Data Primer dan Sekunder

80 Tabel 6 Distribusi Responden Menurut Umur, Pendidikan Formal, Pelatihan, Pengalaman di Skim, Jumlah Anggota Keluarga, Usahatani Lahan Kering Beririgasi Air Artesis Lombok Timur, 2011. Variabel Jagung BMDR BMDT Total Umur tahun Rata-rata 42 44 43 43 Maksimum 83 78 70 83 Minimum 19 17 22 17 Pendidikan formal tahun Rata-rata 5 4 4 5 Maksimum 16 12 12 16 Minimum Freq pelatihan kali Tidak pernah 72 84 75 75 1-3 kali 20 16 20 19 3 kali 8 5 6 Total 100 100 100 100 Pengalaman di Skim tahun Rata-rata 17 15 17 16 Maksimum 48 58 36 58 Minimum 1 2 2 1 Jumlah anggota keluarga orang Rata-rata 4 3 5 4 Maksimum 10 10 8 10 Minimum 1 1 2 1 N Observasi 137 59 50 246 Terlihat pada Tabel 6 bahwa umur petani responden, rata rata 43 tahun dengan rentangan antara 17 sampai 83 tahun. Rata umur responden yang mengusahakan bawang merah dataran rendah tidak jauh beda dengan rata rata umur responden yang mengusahakan bawang merah dataran tinggi dan yang mengusahakan jagung. Lebih jauh diketahui bahwa terdapat 8.13 persen petani yang berusia 60 tahun atau lebih, masih menyelenggarakan usahatani. Hal ini dikarenakan oleh: 1 tidak ada anggota keluarga yang berusia lebih muda yang mau menekuni dan melanjutkan pengelolaan usahatani, dimana taruna tani cenderung memilih pekerjaan di luar sektor pertanian; kecenderungan ini juga ditemukan Adar 2011 pada kajian lahan kering di Nusa Tenggara Timur; 2 beberapa petani usia lanjut mengakui sulit berhenti dari bertani karena bertani sudah merupakan bagian dari kehidupan; 3 tidak ada pilihan lain sebagai sumber 81 penghasilan. Ketiga alasan tersebut memiliki implikasi sikap yang berbeda. Alasan yang pertama dan kedua berimplikasi pada hubungan negatif antara umur dengan produktivitas dan efisiensi usahatani. Responden dengan alasan tersebut cenderung tidak respon terhadap cara yang lebih efisien, sebaliknya, mereka cenderung menggunakan cara yang sudah biasa dilakukannya. Petani dengan alasan ketiga berimplikasi pada hubungan positif antara umur dengan produktivitas, karena motivasi usahanya adalah untuk mendapatkan penghasilan. Rata rata pendidikan responden adalah 5 tahun kelas 5 SD dengan kisaran dari 0 sampai 16 tahun. Dari 264 responden, sebanyak 165 responden 67 persen berpendidikan SD ke bawah, termasuk 57 responden 23 persen yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Hal ini mengisyaratkan bahwa pelatihan dan penyuluhan pendidikan non formal merupakan cara penyebaran pengetahuan dan teknologi agar mereka dapat memahami cara perbaikan efisiensi usahatani. Sejumlah responden buta aksara mengikuti program pemberantasan buta huruf untuk sekedar bisa baca tulis, walaupun itu masih jauh dari cukup untuk menjadi petani dinamis yang bisa mengikuti perkembangan dan aplikasi teknologi. Rendahnya tingkat pendidikan responden merupakan salah satu penyebab kesulitan dalam mewawancarai mereka, karena mereka tidak memiliki catatan usahatani sama sekali, kalaupun ada, tidak memadai dan tidak bisa dipahami. Penyebaran tingkat pendidikan responden hampir sama antara mereka yang menanam jagung, bawang merah dataran tinggi dan bawang merah dataran rendah. Yang menarik adalah bahwa ada 6 responden yang berpendidikan sarjana, semuanya mengusahakan tanaman jagung, tidak ada yang menanam bawang merah. Hal ini memperkuat argumen bahwa untuk berhasil dalam usahatani bawang merah, diperlukan pengalaman usahatani bawang merah yang memadai, dan hal itu tidak ditimba pada bangku kuliah. Selain itu, diperlukan biaya modal yang lebih besar untuk mengusahakan bawang merah, dengan risiko yang tinggi mengingat bawang merah merupakan tanaman yang rentan terhadap perlakuan, salah perlakuan berarti turun produksi. Sudah disinggung sepintas bahwa pelatihan training atau bentuk lain dari pendidikan non formal, merupakan alternatif cara yang bisa digunakan untuk