66 Tabel 7
Hasil analisis QSPM penentuan pengaruh variabel pengelolaan terhadap pelaksanaan co-management perikanan tangkap di
Palabuhanratu
Variabel TNPV
Urutan Pengaruh Sumberdaya Ikan SDI
5,11 IV keempat
Sumberdaya Manusia SDM 5,82
I pertama Teknologi Penangkapan
5,44 III ketiga
Pasar 4,97
V kelima Modal
5,63 II kedua
Prasarana Pelabuhan 4,55
VII ketujuh Sarana Transportasi
4,39 VIII kedelapan
Intensitas Usaha Pendukung 4,72
VI keeanam
Keterangan : TNPV = total nilai pengaruh variabel
Variabel sumberdaya manusia SDM, modal, dan teknologi merupakan tiga variabel yang dominan mempengaruhi pelaksanaan co-management
perikanan tangkap di Palabuharatu. Sumberdaya manusia SDM terutama nelayan dan masyarakat pesisir mempunyai pengaruh besar bagi co-management
karena mereka menjadi pelaku langsung perikanan tangkap. Modal menentukan ruang gerak dan skala aktivitas co-management perikanan tangkap. Teknologi
penangkapan ikan memberi ruang untuk introduksi teknologi baru, pemberdayaan keahlian masyarakat, dan kombinasi pola pemanfaatan sumberdaya perikanan
yang dapat dilakukan di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Bila mengacu kepada hasil analisis matriks IE pada Gambar 15 dan hasil
analisis variabel dominan pada Tabel 7, maka co-management perikanan tangkap dapat berkembang lebih baik bila dilakukan perbaikan baik secara internal
maupun eksternal. Perbaikan secara internal dan eksternal tersebut dilakukan dengan memberi prioritas pelibatan terhadap sumberdaya manusia lokal dan
pembenahan aspek teknologi serta sistem permodalan usaha. Hal ini penting supaya kegiatan perikanan tangkap berkelanjutan di lokasi, semua pihak merasa
terlibat dan ikut menjaga keberhasilan-keberhasilan perikanan tangkap yang dicapai di lokasi.
67
4.5 Pembahasan
Kegiatan perikanan tangkap merupakan kegiatan ekonomibisnis yang banyak melibatkan cukup banyak anggota masyarakat dari kelas ekonomi bawah
yang bagian terbesar dari penduduk negeri ini. Dengan banyaknya anggota masyarakat yang terlibat di dalamnya, maka kegiatan perikanan tangkap sering
dianggap sebagai kegiatan ekonomi rakyat. Kondisi ini memperlihatkan betapa pentingnya kegiatan perikanan tangkap bagi kehidupan masyarakat di sepanjang
pesisir Indonesia termasuk di Palabuhanratu. Terkait dengan ini, maka berbagai aktivitas terkait perikanan tangkap ini harus benar-benar melibatkan masyarakat
dari berbagai komponen di lokasi dan mereka merasa senang dan menikmati manfaatnya. Co-management perikanan tangkap merupakan upaya untuk
mengoptimalkan peran, keterlibatan, dan kerjasama dari semua stakeholders terkait perikanan tangkap dalam merencanakan, melaksanakan, memutuskan
berbagai hal yang diperlukan bagi pengelolaan perikanan tangkap yang lebih baik. Menurut Hartoto et al. 2009, pelaksanaan co-management perikanan harus
menjadikan nelayan, pengolah, pedagang ikan, dan masyarakat pesisir sebagai pelaku utama berbagai jenis tindakan perencanaan, pengelolaan, dan successor
berbagai program perikanan di suatu kawasan perikanan. Dilihat dari sisi internal pelaksanaan co-management perikanan tangkap di
Palabuhanratu, maka pelaksanaannya sudah termasuk “cukup baik”. Total skor faktor internal sekitar 2,66 pada skala 1-4 menunjukkan pelaksanaannya co-
management sudah cukup baik. Menurut Rangkuti 2004, nilai skor faktor
internal 2 memberi pengertian bahwa pelaksanaan suatu program pengembangan telah melewati masa sulit seperti likuidasi dan penciutan, artinya program tinggal
dilanjutkan dan diperbaiki beberapa kekurangan sehingga terus tumbuh dan berkembang mencapai output optimal. Bila melihat hasil analisis Tabel 2,
beberapa hal yang perlu ditingkatkan secara internal untuk optimalnya pelaksanaan co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu, diantaranya
kerjasama permodalan mandiri di masyarakat nelayan, pembinaan nelayan muda, koordinasi dan kontrol internal kapal dan alat tangkap, serta penyediaan
perbekalan secara mandiri oleh kelompok maupun koperasi nelayan.
68 Selama ini, bakultengkulak merupakan andalan utama nelayan bila
kekuarangan modal untuk operasi penangkapan ikan. Di satu sisi hal ini cukup membantu dan memudahkan nelayan, namun implikasi dari pinjaman yang harus
menjual hasil tangkapan kepada mereka dengan harga yang ditetapkan secara sepihak oleh tengkulak. Menurut Hamdan et al. 2006 dalam penelitiannnya
menyatakan bahwa satu hal utama yang mengancam keberlanjutan kegiatan perikanan tangkap di suatau kawasan adalah masalah kestabilan dan mekanisme
penetapan harga. Bila ada pihak yang merasa dirugikan, maka secara jangka panjang dapat menimbulkan ketidakpuasan dan konflik, yang dapat mengancam
keberlanjutan kegiatan perikanan. Terkait dengan ini, maka kebijakan perikanan tangkap perlu memberi perhatian penuh terhadap kestabilan harga dan penetapan
harganya haruslah didasarkan pada mekanisme pasar. Penyediaan modal mandiri, serta koordinasi dan kontrol internal yang lebih
baik dapat meningkatkan kemandirian pengelolaan perikanan dan atas kesadaran sendiri nelayan saling mengontrol satu sama lain untuk pengelolaan sarana
penangkapan yang ramah lingkungan. Penerapan co-management memberi penekanan pada penggiatan kreativitas internal nelayan dalam memecahkan
berbagai masalah yang dihadapi termasuk dalam hal permodalan dan pengelolaan kawasan perikanan. Hou 1997 dan Garrod dan Willis 1999 menyatakan bahwa
kekuatan modal menjadi hal penting untuk ekspansi usaha ekonomi dan kreativitas pelaku ekonomi lokal. Modal sangat menentukan ketahanan usaha
ekonomi dalam menghadapai berbagai masalah krisis yang mungkin terjadi. Terkait ini, maka program pembinaan melalui co-management seperti
pengembangan kas kelompok, arisan, dan lainnya perlu terus digalakkan sehingga menjadi solusi bagi nelayan anggota yang membutuhkan bantuan modal.
Pembinaan nelayan muda perlu diprogramkan secara khusus, sehingga keahlian dalam operasi penangkapan ikan maupun dalam pengembangan alat tangkap
alternatif semakin teruji. Menurut Pearce dan Moran 1994 dan Nikijuluw 2002, kelangsungan sumberdaya ikan, penggunaan alat tangkap ramah
lingkungan di suatu kawasan sangat tergantung dari kesadaran dan pembinaan yang dilakukan kepada generasi berikutnya. Bila hal ini tidak berjalan dengan
69 baik, maka terjadi ketimpangan pengelolaan dan kreativitas generasi perikanan
menurun dalam memecahkan masalah. Dari segi jumlah, sumberdaya manusia perikanan di Palabuhanratu sudah
cukup banyak, namun bila mereka tidak dibina dengan baik, dapat saja menjadi penyebab konflik pemanfaatan di kemudian hari. Pelaksanaan co-management
terkait pembinaan SDM yang banyak tersebut memang selama ini belum optimal di lokasi dan hal ini perlu menjadi perhatian penting dalam implementasi co-
management berikutnya yang dirancang pada Bab 7 penelitian. Menurut PMB
2004, pembinaan SDM tidak hanya dilakukan dengan mengikutsertakannya pada berbagai pelatihan dan pendidikan yang ada di lokasi, tetapi dapat dalam
bentuk pelibatan langsung pada berbagai program dan kegiatan teknis yang ada di lokasi seperti menjadi pengurus HNSI, petugas lelang, pengurus koperasi dan
lainnya. Bila melihat data Tabel 2, keterlibatan nelayan dalam berbagai kelembagaan lokal sudah sangat baik di Palabuhanratu, dan hal ini berarti
kelemahan dalam pembinaan nelayan muda lebih karena teknis pembinaan pelatihan dan lainnya yang belum menyentuh atau menggerakkan kesadaran
nelayan. Hal ini perlu menjadi perhatian penting dalam pelaksanaan co- management
perikanan tangkap ke depan. Kedekatan dengan pasar potensial jalur ekspor, trend kerjasama
permodalan dengan pihak luar, dan introduksi teknologi baru memberi peluang yang besar untuk pengembangan
co-management perikanan tangkap
Palabuhanratu. Untuk pasar DKI Jakarta, banyak pelaku perikanan Palabuhanratu yang mengikat kontrak dengan agen di sentra pemasaran Jakarta. Hal ini
berpengaruh positif bagi dinamika pemasaran produk di mana nelayan dan masyarakat pesisir banyak yang terlibat termasuk dalam distribusi dan
pengiriman. Dalam konteks co-management, pelibatan yang semakin tinggi ini merupakan tujuan dari kegiatan pengelolaan perikanan. Menurut Nikijuluw
2002, pelibatan yang tinggi memberi ruang pemenuhan kebutuhan masyarakat secara partisipatif, pemecahan masalah perikanan secara mandiri oleh masyarakat
dan penguatan kelompok swadaya masyarakat. Pomeroy dan Berkes 1997 menyatakan co-management dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik, bila usaha ekonomi yang dijalankan oleh masyarakat
70 mendapat perlindungan dari Pemerintah. Usaha ekonomi akan menggerakan
partsipasi masyarakat baik sebagai pelaku usaha, konsumen, pelayan jasa, maupun kegiatan pendukungnya, dana akan terus berjalan selama tidak ada ketimpangan,
intervensi, retribusi yang berlebihan dari Pemerintah. Untuk pasar ekspor lobster dan rajungan misalnya, telah mendorong partisipasi nelayan, pengumpul, pemilik
jasa pengiriman di Palabuhanratu untuk bersama-sama mendukung pengadaan produk tersebut. Dari survei lapang, pengiriman untuk tujuan ekspor ini dapat
terjadi 2 -3 kali sehari, dan saat ini telah menjadi kegiatan perikanan penting di Palabuhanratu. Pola co-management ini perlu dipertahankan, dan Pemerintah
tinggal mengontrol dan melindungi pola pemasaran produk perikanan bernilai tinggi tersebut. Makino et al. 2009 menyatakan bahwa perlindungan
sumberdaya dan ekonomi masyarakat lokal merupakan kunci keberhasilan suatu bangsa dalam membangun kemandiriannya.
Kemitraan permodalan yang terbangun dengan pengusaha yang berasal dari luar seperti Tegal, Pasuruan, dan lainnya juga memperlihatkan co-management
yang terbangun dalam pengelolaan perikanan tangkap. Namun karena nelayan lokal hanya sebagai tenaga kerja, maka co-management ini belum maksimal
memberi manfaat bagai kemandirian kegiatan perikanan di Palabuhanratu. Bintoro 1995 menyatakan bahwa kerjasama yang terbangun dengan pemilik
kapal atau pemodal dari luar terkadang tidak berlangsung lama bila tidak dikelola dengan baik. Usaha penangkapan tuna suatu kawasan misalnya, pada bulan-bulan
tertentu mungkin berkembang dengan baik, tetapi bila hasil tangkapan sudah berkurang dan nelayan lokal yang terlibat tidak terlalu terampil, maka dapat saja
tidak diikutsertakan bila lokasi penangkapan pindah ke daerah lain. Riset perikanan yang ditunjukkan pada Tabel 4, menjadikan perikanan
tangkap Palabuhanratu sebagai lokasi penting bagi bagi pengembangan keilmuan perikanan di Indonesia. Aktivitas riset perikanan terjadi setiap tahun di
Palabuhanratu, sedikit banyak menambahkan pengetahuan dan wawasan pelaku perikanan lokal tentang sumberdaya ikan, migrasi, pengakayaan stock, dan
konservasi perikanan. Pelibatan nelayan dan masyarakat lokal dalam berbagai kegiatan lapang dari riset tersebut memberi warna tersendiri bagi dinamika
pengelolaan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Nikijuluw 2002 menyatakan
71 bahwa pelibatan nelayan dan masyarakat lokal dalam riset merupakan bentuk
implementasi terpenting kedua dalam co-management perikanan setelah pengenalan masyarakat. Pelibatan dalam riset memberi ruang untuk pengenalan
lokasi riset, potensi daerah, prospek pemgembangan bisnis perikanan, dan pengembangan jalinan kemitraan yang lebih luas.
Monopoli hasil tangkapan bukan hal yang asing dalam kegiatan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Secara sosial, tengkulakpelaku monopoli ini telah
melibatkan atau memberi lapangan kerja bagi sebagian orang di lokasi, sehingga sepintas telah menerapkan co-management dalam menjalankan usahanya. Tetapi
praktek monopoli ini telah mengkerangkeng kebebasan sebagian besar nelayan kecil untuk menikmati harga jual dari hasil tangkapan yang didapatnya.
Co-management juga mengedepankan keadilan dan pemetaan manfaat suatu
kegiatan pengelolaan, sehingga co-management dalam praktek pengelolaan seperti ini termasuk black implemetation penerapan salah. Kotler dan Armstrong
1997 menyatakan bahwa pengkondisian pasar dalam memberi keuntungan melimpah bagi pengembangan suatu produk atau suatu kegiatan bisnis, namun hal
ini menjadi bom waktu bagi kehancuran pasar produk dan konflik multidimensi diantara pelaku pasar produk.
Dalam kaitan ini, maka ancaman monopoli, pengaturan harga, dan juga bantuan yang bernuansa politis perlu dihindari dalam pengelolaan perikanan
tangkap Palabuhanratu. Selama ini, praktek co-management dalam bidang perikanan tangkap Palabuhanratu memang penuh dinamika, ada yang mendukung
pengelolaan, memberi peluang pengembangan, ada yang menghambat, dan bahkan ada yang memanfaatkan ketidakberdayaan pelaku perikanan lainnya.
Pomeroy dan Williams 1994 menyatakan bahwa co-management perikanan harus dilaksanakan dengan prinsip keadilan, pelibatan, dan pemanfaatan bersama,
sehingga semua pihak terkait memperoleh kemajuan secara bersama-sama untuk mewujudkan kegiatan pengelolaan yang mandiri dan berkelanjutan.
Bila mengacu kepada kepada hasil analisis Gambar 12, maka pelaksanaan co-management
perikanan tangkap Palabuhanratu memang belum berada pada posisi terbaik. Co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu, masih perlu
pembenahan baik menyangkut aspek internal maupaun eksternal pengelolaan
72 selama ini. Menurut Rangkuti 2004, kondisi ideal pengelolaan skor 4 untuk
faktor internal maupun eksternal memang sulit dicapai, tetapi hal tersebut harus tetap diupayakan untuk didekati, sehingga terjadi perbaikan yang terus-menerus
dalam kegiatan pengelolaan. Hartoto et al. 2009 menyatakan bahwa upaya perbaikan terus-menerus harus menjadi tujuan dari pelibatan masyarakat dalam
kegiatan perikanan, dan perbaikan tersebut hendaknya dimulai dari aspek yang vital yang menentukan keberlanjutan kegiatan perikanan.
Mengacu kepada hal ini, maka aspekvariabel yang dominan mempengaruhi pelaksanaan co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu Tabel 8 harus
menjadi fokus bagi perbaikan di masa datang. Sumberdaya manusia SDM, modal, dan teknologi dapat dikatakan sebagai penggerak utama terjadinya
kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan di lokasi. Soenarno, et. al 2007 dalam penelitiannya menyatakan sumberdaya manusia menjadi penyebab utama
keberhasilan dan kemunduran yang terjadi pada kegiatan perikanan. Banyak daerah yang tidak terlalu melimpah potensi sumberdaya, ikannya, tetapi karena
kegiatan perikanan dikelola dengan baik, SDM handal dan dapat mengembangkan jalur bahan baku dan pasar yang baik, maka kegaitan perikanan tersebut tetap
tumbuh berkembang dengan baik. Banyak variabel yang mempengaruhi pelaksanaan co-management
perikanan tangkap di Palabuhanratu. Mengacu kepada Kesteven 1993, BPS 1991, Hartoto et al. 2009, variabel pengelolaan yang menentukan
keberhasilan kegiatan perikanan tangkap termasuk dengan menerapkan co- management
adalah sumberdaya ikan SDI, sumberdaya manusia SDM, teknologi penangkapan, pasar, modal, prasarana pelabuhan, sarana transportasi
produk, dan kegiatan usaha pendukung. Modal dan teknologi menjadi alat bagi SDM yang handal untuk
menjalankan bisnis perikanan. Menurut Hanna 1995 dan Garrod dan Willis 1999, kekuatan modal akan menentukan skala usaha dan kestabilanya terhadap
berbagai gangguan yang mengancam, sedangkan pemilihan teknologi yang tepat dengan melibatkan kemampuan dan keahlian yang ada di masyarakat dapat
menumbuhkan kreativitas dan kemandirian kegiatan pengelolaan suatu kawasan. Terkait dengan ini, maka aspek sumberdaya manusia SDM, modal, dan