4. Indikator Evaluasi Program
Dalam hubungan dengan kriteria keberhasilan yang digungakan untuk suatu proses evaluasi, Feurstein seperti yang dikutip oleh Isbandi Rukminto
Adi, mengajukan beberapa indikator yang perlu untuk dipertimbangkan. Indikator dibawah ini adalah Sembilan indikator yang paling sering digunakan
dalam mengevaluasi suatu kegiatan
35
. 1
Indikator ketersediaan indicators of availability. Indikator ini melihat apakah unsur yang seharusnya ada dalam suatu proses itu benar-benar
ada. Misalnya dalam suatu program pembangunan sosial yang menyatakan bahwa diperlukan satu tenaga kader lokal yang terlatih untuk
menangani 10 rumah tangga, maka perlu di cek apakah tenaga kader yang terlatih tersebut benar-benar ada.
2 Indikator relevansi indicators of relevance. Indikator ini menunjukan
seberapa relevan ataupun tepatnya sesuatu yang teknologi atau layanan yang ditawarkan. Misalnya, pada suatu program pemberdayaan
perempuan pedesaan dimana diperkenalkan kompor teknologi terbaru, tetapi ternyata kompor tersebut lebih banyak menggunakan minyak tanah
ataupun kayu dibandingkan dengan kompor yang biasa mereka gunakan. Berdasarkan keadaan tersebut maka teknologi yang lebih baru ini dapat
dikatakan kurang relevan untuk diperkenalkan bila dibandingkan dengan kompor yang biasa mereka gunakan.
35
Isbandi Rukminto Adi, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2001, h.130-132.
3 Indikator keterjangkauan indicators of accessibility. Indikator ini
melihat apakah layanan yang ditawarkan masih berada dalam „jangkauan‟ pihak-pihak yang membutuhkan. Misalnya saja, puskesmas pusat
kesehatan masyarakat yang didirikan untuk melayani suatu masyarakat desa berada pada posisi yang strategis, dimana sebagian besar warga desa
dapat dengan mudah datang ke puskesmas. Atau apakah suatu posko bencana alam berada dalam jangkauan korban bencana tersebut.
4 Indikator Pemanfaatan Indicators of Utilisation. Indikator ini melihat
seberapa banyak suatu layanan yang sudah disediakan oleh pihak pemberi layanan, dipergunakan dimanfaatkan oleh kelompok sasaran. Misalnya
saja, seberapa banyak pasangan usia subur yang memanfaatkan layanan jasa puskesmas dalam meningkatkan KB mandiri. Atau, berapa banyak
anak jalanan yang mengikuti kegiatan baca tulis dari sekian banyak anak jalanan yang belum bisa membaca dan menulis.
5 Indikator Cakupan Indicators of Coverage. Indikator ini menunjukkan
proporsi orang-orang yang membutuhkan sesuatu dan menerima layanan tersebut. Misalnya saja, proporsi orang yang menerima bantuan dana
kemanusiaan untuk mengatasi masalah kemiskinan dari sekian banyak orang-orang miskin di suatu desa.
6 Indikator Kualitas Indicators of Quality. Indikator ini menunjukkan
standar kualitas dari layanan yang disampaikan ke kelompok sasaran. Misalnya saja, apakah layanan yang diberikan oleh suatu Organisasi
Pelayanan Kemanusiaan Human Service Organization sudah memenuhi
syarat dalam hal keramahan, keresponsifan, dan sikap empati terhadap klien ataupun kualitas dari tangibles yang ada dalam proyek tersebut.
7 Indikator Upaya Indicators of Efforts. Indikator ini menggambarkan
berapa banyak upaya yang sudah „ditanamkan‟ dalam rangka mencapai tujuan yang sudah diterapkan. Misalnya, berapa banyak sumber daya
manusia dan sumber daya material yang dimanfaatkan dalam membangun sarana transportasi antar desa.
8 Indikator Efisiensi Indicators of Efficiency. Indikator ini menunjukkan
apakah sumber daya dan aktifitas yang dilaksanakan guna mencapai tujuan dimanfaatkan secara tepat guna efisien atau tidak memboroskan
sumber daya yang ada dalam upaya mencapai tujuan. Misalnya saja, suatu layanan yang bisa dijalankan dengan baik hanya dengan menggunakan 4
tenaga lapangan, tidak perlu dipaksakan untuk mempekerjakan 10 tenaga lapangan dengan alasan untuk menghindari terjadinya pengangguran. Bila
hal ini dilakukan maka yang terjadi adalah pengangguran terselubung underemployment.
9 Indikator Dampak Indicators of Impact. Indikator ini melihat apakah
sesuatu yang kita lakukan benar-benar memberikan suatu perubahan di masyarakat. Misalnya saja, apakah setelah dikembangkan layanan untuk
mengatasi kemiskinan selama tiga tahun di suatu desa, maka angka penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan sudah menurun.
B. Pendidikan Nonformal
1. Pengertian Pendidikan
Kata pendidikan sering diartikan bermacam-macam. Dalam kehidupan sehari-hari kata pendidikan diartikan dengan lembaga pendidikan dan
adakalanya diartikan dengan hasil pendidikan. Menurut Dictionary of Education;
1 “The Aggregate of all the process by which a person develops ability, attitudes, and other forms of
behavior of practical values, in the society in which his lives; 2 The social process by which people are subjected to the influence of a selected and
controlled environment especially that of the school so that they may obtain social competence and optimum individual development” Crow Crow,
1960:53. Berdasarkan kamus pendidikan tersebut, pendidikan diartikan:
1 Serangkaian proses seseoranganak mengembangkan kemampuan, sikap
dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya yang bernilaiberguna di masyarakat.
2 Proses sosial dimana orang-orang atau anak-anak dipengaruhi dengan
lingkungan yang sengaja dipilih dan dikendalikan misalnya oleh guru di sekolah sehingga mereka memperoleh kemampuan-kemampuan sosial
dan perkembangan individual yang optimal.
36
Sementara itu beberapa ahli yang lain memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang definisi pendidikan. Menurut Lengeveld mendidik ialah
36
H.M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005, h.5.
mempengaruhi anak dalam upaya membimbingnya agar menjadi dewasa.
37
Usaha membimbing haruslah usaha yang disadari dan dilaksanakan dengan sengaja. Oleh karena itu pendidikan hanya terdapat dalam pergaulan yang
disengaja antara orang dewasa dengan anak yang diarahkan kepada tujuan pendidikan.
Hoogveld mendefinisikan bahwa mendidik adalah membantu anak supaya ia cukup cakap menyelenggarakan tugas hidupnya atas tanggung
jawabnya sendiri. SA. Branata, dkk mendefinisikan pendidikan sebagai usaha yang
sengaja diadakan baik langsung maupun dengan cara yang tidak langsung, untuk membantu anak dalam perkembangannya mencapai kedewasaan.
Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara, mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia
dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya
38
Dan berdasarkan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar atau terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
37
Ibid., h.6.
38
Ibid., h.6.
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
39
Dari beberapa pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan itu adalah usaha sadar dari orang dewasa untuk membantu dan membimbing
pertumbuhan dan perkembangan peserta didik secara teratur dan sistematis kearah kedewasaan.
2. Tujuan Pendidikan
Dalam setiap usaha atau kegiatan tentu ada tujuan atau target sasaran yang akan dicapai. Demikian pula kegiatanusaha pendidikan sengaja
dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan. Tujuan pendidikan pada dasarnya tidak lain adalah arah yang hendak dicapai demi
terwujudnya tujuan hidup manusia yaitu hidup sesuai harkat dan martabat manusia, dengan segenap kandungannya yaitu berkembang secara optimal
hakikat manusia, dimensi kemanusiaan dan pancadaya.
40
Tujuan pendidikan yang diungkapkan Langeveld dibedakan menjadi beberapa macam diantaranya adalah tujuan umum dan tujuan khusus.
Tujuan umum ini sering disebut tujuan akhir, tujuan total atau tujuan lengkap yang berarti tujuan yang pada akhirnya akan dicapai oleh pendidik
terhadap anak didik yaitu terwujudnya kedewasaan jasmani dan rohani. Menurut Kohnstamm dan Gunning, tujuan akhir pendidikan itu ialah
39
Departemen Agama Republik Indonesia, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Sistem Pendidikan Nasional Jakarta: Dirjen Binnaga Islam, 1992 h.3.
40
Prayitno, Dasar Teori dan Praksis Pendidikan Jakarta: Grasindo, 2009, h.44.