137 bila hasil tangkapan kurang baik dan hal ini cukup sering terjadi di lokasi.
Beberapa kali pernah terjadi konflik antara nelayan dan tengkulak bakul yang menjurus kepada konflik massal. Bila mengacu kepada hasil analisis Tabel 26,
maka model co-management kooperatif dapat diandalkan untuk memecahkan masalah ini dan permasalahan lainnya yang terjadi dalam interaksi teknis
perikanan tangkap di lokasi. Arahan implementasi terkait model co-management kooperatif ini sebagai model co-management kooperatif akan disajikan lebih
detail pada Bab 7. Namun secara umum, model co-management kooperatif ini dapat menjadi pilihan untuk pengelolaan perikanan tangkap yang lebih baik di
lokasi, baik pada saat terjadinya konflik sosial, penggunaan teknologi penangkapan destruktif, maupun pada saat terjadinya kelangkaan pada
sumberdaya ikan potensial yang biasa ditangkap nelayan. Dalam aplikasinya, model co-management kooperatif ini stabil terhadap
intervensi atau dinamika perubahan yang ekstrim pada keriteriaaspek biologi SDI dan lainnya, teknologi alat tangkap, kapal, dan alat pendukung
penangkapan, serta sosial dan budaya range RK stabil 0 – 1, atau RK sensitif tidak ada.
Namun demikian, model co-management kooperatif sensitif terhadap perhatian berlebihan pada aspek ekonomi yang ditunjukkan oleh adanya range RK
sensitif 0,971 – 1. Fokus yang berlebihan pada aspek ekonomi tersebut dapat berupa peningkatan jumlah kapal dan intensitas penangkapan hanya untuk
mengejar hasil tangkapan banyak dan keuntungan berlebih, sehingga melupakan kelestarian sumberdaya dan merusak lingkungan sekitar. Hal ini perlu menjadi
perhatian dalam aplikasi model co-management kooperatif, sehingga manfaat dan kehandalannya tetap terus dirasakan nelayan dan masyarakat pesisir dalam
pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu, Provinsi Jawa Barat.
6.6 Kesimpulan
Model co-management kooperatif merupakan model yang paling tepat bagi pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu dengan rasio kepentingan RK
sekitar 0,259 pada inconsistency terpercaya 0,07.
138
6.7 Saran
Disarankan mengintegrasikan co-management kooperatif dengan konsep minapolitan di Palabuhanratu. Co-management kooperatif perikanan tangkap
merupakan pengelolaan yang memberi peran seimbang pada Pemerintah dan komunitas nelayan. Program minapolitan menekankan bahwa pengelolaan
kawasan Palabuhanratu dikoordinasikan dan diintegrasikan oleh pemegang otoritas pelabuhan, sehingga semua stakeholders berkonstribusi guna mencapai
optimalisasi pengelolaan perikanan tangkap namun peran seimbang tidak terlihat maka co-management yang disarankan menyeimbangkan peran tersebut.
139
7 POLA IMPLEMENTASI CO-MANAGEMENT TERPILIH
7.1 Pendahuluan
Kegiatan perikanan tangkap di Palabuhanratu tidak lepas dari permasalahan sumberdaya manusia, permodalan, teknologi maupun kinerja usaha perikanan
tangkap. Pola implementasi model co-management dikatakan baik bila sinkron dengan dinamika usaha perikanan tangkap dan relevan dengan kebutuhan
pemecahan masalah. Pola implementasi co-management minimal menyangkut dukungan pengembangan sumberdaya manusia, dukungan pengembangan
teknologi, ketersediaan modal sehingga kinerja usaha perikanan tangkap menjadi lebih baik.
Permasalahan perikanan tangkap di Indonesia diantaranya data perikanan, kemisikinan nelayan, armada perikanan lemah, illegal fishing dan penegakan
hukum Baskoro, 2008. Disamping itu tenaga penyuluh perikanan di Indonesia sangat terbatas sehingga tidak terjadi transformasi knowledge dan teknologi
kepada nelayan. Jika pun ada SDM penyuluh perikanan kinerja dan kapabilitasnya rendah. Bukan hanya itu biaya penyuluh dikontrak Pemerintah dan dipekerjakan
per tahun by project, sehingga tanggung jawab dan kontinyuitas pengabdian mereka terbatas. Disamping penyuluhan, SDM pengawasan juga diperlu
ditingkatkan untuk mengurangi pencurian ikan khususnya di ZEE Budiono, 2005.
Pengembangan SDM merupakan langkah peningkatan kualitas SDM baik dalam konteks pola sikap dan perilaku, keterampilan, kemampuan manajerial,
maupun aspek gizi. Salah satu langkah yang perlu dikembangkan dan mesti diteruskan adalah pelatihan kredit mikro system greemen bank. Pelatihan ini
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan manajerial organisasi masyarakat pesisir serta untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas kelompok nelayan
dan penyediaan modal usaha. Kegiatan ini diharapkan meningkatkan kualitas masyarakat pesisir dalam berorganisasi, mengakses modal usaha dan pengelolaan
modal dalam setiap kegiatan usaha yang dilakukan Dahuri, 2001. Hasil analisis pada Bab 6 menunjukkan bahawa co-management kooperatif
terpilih sebagai model co-management terbaik untuk mendukung pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Model co-management kooperatif ini dapat
140 mengakomodir dengan semua kriteriaaspek pengelolaan yang menjadi dasar
pelaksanaan kegiatan perikanan tangkap di lokasi, yaitu aspek biologi, teknologi ekonomi dan sosial budaya. Di samping itu, model co-management ini juga secara
umum lebih dapat memperhatikan berbagai keterbatasan yang ada dan beberapa diantaranya dominan mempengaruhi keberhasilan pengelolaan perikanan tangkap
di Palabuhanratu. Pembatas dalam pengelolaan tersebut diantaranya ketersediaan sumberdaya, sumber dan jumlah modal, kondisi sarana dan prasarana, lingkup
kewenangan, dan tata ruang kewilayahan. Hasil analisis pada Bab 4, menunjukkan sumberdaya manusia, modal, dan teknologi sangat dominan mempengaruhi
keberhasilan co-management perikanan tangkap. Model co-management kooperatif ini juga termasuk stabil terhadap berbagai intervensi dan perubahan
terkait pemenuhan aspek pengelolaan yang ada baik yang dilakukan oleh nelayan, Pemerintah, pengusaha, maupun stakeholders lainnya.
Terkait dengan ini, maka co-management kooperatif dianggap lebih tepat untuk dipikirkan solusi atau pola implementasinya sehingga dapat diterapkan
secara nyata dalam mendukung pengelolaan perikanan tangkap di lokasi. Model co-management
terpilih ini, akan mengakomodir pengembangan usaha perikanan tangkap potensial hasil analisis Bab 5. Berdasarkan Bab 5 telah terindentifikasi
empat usaha perikanan tangkap yang dapat dikembangkan guna mendukung model co-management terpilih, yaitu payang, gillnet, pancing tonda, dan longline.
Pengembangan usaha perikanan tangkap dapat dilakukan secara optimal sehingga manfaat dari implementasi co-management terpilih kooperatif lebih terasa bagi
kehidupan nelayan dan perekonomian kawasan. Hasil analisis linear goal programming
pada Bab 5 menunjukkan bahwa alokasi optimal pengembangan payang, gillnet, pancing tonda, dan longline di Palabuhanratu berturut-turut adalah
141 unit, 31 unit, 30 unit, dan 20 unit.
7.2 Tujuan Penelitian
Merumuskan pola implementasi co-management terpilih dalam mendukung pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi,
Jawa Barat.
141
7.3 Metode Penelitian 7.3.1 Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Pengumpulan data untuk pengembangan pola implementasi co-management
terpilih kooperatif ini dilakukan pada bulan Juni – November 2010.
7.3.2 Jenis data dan metode pengumpulan data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer dan data sekunder tersebut dapat mencakup data program
pemberdayaan berbasis co-management di lokasi, pengembangan SDM penyuluhanpelatihan, pendampingan, dan bimbingan teknis, pengembangan
teknologi penangkapan, seperti teknologi alat tangkap, teknologi kapalarmada, dan teknologi pendukung penangkapan, data permodalan usaha mencakup
permodalan mandiri nelayan, permodalan dari lembaga keuangan, dan permodalan yang berasal dari hibah Pemerintah.
Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara dengan responden. Tahapan pengumpulan data terdiri penentuan kelompok sampling kelompok
stakeholders , identifikasi responden, dan pengumpulan data responden
Bungin, 2004. Kelompok samplingstakeholders terdiri dari nelayan, pengusaha perikanan, pengelola pelabuhan perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan, LSM,
dan masyarakat pesisir. Jumlah responden untuk pengumpulan data terkait pola implementasi co-management terpilih ini sekitar 183 orang Tabel 27.
Tabel 27 Keperluan data responden untuk analisis SEM No.
Kelompok Responden Jumlah Sample orang
1. Nelayan pemilik
153 2.
PengolahPedagang Ikan pemilik 15
3. Pengusaha
4 4.
Pengelola Pelabuhan Perikanan 4
5. DKP Kab. Sukabumi
3 6.
LSM 2
7. Tokoh Masyarakat
2 Total
183
142 Penentuan jumlah responden pada Tabel 27 tersebut dilakukan secara
proporsional dengan mempertimbangkan : a populasi kelompok stakeholders dan b keterkaitan langsung dengan pengelolaan perikanan tangkap di
Palabuhanratu. Jumlah responden 183 orang tersebut sudah mengakomodir kebutuhan estimasi maximum likelihood sebagai metode estimasi yang digunakan
untuk pengembangan pola implementasi menggunakan analisis structural
equation modelling SEM dalam penelitian ini, Menurut Ferdinand 2002,
maximum likelihood membutuhkan sampel sekitar 100 – 200 sampel. Untuk
memudahkan pengertian responden terhadap pertanyaan yang diajukan, akan digunakan pendekatan contingent value method CVM, sehingga responden
seakan-akan merasakan apa yang diilustrasikan dalam wawancara. Sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan dengan penelusuran laporan kegiatan, hasil
studi, dan data lainnya terkait program pemberdayaan masyarakat menggunakan konsep co-management di lokasi.
7.3.3 Analisis data
Model co-management terpilih berdasarkan hasil analisis AHP merupakan model co-management yang akan dirumuskan pola implementasinya dalam
analisis menggunakan SEM ini. Dalam analisis SEM, data primer dan data sekunder terutama hasil kajian teoritis diolah sedemikanrupa sehingga memberi
informasi yang berarti tentang pola pengelolaan yang bisa diikuti bagi sukses implemntasi co-management pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu.
Pola tersebut ditunjukkan oleh nilai pengaruh, signifikansi pengaruh, dan sifat pengaruh suatu komponen terhadap komponen lainnya baik langsung direct
effect maupun tidak langsung indirect effect. Adapun tahapan yang dilakukan
dalam analisis SEM ini adalah : 1
Penyusunan model teoritis 2
Perancangan path diagram 3
Perumusan measurement model dan structural equation 4
Penetapan matriks input dan estimasi model 5
Evaluasi kriteria goodness-of-fit 6
Interpretasi model hasil analisis SEM
143
1. Penyusunan model teoritis
Penyusunan model teroritis dilakukan supaya konsep-konsep interaksi di antara komponen terkait dalam implementasi model co-management terpilih
mendapat justifikasi sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Landasan utama untuk membuat model teoritis ini adalah informasi substantif
yang diperoleh dari berbagai pustaka, kondisi nyata hasil justifikasi awal di lapangan, dan hasil penelitian yang relevan.
2. Perancangan
path diagram
Perancangan path diagram merupakan kegiatan mendeskripsikan interaksi di antara komponen terkait dalam implementasi model co-management terpilih
hasil kembangan model teoritis. Komponen yang dalam interaksinya memegang peran penting posisi sentral menjadi konstruk penelitian, sedangkan komponen
yang memperjelas interaksi komponen utama menjadi dimensi konstruk penelitian ini. Path diagram tersebut dirancang menggunakan program AMOS Professional
4.0. Rancangan path diagram implementasi model co-management terpilih dalam mendukung pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu disajikan pada
Gambar 25.
Gambar 25 Rancangan Path Diagram Implementasi Model Co-management
Terpilih.
Co-Manag Terpilih
SDM UPT X11
d11 X12
d12 X13
d13
1 1
1 1
Teknologi UPT
X23 d23
X22 d22
X21 d21
1 1
1 1
Z2
1
Z3
Kinerj a UPT
Y1 e1
Y2 e2
Y3 e3
Z5
1 1
1 1
1
Tugas Co-Manag
Indikator Co-Manag
Modal UPT X33
d33 X32
d32 X31
d31 Z4
1 1
1 1
1 1
Z1
1
144 Rancangan path diagram pada Gambar 25 dibangun dengan konsep dimana
co-management akan berperan dalam pengelolaan usaha perikanan tangkap UPT
yang mencakup pengembangan sumberdaya manusia SDM, pengembangan teknologi penangkapan, dan penyediaan modal usaha perikanan tangkap. Peran
terkait pengembangan SDM dapat mencakup peran co-management dalam penyuluhanpelatihan, pendampingan, dan bimbingan teknis. Peran terkait
pengembangan teknologi penangkapan dapat mencakup peran co-management dalam pengembangan teknologi alat tangkap, armada, dan penentuan fishing
ground . Sedangkan peran terkait penyediaan modal dapat mencakup peran co-
management untuk penyediaan dana mandiri nelayan, akses perbankan, dan akses
hibah. Kegiatan pengembangan tersebut kemudian mempengaruhi kinerja usaha perikanan tangkap, dan selanjutnya kinerja usaha perikanan tangkap memberi
impact balik pada penataan konsep co-management yang lebih baik. Co-
management itu sendiri juga dikontrol oleh tugas dan indikator keberhasilan yang
telah digariskan. Adapun makna dari dimensi konstruk yang digunakan adalah : 1
X
11
2 X
= penyuluhanpelatihan
12
3 X
= pendampingan
13
4 X
= bimbingan teknis
21
5 X
= teknologi alat tangkap
22
6 X
= teknologi kapalarmada
23
7 X
= teknologi pendukung pennagkapan terutama terkait dengan penentuan fishing ground
31
8 X
= permodalan mandiri nelayan
32
9 X
= permodalan dari lembaga keuangan bank dan koperasi
33
10 Y = bantuan hibah Pemerintah
1
11 Y = hasil tangkapan
2
12 Y = kesejahteraan nelayan
3
= kelestarian sumberdaya dan lingkungan
3. Perumusan
measurement model dan structural equation
Perumusan measurement model dan structural equation merupakan kegiatan penyusunan persamaan matematis yang mewakili interaksi di antara komponen
terkait dalam implementasi model co-management terpilih. Persamaan tersebut
145 terdiri dari persamaan pengukuran measurement model dan persamaan struktur
structural equation. Persamaan pengukuran measurement model merupakan persamaan yang mencerminkan interaksi komponen yang menjadi konstruk
dengan dimensi konstruk penelitian, sedangkan persamaan struktur structural equation
mencerminkan interaksi di antara komponen yang menjadi konstruk penelitian antar konstruk. Persamaan matematis tersebut digunakan untuk
operasi AMOS, dan data SEM yang dikumpulkan dari responden diolah dengan program SPSS, Microsoft Excel, MS Access, atau program lain yang sesuai.
4. Penetapan matriks
input dan estimasi model
Matriks input yang dapat digunakan dalam analisis SEM terdiri dari matriks kovarian dan matriks korelasi. Matriks kovarian merupakan matriks yang berisi
varian dan kovarian dari semua komponen yang berinteraksi, sedangkan matriks korelasi merupakan matriks yang berisi koefisien korelasi dari semua komponen
yang berinteraksi. Dalam analisis solusi atau pola implementasi model co- management
ini, matriks kovarian akan lebih banyak digunakan karena keunggulannya dalam menyajikan perbandingan yang valid antara populasi atau
sampel yang berbeda. Sedangkan teknis estimasi yang digunakan dalam analisis model interaksi
komponen terkait dalam implementasi model co-management terpilih adalah maximum likelihood estimation
. Teknik estimasi ini cocok karena ukuran sampel penelitian terkait sekitar 183 orang, dan maximum likelihood estimation
mensyaratakan sampel berukuran 100 – 200 orang dipenuhi.
5. Evaluasi kriteria
goodness-of-fit
Kegiatan evaluasi kesesuaian model analisis solusi atau pola implementasi model co-management ini dilakukan menggunakan kriteria goodness-of-fit
menurut Ferdinand 2002. Secara rinci, indeks evaluasi tersebut mencakup : 1
Chi-square statistic. Uji ini digunakan untuk mengukur overall fit atau
kesesuaian model yang dibangun dengan data yang ada. 2
Adjusted goodness of fit index AGPI. AGPI analog dengan R
2
dalam regresi berganda, dengan tingkat penerimaan yang direkomendasikan sama
atau lebih besar dari 0,9.