24 yang umum terjadi pada perairan yang kegiatan penangkapannya padat di perairan
Jawa dan Sumatera. Overfishing adalah suatu keadaan dimana hasil tangkapan melebihi kapasitas ketersedaiaan sumberdaya. Penyebab overfishing karena i
Lingkungan misalnya pencemaran, degradasi sumberdaya dan karena ii Manusia misalnya menangkap ikan menggunakan bom, cianida, alat tangkap tidak ramah
lingkungan.
2.4 Pengelolaan Perikanan Tangkap Yang Berkelanjutan 2.4.1 Konsep potensi maksimum yang lestari
Keberlanjutan suatu sumberdaya sangat ditentukan oleh terjadi tidaknya keseimbangan biologi dari sumberdaya tersebut berupa regenerasi yang terus
menerus dan tidak terganggu oleh upaya pemanfaatan yang diterjadi pada sumberdaya tersebut. Pada bidang perikanan tangkap, ditentukan oleh konsep ”
Potensi Maksimum Yang Lestari Maximum Sustainable Yield” atau yang bisanya disingkat MSY Clark, 1985.
Terlepas dari itu, penggunaan MSY sebagai acuan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan, juga mempunyai beberapa kelemahan
Fauzi, 2005, yaitu : 1
Tidak bersifat stabil, karena bila perkiraan stok meleset meskipun tidak terlelu signifikan, dapat menyebabkan pada pengrusakan stok.
2 Tidak memperhitungkan nilai ekonomis apabila stok ikan tidak dipanen.
3 Sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ciri ragam jenis.
Namun demikian, menurut Ghofar 2003 konsep MSY juga mempunyai kelebihan dari aspek ekonomis, karena dapat yang diperlukan tidak banyak dan
cukup disiapkan dalam bentuk analisis sederhana, mudah pengerjaannya, dan gampang dimengerti oleh siapa saja termasuk pengambil kebijakan.
Dalam kaitan dengan peningkatan kesejahteraan manusia, menurut Widodo dan Nurhakim 2002 pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang
berkelanjutan mempunyai tujuan utama, yaitu : 1
Menjaga kelestarian produksi atau pemanfaatan oleh manusia . 2
Meningkatnya kesejahteraan ekonomi dan sosial budaya nelayan dan masyarakat pesisir pada umumnya.
25 3
Memenuhi kebutuhan industri yang memanfaatkan produksi dari perikanan tangkap.
Menurut Monintja et al. 2002, standar yang digunakan pada aspek teknologi untuk kepentingan perikanan tangkap yang berkelanjutan harus
memenuhi beberapa kriteria yaitu : 1 penerapan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan, 2 jumlah hasil tangkapan tidak melebihi jumlah
tangkapan yang diperbolehkan, 3 kegiatan usaha harus menguntungkan, 4 investasi rendah, 5 penggunaan bahan bakar minyak rendah dan 6 memenuhi
ketentuan hukum dan perundangan-undangan yang berlaku.
2.4.2 Alat tangkap yang ramah lingkungan
Menurut Bahari 1989, ada sembilan kriteria alat tangkap yang ramah lingkungan, yaitu mempunyai selektivitas yang tinggi, tidak merusak habitat,
menghasilkan ikan berkualitas tinggi, tidak membahayakan nelayan, produksi tidak membahayakan konsumen, by-catch rendah, dampak terhadap biodiversity
rendah, tidak membahayakan ikan yang dilindungi, dan diterima secara sosial budaya.
Monintja 1994 menyatakan bahwa suatu alat tangkap dikatakan mempunyai selektivitas yang tinggi bila alat tangkap tersebut dalam
operasionalnya hanya menangkap ikan dengan jenis dan ukuran yang sesuai. Sedangkan alat tangkap yang tidak merusak habitat adalah alat tangkap yang tidak
merusak terumbu karang dan ekosistem lainnya sebagai tempat hidup dan berkembang berbagai jenis ikan dasar. Terkait ini, maka penilaian tingkat
kerusakan habitat yang terjadi akibat operasi alat tangkap, dapat didasarkan pada tingkatan kerusakan :
1 Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang lebih luas.
2 Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang sempit.
3 Menyebabkan kerusakan sebagian habitat pada wilayah yang sempit.
4 Aman bagi habitat.
2.4.3 Pengembangan sumberdaya manusia melalui kegiatan usaha ekonomi
Program pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat pantai merupakan upaya untuk mengembangkan sumberdaya manusia perikanan tangkap dari aspek sosial
26 budaya ekonomi. Program pemberdayaan ini penting dalam rangka
penanggulangan kemiskinan mencakup berbagai aspek kehidupan, sehingga pendekatannya pun meski bersifat holistik. Peningkatan akses dan pelibatan
dalam ekonomi merupakan ujung tombak dari pendekatan holistik itu Bengen, 2004.
Kebijakan yang dapat diambil berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir sebaiknya mencakup aspek usaha, SDM, dan lingkungan.
Pemberdayaan usaha merupakan upaya peningkatan kualitas usaha perikanan. Ada beberapa hal yang berkaitan dengan aspek usaha ini Mashuri, 1993, yaitu :
1 Inovasi teknologi dalam peningkatan akses informasi, pasar, bantuan modal
dan transfer pengetahuan yang dapat mendorong efisiensi produksi, efektifitas manajemen dan modernisasi alat-alat maupun faktor produksi,
menjadi tahapan yang harus ditempuh. 2
Pengembangan asuransi perikanan tangkap. Pengembangan asuransi ini penting untuk mengurangi tingginya tingkat resiko kegiatan penangkapan
yang dilakukan nelayan kecil. 3
Program kemitraan yang diarahkan untuk menciptakan hubungan yang paling menguntungkan baik secara sosial budaya maupun ekonomi antara
kelompok pelaku usaha besar dengan nelayan kecil. Pengembangan SDM merupakan langkah peningkatan kualitas SDM baik
dalam konteks pola sikap dan perilaku, keterampilan, kemampuan manajerial, maupun aspek gizi. Salah satu langkah yang perlu dikembangkan dan mesti
diteruskan adalah pelatihan kredit mikro system greemen bank. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan manajemen organisasi masyarakat
pesisir serta untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas nelayan kelompok dalam penyediaan modal usaha. Diharapkan terjadi peningkatan kualitas
masyarakat pesisir dalam berorganisasi, mengakses modal usaha, dan pengelolaan modal dalam setiap kegiatan usaha yang dilakukan Dahuri, 2001.
Pengembangan lingkungan merupakan langkah penting dalam mencegah dan mengatasi terjadinya kemiskinan alamiah sekaligus merupakan pintu bagi
terwujudnya perikanan yang berkelanjutan sustainable fisheries. Langkah pemberdayaan lingkungan tersebut mencakup peningkatan kesadaran dan
27 kemampuan masyarakat pesisir dalam konservasi sumberdaya perikanan tangkap.
Konservasi yang dapat dilakukan oleh masyarakat pesisir dapat berupa penebaran bibit ikan potensial, perlindungan kawasan terumbu karang dan reboisasi hutan
mangrove Monintja, 1994 dan Fauzi 2005. Berbagai program penanggulangan kemiskinan baik yang dilakukan oleh
DinasInstansi Pemerintah maupun oleh Lembaga Swadaya Masyarakat LSM memiliki elemen-elemen pendekatan yang sama yaitu: a Adanya pendekatan
kelompok; b Adanya pendekatan modaldana sebagai pemicu kegiatan ekonomi; c Adanya pendampingan pada kelompok-kelompok masyarakat warga binaan;
d Adanya pendayagunaan “resource” setempat. Secara kuantitatif program penanggulangan kemiskinan tersebut telah banyak memberikan kontribusi dalam
menurunkan angka kemiskinan absolute, dimana pada tahun 1972 jumlah penduduk miskin berjumlah 69 juta orang menjadi 22 juta orang atau 11,3 pada
tahun 1997 BAPPENAS, 1998. Terlepas dari ini, ada kekhawatiran dan keraguan tentang efektifitas
sumberdaya yang telah kita alokasikan pada program kemiskinan tersebut mengingat program tersebut terlalu dan berat bila harus dilakukan sendiri secara
mandiri oleh masyarakat pesisir. Oleh karena itu, Pemerintah perlu mengarahkan, membina dan mengendalikan ke arah yang benar sehingga terwujud perubahan
struktur masyarakat yang lebih mandiri.
2.5 Pengembangan Perikanan Tangkap Sebagai Wadah Co-management
2.5.1 Lingkup pengembangan perikanan tangkap sebagai wadah co-
management
Pengembangan perikanan tangkap dapat diartikan sebagai usaha perubahan dari suatu yang kurang kepada sesuatu yang dinilai lebih baik dalam menjalankan
usaha perikanan tangkap. Pengembangan perikanan tangkap juga merupakan suatu proses yang membawa peningkatan kemampuan nelayan dan masyarakat
pesisir dalam mengelola usaha perikanan tangkap dan ekonomi pesisir yang disertai dengan meningkatnya taraf hidup mereka. Keterlibatan nelayan dan
masyarakat pesisir secara luas memberi ruang untuk pengembangan konsep co- management.
28 Menurut Bahari 1989 dalam Sultan 2004, pengembangan perikanan
tangkap merupakan suatu proses yang dilakukan nelayan, pengusaha, masyarakat pesisir dengan didukung oleh Pemerintah untuk meningkatkan produksi di bidang
perikanan tangkap dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan dan masyarakat pesisir melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Sedangkan
menurut Pranaji 2000, pengembangan perikanan tangkap tidak dapat dilepaskan dari pengembangan bisnis perikanan secara holistik, yaitu pemberdayaan usaha
perikanan tradisional dan industri pengelolaan ikan tidak cukup jika hanya dilakukan dengan pembenahan salah satu subsistem saja, melainkan harus
menyehatkan pula keseluruhan jaringan kelembagaan bisnis perikanan. Pelibatan bersama stakeholders terkait dan luasnya lingkup pengembangan merupakan
upaya penerapan konsep co-management dalam memajukan usaha perikanan tangkap Indonesia.
Oleh karena lingkupnya yang luas, maka pengembangan perikanan tangkap hendaknya memperhatikan beberapa aspek terkait Sultana dan Abeyasekera,
2008, Setiawan, 2007, dan Widodo et al. 1998, yaitu : 1
Aspek ekonomi, berkaitan dengan hasil produksi dan pemasaran serta efisiensi biaya operasional yang berdampak kepada pendapatan bagi
stakeholders. 2
Aspek biologi, berhubungan dengan sediaan sumberdaya ikan, penyebarannya, komposisi ukuran hasil tangkapanan dan jenis spesies.
3 Aspek sosial dan budaya, berkaitan dengan kelembagaan, tenaga kerja, tata
nilai yang dianut dalam menjalankan usaha, serta reaksi terhadap perubahan sekitar.
4 Aspek teknis, berhubungan dengan unit penangkapan, jumlah kapal, fasilitas
penanganan di kapal, fasilitas pendaratan dan fasilitas penanganan ikan di darat.
Pengembangan yang multi aspek tersebut tidak mungkin dilakukan sendiri oleh nelayan atau oleh Pemerintah sendiri, tetapi pasti melibatkan semua
stakeholders yang terkait di lokasi. Pengorganisasian keterlibatan para stakeholders yang terkait memberi ruang bagi implementasi konsep
co-management dalam usaha perikanan tangkap.