Skim Pompa dan Penyelenggaraan Usahatani Lahan Kering

VI. MODEL EMPIRIS FUNGSI PRODUKSI FRONTIER JAGUNG DAN BAWANG MERAH Fungsi produksi frontier dibangun sebagai dasar untuk kajian efisiensi, baik efisiensi irigasi, efisiensi teknis, efisiensi skala maupun efisiensi ekonomi. Garis frontier produksi dijadikan standar produksi yang terefisien, dengan nilai sama dengan satu. Dalam kajian ini, yang ingin disoroti lebih khusus adalah variabel air irigasi, yang merupakan fokus telaahan dalam kajian ini. Air irigasi tersebut dipompa dan dialirkan dari rumah pompa ke lahan petani dengan jarak yang bervariasi. Kondisi pipa dan parit juga bervariasi yang dialami oleh masing- masing petani, demikian juga kondisi mesin masing-masing skim berbeda. Hal ini mengisyaratkan bahwa air yang sampai ke lahan petani tidak sama dengan air yang dipasok operator dari rumah pompa. Untuk itu, sebelum dibangun fungsi produksi, perlu pendekatan untuk mengukur air yang sampai ke lahan petani.

6.1. Tingkat Penggunaan Air Irigasi

Air irigasi dalam studi ini dipasok dari sumur dalam lebih dari 60 m dari permukaan tanah, dipompa-naikan menggunakan mesin disel dengan debit antara 5-25 ltrdetik, dialirkan ke petak lahan petani yang letaknya bervariasi jauhnya dari sumur pompa. Mengacu pada kondisi tersebut, diyakini bahwa air yang sampai ke lahan petani tidak sebanyak yang dipasok oleh operator sumur pompa tergantung pada jauhnya lokasi lahan petani dari sumur pompa, kondisi pipasaluran air dari pompa sampai ke lahan masing-masing petani, dan juga kondisi mesin. Untuk mengetahui gambaran volume berapa air yang sampai ke lahan petani, idealnya harus dilakukan pengukuran langsung, tidak mengandalkan data volumeter yang terpasang pada masing-masing pompa, karena angka itu menunjukkan volume air yang keluar dari sumur, tidak sama dengan jumlah air yang sampai ke lahan petani. Pemikiran untuk melakukan pengukuran langsung penggunaan air oleh masing-masing petani responden, dinilai terlalu mahal dan rumit, karena setiap petak petani responden harus diukur volume air yang sampai ke lahannya. Pompa dihidupkan satu jam, misal, ditunggu air yang mengalir sampai ke bak outlet 102 untuk petani yang diteliti, lalu diukur volume air, merupakan cara yang tidak dijamin akurasinya, karena bisa jadi, sebagian air yang dipasok operator terhenti pada bagian saluran tertentu, misal bagian lekukan saluran, dimana jumlah air yang tertahan ini tetap sifatnya, apakah mengoperasikan satu jam, atau sepuluh jam. Kalau yang tertahan itu dibebankan dalam perhitungan penggunaan satu jam saja, maka bias hasilnya. Selain alasan tersebut, alasan lainnya adalah bahwa tidak semua pompa siap dioperasikan pada saat survei dilakukan, karena alasan bahan bakar, misal. Umumnya, operator mengisi bahan bakar dan bahan pelumas pada saat melayani permintaan air oleh petani; Selain itu, rumah operator tidak semuanya dekat dengan rumah pompa. Singkatnya, sulit melakukan pengukuran langsung volume air yang sampai di lahan petani. Sebaliknya, menggunakan angka debit pompa yang tertera pada rumah pompa juga tidak mencerminkan kenyataan di lapangan karena masing-masing petani menghadapi kondisi yang berbeda yang berkaitan dengan faktor yang mempengaruhi efisiensi distribusi air, yang dalam penelitian ini digunakan tiga indikator yaitu: kondisi saluran, urutan letak lahan petani dari rumah pompa, dan frekuensi rusak pompa. Karena itu, perlu dibangun metode pengukuran air yang sampai ke lahan petani, dengan kata lain, perlu dibangun indeks efisiensi distribusi air.

6.1.1. Efisiensi Distribusi Air Irigasi

Indeks ini dibangun menggunakan pendekatan skoring. Pendekatan ini memberikan angka yang mencerminkan volume air aktual yang sampai di lahan petani dengan urutan rank yang konsisten. Indeks efisiensi ini dibangun untuk mengoreksi angka volume air yang sampai ke lahan petani, sehingga petani yang sama lama jam operasi pompanya, tidak mesti sama jumlah air yang sampai di lahannya. Dengan koreksi tersebut, data penggunaan air lebih mendekati keadaan dilapangan, dibanding dengan menggunakan langsung angka debit air yang ada di rumah pompa. Indeks efisiensi irigasi, mengacu pada angka yang menggambarkan porsi air yang dipasok pompa yang sampai ke lahan petani. Diyakini bahwa air yang dipasok pompa tidak semuanya sampai ke lahan petani, tergantung pada jarak 103 lokasi lahan dari pompa, kondisi saluran air baikrusak, dan kondisi mesin. Idealnya, jumlah air yang sampai ke lahan petani diukur menggunakan volumetrik, namun karena terjadi kesulitan secara teknis, maka jumlah air didekati dengan menggunakan sistem skoring. Sistem ini memberikan ciripembeda jumlah air yang sampai ke lahan petani sehingga bisa dibedakan antara jumlah air yang sampai ke lahan petani satu dengan petani yang lain secara ranking. Petani yang lokasi lahannya jauh dari sumur pompa, akan menerima air yang lebih sedikit, demikian juga dengan kondisi saluran dan kondisi mesin akan mempengaruhi pasokan air. Sistem skoring berguna untuk menilai variasi kombinasi faktor tersebut secara bersama dalam mempengaruhi jumlah air yang sampai ke lahan petani. Dari hasil olah data menggunakan pendekatan tersebut, tidak ditemukan responden yang memiliki indeks efisiensi distribusi sama dengan satu 100 persen, paling tinggi adalah 97 persen, artinya air yang dipasok operator, tidak semuanya sampai ke lahan petani. Untuk menghitung indeks efisiensi distribusi diperlukan skor baku, dan skor arah dari tiga kriteria yang digunakan yaitu: 1 kondisi pompa, 2 urutan letak lahan petani dari rumah pompa dan 3 frekuensi mesin rusak setahun terakhir. Skor baku dimaksudkan sebagai skor yang ditentukan sebagai acuan penciri kondisi. Skor baku dari kriteria 1 kondisi pompa digunakan skala Likert 1-5, dimana 1= kondisi yang paling tidak baik; 2=tidak baik; 3=sedang; 4=baik dan 5=paling baik; untuk kriteria 2 urutan letak petak lahan petani dari rumah pompa, skor bakunya adalah urutan letak lahan petani dari sumur pompa. Petani yang lahannya langsung di rumah pompa diberi skor 0, petakan ke satu diberi skor 1 dan seterusnya. Untuk kriteria 3 frekuensi mesin rusak setahun terakhir, skor bakunya adalah frekuensi rusak mesin. yang tidak pernah rusak sama sekali diberi skor 0, rusak sekali skor 1 dan seterusnya. Skor arah dimaksudkan untuk membedakan sifat dari karakter yang digunakan, positif atau negatif terhadap efisiensi distribusi. Observasi yang berada dalam kondisi ideal diberi skor maksimum, dalam penelitian ini digunakan 20. Untuk kriteria 1 kondisi saluran, skor baku untuk kondisi idealnya adalah 5 =paling bagus, maka setiap observasi yang skor bakunya 5 diberi skor arah 20. 104 Observasi yang skor bakunya kurang dari 5 maka skor arahnya kurang dari 20. Keadaan tersebut dipenuhi oleh persamaan: ..................................................................................................................73 Dimana SA 1i = skor arah kriteria 1, observasi ke-i, i=1, 2,.., n; SB 1i = skor baku kriteria 1, observasi ke-i; 15 = angka fuzzy yang memungkinkan dicapai skor ideal=20; Karena rentang angka skor baku kriteria 1 adalah 1-5, maka dengan rumus tersebut akan diperoleh nilai skor arah antara 15-20; Untuk kriteria 2 urutan letak lahan, skor baku untuk kondisi ideal adalah 0 terdekat dengan rumah pompa, karena itu diberi skor arah 20. Observasi yang skor bakunya lebih besar nol, maka skor arahnya lebih kecil dari 20. Kondisi tersebut dipenuhi oleh persamaan: ................................................................................................................74 Dimana SA 2i = skor arah kriteria 2, observasi ke-i, i=1, 2,.., n; SB 2i = skor baku kriteria 2, observasi ke-i; 20 = angka fuzzy yang memungkinkan dicapai skor ideal=20; Karena rentang angka skor baku kriteria 2 adalah 0-16, maka dengan rumus tersebut akan diperoleh nilai skor arah antara 4-20; Untuk kriteria 3 frekuensi rusak mesin, skor baku untuk kondisi ideal adalah 0 tidak pernah rusak, karena itu diberi skor arah 20. Observasi yang skor bakunya lebih besar nol, maka skor arahnya lebih kecil dari 20, kondisi tersebut dipenuhi oleh persamaan: ................................................................................................................75 Dimana SA 3i = skor arah kriteria 3, observasi ke-i, i=1, 2,.., n; SB 3i = skor baku kriteria 3, observasi ke-i; 20 = angka fuzzy yang memungkinkan dicapai skor ideal=20; 105 Karena rentang angka skor baku kriteria 3 adalah 0-14, maka dengan rumus tersebut akan diperoleh nilai skor arah antara 6-20; Dengan rancangan di atas, maka diperoleh nilai skor arah yang konsisten yaitu makin tinggi nilai skor arah, menggambarkan keadaan yang makin diharapkan. Rentang skor arah ketiga kriteria tersebut tidak sama, maka untuk menghindari bias bobot pengaruh masing-masing kriteria, maka dilakukan normalisasi skor tersebut dengan membaginya dengan total nilai skor masing- masing kriteria. Sejumlah penelitian memberi bobot yang sama untuk semua kriteria yang digunakan. Hal ini sering tidak mencerminkan fenomena yang dikaji Mofarrah, 2008. Langkah ketiga adalah menentukan bobot masing-masing kriteria yang dalam kajian ini menggunakan pendekatan pertimbangan pakar expert judgement. Total bobot dari semua kriteria adalah 1. Karena kasuistik sifatnya, maka dibuat sejumlah opsi bobot yang menggambarkan perbedaan antara kriteria yang digunakan seperti yang disajikan pada Tabel Lampiran 8. Semua opsi pada Tabel Lampiran 8 memenuhi kriteria bobot yaitu nilai totalnya sama dengan satu. Jarak antara kriteria ditunjukkan oleh dua kolom paling kanan, seberapa besar beda pengaruh antara kriteria 1 dengan kriteria 2 dan kriteria 2 dengan kriteria 3. Bila pakar menilai bahwa kriteria satu berbeda jauh dengan kriteria lain, maka yang dipilih adalah opsi 1. Sebaliknya, jika bedanya tidak jauh, maka dipilih opsi 8. Karena minimnya informasi tentang sifat masing-masing kriteria, maka berdasarkan pendapat pakar lapangan digunakan opsi 8 untuk kajian ini, perbedaan pengaruh ketiga kriteria tersebut tidak jauh. Dengan demikian, bobot kriteria 1, kriteria 2 dan kriteria 3 masing-masing adalah adalah 0.35, 0.32 dan 0.31. Pendekatan ini dinilai lebih realistis dibanding memperlakukan semua kriteria dengan bobot yang sama. Logikanya misal, petani yang lahannya terletak pada petak ke sepuluh dari rumah pompa, lalu terjadi bocor pipa pada petakan ke sembilan, maka air yang sampai pada petak sepuluh tersebut lebih sedikit, dan sedikitnya air yang sampai, lebih banyak dikarenakan oleh pipa bocor dibanding jauh petak dari rumah pompa. Dalam hal ini, kriteria kondisi pipa lebih tinggi bobotnya dari kriteria lokasi petak.