c Apakah tujuan pelayanan pada penerima program telah sesuai dengan
yang diharapkan? d
Apakah pelayanan program yang diberikan memberikan perubahan pada penerima program?
Berdasarkan teori di atas, maka peneliti membuat alur kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Tabel 3 Desain Evaluasi Program Pendidikan Non Formal melalui Rumah
Belajar bagi Anak Jalanan
a. Tujuan Program
b. Konteks Program
a. Variabel Klien 1.
Aspek Usia 2.
Latar Belakang 3.
Wilayah Tinggal 4.
Kategori Anak Jalanan
5. Demografi Keluarga
Klien b. Variabel Staff
1. Pendidikan staff
2. Pengalaman staff
c. Variabel Program 1.
Layanan yang diberikan
2. Donatur dan
kemitraan 3.
Keterjangkauan lokasi Belajar
4. Sarana dan fasilitas
pendukung 5.
Pendanaan a.
Proses Perekrutan Anak Didik
b. Strategi Pengelolaan
Program Pendidikan Non formal
c. Jadwal Pelaksanaan
Program Pendidikan Non formal
d. Data Klien dan Jenis
Program yang diikuti e.
Strategi Pengajaran Program
f. Penanggung-jawab
program g.
Kapan Program Selesai
a. Perubahan
Perilaku Klien b.
Keberlanjutan Program
Context Product
Process Input
4. Indikator Evaluasi Program
Dalam hubungan dengan kriteria keberhasilan yang digungakan untuk suatu proses evaluasi, Feurstein seperti yang dikutip oleh Isbandi Rukminto
Adi, mengajukan beberapa indikator yang perlu untuk dipertimbangkan. Indikator dibawah ini adalah Sembilan indikator yang paling sering digunakan
dalam mengevaluasi suatu kegiatan
35
. 1
Indikator ketersediaan indicators of availability. Indikator ini melihat apakah unsur yang seharusnya ada dalam suatu proses itu benar-benar
ada. Misalnya dalam suatu program pembangunan sosial yang menyatakan bahwa diperlukan satu tenaga kader lokal yang terlatih untuk
menangani 10 rumah tangga, maka perlu di cek apakah tenaga kader yang terlatih tersebut benar-benar ada.
2 Indikator relevansi indicators of relevance. Indikator ini menunjukan
seberapa relevan ataupun tepatnya sesuatu yang teknologi atau layanan yang ditawarkan. Misalnya, pada suatu program pemberdayaan
perempuan pedesaan dimana diperkenalkan kompor teknologi terbaru, tetapi ternyata kompor tersebut lebih banyak menggunakan minyak tanah
ataupun kayu dibandingkan dengan kompor yang biasa mereka gunakan. Berdasarkan keadaan tersebut maka teknologi yang lebih baru ini dapat
dikatakan kurang relevan untuk diperkenalkan bila dibandingkan dengan kompor yang biasa mereka gunakan.
35
Isbandi Rukminto Adi, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2001, h.130-132.