antara 0,07 – 0,39 µgAl, hal ini menunjukan bahwa data penelitian nitrit di
perairan Pulau Pongok nilainya masih lebih rendah dari nilai nitrit pada kondisi umum di Kabupaten Bangka Selatan.
5.3.1.4. Ortophosphat PO
4
Ortophosphat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatuk, sedangkan poliposphat harus mengalami
hidrolisis membentuk ortophosphat terlebih dahulu, sebelum dapat dimanfaatkan sebagai sumber fosfor. Setelah masuk ke dalam tumbuhan, misalnya fitoplankton,
fosfat anorganik mengalami perubahan menjadi organoposphat. Phosphat yang berikatan dengan ferri Fe
2
PO
4 3
bersifat tidak larut dan mengendap di dasar perairan. Pada saat terjadi kondisi anaerob, ion besi valensi tiga ferri ini
mengalami reduksi menjadi ion besi valensi dua ferro yang bersifat larut dan melepaskan phosphat ke perairan sehingga meningkatkan keberadaan phosphat di
perairan Brown 1987 di dalam Effendi 2003. Menurut Vollenweider dan Wetzel 1975 di dalam Effendi 2003 bahwa perairan dinyatakan oligotrofik dengan
kadar ortophospat 0,003 – 0,01 mgl, perairan mesotrofik dengan kadar
ortophospat 0,011 – 0,03 mgl, dan perairan eutrofik dengan kadar ortophospat
0,031 – 0,1 mgl.
Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan diperoleh kadar ortophospat rata- rata yaitu 0,005 mgl. Nilai ini masih jauh di bawah nilai baku mutu yaitu 0,015
mgl sehingga kondisi perairan Pulau Pongok termasuk ke dalam perairan oligotrofik artinya nilai ini menunjukan bahwa daya dukung lingkungan perairan
Pulau Pongok masih dapat dikatakan belum terlewati dan kondisi perairan ini masih mendukung untuk dilakukan kegiatan budidaya kerapu Tabel 16 dan
Lampiran 20. Berdasarkan Tabel 17 nilai ortophospat di perairan Kabupaten Bangka Selatan menunjukan bahwa nilainya berkisar antara 0,41
– 0,87 µgAl, hal ini menunjukan bahwa data penelitian ortophospat di perairan Pulau Pongok
masih jauh dari kondisi umum di Kabupaten Bangka Selatan. 5.3.1.5.
Timbal Pb
Propinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan penghasil timah terbesar di Indonesia sehingga perairan pesisirnya secara umum memiliki kandungan logam
berat akibat aktifitas penambangan timah. Merujuk pada penelitian Ilahude et al. 1990 yang menunjukan bahwa terdapat konstribusi logam berat dari sungai
terhadap laut terutama dari sedimen saat musim penghujan. Di Kabupaten Bangka Selatan, pasir dan lumpur sisa penambangan tailing dari aktifitas TI maupun
tailing perusahaan tambang timah biasanya masuk ke badan sungai DAS Bantel, DAS Kepoh, dan DAS Nyirih yang akhirnya mencapai laut, sehingga dicurigai
bahwa logam berat terbawa dari DAS ini namun perlu penelitian lanjutan untuk memperoleh kesimpulan yang meyakinkan. Menurut informasi dari masyarakat
bahwa di Pulau Pongok sudah ada yang mengusahakan tambang timah rakyat TI walaupun dalam skala kecil. Selain di Pulau Pongok, kondisi bukaan lahan akibat
TI ini sudah terlihat di Pulau Tinggi di daerah Lepar dan di daratan utama Pulau Bangka di daerah Sadai. Hal ini memungkinkan adanya konstribusi terhadap
keberadaan logam berat di perairan pesisir. Kadar timbal Pb di perairan Pulau Pongok dapat dinyatakan masih jauh di bawah nilai baku mutu dengan nilai rata-
rata untuk kelima stasiun pengamatan antara 0,014 – 0,026 mgl, nilai terendah
pada stasiun 2 sebesar 0,014 mgl dan nilai tertinggi pada stasiun 3 sebesar 0,026 mgl Tabel 16 dan Lampiran 20. Walaupun masih di bawah nilai baku mutu,
sebaiknya ada himbauan terhadap masyarakat agar tidak melakukan kegiatan TI yang dapat berdampak pada peningkatan kandungan logam berat di perairan.
5.3.1.6. Timbal Pb pada Ikan Kerapu
Kadar timbal Pb pada sampel daging ikan kerapu di perairan Pulau Pongok memiliki nilai 6,5 mgl, lebih tinggi dari nilai baku mutu Lampiran 21.
Hal ini menunjukan bahwa logam berat timbal telah termagnifikasi pada badan ikan kerapu dalam waktu yang cukup lama. Berdasarkan penelitian Ilahude et al.
1990 dan Arifin 2011 menunjukan bahwa logam berat dimulai dari lumpur atau sedimen yang mengandung logam berat masuk ke muara sungai dan diserap
oleh biota bentik seperti kerang-kerangan, cacing, dan hewan filter feeder lainnya, khusus untuk kasus ikan kerapu di Pulau Pongok perlu penelitian lanjutan untuk
memperoleh kesimpulan yang meyakinkan. Berdasarkan rantai makanan, biota bentik dan kecil dimakan oleh biota yang lebih tinggi tingkatannya yang
selanjutnya sampai pada ikan kerapu. Tata niaga yang legal biasanya mensyaratkan agar ikan bebas dari kandungan logam berat yang membahayakan
kesehatan. Ikan yang sehat sebaiknya aman dari kandungan logam berat agar tidak membahayakan manusia dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
5.3.2. Pendekatan Fisik Kawasan
Pendugaan daya dukung lingkungan dengan pendekatan fisik kawasan sangat berkaitan dengan luas kawasan yang sesuai kelas S1 dan S2 dan desain
keramba untuk diperoleh luasan keramba yang dapat ditampung di kawasan tersebut untuk budidaya ikan kerapu sistem KJA. Berdasarkan informasi dari peta
arahan kesesuaian diperoleh luas kawasan yang sesuai untuk budidaya kerapu sistem KJA sebesar 3.474,66 ha dan desain keramba 2,08 ha per pokmas maka
daya dukung kawasan dapat dihitung Lampiran 5. Berdasarkan perhitungan Lampiran 5 maka daya dukung lingkungan
dengan pendekatan fisik kawasan dapat diketahui yaitu sebesar 1.670 kelompok masyarakat. Hal ini mengandung arti bahwa jika pemerintah daerah Kabupaten
Bangka Selatan akan mengundang investor pembudidaya ikan kerapu apakah investor perusahaan, perorangan, atau masyarakat maka kawasan yang sesuai
dengan luas 3.474,66 ha dapat dimanfaatkan untuk budidaya kerapu sistem KJA di perairan Pulau Pongok maksimum sebesar 1.670 kelompok masyarakat.
Daya dukung kawasan yang sesuai untuk budidaya ikan kerapu sistem KJA di perairan Pulau Pongok ini jika dihitung berdasarkan unit keramba maka
maksimum dapat diisi dengan keramba sebanyak 16.700 unit KJA. Hal ini mengandung arti bahwa jika pemerintah daerah Kabupaten Bangka Selatan ingin
mengundang investor pembudidaya ikan kerapu maka unit keramba yang dapat dipergunakan untuk budidaya kerapu sistem KJA di perairan Pulau Pongok
maksimum sebanyak 16.700 unit keramba, dengan catatan bahwa satu unit KJA terdiri dari 4 lobang keramba dan 1 rumah jaga.
Daya dukung kawasan yang sesuai untuk budidaya ikan kerapu sistem KJA di perairan Pulau Pongok jika dihitung berdasarkan jumlah kepala keluarga yang
dapat dikaryakan menjadi pembudidaya ikan kerapu yaitu sebanyak 16.700 kepala keluarga. Hal ini mengandung arti bahwa jika pemerintah daerah Kabupaten
Bangka Selatan ingin mempertahankan sumberdaya perikanan pulau kecil ini, dengan cara mengatur jumlah nelayan perikanan tangkap agar tidak terjadi
peningkatan secara tajam maka terdapat peluang masyarakat pesisir yang dapat
diarahkan menjadi pembudidaya ikan kerapu dengan jumlah maksimum sebanyak 16.700 kepala keluarga.
Sedangkan daya dukung kawasan yang sesuai untuk budidaya ikan kerapu sistem KJA di perairan Pulau Pongok jika dihitung berdasarkan jumlah lobang
keramba maka maksimum dapat diusahakan sebanyak 66.800 lobang keramba, dengan catatan bahwa banyaknya lobang keramba ini sudah memperhitungkan
ruang kosong agar tidak terjadi pencemaran. Daya dukung kawasan yang sesuai untuk budidaya ikan kerapu sistem KJA di perairan Pulau Pongok jika dihitung
berdasarkan jumlah ikan yang dapat ditampung, dengan catatan bahwa setiap lobang keramba diisi ikan kerapu hidup sebanyak 240 ekor, maka ikan budidaya
maksimum yang dapat ditanam sebanyak 16.032.000 ekor ikan kerapu. Pada prinsipnya perlu upaya kehati-hatian dalam menetapkan letak dan
luasan suatu kawasan budidaya karena selain menilai daya dukung fisik kawasan, juga perlu mengontrol dampak secara ekologis seperti perlunya menjaga
keberlanjutan stok ikan rucah di alam sebagai bagian dari rantai makanan serta perlu mencari solusi pengganti dari pakan alami ke pakan buatan.
5.4. Tata Niaga Ikan Kerapu Famili Serranidae di Pulau Pongok
Kecamatan Lepar Pongok memiliki kekayaan sumberdaya perikanan yang cukup besar diantaranya jenis-jenis ikan kerapu yang bernilai ekonomi tinggi. Hal
ini tidak terlepas dari kondisi terumbu karang yang relatif masih baik.
Gambar 17. Tata Niaga Komoditas Ikan Kerapu di Pulau Pongok
Ikan kerapu hidup yang sudah menjadi komoditas ekspor mendorong beberapa nelayan untuk berkecimpung dalam bidang usaha ini. Penjualan ikan
karang seperti ikan kerapu hidup cukup diminati pasar sehingga dapat digambarkan tata niaga ikan kerapu pada Gambar 17 mulai dari nelayan bubu,
pengusaha KJA, eksportir kerapu, dan pembeli dari Hongkong.
5.4.1. Nelayan Bubu
Sebelum muncul pengusaha KJA, penjualan ikan karang seperti ikan kerapu dilakukan dengan menjual kerapu dalam kondisi mati atau dikenal sebagai ikan
kerapu segar. Setelah adanya pengusaha KJA di Pulau Pongok, maka harga kerapu berangsur naik dan nelayan berusaha menjualnya dalam kondisi hidup.
Nelayan sangat terbantu dengan adanya peningkatan harga yang sangat signifikan ini sampai akhirnya ditemukan cara penangkapan ikan karang dengan
menggunakan alat tangkap bubu di perairan Pulau Pongok. Berdasarkan wawancara dengan pejabat DKP Bangka Selatan, bubu diperbolehkan karena
masih tergolong alat tangkap yang ramah lingkungan. Daerah penangkapan ikan dengan bubu oleh nelayan bubu Pulau Pongok hanya di sekitar perairan
Kecamatan Lepar Pongok Kabupaten Bangka Selatan.
Gambar 18. Penjualan Kerapu selama 12 Bulan Nelayan bubu di Pulau Pongok berjumlah 11 orang yang biasa dikenal
dengan sebutan juragan Lampiran 3. Masing-masing juragan memiliki 3 anak buah sehingga total dalam satu kapal adalah 4 orang anak buah kapal ABK.
- 50,000,000
100,000,000 150,000,000
200,000,000 250,000,000
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 12
Rupiah
Bulan
Sumber : Wawancara dengan nelayan bubu dan pengusaha KJA Pulau Pongok
Waktu kerja atau melaut mulai pukul 9.00 sampai dengan pukul 17.00 WIB, di mana waktu libur menyesuaikan dengan kebutuhan atau jika ada salah satu ABK
yang terkena sakit. Tingkat kekeluargaan di Pulau Pongok masih tinggi, terbukti jika ada acara hajatan seperti pernikahan, mereka libur kerja dan bergotong
royong untuk mempersiapkan kebutuhan pesta seperti membantu membuat panggung dan lain-lain. Mengenai sistem pembagian hasil dalam satu buah kapal
yaitu untuk 1 orang juragan sebagai penyelam mendapat 25 bagian, dan untuk 3 orang ABK lainnya mendapat 35 bagian, dimana pembagian hasil tangkapan ini
adalah setelah dipotong oleh ransum yang terdiri dari pembelian solar, stroom accu, dan lain-lain yang jumlahnya sekitar Rp 100.000,00 trip melaut.
Jenis ikan kerapu yang biasa ditangkap diantaranya kerapu sunuk Plectropomus areolatus, kerapu macan E. fuscoguttatus, kerapu lumpur E.
suillus, kerapu katarap E. Lanceolatus, ikan rucah, dan ikan napoleon Cheilinus undulatus. Khusus untuk ikan rucah tidak dijual ke pengusaha KJA
namun dibagikan untuk ABK. Selain ikan dari bubu, mereka mendapat hasil tangkapan sampingan berupa teripang pasir Holothuria scabra jika secara
kebetulan di lokasi penyelaman terdapat teripang. Untuk ikan yang dijual ke pengusaha KJA, setelah bubu diambil dari dasar perairan maka ikan kerapu hasil
tangkapan ini segera ditusuk perutnya dengan ujung pemancar radio yang bertujuan agar ikan tidak terjadi dekompresi dan ikan dapat hidup dalam keramba.
Lokasi penyelaman di laut dibatasi pada jumlah sekitar 20 titikhari dimana 10 titik dipergunakan untuk mengambil bubu yang sudah terpasang dan 10 titik
lagi dipergunakan untuk memasang bubu yang baru. Setiap titik dicatat koordinatnya dengan alat bantu GPS garmin, dimana alat ini sangat bermanfaat
bagi nelayan bubu dalam mempercepat pencarian lokasi yang akurat. Setiap titik penyelaman dipasang bubu secara berpasangan atau dua buah bubu di sekitar
karang dengan mulut bubu menghadap searah datangnya arus air dengan masa perendaman selama 4 hari. Pemasangan mulut bubu searah arus air ini disesuaikan
dengan tingkah laku ikan fish behaviour dimana kebiasaan ikan target mencari makanan dengan menentang arah arus perairan. Lokasi yang pernah dipasang
bubu dapat dipasang bubu kembali setelah sekitar satu bulan atau lebih, hal ini dilakukan untuk memperolah hasil tangkapan yang diharapkan.