127 Gambar 20. Opsi model co-management kooperatif 2 dua kali lebih penting
daripada model co-management instruktif, model co-management konsultatif, dan model co-management informatif dalam mengakomodir pembatas ketersediaan
sumberdaya terkait aspek biologi Gambar 23. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mensiasati kondisi sumberdaya yang terbatas, model co-management kooperatif
dianggap lebih tepat sebagai teknik untuk pengelolaan perikanan tangkap di lokasi. Model co-management kooperatif ini hanya sama penting dengan model
co-management advokatif.
Gambar 24 Matriks analisis uji banding berpasangan kelima opsi model co- management
dalam mengakomodir pembatas lingkup kewenangan terkait aspek ekonomi.
Opsi model co-management kooperatif 2 dua kali lebih penting daripada model co-management konsultatif dan model co-management informatif dalam
mengakomodir pembatas lingkup kewenangan terkait aspek ekonomi Gambar 24. Hal ini menunjukkan bahwa model co-management kooperatif lebih
dapat diandalkan daripada model konsultatif dan informatif dalam melakukan koordinasi pada kondisi wewenang terbatas di antara stakeholders terkait
terutama aparat Pemerintah tingkat bawah untuk memperoleh manfaat ekonomi yang lebih baik bagi kawasan Palabuhanratu dari kegiatan perikanan
128 tangkap yang ada. Model co-management instruktif dan advokatif sama penting
dengan model co-management kooperatif dalam mengakomodir pembatas lingkup kewenangan terkait aspek ekonomi. Namun demkian, tidak ada model co-
management yang lebih baik daripada model co-management kooperatif dalam
mengakomodir faktor pembatas dan kriteria pengelolaan tersebut.
6.4.3.2 Hasil uji sensitivitas model co-management kooperatif
Hasil analisis sebelumnya menunjukkan model co-management kooperatif kooperatif sebagai model co-management prioritas paling tepat bagi pengelolaan
perikanan tangkap potensial di Palabuhanratu. Untuk lebih jauh mengetahui keunggulan model co-management ini dalam pengelolaan perikanan tangkap di
Palabuhanratu, maka perlu dilakukan analisis sensitivitas. Hasil analisis sensitivitas ini juga memberi petunjuk tentang hal-hal yang harus diperhatikan
terutama terkait kriteria pengelolaan yang ada, sehingga model co-management tersebut tetap bertahan sebagai model co-management yang paling tepat dalam
pengelolaan perikanan tangkap di lokasi. Tabel 26 menyajikan hasil analisis sensitivitas model co-management kooperatif.
Tabel 26 Hasil analisis sensitivitas model co-management kooperatif No.
Aspek Pengelolaan
Rasio Kepentingan RK Awal
Sensitivitas Range RK
Stabil Range RK
Sensitif 1
Biologi 0,346
0 – 1 Tidak Ada
2 Teknologi
0,163 0 – 1
Tidak Ada 3
Ekonomi 0,286
0 – 0,971 0,971 – 1
4 Sosial dan Budaya
0,205 0 - 1
Tidak Ada
Sumber : Hasil analisis sensitifitas AHP 2011
Intervensi kepentingan tersebut ditunjukkan oleh tuntutan pemenuhan terhadap berbagai kriteria pengelolaan perikanan tangkap yang ada Tabel 26.
Hal ini cukup wajar karena kriteria-kritera tersebut merupakan penentu atau ukuran keberhasilan dari suatu kegiatan pengelolaan termasuk dengan
menerapkan model co-management. Pada Tabel 26, model co-management kooperatif stabil terhadap intervensi atau dinamika perubahan yang terjadi terkait
kriteria biologi, teknologi, serta sosial dan budaya. Hal ini ditunjukkan oleh rasio kepentingan RK stabil model co-management kooperatif ini yang berada pada
129 range 0 – 1, yang berarti juga tidak ada RK sensitif untuk model co-management
ini meskipun tuntutan pemenuhan terkait kriteria biologi, teknologi, serta sosial dan budaya terjadi secara ekstrim. Hal ini karena model co-management
kooperatif dianggap sebagai model atau teknik pengelolaan perikanan tangkap yang tepat, baik pada kondisi biologi, teknologi, serta sosial dan budaya yang
sangat buruk maupun sangat baik. Namun untuk intervensi terkait pemenuhan kriteria ekonomi, model co-
management kooperatif mempunyai range RK stabil antara 0 - 0,971. Hal ini
berarti bahwa pemenuhan kriteria ekonomi yang terjadi saat ini 28,6 RK awal = 0,286 dari total pemenuhan aspek pengelolaan yang ada, dari dikurangi
pemenuhannya hingga menjadi 0 dan dapat ditingkatkan pemenuhan hingga menjadi 97,1 . Namun bila perhatian pengelolaan terlalu difokuskan kepada
hal-hal yang bernuasa ekonomi hasil tangkapan melimpah, keuntungan berlebih, dan lainnya hingga 97,1 atau lebih dari total kepentingan kriteria pengelolaan
yang ada, maka model co-management kooperatif tidak lagi menjadi model pengelolaan perikanan tangkap terbaik di lokasi. Hal ini perlu menjadi perhatian
dalam aplikasi model co-management kooperatif, sehingga manfaat dan kehandalannya tetap terus dirasakan nelayan dan masyarakat pesisir dalam
pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu.
6.5 Pembahasan
Dalam pemilihan model co-management pengelolaan perikanan tangkap ini, aspek pengelolaan menjadi pertimbangan penting karena kegiatan pengelolaan
termasuk dengan menerapkan model co-management akan terkait dengan semua aspek pengelolaan yang ada yang satu sama lainnya akan saling mempengaruhi.
Aspek biologi menjadi penentu terkait subur tidaknya perairan sehingga kegiatan perikanan tangkap dapat dilakukan. Menurut Bjorndal dan Zug 1995, perhatian
terhadap aspek biologi menjadi faktor penting bagi kelangsungan suatu kegiatan pemanfaatan ikan dan biota laut lainnya. Perlindungan terhadap kawasan yang
menjadi habitat ikan dan ruaya ikan, pelestarian terhadap ekosistem, pengaturan jumlah dan jenis ikan yang ditangkap, penyesuaian alat tangkap dengan musim
ikan dan lainnya menjadi hal penting bagi kelangsungan pemanfaatan sumberdaya sumberdaya ikan di suatu lokasi. Terkait dengan ini, maka aspek biologi ini
130 menjadi salah kriteria penting dalam pemilihan model co-management yang tepat
guna mendukung pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Aspek teknologi juga menjadi kriteria pengelolaan yang penting untuk
dijadikan perhatian dalam pemilihan model co-management pengelolaan perikanan tangkap. Suatu model co-management yang dalam implementasinya
dapat menggerakkan inovasi dalam teknologi penangkapan ikan, mendorong penggunaan teknologi alat tangkap dan bahan pendukung yang ramah lingkungan,
tentu akan sangat membantu bagi pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan. Pemilihan model co-management yang dapat mengakomodir hal
ini dengan baik, tentu menjadi indikasi positif bagi pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal namun tetap berkelanjutan hingga anak cucu. Menurut Monintja
2002, pemilihan teknologi penangkapan ikan yang tepat dapat meminimalisir by cacth
, mengurangi destruksi terhadap lingkungan, menjaga keseimbangan ekosistem perairan, dan lebih menjamin pemanfaatan sumberdaya di masa yang
akan datang. Sedangkan menurut Bengen 2004, aspek teknologi harus selalu menjadi pertimbangan penting dalam suatu kegiatan pemanfaatan sumberdaya
sehingga terjadi keselarasan antara komponen alam dengan manfaat yang diterima pelaku pemanfaatan.
Model co-management yang baik juga harus dapat memberi menggerakkan perekononiman nelayan dan masyarakat pesisir, namun tetap menghormati tata
nilai sosial dan budaya yang baik yang diikuti oleh masyarakat selama ini. Menurut Sultana dan Abeyasekera 2008, kesejahteraan hanya dapat ditingkatkan
bila kondisi ekononomi masyarakat lebih baik dan interaksi sosial budaya yang terjadi lebih bijaksana dan adanya rasa saling menghargai antar anggota
masyarakat. Model co-management yang kooperatif haruslah yang dapat mengakomodir dengan baik atau memberi jalan bagi pemenuhan kondisi ekonomi
yang lebih baik bagi masyarakat sekitar. Tata nilai sosial dan budaya yang dijunjung tinggi dan mengedepankan kearifan dengan alam harus dibiarkan
tumbuh dan berkembang di lokasi. Namun demikian, dalam penerapan suatu model co-management, semua
aspek pengelolaan tersebut mungkin tidak bisa dipenuhi secara maksimal karena berbagai keterbatasan yang ada. Terkait dengan ini, maka aspek pengelolaan
131 tersebut harus dikembangkan secara proporsional berdasarkan kebutuhan dan
urgensi yang ada yang di lokasi. Hasil analisis pada Gambar 12 menunjukkan bahwa aspek biologi merupakan aspek pengelolaan yang paling penting untuk
diakomodir dalam pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Hal ini bisa jadi karena aspek biologi menjadi aspek penentu ada tidaknya kegiatan perikanan
di suatu kawasan. Menurut Bengen 2004 dan Hartoto et al. 2009, pengelolaan perikanan yang baik dan menjamin keberlanjutannya haruslah memperhatikan
harmonisasi kegiatan pengelolaan dengan aspek biologi, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya. Secara detail, aspek biologi yang dimaksud dapat mencakup
jenis hasil tangkapan, tingkat pemanfaatan, dan musim ikan, sedangkan yang terkait dengan aspek teknologi diantaranya ukuran kapal, teknologi alat tangkap,
jenis alat pendukung penangkapan, jenis BBM dan lainnya. Aspek ekonomi dapat mencakup pendapatan, perimbangan penerimaan dengan pengeluaran, tingkat
pengembalian investasi, sedangkan aspek sosial dan budaya dapat mencakup kesejahteraan, tata nilai yang berkembang, dan kenyamanan hidup.
Di samping itu, perairan selatan Jawa yang menjadi fishing ground perikanan tangkap Palabuhanratu
termasuk perairan yang padat penanagkapannya, sehingga kelestarian komponen biologi sudah menjadi
perhatian penting pihak terkait dalam beberapa tahun terakhir ini. Menurut PPN Palabuhanratu 2010 dan Budiono 2005, beberapa tahun terakhir ini aktivitas
penangkapan ikan di perairan selatan Jawa meningkat dratis. Dimana banyak nelayan dari utara Jawa, seperti Cirebon, Tegal, dan Pekalongan memilih
menangkap ikan di kawasan dan kemudian mendaratkannya pada pelabuhan perikanan terdekat.
Pemerintah Kabupaten Sukabumi 2006 menyatakan bahwa pantai selatan Jawa termasuk di sekitar Palabuhanratu sudah mengalami degradasi dari aspek
biologi perairan, dimana ikan-ikan potensial seperti tuna dan cakalang jarang dapat ditangkap yang berukuran ekonomis. Baby tuna telah menjadi bagian
penting dari hasil tangkapan nelayan selama ini, sehingga hanya laku di pasar- pasar lokal. Kondisi ini juga menjadi penyebab penting mengapa secara ekonomi
kehidupan nelayan di lokasi belum membaik, meskipun hasil tangkapan ikan yang didapat relatif stabil. Hasil identifikasi lapang menunjukkan bahwa nelayan akan
132 membawa pulang ikan dengan ukuran berapapun yang mereka tangkap, karena
bila dilepas kembali maka dapat mengurangi penghasilan mereka dan ekonomi keluarga tidak dapat dibantu. Brown et al. 2005 dan Budiono 2005
menyatakan bahwa bila kebutuhan dan ekonomi keluarga belum tercukupi, maka nelayan cenderung akan melakukan apa saja untuk mendapatkan hasil tangkapan,
dan bila hal ini tidak dilakukan, maka kebutuhan hidup sehari-hari keluarga akan terlantar dan hutang mereka akan semakin banyak di tengkulak. Terkait dengan
ini, maka model co-management yang kooperatif nantinya juga haruslah evaluasi keberhasilannya dari aspek ekonomi dan kesejahteraan bagi masyarakat
sekitarnya. Hasil analisis AHP menunjukkan aspek ekonomi termasuk prioritas kedua RK = 0,286 pada IR = 0,07 setelah aspek biologi dalam pengelolaan
perikanan tangkap di Palabuhanratu. Dalam kaitan dengan faktor pembatas pengelolaan, ketersediaan
sumberdaya menjadi faktor pembatas paling penting yang harus diperhatikan untuk mendukung aspek biologi dalam penerapan model co-management
perikanan tangkap Tabel 13. Hal ini bisa jadi karena sumberdaya ikan menjadi penciri utama eksistensi komponen biologi perairan, dimana kehidupan laut
terutama yang berpengaruh langsung bagi kehidupan manusia dan keseimbangan ekosistem laut ditentukan oleh keberadaan berbagai jenis sumberdaya ikan
potensial. Menurut Brown 2005, kehidupan biologi di laut ditentukan oleh interaksi sumberdaya ikan dengan ikan lainnya mangsa dan pemangsa dan
dengan komponen lingkungan sekitarnya 70 – 85 . Sisanya merupakan interaksi antar komponen biota laut yang tidak berpindah tempat.
Terkait dengan ini, maka kegiatan pemanfaatan yang dilakukan oleh manusia, termasuk dengan mengambangkan suatu teknologi penangkapan ikan,
sangat ditentukan oleh keberadaan pembatas berupa sumberdaya ikan ini Tabel 15. Pengembangan teknologi ini selalu dilakukan dengan mempertimbangkan
jenis sumberdaya ikan yang ditangkap, kemudian baru mempertimbangkan faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Meskipun aspek teknologi bukan kriteria
utama prioritas keempat dalam pengelolaan perikanan tangkap dengan menerapkan model co-management, tetapi pengembangan teknologi yang
bersesuaian harus diperhatikan karena setiap sumberdaya ikan sasaran