Pengujian Hipotesis Efisiensi penggunaan air irigasi sumur pompa artesis pada usahatani lahan kering di Lombok Timur Nusa Tenggara Barat

90 memberikan indikasi awal bahwa air yang dipasok operator, kemungkinan tidak semuanya sampai ke lahan petani. Dari sisi urutan petak lahan, tidak ada responden yang memiliki lahan urutan ke 0, paling dekat urutan ke 1, artinya agar air sampai ke lahannya, harus melalui paritsaluran sepanjang satu petak lahan sekitar 20-30 m, bagi responden yang lahannya urutan ke 1. Makin jauh dari rumah pompa, makin tinggi urutannya. Data Tabel 8 menunjukkan bahwa jarak lahan petani dari rumah pompa menyebar dengan dominansi urutan ke 1 dan urutan ke 2. Ada skim yang petaninya memiliki lahan hingga urutan ke 10 bahkan lebih, tetapi ada juga yang hanya sampai urutan ke 5, tergantung pada posisi rumah pompa dari skim yang bersangkutan, apakah berada di tengah lahan layanannya, atau dipinggir. Tidak bisa dikatakan bahwa petani bawang merah cenderung menyelenggarakan usahatani sekitar pompa, karena ada 29 responden bawang merah yang lahannya menempati urutan ke 5 atau lebih. Keuntungan petani yang lahannya dekat pompa adalah air cepat sampai, lebih mudah berkomunikasi dengan operator, dan lebih kecil peluang mengalami saluran yang jelek. Berkaitan dengan frekuensi rusak mesin, ada 99 responden 40 persen mengatakan mesinnya tidak pernah rusak setahun terakhir. Hanya 6 persen responden yang mengatakan mesinnya rusak 5 kali atau lebih. Petani menjawab mesin rusak kalau permintaan atas air tidak bisa dilayani operator hari itu juga, dikarenakan oleh mesin rusak. Kalau kerusakan ringan dan dapat ditanggulangi oleh operator sehingga permintaan petani tetap bisa dipenuhi, maka tidak dikategorikan rusak untuk kajian ini. Variabel ini diduga memiliki kontribusi di dalam menjelaskan efisiensi distribusi air dari rumah pompa ke lahan petani. Kinerja mesin yang kondisinya tidak prima adalah rendah, artinya air yang dipasok menggunakan mesin tersebut dalam kurun waktu tertentu rendah. Padahal, biaya penggunaan air dihitung berdasarkan lama jam mesin beroperasi Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian besar petani 59 persen, mengusahakan tanaman tunggal monocrop. Diperoleh keterangan bahwa sebelum tersedia air pompa, petani umumnya menggunakan sistem tanam ganda multiple crop untuk mengantisipasi risiko produksi. Bila tanaman yang satu gagal panen, maka diharapkan panen diperoleh dari tanaman lain. Resiko 91 produksi yang sering terjadi berkaitan dengan kekeringan, dan dengan adanya sumur pompa, risiko itu bisa ditekan. Hanya sebagian kecil saja petani yang masih menggunakan sistem tanam multicrop yaitu mengusahakan dua sampai empat jenis tanaman. Secara persentase, distribusi responden yang mengusahakan tanaman tunggal relatif sama sekitar 59 persen Tabel 9, baik responden yang mengusahakan tanaman jagung maupun yang mengusahakan tanaman bawang merah. Tabel 9 Sebaran Jumlah Responden Menurut Sistem Tanam, dan Frekuensi Tanam, Usahatani Skim Pompa Air Tanah Lombok Timur 2011. Variabel Jagung BMDT BMDR Total Persen Sistem tanam Satu jenis monocrop 81 29 35 145 59 Dua jenis 30 15 10 55 22 Tiga jenis 22 6 13 41 17 Empat jenis 4 1 5 2 Frekuensi Tanam kalitahun Satu kali 8 4 4 16 6.5 Dua kali 33 8 16 57 23.17 Tiga kali 87 37 35 159 64.63 Empat kali 9 1 4 14 5.69 Total responden 137 50 59 246 100 Responden yang menganut sistem tanam ganda, ditanya porsi tanaman yang diusahakannya untuk mengetahui luas tanam jagung atau bawang merah, sehingga data yang terkumpul menggambarkan data tanaman tunggal, untuk membangun fungsi produksi.

5.2.2. Sistem Tanam dan Intensitas pertanaman

Petani menggunakan skim lahan kering untuk mengusahakan banyak jenis tanaman baik tanaman pangan seperti jagung dan sorgum, wijen sesame, maupun tanaman hortikultura seperti bawang merah, cabe, tomat, kacang panjang, juga tanaman buah buahan. Sebagian petani mengusahakan satu macam tanaman, sebagiannya lagi mengusahakan lebih dari satu macam tanaman dengan komposisi seperti terlihat pada Tabel 9. Terlihat pada Tabel 9 bahwa petani yang mengusahakan tanaman tunggal lebih banyak 145 responden, 59 persen dari 92 pada petani yang mengusahakan tanaman ganda, terdistribusi secara proporsional kepada tiga kelompok petani yang dikaji yaitu petani jagung, petani bawang merah dataran rendah dan petani bawang merah dataran tinggi, masing sekitar 58 persen. Petani yang mengalami kesulitan dalam pendapatkan air irigasi, misal karena biaya, cenderung melakukan sistem tanam ganda beberapa tanaman pangan yang tidak membutuhkan banyak air. Dilakukannya penanaman ganda diversifikasi dimaksudkan untuk menekan risiko gagal panen pada tanaman tertentu Nicholson, 2002, termasuk dikarenakan oleh kekurangan air. Keberadaan sumur pompa merupakan jaminan ketersediaan air, mendorong keberanian petani untuk mengusahakan tanaman tunggal. Karena itu, banyaknya petani yang mengusahakan tanaman tunggal bisa menjadi indikasi bahwa sumur pompa yang dimaksud bermanfaat. Intensitas pertanaman cropping intensity merupakan ukuran intensitas penggunaan lahan untuk usahatani yang dihitung dengan membagikan luas lahan yang ditanam terhadap luas lahan yang dikuasai. Dari data yang terkumpul diketahui bahwa lahan yang dikuasai petani pada Musim Kemarau I, tidak semuanya ditanami. Lahan yang dikuasai 246 responden adalah 216.20 hektar, namun yang ditanami adalah seluas 205.20 hektar 94.91 persen. Sebaran responden menurut: sistem tanam, frekuensi tanam, intensitas petanaman dan jenis tanaman, disajikan pada Tabel 9. Terlihat pada Tabel 9, sebagian besar responden 65 persen melakukan penanaman 3 kali setahun, yang menanam sekali atau 4 kali setahun hanya sedikit, masing-masing sekitar 6 persen. Responden yang hanya sekali setahun, berarti menanam pada musim hujan saja, yang menanam dua kali setahun berarti menanam pada musim hujan dan Musim Kemarau I saja dan seterusnya. Dari pengertian tersebut dan terlihat pada Tabel 10, petani yang menanam pada musim hujan berjumlah 246 responden, pada Musim Kemarau I, jumlahnya berkurang menjadi 230 responden, Musim Kemarau II turun lagi menjadi 173 responden dan paling sedikit pada Musim Kemarau III yaitu hanya 14 responden. Responden yang menanam empat kali setahun dimungkinkan karena tanaman yang diusahakan berumur pendek seperti bawang merah yang memerlukan waktu sekitar 60 hari dari masa tanam hingga panen. 93 Tabel 10 Sebaran Jumlah Responden Musim Tanam, dan Intensitas Pertanaman, Usahatani Skim Pompa Air Tanah Lombok Timur 2011. Intensitas pertanaman\Musim MH MK I MK II MK III Total Petani yang menanam 246 230 173 14 - Intensitas pertanaman persen 100 89 67 5 261 Keterangan: MH=musim hujan; MK=musim kemarau Pada musim hujan, petani menanami semua lahan yang dikuasainya, mengandalkan air hujan, berarti intensitas pertanaman pada musim hujan adalah 100 persen. Karena data tidak tersedia untuk kedua musim terakhir, maka persentase lahan yang ditanami petani dianggap sama dengan persentase lahan yang ditanam pada Musim Kemarau I yaitu 94.91 persen. Dengan demikian intensitas pertanaman pada Musim Kemarau I adalah 89 persen, Musim Kemarau II, dan Musim Kemarau III masing-masing 67 dan 5 persen, ini berarti intensitas pertanaman per tahun adalah sebanyak 261 persen Tabel 10. Angka ini mengindikasikan bahwa pompa yang dibangun berhasil meningkatkan intensitas pertanaman dari 100 persen menjadi 261 persen. Selain itu, keberadaan sumur pompa dapat mepertahankan luas panen sama dengan luas tanam, karena ketika tanaman mengalami kekurangan air, maka digunakan air suplesi untuk mencukupkannya Tabel 10 juga menunjukkan bahwa intensitas pertanaman musim kemarau mengalami penurunan dari Musim Kemarau I ke Musim Kemarau II, demikian juga kejadiannya dari Musim Kemarau II ke Musim Kemarau III. Hal ini mengindikasikan bervariasinya kemampuan petani dalam membayar biaya irigasi pompa. Semua responden mengatakan bahwa biaya air yang ditetapkan memberatkan mereka, jika dibandingkan dengan iuran irigasi air permukaan yang jauh lebih murah. Hal serupa juga ditemukan oleh Sahara 2011 dalam penelitiannya pada petani di Sulawesi Tenggara. Biaya irigasi terdiri dari biaya solar, pelumas, jasa operator dan uang kas untuk perawatan ringan, belum memperhitungkan nilai air. Bervariasinya kemampuan finansial petani berkaitan dengan jenis tanaman yang diusahakan. Implikasinya, petani perlu dibekali dengan kemampuan manajerial dalam mendapatkan dan memanfaatkan informasi harga dan teknologi produksi agar dapat memilih dan mengusahakan tanaman yang lebih