Pengetahuan Mengenai Dampak Kesehatan Akibat Mengkonsumsi

penyuluhan kesehatan yang berisi promosi dan pendidikan kesehatan sangat berperan dalam peningkatan pengetahuan mengenai dampak akibat formalin tersebut. Penggunaan media seperti video perjalanan dari pemaparan awal formalin hingga terjadinya penyakit serta target organ dari formalin dapat membantu menjelaskan betapa bahayanya formalin pada makanan jika terus dikonsumsi. Hal penting lain yang dapat membantu untuk mencegah peredaran makanan berformalin selain peningkatan pengetahuan dan kesadaran adalah penyediaan tools atau alat untuk mendeteksi formalin dengan harga yang murah, sehingga para penjual tahu dapat dengan mudah mengecek apakah tahu yang akan dijualnya mengandung formalin.

6.4. Sikap Penjual Tahu Terhadap Informasi Bahaya Formalin

Sikap merupakan variabel yang perlu diamati karena sikap dapat menjadi dasar untuk terbentuknya perilaku. Berdasarkan skala lickert penilaian pendapat sikap terbagi menjadi 5 kategori yakni: sangat setuju; setuju; ragu-ragu; tidak setuju; dan sangat tidak setuju Sugiyono, 2009. Pada kuesioner ini sikap diukur menggunakan skala lickert dengan gradasi pertanyaan dari yang sangat positif menuju ke yang sangat negatif. Sikap positif artinya perilaku baik yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang berlaku dalam masyarakat. Sedangkan sikap negatif adalah sikap yang tidak seseuai dengan nilai dan norma-norma kehidupan yang berlaku dalam masyarakt atau bahkan bertentangan Purwanto, 1998. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang cenderung memiliki sikap positif sebanyak 64,7, sedangkan yang memiliki sikap negatif sebesar 35,3. Namun kenyataanya masih ditemukan sebesar 46,6 tahu mengandung formalin. Dengan demikian sikap positif belum tentu menghasilkan tindakan positif atau baik. Penelitian Habibah 2013, juga menunjukkan hal yang sama bahwa sikap positif justru menjual makanan berformalin, dan sebaliknya sikap negatif justru tidak menjual. Sikap menurut Notoatmodjo 2007, merupakan respon yang masih tertutup terhadap suatu stimulus tetapi melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, positif- negatif, dsb. Perbedaan antara sikap dan perilaku dari responden dapat disebabkan oleh adanya suatu reaksi tertutup responden terhadap peneliti sehingga informasi yang didapat mungkin kurang dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Kemungkinan para responden bersikap positif untuk menutupi perilaku penjualan tahu berformalin yang dilakukannya. Jika dilihat dari item pernyataan sikap tertentu, akan tergambar pernyataan mana yang sebenarnya masih belum diketahui responden. Respon tertutup yang mungkin menyebabkan sebagian responden tidak jujur dalam menjawab mungkin terkait dengan nilai, salah satunya nilai keagamaan. Menurut Hakim 2012, nilai tak hanya dijadikan rujukan untuk bersikap dan berbuat, tapi juga dijadikan ukuran benar tidaknya suatu fenomena perbuatan dalam masyarakat. Salah satu nilai yang terkait dengan sikap yang dapat mempengaruhi perilaku adalah nilai keagamaan, yang dalam hal ini berkaitan dengan kejujuran responden. Jika nilai keagamaannya tinggi maka apabila si penjual tahu mengetahui bahwa tahu berformalin berbahaya bagi kesehatan maka tidak akan di jual. Selain itu sikap juga terbentuk dari 3 komponen yakni komponen afektif perasaan, kognitif pemikiran, dan perilaku Waluyo, 2000. Dalam penelitian ini responden cenderung memiliki sikap positif yakni tidak setuju keberadaan formalin, dapat dikarenakan komponen afektif perasaan ketakutan jika respon tertutupnya diketahui kebenarnanya, sehingga menyebabkan responden berfikir untuk menutupinya dengan sikap positif. Menurut Fitriani 2011, sikap terdiri dari beberapa tingkatan yakni menerima receiving, merespon responding, menghargai valuing, dan bertanggungjawab responsible. Dalam penelitian ini, responden telah mencapai tingkatan kedua yakni merespon responding, karena responden mau memberikan jawaban saat ditanya, dan mengisi kuesioner saat diminta mengisinya. Namun saat diajak mendiskusikan terkait formalin, responden cenderung tertutup dan menolak, sehingga belum sampai pada tingkatan menghargai valuing, yakni bersedia mendiskusian suatu masalah. Pada pernyataan C5 tentang “penggunaan bahan pengawet dapat meningkatkan kualitas tahu”, skor hasil kali skala lickert menunjukkan hasil 94 yakni cenderung dari ragu-ragu mengarah ke tidak setuju. Kemudian sebesar 50 responden tidak setuju jika penggunaan bahan pengawet dapat meningkatkan kualitas tahu. Padahal menurut teori Suprapti 2005, tujuan penggunaan bahan tambahan pengawet makanan adalah untuk meningkatkan kualitas tahu yang dihasilkan, namun bahan pengawet itu sendiri haruslah bahan pengawet yang diizinkan penggunaannya berdasarkan SNI-01-0222-1995. Pada penelitian ini, responden cenderung ragu-ragu mengarah ke tidak setuju dengan penggunaan bahan pengawet, karena mereka menganggap bahwa penggunaan bahan pengawet tidaklah baik. Saat ditanya tentang hal tersebut kebanyakan dari responden menganggap bahan pengawet adalah unsur kimia yang tidak baik bagi kesehatan jika di konsumsi, jadi tidak boleh ada dalam makanan seperti tahu. Menurut Suprapti 2005, sebenarnya bahan pengawet ada yang alami seperti garam atau kunyit dan juga ada pengawet sintesis yang diizinkan penggunaannya pada makanan dengan dosis yang telah ditentukan, sehingga bahan pengawet dapat membantu dalam meningkatkan kualitas tahu. Responden juga mengakui tidak mengerti tentang bahan tambahan makanan karena mereka tidak pernah mendengar berita tentang itu dan juga tidak pernah mengikuti pelatihan tentang bahan tambahan makanan. Hal tersebut yang mungkin menyebabkan mereka tidak mengetahui sebenarnya sebagian pengawet ada yang diperbolehkan penggunanannya. Kemudian sikap responden terkait pernyataan C7 tentang “penggunaan formalin pada tahu di perbolehkan” menunjukkan hasil tidak setuju sebanyak 67,6 dengan skor hasil kali skala likert sebesar 142 menunjukkan tidak setuju mengarah ke sangat tidak setuju. Hal ini sesuai dengan larangan yang telah di sebutkan dalam SNI-01-0222-1995 tentang bahan tambahan makanan Lampiran II yang melarang keberadaan formalin pada makanan. Tetapi kenyataanya, dalam penelitian ini masih ditemukan sebesar 46,6 tahu mengandung formalin. Penelitian Habibah 2013 juga menunjukkan hal yang serupa yakni para responden yang setuju bahwa