Satuan Pendidikan Nonformal Pendidikan Nonformal

lain. Pekerja sosial dan klien pada hakikatnya dapat menjadi pendidik dan peserta didik sekaligus. 57 Secara sosiologis, kesejahteraan sosial akan dapat tercapai jika kebutuhan pendidikan, pangan dan kesehatan telah terpenuhi oleh masyarakat. Salah satu media yang bisa dilakukan adalah dengan memaksimalkan lembaga sosial. Membentuk sebuah komunitas menjadi alternatif untuk mengimbangi peran sekolah sebagai lembaga sosial formal. Di dalam komunitas, pemberdayaan melalui transformasi ilmu pengetahuan harus menjadi fokus utama. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan membentuk komunitas yang berbasis pada pemahaman tentang nilai-nilai pendidikan. Dalam hal ini peran serta yang berkelanjutan dan partisipasi yang berbasis kesadaran anggota masyarakat adalah hal utama yang harus dimaksimalkan. 58 Berdasarkan ilmu kesejahteraan sosial, pendekatan pemberdayaan yang berbasis komunitas community based ini dikenal juga dengan pendekatan komunitarian. Strategi ini percaya bahwa antara masyarakat dan komunitas memiliki kemampuan yang saling terkait untuk memastikan kebutuhan dasar mereka terpenuhi, masalah sosial mereka teratasi dan kesempatan untuk maju tersedia. 59 Pembentukan komunitas yang berbasis pada pemahaman tentang nilai- nilai pendidikan ini erat kaitannya dengan masalah pendidikan bagi kaum 57 Edi Suharto, “Pendampingan Sosial dalam Pengembangan Masyarakat”, Modul diakses pada 23 April 2016 dari www.policy.husuhartomodul_amakindo_31.htm 58 Didid Haryadi, “Pendidikan dan Kesejahteraan Sosial”, artikel ini diakses pada 22 April 2016 dari kahaba.netberita-bima23802pendidikan-dan-kesejahteraan-sosial.html 59 Siti Napsiyah Arieffuzaman dan Lisma Dyawati Fuaida, Belajar Teori Kesejahteraan Sosial Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, h.105. menengah kebawah yang belum bisa mengakses pendidikan formal karena biaya yang cukup mahal. Komunitas ini biasanya membentuk sebuah ruang terbuka bagi masyarakat yang kurang mampu untuk mendapatkan pendidikan seperti pada sekolah formal tanpa dipungut biaya apapun. Sarana pendidikan bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial khususnya anak jalanan menjadi sangat penting mengingat bahwa pendidikan merupakan salah satu hak yang paling asasi yang harus dimiliki oleh setiap orang tanpa terkecuali. Dengan mengenyam pendidikan, anak jalanan dapat meningkatkan taraf hidup yang lebih baik dan memiliki kompetensi tinggi dalam menghadapi tantangan di era globalisasi seperti sekarang. Selain itu, dengan adanya pendidikan bagi anak jalanan dapat menghapus stigmatisasi dari masyarakat yang sering mengaitkan anak jalanan dengan perilaku buruk seperti membuat keonaran, mengganggu lalu lintas, vandalisme dan sebagainya.

C. Anak Jalanan

1. Pengertian Anak Jalanan

Anak jalanan, tekyan, arek kere, anak gelandangan, atau kadang disebut juga secara eufemistis sebagai anak mandiri usulan Rano Karno tatkala ia menjabat sebagai Duta Besar UNICEF, sesungguhnya mereka adalah anak-anak yang tersisih, marginal, dan teralienasi dari perlakuan kasih sayang karena kebanyakan dalam usia yang relatif dini sudah harus berhadapan dengan lingkungan kota yang keras, dan bahkan sangat tidak bersahabat. 60 Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia, anak jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya. Berbeda dengan UNICEF yang mengatakan bahwa, street child are those who have abandoned their homes, school and immediate communities before they are sixteen years of age, and have drifted into a nomadic street life, anak jalanan merupakan anak-anak berumur dibawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat terdekatnya, larut dalam kehidupan yang berpindah-pindah di jalan raya. 61 Sedangkan menurut undang-undang nomor 23 tahun 2002, anak jalanan adalah anak yang menggunakan sebagian besar waktunya di jalanan. Dari berbagai pengertian yang telah dikemukakan diatas, maka peneliti menyimpulkan bahwa anak jalanan adalah anak yang berusia di bawah 16 tahun baik laki-laki maupun perempuan yang masih memiliki hubungan dengan keluarga ataupun sudah putus hubungan dengan keluarga, yang berkeliaran di jalanan untuk mencari nafkah dengan cara mengamen, meminta-minta, dsb. 60 Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak Edisi Revisi Jakarta: Kencana, 2010, h.199. 61 RB Leksono, “Anak Jalanan dan Rumah Singgah” jurnal diakses pada 25 Maret 2016 dari e- journal.uajy.ac.id Di berbagai sudut kota, sering terjadi anak jalanan harus bertahan hidup dengan cara-cara yang secara sosial kurang atau bahkan tidak dapat diterima masyarakat umum, sekadar untuk menghilangkan rasa lapar dan keterpaksaan untuk membantu keluarganya. Tidak jarang pula mereka dicap sebagai pengganggu ketertiban dan membuat kota menjadi kotor, sehingga yang namanya razia atau penggarukan bukan lagi hal yang mengagetkan mereka. Marginal, rentan, dan eksploitatif adalah istilah-istilah yang tepat untuk menggambarkan kondisi dan kehidupan anak jalanan. 62 Marginal karena mereka melakukan jenis pekerjaan yang tidak jelas jenjang kariernya, kurang dihargai, dan umumnya juga tidak menjajikan prospek apapun di masa depan. Rentan karena risiko yang harus ditanggung akibat jam kerja yang sangat panjang benar-benar dari segi kesehatan maupun sosial sangat rawan. Adapun disebut eksploitatif karena mereka biasanya memiliki posisi tawar- menawar bargaining position yang sangat lemah, tersubordinasi, dan cenderung menjadi objek perlakuan yang sewenang-wenang dari ulah preman atau oknum aparat yang tidak bertanggung jawab.

2. Karakteristik Anak Jalanan

Anak jalanan sebagai pekerja anak child labour sebenarnya bukanlah kelompok yang homogen. Mereka cukup beragam, dan dapat dibedakan atas dasar pekerjaannya, hubungannya dengan orang tua atau orang dewasa 62 Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak Edisi Revisi. h.200. terdekat, waktu dan jenis kegiatannya di jalanan, serta jenis kelaminnya. Berdasarkan hasil kajian lapangan, secara garis besar anak jalanan dibedakan dalam tiga kelompok. Pertama, children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi sebagai pekerja anak di jalan, namun masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. Sebagian penghasilan mereka di jalan diberikan kepada orang tuanya, fungsi anak jalanan pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti ditanggung tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orangtuanya. Kedua, children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa di antara mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak di antara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab biasanya kekerasan lari atau pergi dari rumah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pada kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik secara sosial-emosional, fisik maupun seksual. Ketiga, children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan. Walaupun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu tempat ke tempat yang lain dengan segala risikonya. Salah satu ciri penting dari kategori ini dengan mudah ditemui