Model co-management perikanan tangkap

132 membawa pulang ikan dengan ukuran berapapun yang mereka tangkap, karena bila dilepas kembali maka dapat mengurangi penghasilan mereka dan ekonomi keluarga tidak dapat dibantu. Brown et al. 2005 dan Budiono 2005 menyatakan bahwa bila kebutuhan dan ekonomi keluarga belum tercukupi, maka nelayan cenderung akan melakukan apa saja untuk mendapatkan hasil tangkapan, dan bila hal ini tidak dilakukan, maka kebutuhan hidup sehari-hari keluarga akan terlantar dan hutang mereka akan semakin banyak di tengkulak. Terkait dengan ini, maka model co-management yang kooperatif nantinya juga haruslah evaluasi keberhasilannya dari aspek ekonomi dan kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya. Hasil analisis AHP menunjukkan aspek ekonomi termasuk prioritas kedua RK = 0,286 pada IR = 0,07 setelah aspek biologi dalam pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Dalam kaitan dengan faktor pembatas pengelolaan, ketersediaan sumberdaya menjadi faktor pembatas paling penting yang harus diperhatikan untuk mendukung aspek biologi dalam penerapan model co-management perikanan tangkap Tabel 13. Hal ini bisa jadi karena sumberdaya ikan menjadi penciri utama eksistensi komponen biologi perairan, dimana kehidupan laut terutama yang berpengaruh langsung bagi kehidupan manusia dan keseimbangan ekosistem laut ditentukan oleh keberadaan berbagai jenis sumberdaya ikan potensial. Menurut Brown 2005, kehidupan biologi di laut ditentukan oleh interaksi sumberdaya ikan dengan ikan lainnya mangsa dan pemangsa dan dengan komponen lingkungan sekitarnya 70 – 85 . Sisanya merupakan interaksi antar komponen biota laut yang tidak berpindah tempat. Terkait dengan ini, maka kegiatan pemanfaatan yang dilakukan oleh manusia, termasuk dengan mengambangkan suatu teknologi penangkapan ikan, sangat ditentukan oleh keberadaan pembatas berupa sumberdaya ikan ini Tabel 15. Pengembangan teknologi ini selalu dilakukan dengan mempertimbangkan jenis sumberdaya ikan yang ditangkap, kemudian baru mempertimbangkan faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Meskipun aspek teknologi bukan kriteria utama prioritas keempat dalam pengelolaan perikanan tangkap dengan menerapkan model co-management, tetapi pengembangan teknologi yang bersesuaian harus diperhatikan karena setiap sumberdaya ikan sasaran 133 mempunyai tingkah laku dan pola migrasi tersendiri. Hendriwan et al. 2008 dalam penelitiannya menyatakan optimasi perikanan tangkap sangat ditentukan oleh pemilihan strategi yang tepat dalam penangkapan ikan, sedangkan aspek kesesuaian teknologi dan unit penangkapan dengan sumberdaya ikan sasaran menjadi kunci utama untuk keberhasilannya. Dalam pemenuhan aspek ekonomi sebagai salah satu kriteria yang diperhitungkan dalam pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu termasuk dengan menerapkan model co-management, faktor pembatas berupa sumber dan jumlah modal merupakan yang paling krusial. Hal ini memberi indikasi bahwa bahwa perbaikan ekonomi keluarga dan masyarakat nelayan harus diawali dengan perbaikan manajemen pengelolaan usaha terutama terkait dengan siklus pemodalan. Bila dilihat lebih jauh, pemodalan inilah yang menjadi penyebab nelayan tidak bisa menjangkau fishing ground yang lebih potensial, dan pemodalan juga yang menjerat nelayan terlilit hutang-piutang berbunga tinggi. Dalam hal ini, maka model co-management kooperatif hendaknya yang dapat mengatasi masalah pemodalan ini. Menurut Hanna 1995, pengelolaan kegiatan ekonomi perikanan harus melibatkan nelayan dan masyarakat pesisir, sehingga mereka lebih terampil dalam pengelolaan usaha ekonominya, dapat memahami permasalahan masing-masing, dan mengambil pemecahan berdasarkan kemampuan bersama. Dengan kebersamaan ini, maka lembaga keuangan formal lebih tertarik bermitra dalam pemodalan karena selain jumlahnya banyak juga karena masyarakatnya saling mendukung, dan bermitra atas kesadaran sendiri. Dalam kaitan dengan aspek sosial dan budaya, faktor pembatas berupa ketersediaan sumberdaya dan tata ruang kewilayahan menjadi faktor pembatas penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan perikanan tangkap dengan menerapkan model co-management. Hal ini bisa jadi karena ketersediaan sumberdaya terutama ikan potensial sangat mempengaruhi hasil yang didapat nelayan setiap kali berangkat melaut, dan kondisi ini menentukan tingkat kesejahteraan dan kondisi kehidupan sosial nelayan. Sedangkan tata ruang dapat menghindari konflik yang terjadi diantara anggota msayarakat termasuk dari kalangan nelayan, sehingga kehidupan sosial di kawasan lebih tenteram. Model co-management yang baik harus dapat mengakomodir kepentingan sosial yang 134 ada di masyarakat sekitar. Hartoto et al. 2009 menyatakan bahwa pelibatan lokal dan kondisi kehidupan sosial yang baik merupakan komponen kunci keberhasilan pengelolaan perikanan berbasis co-management. Bila mereka merasa nyaman, maka berbagai bentuk pengelolaan yang diintroduksi di kawasan dapat diterima dengan baik. Kooperatifnya model co-management kooperatif sebagai model co- management prioritas pertama Gambar 22 untuk pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu lebih didasari oleh konsep-konsep yang ditawarkan oleh model co-management memberi ruang dan akomodasi yang lebih bagi masyarakat sekitar. Secara umum, model co-management kooperatif dianggap lebih memperhatikan aspek pengelolaan yang dipersyaratkan dan faktor pembatas pengelolaan yang secara nyata ada di lokasi. Menurut Nikijuluw 2002, model co-management kooperatif merupakan model pengelolaan sumberdaya atau suatu kawasan yang mengedepankan kerjasama, komunikasi dua arah, dan pelibatan masyarakat lokal pada berbagai aktivitas pengelolaan sehingga mampu memecahkan setiap masalah yang dihadapi dan hasilnya membawa manfaat bagi semua pihak. Konsep pengelolaan ini membantu menggerakkan potensi lokal yang ada, sehingga mencapai kemandiriannya. Bila dibandingkan dengan model co-management konsultatif prioritas kedua, maka model co-management kooperatif lebih baik dalam memenuhi aspek biologi, teknologi, serta sosial dan budaya. Model co-management konsultatif hanya sedikit lebih baik dalam memenuhi aspek ekonomi Lampiran 31. Model co-management kooperatif lebih dapat memenuhi aspek biologi, diduga karena model co-management menerapkan konsep kebersamaan termasuk dalam aplikasi perlindungan komponen biologi perairan. Keikutsertaan langsung Pemerintah dan stakeholders terkait baik dalam bentuk pengiuktsertaan personil maupun pendanaan dalam kegiatan lapang konservasi seperti penanaman bakau, pelepasan bibit ikan, dan pengurangan pencemaran industri di laut lebih dapat mengerakkan kesadaran nelayan dan masyarakat untuk ikut memelihara komponen biologi perairan dan menghindari penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan. Menurut Hartoto et al. 2009 harmonisasi pelibatan nelayan, Pemerintah, pengusaha, dan masyarakat lokal dalam pengelolaan perikanan 135 tangkap dan komponen pendukungnya merupakan penerapan konsep co-managemnet yang baik yang melanggengkan pengelolaan sumberdaya perikanan hingga masa mendatang. Model co-management kooperatif juga lebih dapat mengakomodir aspek teknologi dan aspek sosial dan budaya, karena adopsi teknologi dan mekanisme pemanfaatan yang baru dengan melibatkan nelayan dari awal dan dilakukan secara bersama-sama lebih dapat menjamin penerapannya secara luas di masyarakat. Hal ini sangat penting terutama untuk mendukung penerepan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan. Secara sosial, pelibatan nelayan dan masayarakt lokal juga lebih dapat menciptakan harmonisasi program dengan masyarakat sekitar, dan bila ada pertentangan dengan tata nilai budaya lebih dapat dengan mudah dipecahkan. Sedangkan model co-management konsultatif menurut Nikijuluw 2002 lebih terkesan satu arah sehingga tata nilai sosial dan budaya yang ada di masyarakat kurang dapat diakomodir. Model co-management konsultatif dalam menjadi back-up, bila model co-management kooperatif menemuai masalah yang serius dalam penerapannya terutama terkait dengan pemenuhan aspek ekonomi. Menurut Liana et al. 2001, pengarahan yang jelas dan konsultatif yang intensif terkadang lebih sukses dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan pesisir untuk tujuan komersial. Hal ini karena setiap rencana dan aksi dapat dilakukan ditentukan secara cepat dan jelas. Sedangkan menurut Mamuaya et al. 2007, usaha perikanan yang dikelola dengan manajemen yang kuat dan mempunyai pola komunikasi yang jelas bagi pekerjanya lebih dapat berkembangkan dan menguntungkan secara ekonomi. Bila dibandingkan dengan model co-management informatif, model advokati, dan instruktuf, maka model co-management kooperatif lebih unggul dalam memenuhi semua aspek pengelolaan yang ada. Hal ini bisa jadi karena perhatian yang lebih baik terhadap perlindungan biologi perairan, penerapan teknologi yang ramah lingkungan, peningkatan ekonomi, serta kehidupan sosial yang lebih baik bagi masyarakat akan lebih dapat dilakukan bila ada kebersamaan, keterbukaan, dan kelibatan bersama dalam menyukseskannya. Rossiter 2007 dan Hamdan et al. 2006 menyatakan bahwa keberlanjutan pengelolaan perikanan sangat dipenuhi oleh keseriusan Pemerintah, masyarakat, pihak terkait 136 lainnya dalam mengakomodir kaidah-kaidah pengelolaan yang baik mulai dari pengelolaan stock, penerapan teknologi penangkapan ramah lingkungan, pemberdayaan ekonomi nelayan, dan masyarakat sekitar, perlindungan terhadap tata nilai lokal, dan perhatian terhadap kehidupan nelayan kecil yang terdapat di kawasan perikanan. Untuk mendukung implementasi model co-management kooperatif sebagai model co-management kooperatif, maka tingkat kestabilan model co-management ini dalam mengakomodir aspek pengelolaan yang ada perlu diketahui. Informasi ini menjadi acuan penting bagi operasional pengelolaan, sehingga model co- management kooperatif tetap terandalkan dalam mendukung pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Nilai RK stabil pada Tabel 26, memberi indikasi bahwa model co-management kooperatif akan stabil terhadap perubahan apapun yang terjadi terkait dengan aspek biologi, teknologi, serta sosial dan budaya yang terjadi kawasan. Perubahan terkait aspek biologi bisa berupa sumberdaya ikan menjadi langka, pencemaran biota perairan atau perubahan menjadi positif seperti, kegiatan konservasi terumbu karang, pelepasan bibit ikan restocking diintensifkan dan lainnya. Bila hal ini terjadi, maka tetap model co-management kooperatif yang paling baik sebagai tindakan pengelolaan. Hanna 1995, bila suatu konsep pengelolaan sumberdaya dapat menyelesaikan krisis pengelolaan terberat yang ada, maka kehandalan konsep tersebut tidak diragukan lagi. Nilai RK stabil model co-management kooperatif yang berkisar 0 - 1 terhadap perubahan aspek teknologi serta sosial dan budaya, juga memberi indikasi bahwa perubahan apapun yang terjadi dalam pengembangan teknologi penangkapan dan kehidupan sosial dan budaya masyarakat nelayan di Palabuhanratu baik itu perubahan positif maupun perubahan negatif tidak akan menggantikan model co-management kooperatif sebagai cara penyelesaian atau penanganannya. Budiono 2005 dan Pemerintah Kabupaten Sukabumi 2006 menyatakan bahwa budaya dan kebiasaan yang kurang baiknegatif yang masih diikuti oleh nelayan Palabuhanratu, ada kebiasaan mengutang kepada tengkulak tidak hanya untuk keperluan melaut, tetapi juga untuk keperluan pesta pernikahan, biaya anak sekolah dan lainnya. Hal ini sangat memberatkan nelayan terutama 137 bila hasil tangkapan kurang baik dan hal ini cukup sering terjadi di lokasi. Beberapa kali pernah terjadi konflik antara nelayan dan tengkulak bakul yang menjurus kepada konflik massal. Bila mengacu kepada hasil analisis Tabel 26, maka model co-management kooperatif dapat diandalkan untuk memecahkan masalah ini dan permasalahan lainnya yang terjadi dalam interaksi teknis perikanan tangkap di lokasi. Arahan implementasi terkait model co-management kooperatif ini sebagai model co-management kooperatif akan disajikan lebih detail pada Bab 7. Namun secara umum, model co-management kooperatif ini dapat menjadi pilihan untuk pengelolaan perikanan tangkap yang lebih baik di lokasi, baik pada saat terjadinya konflik sosial, penggunaan teknologi penangkapan destruktif, maupun pada saat terjadinya kelangkaan pada sumberdaya ikan potensial yang biasa ditangkap nelayan. Dalam aplikasinya, model co-management kooperatif ini stabil terhadap intervensi atau dinamika perubahan yang ekstrim pada keriteriaaspek biologi SDI dan lainnya, teknologi alat tangkap, kapal, dan alat pendukung penangkapan, serta sosial dan budaya range RK stabil 0 – 1, atau RK sensitif tidak ada. Namun demikian, model co-management kooperatif sensitif terhadap perhatian berlebihan pada aspek ekonomi yang ditunjukkan oleh adanya range RK sensitif 0,971 – 1. Fokus yang berlebihan pada aspek ekonomi tersebut dapat berupa peningkatan jumlah kapal dan intensitas penangkapan hanya untuk mengejar hasil tangkapan banyak dan keuntungan berlebih, sehingga melupakan kelestarian sumberdaya dan merusak lingkungan sekitar. Hal ini perlu menjadi perhatian dalam aplikasi model co-management kooperatif, sehingga manfaat dan kehandalannya tetap terus dirasakan nelayan dan masyarakat pesisir dalam pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu, Provinsi Jawa Barat.

6.6 Kesimpulan

Model co-management kooperatif merupakan model yang paling tepat bagi pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu dengan rasio kepentingan RK sekitar 0,259 pada inconsistency terpercaya 0,07.