Metode Analisis Model co management perikanan tangkap di Palabuhanratu

49 4 KONDISI KINI PELAKSANAAN CO-MANAGEMENT DI PALABUHANRATU

4.1 Pendahuluan

Kawasan Palabuhanratu dibangun pada tahun 1990. Kawasan Palabuhanratu dihuni oleh 12.368 nelayan, 1.457 orang pengolah ikan. Terdapat potensi lestari MSY 14.592 ton pertahun. Palabuhanratu memiliki sumberdaya manusia yang memadai karena mudah diakses dari kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta serta Bogor. Palabuhanratu memiliki sarana dan prasarana perikanan yang cukup memadai terdapat Tempat Pelelangan Ikan, Tempat Pendaratan Ikan, terdapat banyak Kelompok Usaha Bersama, Perusahaan Pengolah ikan serta para stakeholders yang terlibat dalam pemasaran hasil perikanan. Walaupun terdapat potensi perikanan tangkap namun Palabuhanratu juga tidak pernah lepas dari permasalahan yang menyangkut sumberdaya manusia yang terlibat, teknologi penangkapan yang digunakan, ketersediaan modal maupun kinerja aparat dan stakeholders usaha perikanan tangkap. Hal inilah yang mendorong Pemerintah mengembangkan minapolitan yang tidak lain adalah pengelolaan perikanan dengan melibatkan banyak stakeholders atau pengelolaan bersama co-management. Bila suatu model co-management dipilih untuk mengeliminir permasalahan yang ada sekaligus memotivasi partisipasi luas semua komponen pengelolaan, maka co-management haruslah dilengkapi dengan solusi dan panduan impelementasinya. Solusi implementasi model co-management dapat dikatakan baik bila sinkron dengan dinamika usaha perikanan tangkap dan relevan dengan kebutuhan pemecahan masalah. Untuk mengetahui kondisi pelaksanaan co- management dalam pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu, maka berbagai hal yang terkait pelaksanaan kegiatan perikanan baik secara internal maupun eksternal perlu diidentifikasi. Hasil identifikasi faktor internal maupun eksternal yang terkait dengan keikutsertaan masyarakat dan stakeholders lainnya dapat menjadi ciri penting bagi dinamika pelaksanaan co-management perikanan tangkap selama ini di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Berbagai faktor internal dan eksternal yang 50 berpengaruh sangat menentukan posisi pelaksanaan co-management pada bidang perikanan tangkap saat ini dan arah pengembangannya ke depan. Interaksi antar komponen dan pelaku langsung perikanan tangkap di lokasi merupakan gambaran kini dari faktor internal pengelolaan perikanan tangkap Palabuhanratu. Faktor eksternal umumnya sulit karena pengendalian oleh pihak luar yang bukan pelaku langsung kegiatan perikanan tangkap di Palabuhanratu.

4.2 Tujuan Penelitian

Penelitian pada bab ini bertujuan untuk mengetahui kondisi kini baik internal maupun eksternal pelaksanaan co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat dan variabel dominan yang mempengaruhinya. 4.3 Metode Penelitian 4.3.1 Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Pengumpulan data terkait penelitian ini dilakukan pada bulan Juni – November 2010.

4.3.2 Jenis data dan metode pengumpulan data

Jenis data primer dan sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data potensi sumberdaya perikanan tangkap, data nelayan, data alat tangkap, armada penangkapan, data ekonomi, sosial dan budaya, serta datainformasi terkait program co-management di Palabuhanratu. Data potensi sumberdaya perikanan yang dikumpulkan mencakup hasil tangkapan utama nelayan, informasi fishing ground, konservasi SDI, dan zona pemanfaatan SDI. Data nelayan yang dikumpulkan mencakup jumlah dan kualitas SDM perikanan, keaktifan nelayan di lembaga lokal, dan intensitas pembinaan nelayan muda. Data alat tangkap dan armadakapal yang dikumpulkan mencakup introduksi teknologi penangkapan, pengembangan alat tangkap, dan kontrol operasi kapal dan alat tangkap. Data ekonomi, sosial, dan budaya yang dikumpulkan mencakup modal usaha, perbekalan, sistem bagi hasil, sistem 51 promosi, jaringan pasar, harga jual, pengelolaan fasilitas, pengawasan pemanfaatan, pencemaran, dan mekanisme penyelesaian konflik nelayan. Datainformasi terkait program co-management yang dikumpulkan mencakup intensitas pendampingan, riset perikanan yang melibatkan masyarakat, mekanisme penyaluran hibah, dan bimbingan teknis perikanan. Metode pengumpulan data primer terdiri dari pemilihan kelompok sampling , identifikasi responden, dan pengumpulan data responden. Kelompok sampling merupakan perwakilan stakeholders yang berinteraksi langsung dengan kegiatan pengelolaan perikanan, seperti nelayan pemilik, pedagangpengolah ikan, pengelola pelabuhan perikanan, dan Dinas Kelautan dan Perikanan. Responden ini dipilih secara purposive sampling dari kelompok sampling berdasarkan ketokohan, pengetahuan, dan penguasaan terhadap aktivitas kelompoknya. Jumlah responden untuk pengambilan data analisis SWOT ditetapkan 5 – 10 dari total populasi setiap kelompok sampling Gasperzs, 1992. Tabel 1 Keperluan data responden untuk analisis SWOT No. Kelompok Responden Populasi orang Sampling orang 1. Nelayan pemilik 824 40 2. PengolahPedagang Ikan pemilik 102 4 3. Pengusaha 20 2 4. Pengelola Pelabuhan dan DKP Kab. Sukabumi 35 4 Total 50 Keterangan : Sampling 50 orang Sedikit berbeda dengan data analisis SWOT, jumlah responden untuk penentuan faktor SWOT kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dan pengambilan data QSPM lebih sedikit yakni 20 orang, yang terdiri dari 10 nelayan pemilik, 4 pengolah pedagangpedagang ikan, 2 pengusaha, 2 pengola pelabuhan, dan 2 dari DKP Kabupaten Sukabumi. Hal ini karena data yang dibutuhkan lebih bersifat konseptual dan strategis bukan teknis, sehingga ketokohan responden dalam kelompok benar-benar diperhatikan. Dari informasi lapangan, hanya sekitar 25 dari nelayan pemilik yang mengetahui betul dan aktif menyuarakan aspirasi kelompok nelayan, sehingga dari 40 nelayan pemilik hanya diambil 20 orang. Sedangkan untuk kelompok samplingstakeholders 52 lainnya lebih aktif dan berani, mungkin karena pendidikannnya umumnya lebih tinggi daripada nelayan. Sedangkan data sekunder berasal dari buku, jurnal, hasil penelitiankegiatan terkait, yang di-cross check dengan pendapat pakar yang mengetahui perkembangan perikanan di lokasi termasuk dengan menerapkan konsep co- management .

4.3.3 Analisis data

Untuk mengetahui kondisi kini present status pelaksanaan co-management di Palabuhanratu yang digunakan ialah analisis SWOT. Analisis SWOT dapat membantu memetakan kondisi kini present status pelaksanaan kegiatan pengembangan berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya secara internal maupun eksternal. Faktor internal meliputi kekuatan strength dan kelemahan weaknesses sedangkan faktor meliputi peluang opportunity dan ancaman threat. Untuk meningkatkan akurasi hasil analisis, maka informasi dari pihak- pihak terkait akan digali sebanyak mungkin. Adapun tahapan proses analisis yang dilakukan menggunakan SWOT adalah : 1 Pengembangan matriks IFAS, yaitu kegiatan menentukan faktor-faktor strategis internal, memuat tentang kekuatan dan kelemahan lengkap dengan hasil analisis bobot, rating dan skornya. 2 Pengembangan matriks EFAS, yaitu kegiatan menentukan faktor-faktor strategis eksternal, memuat tentang peluang dan ancaman lengkap dengan hasil analisis bobot, rating dan skornya 3 Pengembangan matriks internal-eksternal IE, yaitu kegiatan penentuan kondisiposisi perikanan tangkap saat ini yang menggunakan konsep co- management . Dalam analisis ini, bobot menunjukkan tingkat kepentingan pengelolaan perikanan tangkap pada co-management oleh beberapa faktor. Nilai bobot 0 - 1, dimana 0 menunjukkan tidak penting sampai 1 menunjukkan sangat penting. Rating menunjukkan tingkat pengaruh yang secara riil dapat diberikan oleh faktor tersebut terhadap co-management perikanan tangkap. Nilai rating 1 – 4. Dimana 1, 2, 3, dan 4 berturut-turut menyatakan rendah, biasa, tinggi, dan sangat tinggi. 53 Nilai rating untuk faktor kelemahan dan ancaman diberi secara terbalik, yaitu bila pengaruh rendah diberi nilai 4 dan pengaruh sangat tinggi diberi nilai 1. Skor menyatakan tingkat pengaruh positif sesuai kepentingan co-management perikanan tangkap terhadap faktor dimaksud. Pengembangan matriks internal-eksternal IE dilakukan dengan mengidentifikasi kesesuaian kondisi pelaksanaan konsep co-management perikanan tangkap dengan sembilan kuadran strategi pengelolaan yang digunakan dalam analisis SWOT. Kesembilan kuadran tersebut adalah kuadran I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, dan IX yang berturut-turut menyatakan I kondisi pertumbuhan dengan konsentrasi pada integrasi vertikal, II kondisi pertumbuhan dengan konsentrasi pada integrasi horizontal, III kondisi penciutan atau turnaround, IV kondisi stabilitas, V kondisi pertumbuhan dengan konsentrasi pada integrasi horizontal atau stabilitas, VI kondisi divestasi atau pengurangan, VII kondisi pertumbuhan melalui diversifikasi konsentrik, VIII kondisi pertumbuhan melalui konsentrasi konglomerasi, dan IX kondisi likuidasi. Setiap kuadran punya kisaran nilai faktor internal dan faktor eksternal tertentu. Posisi pengelolaan yang saat ini ditentukan dengan mencocokkan total skor faktor internal matriks IFAS dan faktor eksternal matriks EFAS dengan kisaran nilai pada kuadran. Posisi tersebut mencerminkan kondisi kini present status pelaksanaan konsep co- management perikanan tangkap di Palabuhanratu. Untuk mengidentifikasi beberapa variabel dominan yang mempengaruhi co- management perikanan tangkap di Palabuhanratu saat ini digunakan analisis Quantitative strategic planning matrix QSPM. Tahapan analisis yang dilakukan terkait penentuan variabel dominan ini mengacu kepada David 2002, yaitu : 1 Mendaftarkan variabel-variabel yang diduga mempengaruhi pelaksanaan konsep co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu ke dalam matrik QSPM. Berbeda dengan analisis SWOT, variabelfaktor yang dimaksud di sini lebih bersifat strategis dan menentukan arah pelaksanaan. 2 Memberikan bobot untuk setiap variabel sukses kritis 3 Menetapkan nilai pengaruh NP, yaitu : 1 = tidak berpengaruh, 2 = agak berpengaruh, 3 = cukup berpengaruh, dan 4 = sangat berpengaruh. 54 4 Menghitung total nilai pengaruh TNP, dengan menjumlahkan hasil perkalian bobot dengan NP dalam setiap baris. 5 Menghitung total nilai pengaruh total variabel TNPV, dengan menjumlahkan semua nilai TNP setiap baris. Nilai bobot, rating, dan nilai pengaruh NP pada masing-masing kriteria didapatkan dari pendapat responden. 4.4 Hasil Penelitian 4.4.1 Kondisi internal pelaksanaan co-management 4.4.1.1 Faktor kekuatan Hasil identifikasi faktor internal yang menjadi kekuatan co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Kelompok faktor internal co-management perikanan tangkap Faktor Internal Bobot Rating Skor Kekuatan : Ketersediaan SDM perikanan lokal 0,14 3 0,42 Kerjasama permodalan masyarakat nelayan 0,09 2 0,18 Sistem bagi hasil penangkapan secara proporsional 0,12 3 0,36 Kepedulian bersama dalam pengelolaan fasilitas perikanan 0,07 3 0,21 Keterlibatan nelayan dalam kelembagaan lokal 0,04 4 0,16 Pengembangan peralatan secara mandiri di masyarakat 0,10 3 0,30 Kelemahan : Pembinaan nelayan muda 0,14 2 0,28 Koordinasi dan kontrol internal kapal dan alat tangkap 0,07 2 0,14 Penyelesaian konflik antar nelayan 0,11 3 0,33 Tukar informasi fishing ground 0,04 3 0,12 Penyediaan perbekalan oleh kelompok nelayan 0,08 2 0,16 Total 1,00 2,66 Ketersediaan SDM perikanan lokal merupakan salah satu faktor utama terlaksananya co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu. Peran yang bisa dilakukan oleh SDM perikanan lokal ini mencapai 14 dari total intensitas 55 aktivitas internal pelaksanaan co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu. Jumlah SDM perikanan lokal di Palabuhanratu cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000, jumlah nelayan Palabuhanratu sekitar 2.354 orang. Pada tahun 2009 jumlah nelayan sekitar 5.234 orang PPN Palabuhanratu, 2010. Terkait dengan ini, maka rating ketersediaan SDM perkanan lokal termasuk baik dengan rating = 3. Kerjasama permodalan masyarakat nelayan merupakan bentuk pelaksanaan co-management perikanan tangkap di bidang keuangan. Bila kerjasama ini terjadi dengan baik, maka sangat menguntungkan bagi masyarakat nelayan, karena mereka dapat saling bantu bila ada kesusahan di antara mereka. Namun dalam kenyataannya, kerjasama permodalan ini belum berjalan dengan baik dengan rating = 2 atau cukup. Saat ini nelayan lebih banyak mengandalkan tengkulakbakul dalam permodalan karena dianggap ketersediaan modalnya lebih stabil. Kerjasama permodalan yang pernah terjadi di masyarakat nelayan diantaranya dalam bentuk arisan. Arisan pernah dilakukan cukup intensif pada tahun 1993 – 1999. Arisan terutama dilaksanakan oleh isteri nelayan. Mereka berkumpul secara rutin setiap minggu untuk mengumpulkan modal melalui arisan. Anggota arisan yang sangat membutuhkan didahulukan mendapatkan modal tersebut pada saat cabut nomor arisan walaupun bukan yang bersangkutan yang mendapatkan nomor pemenang. Diantara istri nelayan mereka saling mengenal dan saling membantu. Sistem bagi hasil yang umum dilaksanakan oleh nelayan di Palabuhanratu. Sistem bagi hasil yaitu 50 untuk pemilik kapal dan 50 untuk kelompok nelayan. Dari 50 untuk kelompok nelayan tersebut nakhoda mendapat bagian 2 kali lebih banyak diripada nelayan ABK. Pembagian ini dianggap proporsional dimana pemilik kapal menanggung semua biaya melaut, dan nakhoda memimpin kegiatan penangkapan, sehingga wajar bila bagiannya lebih banyak dengan bobot = 0,12. Sistem bagi hasil dimana bila mereka mendapatkan keuntungan besar maka mereka sama-sama mendapatkan bagian besar, dan sebaliknya. Kejadian ini merupakan pelaksanaan co-management perikanan tangkap dalam pembagian pendapatan usaha bersama yang mereka lakukan. Pembagian seperti ini direalisasikan dihampir semua usaha perikanan tangkap dengan rating = 3 atau 56 baik. Ada beberapa kebijakan dan bila ada sedikit perbedaan lebih karena pertimbangan proporsi kontribusi diantara nelayan yang terlibat. Kepedulian nelayan dalam pengelolaan fasilitas seperti sarana tambat labuh, tempat pelelangan ikan, dan lainnya termasuk tinggi dengan rating = 3 atau baik. Keterlibatan nelayan dalam kelembagaan lokal lebih baik lagi, dimana sekitar 90 pengurus HNSI dan koperasi berasal dari kalangan nelayan dengan rating = 4 atau sangat baik. Pelibatan masyarakat dari berbagai stakeholders ini merupakan bentuk pelaksanaan co-management dalam pengembangan organisasi nelayan. Namun demikian, kontribusi koperasi dalam memberi bantuan permodalan kepada nelayan belum banyak dengan bobot = 0,04. Modal yang terkumpul dari anggota masih sedikit dan juga bantuan hibah dari pihak luar belum ada dalam beberapa tahun hingga tahun 2010. Nelayan Palabuhanratu saat ini sudah dapat mengembangkan sendiri berbagai peralatan penangkapan ikan. Nelayan sudah dapat membuat kapal penangkapan sendiri dengan rating = 3 atau cukup. Pembuatan kapal dan alat tangkap oleh nelayan biasanya bekerjasama dengan kelompok teknisi yang berasal dari daerah lain, seperti Kota Cilacap dan Tegal. Para Teknisi tersebut sengaja datang ke lokasi untuk berkerjasama dalam pembuatan kapal, alat tangkap dan peralatan perikanan tangkap lainnya. Pola co-management perikanan tangkap seperti ini sudah berlangsung efektif sejak tahuan 1990-an, dan hingga saat ini masih terus efektif terjadi di Palabuhanratu.

4.4.1.2 Faktor kelemahan

Pelaksanaan co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu juga mempunyai beberapa kelemahan, seperti pembinaan nelayan muda minim, koordinasi dan kontrol internal kapal dan alat tangkap, penyelesaian konflik antar nelayan, tukar informasi fishing ground, dan penyediaan perbekalan oleh kelompok nelayan. Pembinaan nelayan muda tidak terlaksana baik di Palabuhanratu. Nelayan di Palabuhanratu relatif tidak banyak melibatkan anak- anaknya pada kegiatan penangkapan ikan. Anak-anak nelayan lebih banyak berkembang sesuai dengan minat dan bakat mereka, meskipun masa depannya belum tentu lebih baik daripada sebagai nelayan dengan rating =2 atau cukup. 57 Kontrol penggunaan alat tangkap termasuk rendah di Palabuhanratu. Apabila ada oknum nelayan yang mengembangkan alat tangkap, termasuk berbahaya seperti penggunaan bahan peledak, bisanya nelayan lainnya diam saja dengan rating = 2 atau cukup. Dari sisi kontrol dan pengawasan, pelaksanaan co-management perikanan tangkap belum maksimal. Pada tahun 2000 – 2002, nelayan banyak menggunaan bahan peledak dan bius dalam operasi penangkapan, namun di kalangan nelayan cenderung membiarkannya. Akibatnya, banyak ikan- ikan belum layak tangkap dan bukan target mati, sehingga hasil tangkapan nelayan juga turun pada periode tersebut. Konflik antara nelayan umumnya disebabkan perebutan fishing ground dan tambat labuh. Nelayan yang memiliki peralatan lengkap umumnya tidak mau menginformasikan fishing ground yang potensial kepada nelayan lainnya. Disamping itu, banyak kapal nelayan besar yang menangkap ikan pada jalur penangkapan kurang dari 4 mil. Ini memicu konflik antara nelayan besar dengan nelayan kecil. Sebelum tahun 2007, di PPN Palabuhanratu, sering terjadi konflik antar nelayan, dimana nelayan yang mau bongkar muatan tidak mendapat tambat labuh, sedangkan nelayan yang sudah tambat labuh tidak mau memindahkan kapalnya dengan alasan sedangkan menyiapkan perbekalan. Kondisi ini kemudian menjadi sumber konflik diantara mereka. Pelaksanaan co-management perikanan tangkap dalam bentuk penyelesaian konflik bersama ini terkadang tidak dapat berjalan dengan baik, dimana nelayan yang bertikai lebih mendahulukan ego masing-masing. Namun setelah areal tambat labuh PPN Plabuhanratu diperluas pada tahun 2007 – 2009 dan informasi fishing ground serta kondisi cuaca disediakan secara gratis oleh Departemen Kelautan dan Perikanan DKP melalui PPN Palabuhanratu, konflik dan mis-informasi fishing ground sudah berkurang dengan rating = 3 atau baik. Kemampuan penyediaan perbekalan secara mandiri oleh nelayan juga tidak berkembang dengn baik. Koperasi maupun kelompok nelayan belum dapat menyediakan semua kebutuhan nelayan untuk melaut. Hal ini terjadi disamping karena modal usaha terbatas juga pengelolaan perbekalan belum profesional atau terkontrol dengan baik rating = 2 atau cukup. Pengelolaan terkait erat dengan SDM. Potensi SDM di Palabuhanratu yang besar jumlahnya ternyata tidak