93 Tabel 10 Sebaran Jumlah Responden Musim Tanam, dan Intensitas Pertanaman,
Usahatani Skim Pompa Air Tanah Lombok Timur 2011. Intensitas pertanaman\Musim
MH MK I
MK II MK III
Total Petani yang menanam
246 230
173 14
- Intensitas pertanaman persen
100 89
67 5
261 Keterangan: MH=musim hujan; MK=musim kemarau
Pada musim hujan, petani menanami semua lahan yang dikuasainya, mengandalkan air hujan, berarti intensitas pertanaman pada musim hujan adalah
100 persen. Karena data tidak tersedia untuk kedua musim terakhir, maka persentase lahan yang ditanami petani dianggap sama dengan persentase lahan
yang ditanam pada Musim Kemarau I yaitu 94.91 persen. Dengan demikian intensitas pertanaman pada Musim Kemarau I adalah 89 persen, Musim Kemarau
II, dan Musim Kemarau III masing-masing 67 dan 5 persen, ini berarti intensitas pertanaman per tahun adalah sebanyak 261 persen Tabel 10. Angka ini
mengindikasikan bahwa pompa yang dibangun berhasil meningkatkan intensitas pertanaman dari 100 persen menjadi 261 persen. Selain itu, keberadaan sumur
pompa dapat mepertahankan luas panen sama dengan luas tanam, karena ketika tanaman mengalami kekurangan air, maka digunakan air suplesi untuk
mencukupkannya Tabel 10 juga menunjukkan bahwa intensitas pertanaman musim kemarau
mengalami penurunan dari Musim Kemarau I ke Musim Kemarau II, demikian juga kejadiannya dari Musim Kemarau II ke Musim Kemarau III. Hal ini
mengindikasikan bervariasinya kemampuan petani dalam membayar biaya irigasi pompa. Semua responden mengatakan bahwa biaya air yang ditetapkan
memberatkan mereka, jika dibandingkan dengan iuran irigasi air permukaan yang jauh lebih murah. Hal serupa juga ditemukan oleh Sahara 2011 dalam
penelitiannya pada petani di Sulawesi Tenggara. Biaya irigasi terdiri dari biaya solar, pelumas, jasa operator dan uang kas untuk perawatan ringan, belum
memperhitungkan nilai air. Bervariasinya kemampuan finansial petani berkaitan dengan jenis tanaman
yang diusahakan. Implikasinya, petani perlu dibekali dengan kemampuan manajerial dalam mendapatkan dan memanfaatkan informasi harga dan teknologi
produksi agar dapat memilih dan mengusahakan tanaman yang lebih
94 menguntungkan. Namun, keterbatasan modal usaha dan tidak adanya jaminan
harga, menyebabkan petani mengalami kesulitan dalam menentukan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi. Keadaan ini yang menjadi alasan petani
mengusahakan tanaman pangan karena kalau harganya turun, maka hasil panennya bisa dikonsumsi sendiri. Ditambahkan bahwa saat survei dilakukan,
sejumlah petani mengusahakan tanaman buah naga yang saat itu harganya tinggi. Namun karena ketidak-pastian pasar dan dampak globalisasi, tingginya harga saat
menanam belum tentu dinikmati petani saat memanen dan memasarkan hasil. Globalisasi memberikan kebebasan produk impor memasuki pasar domestik
menyebabkan produk lokal kalah bersaing, karena mutu produk impor umumnya lebih tinggi, ditambah lagi oleh sifat konsumen yang „luar negeri minded‟.
5.2.3. Aplikasi Air Irigasi
Rata rata penggunaan air untuk usahatani jagung dan bawang merah disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 menunjukkan bahwa secara rata rata, tingkat
penggunaan air oleh petani adalah sebesar 4,208 m
3
hektarmsm, tertinggi pada usahatani bawang merah dataran rendah 4,652 m
3
hektarmusim, terendah pada usahatani tanaman jagung 3,985 m
3
hektarmusim. Tabel 11 Rata rata Volume Air m
3
hektarmusim Untuk Usahatani Jagung, Bawang Merah Dataran Rendah dan Bawang Merah Dataran Tinggi
Lahan Kering Skim Pompa Air Artesis Lombok Timur, 2011.
Statistik Jagung
BMDR BMDT
Total Rata rata
3,985 4,652
4,349 4,208
Maksimum 15,649
11,572 12,099
15,649 Minimum
547 766
817 547
Std dev 2,302
2,891 3,055
2,638 N observasi
137 50
59 246
Sebaran data Tabel 11 sesuai dengan harapan hipotesis. Penggunaan air per hektar untuk usahatani bawang merah dataran rendah lebih tinggi 4,652 dari
pada penggunaannya untuk bawang merah dataran tinggi 4,349. Hal ini dikarenakan lahan dataran rendah mengandung kadar pasir yang lebih tinggi,
sehingga tidak kuat menahan air. Menarik untuk dicermati, rentangan nilai tingkat penggunaan air per hektar untuk usahatani jagung sangat lebar yaitu dari
95 547 hingga 15,649. Hal ini diduga karena dua kemungkinan: 1 karena
pengkonversian angka dimana petani yang lahan garapannya sempit cenderung menggunakan lebih banyak air setelah dikonversi per hektar, 2 sebaliknya yang
penggunaan air per hektar rendah, menunjukkan bahwa petani tersebut mengusahakan lahan yang cukup luas, namun memberikan pengairan sama
dengan temannya yang lahannya sempit.
5.2.4. Produksi, Biaya dan Pendapatan
Produksi, biaya dan pendapatan masing dari usahatani jagung, bawang merah dataran rendah dan bawang merah dataran tinggi disajikan pada Tabel 12.
Sesuai dengan dugaan awal, rata rata produksi jagung per hektar lebih rendah dari rata rata produksi bawang merah. Dibanding rata rata produktivitas jagung secara
nasional yang mencapai 4.21 ton per hektar, rata rata produktivitas jagung responden masih lebih rendah yaitu 4,01 ton per hektar dengan kisaran produksi
dari 1.40 – 5.30 ton per hektar Tabel 12. yang lebih kontras adalah produktivitas
bawang merah yang hanya 5.84 tonhektar untuk bawang merah dataran rendah dan 4.23 ton per hektar untuk bawang merah dataran tinggi. Angka ini berada jauh
di bawah produktivitas nasional yang mencapai 9 ton per hektar. yang menarik dicermati adalah rentangan nilai ekstrim yaitu dari 1.00
– 8.45 ton per hektar untuk bawang merah dataran rendah, dan dari 1.55
– 9.00 ton per hektar untuk bawang merah dataran tinggi. Variasi yang lebar ini bisa menjadi indikasi awal
adanya inefisiensi yang lebih serius dalam penyelenggaraan usahatani bawang merah, dibandingkan dengan kasus jagung. Hal ini bisa dikaitkan dengan
kenyataan bahwa tanaman jagung sudah biasa diusahakan petani setempat, sedangkan tanaman bawang merah, hanya petani tertentu saja yang menguasai
aplikasi teknologinya dengan baik sehingga lebih besar peluang untuk terjadinya inefisiensi. Selain itu, sifat bawang merah yang rentan terhadap kekeringan dan
asupan hara, bisa menjadi penjelas lebarnya variasi produksi tersebut. Berkenaan dengan biaya air, rata rata responden mengeluarkan biaya
sebesar Rp 1,570.701 per hektar tanaman yang diusahakan dengan kisaran dari Rp 125,021
– 7,660,000 per hektar Tabel 12. Angka ini tidak sesuai dengan dugaan awal bahwa biaya air untuk usahatani bawang merah akan jauh lebih tinggi jika
96 dibandingkan dengan biaya air untuk jagung. Hal ini tidak didukung oleh data
pada Tabel 12 yang menunjukkan bahwa rata-rata biaya air untuk jagung, bawang merah dataran rendah, dan bawang merah dataran tinggi tidak jauh berbeda yaitu
masing-masing sebesar 1,691,688; 1,358,466 dan 1,661,948. Keadaan di atas menjadi bisa dipahami dengan menghubungkannnya
dengan rasio biaya air, yaitu rasio antara biaya untuk air dengan biaya input keseluruhan yang digunakan untuk penyelenggaraan usahatani. Seperti terlihat
pada Tabel 12, rata rata rasio biaya air untuk usahatani bawang merah adalah adalah 0.1864 dengan rincian 0.1338 untuk bawang merah dataran rendah dan
0.2391 untuk bawang merah dataran tinggi. Angka 0.1864 mengindikasikan bahwa sebagian besar porsi biaya 81.4 persen adalah digunakan untuk input lain.
Dengan demikian, biaya total usahatani bawang merah tidak lebih rendah dari biaya usahatani jagung. Ditambahkan bahwa kesan umum tingginya biaya
usahatani bawang merah dibanding biaya usahatani jagung berkaitan dengan umur produksi, dimana umur produksi bawang merah lebih pendek 50-65 hari
dibanding umur produksi jagung sekitar 85-100 hari. Sepintas agak mengagetkan, rata rata pendapatan per hektar dari usahatani jagung Rp 8,361,509 lebih tinggi
dari rata rata pendapatan dari usahatani bawang merah Tabel 12. Pada hal, kesan yang muncul di masyarakat setempat adalah bahwa usahatani bawang
merah memberikan pendapatan yang lebih tinggi dari usahatani jagung, sampai bawang merah di
juluki sebagai „tanaman haji‟ karena banyak petani naik haji dari hasil mengusahakan tanaman bawang merah. Hal ini bisa dimengerti karena
harga bawang merah pada saat survei menurun mencapai rata rata Rp 6,900 per kilogram dari Rp 11,000 per kg, sementara harga jagung relatif stabil sekitar Rp
3,000 per kilogram. Keadaan ini menggambarkan risiko pemasaran yang dihadapi petani, sehingga tanpa adanya jaminan harga maka anjuran untuk mengusahakan
tanaman bernilai ekonomis tinggi menjadi tidak efektif. Berkenaan dengan porsi pendapatan, terlihat dari Tabel 12, usahatani jagung
memberi kontribusi sebesar 64.47 persen ke dalam pendapatan rumahtangga petani responden, lebih tinggi dari kontribusi usahatani bawang merah yang
besarnya 59.89 persen. Dari Tabel 12 juga dapat diketahui bahwa terdapat sejumlah petani responden yang mengandalkan usahatani di skim sebagai satu
97 satunya sumber pemasukan yaitu mereka yang porsi pendapatan dari usahatani
skim sebesar 100 persen, mereka ini tidak mengusahakan lahan lain dan juga tidak memiliki pekerjaan lain.
Tabel 12 Produksi, Biaya Air, Rasio Biaya Air, Pendapatan dan Porsi Pendapatan Usahatani Jagung, Bawang Merah Dataran Rendah dan Bawang Merah
Dataran Tinggi Lahan Kering Skim Pompa Air Artesis Lombok Timur, 2011.
Variabel Jagung
BMDR BMDT
Rata rata Produksi kilogramhektar
Rata rata 4,055
5,840 4,228
4,708 Maksimum
5,300 8,469
9,000 7,590
Minimum 1,403
1,000 1,548
1,317 Std dev
892 2,428
2,192 1,837
Biaya Air RpHektar Rata rata
1,691,688 1,358,466
1,661,948 1,570,701
Maksimum 8,820,000
8,640,000 5,520,000
7,660,000 Minimum
55,064 80,000
240,000 125,021
Std dev 1,663,038
1,503,579 1,356,974
1,507,864 Rasio Biaya air
Rata rata 0.2322
0.1338 0.2391
0.2017 Maksimum
0.6915 0.5026
0.6532 0.6158
Minimum 0.0245
0.0065 0.0331
0.0214 Std dev
0.1338 0.1057
0.1595 0.1330
Pendapatan RpHektar Rata rata
8,361,509 6,574,564
5,056,075 6,664,049
Maksimum 61,004,000 48,319,870 37,176,000 48,833,290
Minimum 162,503
110,246 256,250
176,333 Std dev
10,565,190 8,950,332
6,830,436 8,781,986
Porsi Pendapatan persen Rata rata
64.47 16.02
59.89 46.79
Maksimum 100.00
100.00 100.00
100.00 Minimum
0.04 0.21
0.29 0.18
Std dev 45.17
33.46 46.74
41.79 N observasi
137 59
50 246
Paparan di atas diharapkan bisa menjadi landasan pijakan dalam memahami perilaku efisiensi dan faktor faktor yang mempengaruhinya, serta bagaimana cara
memperbaiki efisiensi tersebut.