Teknik Pengumpulan Data Data dan Analysis
81 penghasilan. Ketiga alasan tersebut memiliki implikasi sikap yang berbeda.
Alasan yang pertama dan kedua berimplikasi pada hubungan negatif antara umur dengan produktivitas dan efisiensi usahatani. Responden dengan alasan tersebut
cenderung tidak respon terhadap cara yang lebih efisien, sebaliknya, mereka cenderung menggunakan cara yang sudah biasa dilakukannya. Petani dengan
alasan ketiga berimplikasi pada hubungan positif antara umur dengan produktivitas, karena motivasi usahanya adalah untuk mendapatkan penghasilan.
Rata rata pendidikan responden adalah 5 tahun kelas 5 SD dengan kisaran dari 0 sampai 16 tahun. Dari 264 responden, sebanyak 165 responden 67 persen
berpendidikan SD ke bawah, termasuk 57 responden 23 persen yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Hal ini mengisyaratkan bahwa pelatihan
dan penyuluhan pendidikan non formal merupakan cara penyebaran pengetahuan dan teknologi agar mereka dapat memahami cara perbaikan efisiensi
usahatani. Sejumlah responden buta aksara mengikuti program pemberantasan buta huruf untuk sekedar bisa baca tulis, walaupun itu masih jauh dari cukup
untuk menjadi petani dinamis yang bisa mengikuti perkembangan dan aplikasi teknologi. Rendahnya tingkat pendidikan responden merupakan salah satu
penyebab kesulitan dalam mewawancarai mereka, karena mereka tidak memiliki catatan usahatani sama sekali, kalaupun ada, tidak memadai dan tidak bisa
dipahami. Penyebaran tingkat pendidikan responden hampir sama antara mereka yang menanam jagung, bawang merah dataran tinggi dan bawang merah dataran
rendah. Yang menarik adalah bahwa ada 6 responden yang berpendidikan sarjana,
semuanya mengusahakan tanaman jagung, tidak ada yang menanam bawang merah. Hal ini memperkuat argumen bahwa untuk berhasil dalam usahatani
bawang merah, diperlukan pengalaman usahatani bawang merah yang memadai, dan hal itu tidak ditimba pada bangku kuliah. Selain itu, diperlukan biaya modal
yang lebih besar untuk mengusahakan bawang merah, dengan risiko yang tinggi mengingat bawang merah merupakan tanaman yang rentan terhadap perlakuan,
salah perlakuan berarti turun produksi. Sudah disinggung sepintas bahwa pelatihan training atau bentuk lain dari
pendidikan non formal, merupakan alternatif cara yang bisa digunakan untuk
82 meningkatkan ilmu dan keterampilan petani sehubungan dengan rendahnya
tingkat pendidikan mereka. Metode pendidikan orang dewasa adalah lebih populer untuk petani, disesuaikan dengan alamnya dimana petani memikul banyak
beban, tidak seperti siswa anak sekolah yang bisa fokus menghadapi pelajaran. Sayangnya, cara ini tidak cukup intensif dilakukan.
Menurut Tabel 6, sebagian besar responden 75 persen mengaku kalau dirinya tidak pernah menghadiri pelatihan yang berkaitan dengan pengelolaan
lahan kering dalam tiga tahun terakhir. Angka ini sedikit lebih besar terjadi pada responden usahatani bawang merah, 84 persen untuk responden bawang merah
dataran rendah dan 75 persen untuk responden bawang merah dataran tinggi. Berkaitan dengan peningkatan produksi dan efisiensi, secara umum, hasil
penelitian menyarankan untuk meningkatkan keterampilan petani melalui pelatihan, penyuluhan atau cara sejenisnya, karena ada indikasi bahwa variabel
pelatihanpenyuluhan berkorelasi positif dengan produksi. Praktek yang dilakukan di lapangan adalah bahwa pelatihan yang dilakukan bersifat umum
generik sehingga tidak memberikan hasil yang memadai. Hal ini bisa dimengerti karena informasi spesifik tidak tersedia, jenis pelatihan apa yang
diperlukan petani. Akibat kelangkaan informasi tersebut, petugas penyuluhan lapangan menyusun materi yang lebih bernuansa kognitif ketimbang psikomotor.
Penelitian ini berupaya mengatasi gap informasi tersebut dengan mengungkapkan efisiensi sisi input, sehingga pelatihan bisa lebih fokus kepada input yang rendah
tingkat efisiensinya. Pengalaman di skim dimaksudkan sebagai pengalaman responden
menyelenggarakan usahatani di skim. Semua sampel yang menjadi responden adalah petani secara historis, artinya mereka dilahirkan dan dibesarkan oleh
keluarga petani. Namun pengalaman menjadi petani, tidak identik dengan pengalaman menyelenggarakan usahatani dalam skim, karena usahatani dalam
skim menggunakan irigasi air tanah yang dipasok dari rumah pompa ke lahan petani, dan memerlukan pemahaman dan keterampilan teknis yang memadai agar
dicapai efisiensi dalam pengelolaan. Hal ini didukung oleh data dimana pengalaman bertani tidak nyata pengaruhnya dalam menjelaskan perilaku efisiensi
baik pada usahatani jagung maupun pada usahatani bawang merah dataran tinggi