sebesar 54.474 persen. Penurunan gap
fiskal ini sangat penting dalam rangka menciptakan strategi fiskal yang berkelanjutan dengan mengurangi ketergantungan dari sumber dana luar negeri.
Penghematan subsidi BBM, dari sudut kebijakan fiskal, ternyata memberikan hasil positif dan menjanjikan serta memiliki prospek fiskal jangka panjang.
Simulasi Kombinasi Kenaikan Harga Dunia Minyak Mentah 5 Persen, Peningkatan Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 10
Persen, Pengurangan Subsidi Harga Premium dan Minyak Solar, Konversi Minyak Tanah ke Elpiji, dan Realokasi Anggaran
Simulasi ini bertujuan untuk mengetahui dampak lanjutan dari simulasi 6 dengan melakukan realokasi anggaran yang berasal dari penghematan subsidi
BBM sebesar Rp. 60 485 miliar. Penghematan subsidi BBM yang diperoleh dari
241 simulasi 6 berhasil mengurangi gap fiskal. Namun, diketahui bahwa di negara
berkembang seperti Indonesia, peranan anggaran belanja negara masih dominan dalam menggerakkan perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Untuk mempertahankan besaran anggaran belanja negara sama seperti sebelumnya, penghematan subsidi BBM tersebut dimasukkan kembali
dalam anggaran belanja melalui penambahannya pada variabel belanja pemerintah diluar subsidi BBM GOVENS. Simulasi 7 adalah melakukan penambahan
anggaran sebesar Rp. 60 485 miliar, yang berasal dari penghematan subsidi BBM pada simulasi 6, pada variabel GOVENS.
Realokasi anggaran tersebut dapat digunakan untuk melaksanakan berbagai kebijakan fiskal diluar subsidi BBM, seperti pengembangan ruang fiskal,
pembangunan prasarana, penambahan anggaran pro-rakyat, atau program lain yang dianggap lebih mendesak. Hasil simulasi dapat dilihat pada Tabel 52.
Hasil simulasi ini serupa dengan hasil simulasi 6 pada beberapa hal diantaranya yaitu besaran subsidi harga BBM, besaran harga jual eceran BBM,
dampak terhadap jumlah konsumsi BBM, dan ekspor bersih BBM. Dampak yang membedakan antara simulasi 6 dan 7 adalah pada simulasi 7 dilakukan realokasi
anggaran belanja negara yang berasal dari penghematan subsidi BBM, sehingga belanja pemerintah meningkat 10.177 persen. Peningkatan anggaran belanja
negara ini ternyata mampu mengurangi dampak kurang baik dari simulasi kebijakan penghematan subsidi BBM menjadi lebih positif bagi kinerja
perekonomian dan kemiskinan. Peningkatan anggaran belanja negara sebesar 10.177 persen, yang
bersama-sama dengan penurunan ekspor bersih dan investasi nasional, masih
242 mampu meningkatkan GDP nasional sebesar 1.606 persen. Peningkatan anggaran
belanja negara dan GDP nasional cenderung mengakibatkan dampak positif bagi perekonomian dan kemiskinan.
Simulasi ini memberikan dampak positif bagi perekonomian dengan melihat bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi menjadi positif 9.591 persen dan
tingkat suku bunga turun 6.121 persen. Penurunan suku bunga akan memicu peningkatan investasi dan meningkatkan produksi barang dan jasa sehingga
diperlukan tambahan tenaga kerja cukup besar yaitu 0.554 persen. Tingkat suku bunga adalah salah satu unsur penting dalam proses keputusan bisnis karena akan
mempengaruhi kemampuan melunasi pinjaman serta tingkat keuntungan yang dapat dicapai. Selanjutnya, besarnya permintaan tenaga kerja mengakibatkan
tenaga kerja yang tidak bekerja mendapat pekerjaan dan pengangguran menjadi berkurang. Berkurangnya pengangguran berarti semakin banyak masyarakat yang
memiliki penghasilan sendiri dan semakin terangkat dari garis kemiskinan. Interaksi dari berbagai faktor diatas berhasil meningkatkan taraf kehidupan
masyarakat miskin yang berada di dekat garis kemiskinan. Penurunan upah nasional, penurunan pengangguran, dan peningkatan anggaran belanja negara
turut memberikan sumbangan atas berkurangnya jumlah penduduk miskin perdesaan dan perkotaan, sehingga tingkat penduduk miskin nasional turun
sebesar 10.590 persen. Strategi realokasi anggaran belanja tampaknya tidak menguntungkan
dalam upaya pengurangan gap fiskal, meskipun terjadi penghematan subsidi BBM sebesar 43.781 persen. Simulasi ini cenderung meningkatkan gap fiskal sebesar
9.678 persen yang kurang kondusif dari sudut pandang kebijakan fiskal yang
243 berkelanjutan atau kebijakan ketahanan fiskal. Strategi realokasi yang dilakukan
pada simulasi ini ternyata membutuhkan tambahan dana yang berasal dari hibah atau pinjaman luar negeri untuk menutup gap fiskal yang semakin melebar.
Beberapa indikator ketahanan fiskal yang dapat digunakan, selain perkembangan rasio utang terhadap PDB, adalah rasio pembayaran pokok dan
bunga utang terhadap PDB, rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara, dan rasio pembayaran bunga utang terhadap belanja negara. Rasio utang
terhadap PDB menunjukkan tingkat efisiensi pemanfaaan utang yang dilakukan, sehingga semakin rendah tingkat rasio maka semakin efisien pemanfaatan utang.
Pada 5 tahun terakhir, rasio utang terhadap PDB menunjukkan angka yang berkisar pada 4.7 persen terhadap PDB Departemen Keuangan, 2009b.
Realokasi anggaran belanja negara pada simulasi ini mengarah pada strategi yang dikenal sebagai stimulus fiskal. Pemanfaatan stimulus fiskal dapat
dilakukan dalam berbagai bentuk, antara lain adalah: 1 pemberian insentif perpajakan pada sektor-sektor yang produktif dan memiliki efek multiplikasi yang
besar, 2 optimalisasi belanja negara untuk sarana dan prasarana pembangunan demi penciptaan lapangan kerja dan memberikan dukungan bagi sektor swasta, 3
alokasi belanja negara untuk meningkatkan daya beli masyarakat bepenghasilan rendah dalam bentuk subsidi energi dan non-energi, dan 4 dukungan pemerintah
kepada swasta dalam pembangunan infrastruktur public-private partnership. Pada saat ini pemerintah sedang menghadapi dilemma perihal pembayaran
pokok hutang dan bunga pinjaman yang semakin membesar. Pada tahun 2009 Departemen Keuangan, 2009b menyatakan bahwa kebijakan pengelolaan utang
dalam jangka panjang, berpedoman pada: 1 penurunan rasio utang terhadap PDB
244 secara bertahap, 2 penetapan target tambahan utang bersih maksimal terhadap
PDB dengan kisaran kurang lebih 1 persen, dan 3 pengurangan secara bertahap ketergantungan pada pinjaman luar negeri. Sehingga dapat disimpulkan sementara
bahwa simulasi ini berdampak relatif baik bagi perekonomian dan pengurangan kemiskinan, namun ternyata peningkatan kebutuhan akan utang luar negeri perlu
diwaspadai.
Simulasi Kombinasi Kenaikan Harga Dunia Minyak Mentah 5 Persen, Peningkatan Penerimaan Dalam Negeri Pemerintah 10
Persen, Kenaikan Indek Harga Konsumen 5 Persen, Pengurangan Subsidi Harga Premium dan Minyak Solar, Konversi Minyak Tanah
ke Elpiji, dan Realokasi Anggaran
Simulasi 8, yaitu simulasi 7 ditambah kenaikan indek harga konsumen 5 persen, dimaksudkan untuk memberi gambaran yang lebih utuh mengenai kondisi
dunia nyata ketika beberapa variabel endogen bergerak bersama-sama. Hasil simulasi dharapkan dapat memberi masukan bagi para pengambil keputusan akan
dampak dari kebijakan pengurangan subsidi BBM ketika terjadi tambahan tingkat inflasi sebesar 5 persen. Penambahan tingkat inflasi diperkirakan akan membuat
perekonomian sedikit memburuk karena harga-harga umum cenderung meningkat dan daya beli masyarakat turun. Hasil simulasi dapat dilihat pada Tabel 52.
Easterly 2001 melakukan studi pada 31 869 responden di 38 negara dengan memperhatikan perbedaan karakteristik antar-negara. Masyarakat kurang
mampu, yang dicirikan antara lain rendahnya pendapatan, rendahnya tingkat pendidikan, tenaga kerja tidak terdidik, sangat rentan terkena dampak negatif dari
inflasi, dibandingkan dengan masyarakat mampu. Inflasi tinggi akan cenderung mengakibatkan penambahan jumlah orang miskin, kelompok masyarakat miskin
245 menjadi semakin miskin, penurunan upah riil, dan akhirnya kontrisbusinya
terhadap GDP yang sudah kecil menjadi semakin kecil. Inflasi juga berdampak pada kegiatan perekonomian nasional. Penelitian
yang dilakukan oleh Elder 2004 di Amerika Serikat menemukan bahwa ketidakpastian inflasi berdampak pada penurunan penawaran barang dan jasa,
penurunan aktivitas riil ekonomi nasional, dan penurunan pertumbuhan produksi nasional. Kebijakan ekonomi yang mampu mengurangi ketidakpastian inflasi akan
cenderung mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Simulasi ini menghasilkan dampak terhadap peningkatan harga jual eceran
BBM yang semakin besar, yang tampaknya disebabkan oleh efek peningkatan inflasi. Dalam kondisi inflasi yang semakin tinggi, maka nilai uang akan semakin
menurun, yang diindikasikan oleh naiknya harga barang dan jasa. Dibandingkan dengan simulasi 7, harga jual eceran premium yang semula meningkat 38.407
persen menjadi 41.120 persen, minyak solar yang semula meningkat 20.491 persen menjadi 22.854 persen, minyak tanah yang semula meningkat 168.134
persen menjadi 174.203 persen, dan elpiji yang semula turun 4.834 persen menjadi 2.731 persen. Peningkatan harga jual eceran yang semakin tinggi sebagai
akibat dari semakin tingginya inflasi, juga mengakibatkan jumlah konsumsi BBM semakin menurun. Jumlah konsumsi premium yang semula turun 3.832 persen
menjadi 4.198 persen, minyak solar yang semula turun 4.514 persen menjadi 5.186 persen, minyak tanah yang semula turun 26.583 persen menjadi 27.595
persen, dan elpiji yang semula naik 3.199 persen menjadi 2.770 persen. Dibandingkan dengan nilai dasar, jumlah konsumsi minyak tanah turun
sebesar 27.595 persen atau 3 529 398 kiloliter, yang dikompensasi dengan
246 kenaikan jumlah konsumsi elpiji sebesar 36 457 ton. Menggunakan faktor
substitusi 0.35, maka penurunan jumlah konsumsi minyak tanah tersebut setara dengan kenaikan jumlah konsumsi elpiji sebanyak 1 235 289 ton elpiji, sehingga
terdapat kekurangan sebesar 1 198 832 ton elpiji. Dengan demikian, pada simulasi ini terlihat bahwa peningkatan jumlah
konsumsi elpiji hanya mampu mengkompensasi sebagian kecil penurunan konsumsi minyak tanah. Hal ini mengindikasikan terjadinya penurunan konsumsi
energi dalam perekonomian yang akan berdampak pada penurunan kapasitas kegiatan perekonomian dan selanjutnya akan terjadi penurunan tingkat
pertumbuhan ekonomi. Ekspor bersih mengalami penurunan sebagai dampak dari semakin
mahalnya harga impor BBM dalam mata uang rupiah. Selain nilai impor yang semakin mahal, juga terjadi peningkatan jumlah impor premium. Peningkatan
volume impor premium disebabkan oleh elastisnya impor premium terhadap inflasi domestik dan harga dunia premium. Kombinasi dari penurunan nilai ekspor
bersih, investasi, dan konsumsi nasional serta kenaikan anggaran belanja negara mengakibatkan GDP nasional mengalami peningkatan sebesar 0.996 persen dan
pertumbuhan ekonomi sebesar 19.729 persen. Simulasi peramalan kebijakan ini memberikan dampak yang relatif kurang
baik bagi pasar tenaga kerja. Ketika tingkat suku bunga mengalami peningkatan maka terjadi kelesuan dalam kegiatan penanaman modal dan kegiatan produksi,
yang menyebabkan peningkatan permintaan tenaga kerja lebih kecil dari peningkatan penawarannya, sehingga terjadi kelebihan penawaran tenaga kerja
247 dan jumlah pengangguran meningkat sebesar 0.479 persen. Dampak selanjutnya
adalah menurunnya tingkat upah nasional. Simulasi ini menghasilkan dampak yang relatif baik terhadap upaya
pengentasan kemiskinan. Kombinasi dari penurunan upah nasional, peningkatan jumlah pengangguran, peningkatan harga jual eceran elpiji, peningkatan anggaran
belanja negara, dan tingkat inflasi yang tinggi, mengakibatkan penurunan jumlah penduduk miskin di perdesaan dan di perkotaan masing-masing sebesar 4.821
persen dan 16.303 persen. Penurunan jumlah penduduk miskin di kedua daerah tersebut mengakibatkan penurunan tingkat penduduk miskin nasional sebesar
7.967 persen. Penurunan penduduk miskin tampaknya disebabkan oleh peningkatan
anggaran belanja negara. Dari seluruh variabel endogen pembentuk persamaan kemiskinan, variabel inflasi, pengangguran, dan upah nasional menunjukkan
kinerja yang buruk. Hanya variabel endogen anggaran belanja negara dan harga jual eceran elpiji yang menunjukkan indikasi kondusit terhadap upaya
pengurangan kemiskinan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam rangka program pengentasan kemiskinan, peranan belanja pemerintah di
Indonesia masih dominan dan strategis. Ketika inflasi sangat tinggi yaitu 27.408 persen, pengangguran meningkat, dan upah nasional menurun, namun karena
anggaran belanja negara yang meningkat dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 19.729 persen, maka tingkat kemiskinan nasional berhasil
dikurangi. Meskipun dalam simulasi ini terlihat betapa penting dan strategisnya
peranan anggaran belanja negara dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan
248 mengurangi kemiskinan, namun komponen pembentuk anggaran belanja negara
tahun 2009 cukup mengkhawatirkan. Departemen Keuangan, 2009b, menyatakan bahwa dari jumlah anggaran belanja negara pemerintah pusat sebesar Rp. 716
400 miliar, sebagian besar yaitu 57.0 persen digunakan mendanai pengeluaran wajib seperti belanja pegawai sebesar 19.6 persen, pembayaran bunga utang
sebesar 14.2 persen, dan subsidi sebesar 23.3 persen. Sedangkan porsi anggaran yang tidak mengikat hanya mencapai 43.0 persen yang meliputi belanja barang,
belanja modal, bantuan sosial, dan belanja lain-lain. Kecilnya porsi anggaran untuk belanja barang, belanja modal, bantuan sosial, dan belanja lain-lain
barangkali akan memberikan dampak yang berbeda terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.
Dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi yang pro rakyat miskin tahun fiskal 2009, pemerintah melaksanakan berbagai program diantaranya adalah
pemberian bantuan sosial, penyediaan Bantuan Langsung Tunai, penyediaan beras subsidi raskin, program Kartu Sehat, Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat, dan Bantuan Operasional Sekolah.
6.3. Dampak Kebijakan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap