Gambaran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Penjual tahu Mengenai Tahu Berformalin di Pasar Daerah Semanan Jakarta Barat Tahun 2015

(1)

i

TAHU MENGENAI TAHU BERFORMALIN DI PASAR DAERAH SEMANAN JAKARTA BARAT TAHUN 2015

SKRIPSI

Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Oleh:

AWALIYAH RIZKA SAFITRI NIM : 1111101000013

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1436 H/2015


(2)

(3)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT KESEHATAN LINGKUNGAN

Skripsi, Juni 2014

AWALIYAH RIZKA SAFITRI, NIM: 1111101000013

GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU PENJUAL TAHU MENGENAI TAHU BERFORMALIN DI PASAR DAERAH SEMANAN JAKARTA BARAT TAHUN 2015

(XIV + 134 Halaman, 15 tabel, 7 Diagram, 2 Bagan, 23 Lampiran) ABSTRAK

Tahu berformalin masih banyak dijual dipasaran. Padahal formalin pada makanan telah dilarang sejak tahun 1982. Larangan formalin pada tahu dikarenakan dampak kesehatan yang dapat ditimbulkan, diantaranya keracunan, muntah-muntah, iritasi lambung, kerusakan ginjal, kanker, bahkan kematian. Keberadaan formalin pada tahu terkait dengan faktor pengetahuan, sikap, dan perilaku dari penjual tahu. Pengetahuan yang kurang dan sikap yang negatif dapat mendukung terjadinya perilaku penjualan tahu berformalin.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran dari pengetahuan, sikap dan perilaku penjual tahu mengenai tahu berformalin di Pasar Daerah Semanan Jakarta Barat tahun 2015. Jenis penelitian ini deskriptif-kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian ini sebanyak 34 penjual tahu di Pasar Daerah Semanan. Pengambilan sampel penjual tahu (responden) dilakukan dengan total sampel (seluruh populasi). Sedangkan pengambilan sampel tahu dilakukan secara Accidental Sampling. Instrumen penelitian yang digunakan kuesioner. Uji laboratorium dilakukan dengan Food Security Kit Formaldehyde untuk membuktikan tahu berformalin secara kualitatif. Analisis data secara univariat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar 38,2% tingkat pengetahuan responden rendah dan 35,3% sikap responden negatif. Kemudian sebanyak 46,6% tahu ditemukan mengandung formalin dan 73,5% melakukan penjualan tahu berformalin. Pengetahuan yang belum optimum pada beberapa item pertanyaan dan juga sikap yang cenderung tertutup menjadi penyebab masih adanya perilaku penjualan tahu berformalin. Dengan ditemukannya tahu berformalin, diharapkan masyarakat lebih cermat dalam mengenali ciri fisik tahu berformalin. Perlunya penyuluhan petugas kesehatan terhadap penjual tahu terkait larangan penjualan tahu berformalin disertai dampak kesehatannya. Perlu peran petugas kesehatan dan juga Pemda antar daerah dalam mengawasi peredaran tahu berformalin. Kata Kunci : Tahu, Formalin, Pengetahuan, Sikap, Perilaku, Penjual Tahu Daftar Bacaan : 67 (1991-2015)


(4)

FACULTY OF MEDICICAL AND HEALTH SCIENCES

PUBLIC HEALTH STUDY OF ENVIRONMENTAL HEALTH SCIENCE Undergraduated Thesis, June, 2015

AWALIYAH RIZKA SAFITRI, NIM: 1111101000013

DESCRIPTION OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOR OF TOFU SELLER ABOUT FORMALINED TOFU IN SEMANAN LOCAL MARKET, WEST JAKARTA IN 2015

(XIV +134 pages, 15 tables, 7 diagrams, 2 charts, 23 appendix) ABSTRACT

Formalined tofu is still available in market, although formalined tofu has been banned from 1982. The prohibition in tofu is based on the fact that it can cause some health effects, such as poisoning, vomiting, inflaming, gastric irritation, kidney damaging, cancer, and even death. The formaline in tofu is related with some factors, such as knowledge, attitude, and behavior of tofu seller. A lack of knowledge and negative attitude could contribute to a behavior of formalined tofu sales.

The purpose of this research is to find out the outlook of the knowledge, attitude, and behavior of formalined tofu sales in Semanan Local Market, West Jakarta in 2015. The type of this research is a descriptive- quantitative with an approximation cross sectional methode. The population of this research is 34 tofu sellers in Semanan Local Market. The samples were taken by total samples (all population). Whereas, the tofu samples that sold by the respondents was done by accidental sampling. The research instrumental was using questionnaire. The laboratory samples was done qualitatively with Food Security Kit Formaldehyde to prove whether the tofu contains formaline or not. The data. analysis is done by univariat.

The result of this research shows that 38,2% respondents’s level knowledge are low and 35,3% respondent’s attitude are negative (disagree). Then, 46,6% tofu found to contains formaline and 73,5% are doing a formalined tofu sales. A knowledge that has not yet optimum in some questions and also the attitude that tend to have a closed personality becomes a cause of the existence of formalined tofu sales. As the formalined tofu has been found, the community should be smarter in knowing the physical characteristics of formalined tofu. It needs a counseling from health workers to tofu sellers related to the prohibition of formalined tofu sales as also the health effect that being caused by that. It also need a health worker’s role and also Pemda interregional to keeping an eye on formalined tofu cycles.

Key Words: Tofu, Formaline, Knowledge, Attitude, Behavior, Tofu Seller Reading List: 67 (1991-2015)


(5)

(6)

(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Awaliyah Rizka Safitri Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 29 Maret 1994 Warganegara : Indonesia

Agama : Islam

Alamat : Jl. Daan Mogot Km.18 Kp.Asem RT.06/05 No.173 Semanan Kalideres Jakarta barat 11850

Telepon : 0896-9424-2827 / 0896-9977-9460 Email : awaliyah.rizka@gmail.com

Pendidikan Formal:

1. SD NEGERI SEMANAN 05 PAGI JAKARTA 1999-2005

2. MTs NEGERI 8 JAKARTA 2005-2008

3. MA NEGERI 12 JAKARTA 2008-2011

4. KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Terimakasih atas karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Gambaran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Penjual tahu Mengenai Tahu Berformalin di Pasar Daerah Semanan Jakarta Barat Tahun 2015”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarganya dan sahabatnya. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, khususnya kepada: 1. Ayahanda Taufik Hidayat, Ibunda Romlah sebagai orangtua saya yang mendidik saya dari buaian hingga saat ini, semoga Allah meridhai Ayah dan Ibu. Serta adik-adik (Fika, Faiz, Farhan, Thoifur) yang selalu mendukung dan menyayangi saya dan selalu menemani saya dalam pembuatan skripsi ini. 2. Bapak Dr. Arif Sumantri, SKM. M.Kes selaku dekan FKIK UIN Jakarta. 3. Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes, Ph.D selalu ketua Prodi Kesehatan

Masyarakat yang sangat berperan dalam terselenggaranya sidang.

4. Dosen Pembimbing Skripsi saya, Ibu Dewi Utami Iriani. M. Kes, Ph.D dan Ibu Febrianti M.Si, yang telah memberikan ilmu dan waktunya dalam membimbing saya mengerjakan skripsi ini.

5. Dosen penguji 1. Ibu Fase Badriah, M.Kes, Ph.D, Penguji 2. Ibu Hoirun Nisa, M.Kes, Ph.D dan Penguji 3. Ibu Julie Rostina, SKM, MKM, yang telah memberikan banyak saran pada sidang munaqosyah saya.

6. Pak Ajib selaku staf prodi yang senantiasa memberi semangat untuk saya. 7. Guru-guru saya dari TK Nurul Huda, SDN 05 Pagi, MTs N 8 Jakarta, MAN

12 Jakarta, dosen FKIK UIN Jakarta, serta guru ngaji saya atas ilmu yang telah diberikan kepada saya, semoga bermanfaat untuk saya dan orang-orang disekitar saya.

8. Sahabat terbaik Sarah Ajeng, Rachmatika, dan Abdul Karim, yang senantiasa memberi semangat tiada henti, memberi inspirasi dan sharing ilmu.

9. Sahabat hidup sekaligus kakak terbaik Ahmad Ridwan atas dukungan dan waktu luangnya dalam memberikan ilmu dan waktunya demi terselesaikannya skripsi ini.

10.Sahabat seperjuangan (2011), kakak dan adik kelas di Peminatan Kesehatan Lingkungan UIN Jakarta, dan teman RISMAULA.atas dukungannya.

Dengan tersusunnya skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu penulis memohon maaf jika terdapat kesalahan pengetikan maupun rangkaian kata dalam skripsi ini.

Jakarta, Juni 2015


(9)

DAFTAR ISI

Lembar Pernyataan ... ii

Abstrak ... iii

Abstrack ... iv

Lembar Persetujuan ... v

Lembar Penguji ... vi

Daftar Riwayat Hidup ... vii

Kata Pengantar ... viii

Daftar Isi ... ix

Daftar Tabel ... xiii

Daftar Diagram ... xiv

Daftar Bagan ... xiv

Daftar Lampiran ... xiv

BAB I : PENDAHULUAN ... 1-10 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Pertanyaan Penelitian... 7

1.4. Tujuan ... 8

1.4.1. Tujuan Umum ... 8

1.4.2. Tujuan Khusus ... 8

1.5. Manfaat Penelitian ... 9

1.5.1. Manfaat Bagi Pemerintah ... 9

1.5.2. Manfaat Bagi Lembaga Konsumen ... 9

1.5.3. Manfaat Bagi Masyarakat ... 9

1.5.4. Manfaat Bagi Peneliti ... 9

1.5.5. Manfaat Bagi FKIK ... 9

1.6. Ruang Lingkup Penelitian ... 9

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ... 11-46 2.1. Tahu ... 11


(10)

2.1.1. Syarat Kualitas Tahu ... 11

2.1.2. Jenis Tahu ... 13

2.2. Ciri Tahu Mengandung Formalin ... 15

2.3. Formalin ... 15

2.3.1. Pengertian Formalin ... 15

2.3.2. Kegunaan Formalin ... 17

2.3.3. Akibat Pemaparan Formalin ... 18

2.3.4. Cara Mengidentifikasi Keberadaan Formalin Pada Tahu ... 21

2.4. Konsep Perilaku ... 21

2.5. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku ... 23

2.6. Faktor Predisposisi ... 24

2.6.1. Pengetahuan ... 24

2.6.2. Sikap ... 31

2.6.3. Persepsi ... 36

2.6.4. Nilai ... 38

2.7. Faktor Pemungkin ... 40

2.7.1. Ketersediaan Fasilitas dan SDM ... 40

2.7.2. Keterampilan Petugas ... 41

2.7.3. Komitmen Pemerintah ... 42

2.8. Faktor Penguat ... 43

2.8.1. Teman Pedagang ... 43

2.8.2. Akses ke Produsen ... 44

2.8.3. Keluarga ... 44

2.8.4. Pengawasan Petugas Kesehatan ... 45

2.9. Kerangka Teori ... 46

BAB III : KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 47-53 3.1. Kerangka Konsep... 47

3.2. Definisi Operasional ... 50

BAB IV : METODE PENELITIAN ... 54-69 4.1. Desain Studi ... 54


(11)

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 54

4.3. Populasi ... 55

4.4. Sampel ... 55

4.5. Pengumpulan Data ... 56

4.6. Instrumen Penelitian ... 57

4.7. Cara Pengambilan Sampel Tahu ... 60

4.8. Cara Uji Laboratorium Pada Tahu ... 61

4.9. Pengolahan Data ... 63

4.10. Analisis ... 65

4.10.1.Univariat ... 65

4.11. Uji Validitas dan Reabilitas ... 66

BAB V : HASIL PENELITIAN ... 70-89 5.1. Karakteristik Responden ... 70

5.1.1. Usia ... 70

5.1.2. Jenis Kelamin ... 71

5.1.3. Pendidikan ... 71

5.1.4. Lama Berjualan Tahu ... 72

5.1.5. Jumlah Jenis Tahu yang Dijual ... 73

5.1.6. Distribusi Tahu Berdasarkan Jenisnya ... 74

5.2. Hasil Analisa Univariat... 74

5.2.1. Hasil Uji Kandungan Formalin Pada Tahu ... 75

5.2.2. Hasil Uji Kandungan Formalin Pada Tahu Berdasarkan Jenis Tahu .... 75

5.2.3. Gambaran Pengetahuan Penjual Tahu Terhadap Formalin ... 76

5.2.3.1.Pengetahuan Berdasarkan Pertanyaan Kuesioner ... 77

5.2.3.2.Pengetahuan Tentang Ada Tidaknya Kandungan Formalin Pada Tahu yang Dijual ... 78

5.2.4. Gambaran Sikap Penjual Tahu Terhadap Informasi Bahaya Formalin 79 5.2.4.1.Gambaran Sikap Penjual Tahu Terhadap Informasi Bahaya Formalin Berdasarkan Item Pernyataan ... 81

5.2.5. Gambaran Perilaku Penjual Tahu ... 82


(12)

5.2.5.1.1. Kesamaan Tahu yang Dijual dan Dikonsumsi ... 84

5.2.5.1.2. Asal Tahu ... 84

5.2.5.1.3. Kategori Daerah Supplier ... 85

5.2.5.1.4. Daya Tahan Tahu ... 86

5.2.5.1.5. Perlakuan Jika Tahu Bersisa ... 86

5.2.5.1.6. Teman yang Mengajak Berjualan Tahu ... 87

5.2.5.1.7. Perilaku Menjual Tahu Jika Sebenarnya Telah Mengetahui Tahu Tersebut Berformalin ... 88

BAB VI : PEMBAHASAN ... 90-123 6.1.Keterbatasan Penelitian ... 90

6.2.Temuan Formalin Pada Tahu ... 91

6.3.Pengetahuan Penjual Tahu Mengenai Formalin ... 94

6.3.1.Pengetahuan Mengenai Golongan Formalin Menurut Peraturan Pemerintah ... 102

6.3.2.Pengetahuan Mengenai Ciri Tahu Berformalin ... 104

6.3.3.Pengetahuan Mengenai Dampak Kesehatan Akibat Mengkonsumsi Tahu Formalin ... 106

6.4.Sikap Penjual Tahu Terhadap Informasi Bahaya Formalin ... 109

6.5.Perilaku Penjual Tahu ... 115

6.5.1.Identifikasi Perilaku Penjual Tahu Mengenai Tahu Berformalin ... 119

BAB VII : SIMPULAN DAN SARAN ... 123-127 7.1. Simpulan ... 123

7.2. Saran ... 123

7.2.1.Saran Bagi Masyarakat ... 123

7.2.2.Saran Bagi Pemerintah ... 124

7.2.3.Saran Bagi Lembaga Konsumen ... 125

7.2.4.Saran Bagi Peneliti Selanjutnya ... 126

7.2.5.Saran Bagi FKIK ... 126


(13)

DAFTAR TABEL

3.1. Definisi Operasional……….. 50 5.1. Distribusi Usia Penjual Tahu di Pasar Daerah Semanan Tahun

2015……… 70

5.2. Distribusi Lama Penjual Tahu Berjualan di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015……… 73 5.3. Distribusi Jenis Tahu yang Dijual Penjual Tahu di Pasar Daerah

Semanan Tahun 2015……… 73 5.4. Distribusi Tahu Berdasarkan Jenis di Pasar Daerah Semanan

Tahun 2015……… 74 5.5. Distribusi Hasil Uji Kandungan Formalin Pada Tahu di Pasar

Daerah Semanan Tahun 2015……… 75 5.6. Distribusi Uji Kandungan Formalin Pada Tahu Berdasarkan Jenis

Tahu di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015………. 76 5.7. Distribusi Pengetahuan Penjual Tahu Terhadap Formalin di Pasar

Daerah Semanan Tahun 2015……… 76 5.8. Distribusi Pengetahuan Penjual Tahu Berdasarkan Pertanyaan

Kuesioner di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015………. 77 5.9. Distribusi Sikap Penjual Tahu Terhadap Informasi Bahaya

Formalin Pada Tahu di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015………. 80 5.10. Distribusi Sikap Penjual Tahu Terhadap Informasi Bahaya

Formalin Berdasarkan Item Pernyataan Pada Tahu di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015………. 81 5.11. Distribusi Perilaku Penjualan Tahu Berformalin Di Pasar Daerah

Semanan Tahun 2015………. 83 5.12. Distribusi Kesamaan Tahu yang Dijual dan Dikonsumsi Penjual

Tahu di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015………. 84 5.13. Distribusi Pengakuan Penjual Tahu Terkait Faktor Teman yang

Mengajak Berjualan Tahu di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015… 88 5.14. Distribusi Perilaku Penjual Tahu Jika Telah Mengetahui Tahu


(14)

DAFTAR DIAGRAM

5.1. Distribusi Jenis Kelamin Penjual Tahu di Pasar Daerah Semanan

Tahun 2015……….. 71

5.2. Distribusi Pendidikan Penjual Tahu di Pasar Daerah Semanan Tahun

2015……….. 72

5.3. Distribusi Pengetahuan Tentang Ada Tidaknya Kandungan Formalin Pada Tahu yang Dijual di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015………. 79 5.4. Distribusi Asal Tahu yang Dijual Penjual Tahu di Pasar Daerah

Semanan Tahun 2015……….. 85 5.5. Distribusi Kategori Daerah Supplier Yang Mensuplai Tahu Kepada

Para Penjual Tahu di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015………….. 85 5.6. Distribusi Pengakuan Penjual Tahu Tentang Daya Tahan Tahu yang

Dijualnya di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015………. 86 5.7. Distribusi Perlakuan Penjual Tahu Jika Tahu Bersisa di Pasar Daerah

Semanan Tahun 2015………. 87

DAFTAR BAGAN

2.1 Kerangka Teori………. 45 3.1 Kerangka Konsep……….. 48

DAFTAR LAMPIRAN 1. Lembar Kuesioner

2. Form Hasil Uji Kualitatif Formalin Pada Tahu di Pasar Daerah Semanan Tahun 2015

3. Dokumentasi


(15)

1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI No. 33 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP), salah satu bahan pengawet yang dilarang penggunaannya pada makanan adalah formalin atau folmaldehyde. Formalin dilarang ada pada makanan karena dapat membahayakan kesehatan. Formalin merupakan salah satu pengawet non pangan yang biasanya digunakan dalam pengawetan mayat (Sartono, 2001).

Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) saat ini kenyataannya formalin disalahgunakan sebagai pengawet salah satunya pada produk makanan seperti tahu (BPOM, 2006). Formalin pada makanan telah dilarang oleh US-EPA (Environmental Protection Agency) dan International Programme on Chemical Safety / IARC karena formalin merupakan zat yang probable human carcinogen (Hastuti, 2010). Pemerintah Indonesia juga telah melarang penggunaan formalin sebagai bahan pengawet pangan sejak tahun 1982 melalui Permenkes No. 472/1996 tentang Pengamanan Bahan Berbahaya Bagi Kesehatan.

Larangan formalin pada makanan karena dapat menimbulkan dampak kesehatan. Menurut ajaran islam, dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 168 manusia diperintahkan makan makanan yang halal dan baik (Departemen Agama RI, 2006). Ayat ini menjadi pedoman dasar bagi manusia untuk memilih makanan yang tidak hanya halal namun juga baik. Baik bukan hanya


(16)

dari kondisi fisik namun baik dalam segi manfaat dari makanan tersebut bagi kesehatan. Namun pada kenyataannya saat ini marak beredar makanan yang mengandung zat berbahaya bagi kesehatan.

Salah satu makanan yang terbukti mengandung zat berbahaya bagi kesehatan adalah tahu yang mengandung formalin. Tahu merupakan makanan populer di kalangan masyarakat Indonesia karena harganya yang tejangkau dan juga bergizi. Tahu dapat dengan mudah di dapat baik di pasar tradisional maupun di swalayan dengan harga yang cukup murah (Tjiptaningdyah, 2010). Formalin pada tahu berfungsi sebagai pengawet untuk mempertahankan kualitas tahu dan meningkatkan daya simpan tahu. Dengan adanya formalin pada tahu maka perlu dikhawatirkan dampaknya, baik akut maupun akumulatif yang tidak langsung terlihat. Dampak akut tersebut seperti iritasi lambung, muntah, diare, kencing bercampur darah. Sedangkan dampak akumulatif tersebut seperti kerusakan ginjal, kanker, mutagen, dan bahkan kematian (Anwar dan Khomsan, 2008).

Menurut Environmental Protection Agency (EPA) ambang batas formalin yang boleh masuk ke dalam tubuh (NOAEL) dalam bentuk makanan untuk orang dewasa sebesar 15mg/kg per hari (EPA, 1991). Dampak akut dapat muncul setelah mengkonsumsi makanan mengandung formalin dengan dosis diatas 15 mg/kg/hari. Berdasarkan uji klinis, dosis toleransi tubuh manusia pada pemakaian terus-menerus/ reference dose (RfD) untuk formalin adalah sebesar 0,2 mg/kg/day selama 30 tahun, dan dapat menimbulkan resiko kesehatan seperti kerusakan ginjal. Karena dampak akumulatif dari pajanan formalin dapat berbahaya bagi kesehatan maka formalin tidak


(17)

diizinkan sama sekali ada pada makanan. Hal ini sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-0222-1995 lampiran II yang menyebutkan bahwa zat kimia berbahaya seperti formalin tidak boleh ada di makanan.

Data keberadaan formalin pada tahu di Indonesia menurut BPOM (2006) sebesar 33,45%. Data tersebut didapat dari beberapa sampel yang diambil di kota-kota besar di Indonesia seperti kota Jakarta, Bandung, Bandar Lampung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Mataram, dan Makasar. Kemudian BPOM juga menyatakan bahwa temuan tahu berformalin relatif tinggi di Jakarta yakni 77,85% (BPOM, 2006). Sedangkan di daerah lainnya, BPOM menemukan ratusan tahu berformalin di Ciputat Tangerang Selatan (Banpos, 2014). Kemudian di Sidoarjo, ditemukan 62,85% tahu putih berformalin di pasar tradisional dan 77,77% tahu berformalin di pasar modern (Tjiptaningdyah, 2010).

Pada tingkat produsen juga ditemukan pabrik tahu yang menggunakan formalin yakni seperti di daerah Palmerah dan Jelambar Jakarta Barat (Widiastuti, 2009). Penjualan tahu berformalin juga ditemukan di pasar daerah Semanan-Jakarta Barat. Hal ini dibuktikan dengan hasil studi pendahuluan pada bulan Desember 2014 dari 10 (sepuluh) sampel tahu 8 (delapan) diantaranya mengandung formalin.

Sementara itu, diketahui terdapat sebanyak 8.986 pengerajin tahu-tempe di DKI Jakarta. Pada tahun 2008, Jakarta Barat merupakan daerah kedua terbesar sebagai daerah penghasil tahu-tempe di DKI Jakarta yakni sebanyak 2.481 orang (Republika, 2008). Sedangkan daerah sebagai penghasil tahu tempe terbesar di DKI Jakarta yakni daerah Semanan-Jakarta Barat (Keteng,


(18)

2013). Di daerah Semanan terdapat sebanyak 300 pengerajin tahu beserta tempe, 100 pengerajin tahu yang tersebar di 9 pabrik tahu di KOPTI Semanan Jakarta Barat, dan 34 penjual tahu yang tersebar di pasar daerah Semanan. Jumlah pedagang tersebut lebih banyak jika dibandingkan dengan pasar ciputat sebesar 19 penjual tahu dan pasar anyar tangerang sebanyak 17 penjual tahu (Gatra, 2013).

Dengan ditemukannya tahu berformalin tersebut, hal ini juga menunjukkan bahwa terjadi pelanggaran terhadap keamanan konsumen. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat sepanjang tahun 2012 terdapat 620 kasus permasalahan konsumen. Kasus permasalahan konsumen juga masih terjadi hingga tahun 2013 dengan ditemukannya makanan berformalin seperti tahu berformalin (Purbolaksono, dkk, 2014). Hal tersebut tidak hanya merugikan keselamatan konsumen, namun juga merugikan konsumen secara finansial. Padahal pemerintah telah mengatur hak konsumen mendapatkan makanan yang aman serta hak dan kewajiban pelaku usaha dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen (Padmono, 2014).

Dalam penjualan tahu berformalin terdapat faktor perilaku penjual tahu yang dapat mempengaruhi masih adanya tahu berformalin di pasaran. Faktor perilaku tersebut ditentukan oleh 3 faktor utama yakni faktor predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor penguat. Faktor predisposisi merupakan faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang. Faktor predisposisi antara lain pengetahuan dan sikap. Pengetahuan merupakan domain yang sangat


(19)

penting dalam terbentuknya tindakan seseorang. Sedangkan sikap merupakan komponen yang penting dalam melakukan tindakan (Notoatmodjo, 2010).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Habsah (2012), faktor yang terkait penjualan makanan berformalin pada makanan adalah pengetahuan dari pedagang yang menjual makanan tersebut. Kurangnya pengetahuan terkait bahan tambahan pangan (BTP) akan cenderung membuat kebiasaan menjual makanan yang mengandung BTP yang tidak baik. Faktor yang sama juga diteliti oleh Permanasari (2010), didapatkan hasil 56,67% pengetahuan pedagang kurang, 53,33% memiliki sikap negatif, dan 50% terbukti melakukan praktik perdagangan makanan berformalin.

Kemudian pada penelitian Nugrahiningtyas (2010) di pasar tradisional dan supermarket kota Jember menunjukkan bahwa masih minimnya pengetahuan responden terkait tahu berformalin sebesar 60,7% di pasar tradisional dan sebesar 53,6% di supermarket menyebabkan masih ditemukannya penjualan tahu berformalin. Dengan demikian masih minimnya pengetahuan dapat menyebabkan penjualan tahu berformalin masih ada di pasaran.

Mengingat dari hasil studi pendahuluan menunjukkan adanya tahu yang berformalin, maka hal tersebut membuktikan bahwa para penjual tahu masih ada yang menjual tahu yang mengandung formalin. Padahal pemerintah telah melarang formalin sebagai pengawet dalam SNI-01-0222-1995, karena dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan.


(20)

Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai gambaran pengetahuan, sikap, dan perilaku penjual tahu mengenai tahu berformalin di pasar daerah Semanan Jakarta Barat tahun 2015.

1.2. Perumusan Masalah

Formalin adalah pengawet non pangan yang biasa digunakan dalam pengawetan mayat. Pemerintah melarang penggunaan formalin sebagai bahan pengawet pangan sejak tahun 1982 melalui SNI 01-0222-1995 lampiran II, mengingat bahaya serius yang akan dihadapi jika formalin masuk ke dalam tubuh manusia. Resiko kesehatan seperti kerusakan ginjal dapat terjadi secara akumulatif akibat mengkonsumsi formalin sebesar 0,2 mg/kg/day selama 30 tahun (EPA, 1991). Namun kenyataannya makanan yang mengandung formalin masih dijual oleh beberapa pedagang/penjual yang tidak bertanggung jawab.

Berdasarkan operasi pasar oleh BPOM yang dilakukan di Pasar yang ada di DKI Jakarta ditemukan sebesar 77,85% tahu berformalin (BPOM, 2006). Penjualan tahu berformalin juga ditemukan di pasar daerah Semanan-Jakarta Barat. Hal ini dibuktikan dengan hasil studi pendahuluan yakni dari 10 (sepuluh) sampel tahu 8 (delapan) diantaranya mengandung formalin.

Sementara itu, Daerah Semanan-Jakarta Barat merupakan daerah penghasil tahu terbesar di DKI Jakarta (Keteng, 2013). Terdapat 100 pengerajin tahu yang tersebar di 9 pabrik tahu di KOPTI Semanan Jakarta Barat dan 34 penjual tahu yang tersebar di pasar daerah Semanan. Jumlah penjual tersebut lebih banyak jika dibandingkan dengan pasar ciputat


(21)

sebesar 19 penjual tahu dan pasar anyar tangerang sebanyak 17 pedadang tahu (Gatra, 2013).

Mengingat dari hasil studi pendahuluan menunjukkan adanya tahu yang berformalin, maka hal tersebut membuktikan bahwa para penjual tahu masih ada yang menjual tahu yang mengandung formalin dan hal tersebut menunjukkan telah terjadi pelanggaran terhadap keamanan konsumen. Padahal pemerintah telah melarang formalin sebagai pengawet dalam SNI-01-0222-1995, karena dampak negatifnya bagi kesehatan. Disertai dengan penelitian sebelumnya yang juga menunjukkan bahwa keberadaaan tahu berformalin dapat dipengaruhi oleh minimnya pengetahuan dan sikap dari pedagang. Maka perlu dilakukan penelitian terkait gambaran pengetahuan, sikap, dan perilaku penjual tahu mengenai tahu berformalin di Pasar daerah Semanan Jakarta Barat.

1.3. Pertanyaan Penelitian

1) Berapa persentase tahu yang berformalin di pasar daerah Semanan Jakarta Barat?

2) Bagaimana karakteristik penjual tahu di daerah Semanan Jakarta Barat? 3) Bagaimana tingkat pengetahuan penjual tahu di pasar daerah Semanan

Jakarta Barat tentang ciri tahu berformalin, golongan formalin berdasarkan PP, dan dampak formalin yang ada di tahu bagi kesehatan? 4) Bagaimana sikap penjual tahu di pasar daerah Semanan Jakarta Barat


(22)

5) Bagaimana perilaku penjual tahu mengenai tahu formalin di pasar daerah Semanan Kalideres?

1.4. Tujuan

1.4.1.Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pengetahuan, sikap, dan perilaku penjual tahu mengenai tahu berformalin di pasar daerah Semanan Jakarta Barat tahun 2015. 1.4.2.Tujuan Khusus

1) Mengetahui persentase tahu berformalin di jual di pasar daerah Semanan Jakarta Barat tahun 2015.

2) Mengetahui karakteristik penjual tahu di daerah Semanan Jakarta Barat Tahun 2015.

3) Mengetahui tingkat pengetahuan penjual tahu di pasar daerah Semanan Jakarta Barat tentang ciri tahu berformalin, golongan formalin berdasarkan peraturan pemerintah (PP), dan dampak formalin yang ada di tahu bagi kesehatan.

4) Mengetahui sikap penjual tahu terhadap informasi bahaya formalin di pasar daerah Semanan Kalideres.

5) Mengetahui perilaku penjual tahu mengenai tahu formalin di pasar daerah Semanan Kalideres.


(23)

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1.Manfaat Bagi Pemerintah

Sebagai masukan bagi BPOM, Dinkes setempat, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, agar melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap peredaran tahu berformalin secara berkesinambungan .

1.5.2.Manfaat Bagi Lembaga Konsumen

Sebagai masukan dan informasi bagi YLKI demi perlindungan konsumen dari dampak negatif kesehatan akibat tahu berformalin. 1.5.3.Manfaat Bagi Masyarakat

Sebagai informasi bagi masyarakat dalam memilih makanan olahan yang aman untuk dikonsumsi dan lebih cermat dalam memilih tahu yang beredar di pasaran.

1.5.4.Manfaat Bagi Peneliti

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan keterampilan peneliti dalam mengaplikasikan ilmu yang telah di dapat selama pembelajaran di perkuliahan.

1.5.5.Manfaat Bagi FKIK

Sebagai masukan bagi FKIK yang dapat menjadi dasar untuk melakukan advokasi terkait dampak kesehatan bagi masyarakat jika tahu berformalin terus beredar dipasaran.

1.6. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini berjudul “gambaran pengetahuan, sikap, dan perilaku penjual tahu mengenai tahu berformalin di pasar daerah Semanan Jakarta


(24)

Barat tahun 2015”. Subjek penelitian ini adalah pedagang/penjual tahu yang ada di pasar daerah Semanan Jakarta Barat Tahun 2015. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2015 di Pasar Daerah Semanan Jakarta Barat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran pengetahuan, sikap, dan perilaku penjual tahu mengenai tahu berformalin di pasar daerah Semanan Jakarta Barat tahun 2015.

Penelitian ini bersifat deskriptif-kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian ini sebanyak 34 penjual tahu. Total sample (seluruh populasi) diambil sebagai sampel untuk mengantisipasi kehilangan sampel. Sampel tahu diambil secara Accidental Sampling. Pengumpulan data terkait pengetahuan, sikap, dan perilaku menggunakan kuesioner, wawancara, dan observasi. Sedangkan untuk mengetahui tahu tersebut berformalin atau tidak serta untuk membuktikan perilaku menjual tahu berformalin maka dilakukan uji kualitatif menggunakan alat “Food Security Kit Formaldehyde” dari Laboratorium Kesehatan Lingkungan FKIK UIN Jakarta. Kemudian analisis data dilakukan secara univariat.


(25)

11

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tahu

Menurut Suprapti (2005), tahu merupakan salah satu jenis makanan yang dibuat dari kedelai dengan jalan memekarkan protein kedelai dan mencetaknya melalui proses pengendapan protein pada titik isoelektrisnya, dengan atau tanpa penambahan unsur-unsur lain yang diizinkan. Dalam pembuatan tahu harus sesuai dengan syarat dan kualitas yang telah di tetap kan oleh pemerintah.

2.1.1. Syarat Kualitas Tahu

Dalam SNI 01-3142-1998 tentang tahu, tidak disebutkan tentang syarat mutu formalin pada tahu. Hal tersebut dikarena formalin dilarang ada dalam makanan apapun termasuk tahu, larangan tersebut telah disebutkan dalam SNI-01-0222-1995 tentang bahan tambahan makanan Lampiran II.

Tujuan penggunaan bahan tambahan kimia dalam proses pengolahan atau pengawetan makanan adalah untuk meningkatkan kualitas makanan yang dihasilkan. Dalam hal ini terkait dengan pembuatan tahu, digunakan beberapa macam bahan tambahan kimia berikut (Suprapti, 2005):


(26)

a. Bahan penggumpal

Ada tiga jenis bahan kimia yang berfungsi sebagai bahan penggumpal protein pada proses pembuatan tahu. Ketiga jenis bahan tambahan kimia tersebut adalah sebagai berikut:

1) Asam Cuka (CH3COOH)

Asam cuka atau asam asetat yang terdapat di pasaran merupakan asam asetat dalam kondisi pekat.

2) Batu Tahu (CaSO4)

Agar dapat digunakan sebagai bahan penggumpal, batu tahu yang semula mirip dengan pecahan kaca harus dibakar terlebih dahulu dengan waktu yang tidak terlalu lama hingga hancur menjadi bubuk putih (tepung gips).

3) Cairan Sisa (Whey)

Cairan whey dapat digunakan lagi sebagai bahan penggumpal dalam proses penggumpalan selanjutnya.

b. Bahan pelunak kedelai

Dapat menggunakan soda abu yang dicampurkan ke dalam air rendaman kedelai dengan dosis 0,3 gram/ 10 liter dari air rendaman. Disamping itu, dapat digunakan pula soda kue dengan dosis 0,5 gram/10 liter air rendaman.

c. Bahan Pewarna

Produk tahu biasanya berwarna kuning. Pewarna kuning dapat menggunakan pewarna alami atau pewarna buatan/sintetik


(27)

makanan yang diizinkan penggunaannya. Pewarna alami yakni kunyit/kunir (turmeric).

d. Bahan Pengawet

Bahan kimia pengawet tahu yang dapat digunakan, salah satunya sebagai berikut:

1) Natrium (sodium) benzoat, dengan dosis 0,1%

2) Nipagin (para amino benzoic acid/ PABA), dengan dosis 0,08%.

3) Asam propionat, dengan dosis 0,3% 4) Garam (NaCl), dengan dosis 2,5%. e. Flavor Sintesis

Flavour digunakan untuk memperbaiki cita rasa tahu, flavor ayam atau daging biasanya ditambahkan dalam proses pembuatan tahu. Penggunaannya sebanyak 5% dari bakal tahu yang akan digunakan (Suprapti, 2005).

2.1.2. Jenis Tahu

Dengan berbagai variasi, bentuk dan nama tahu di perdagangkan di pasaran. Berdasarkan variasi tampilannya, tahu dibedakan menjadi 3 jenis yakni:

a. Tahu Putih

Tahu putih atau tahu cina, berwarna putih dan bertekstur lembut. Teksturnya lebih padat, halus, kenyal, mudah hancur dibandingkan tahu lain. Ukurannya sekitar 12cm x 12cm x 8cm.


(28)

Ukuran dan bobot tahu relatif seragam karena proses pembuatannya dicetak dan dipres dengan mesin. Dalam pemuatannya, digunakan sioko (kalsium sulfat) sebagai bahan penggumpal protein sari kedelainya (Saragih dan Sarwono, 2003). b. Tahu Kuning

Tahu kuning biasanya adalah tahu bandung. Warna kuning dari tahu ini berasal dari kunyit. Berbentuknya persegi (kotak), tekstur agak keras dan kenyal, warna kuning karena sebelumnya telah direndam air kunyit. Tahu digoreng dengan mengoleskan sedikit minyak di wajan. Tahu ini lebih enak dikonsumsi dengan lalap cabai rawit (Saragih dan Sarwono, 2003).

Namun ada juga tahu kuning mirip tahu cina, yang sudah di potong kecil atau sebagian orang menyebutnya tahu serpong. Bentuknya tipis dan lebar. Warna kuning disebabkan sepuhan atau larutan sari kunyit. Tahu ini banyak digunakan dalam masakan cina (Saragih dan Sarwono, 2003).

c. Tahu Coklat

Tahu coklat biasanya disebut juga tahu kulit. Tahu ini sudah digoreng terlebih dahulu sehingga warnanya cokelat dan bagian luarnya seperti kulit. Setelah di goreng biasanya tahu ini direndam dalam air. Biasa digunakan untuk membuat tahu isi. Bentuknya ada yang segitiga maupun persegi dan ukurannya umumnya berukuran kecil (Saragih dan Sarwono, 2003).


(29)

2.2. Ciri Tahu Mengandung Formalin

Tahu merupakan bahan makanan atau pangan yang sangat mudah rusak sehingga digolongkan sebagai high perishable food. Secara organoleptik tanda-tanda yang dapat digunakan untuk mengetahui telah terjadinya kerusakan tahu antara lain adalah rasa asam, bau masam sampai busuk, permukaan tahu berlendir, tekstur menjadi lunak, kekompakan berkurang, dll (Astawan, 2009).

Karena tahu mudah mengalami kerusakan, maka beberapa produsen yang tidak bertanggung jawab menggunakan formalin sebagai pengawet tahu. Salah satu cara mengidentifikasi tahu berformalin yakni dengan mengetahui ciri-ciri tahu yang mengandung formalin yakni sebagai berikut (BPOM RI, 2006):

a. Tidak rusak sampai 3 hari pada suhu kamar (25C) b. Bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es (10C) c. Tahu terlampu keras namun tidak padat

d. Bau agak menyengat, bau formalin (dengan kandungan formalin 0,5-1 ppm).

2.3. Formalin

2.3.1.Pengertian Formalin

Formalin merupakan suatu zat yang biasanya mengandung 37% formaldehid dalam pelarut air dan mengandung 10% metanol. Katakteristik formalin yakni tidak berwarna, bau yang keras dan mempunyai berat jenis 1,09kg/l dalam suhu 20 derajat Celcius (Sari,


(30)

2008). Senyawa kimia formaldehida (juga disebut metanal, atau formalin), merupakan aldehida dengan rumus kimia H2CO, yang berbentuk gas, atau cair yang dikenal sebagai formalin, atau padatan yang dikenal sebagai paraformaldehyde atau trioxana (Ratnaningtyas, 2012). Paraformaldehid juga digunakan untuk memberi kekuatan terhadap air pada kertas atau kain, dan juga sebagai perekat plywood dan papan kayu yang lain. Paraformaldehid, kadang-kadang mengandung formaldehid bebas. Batas paparan formaldehid 2 ppm, dan dosis fatal formalin 60-90ml (Sartono, 2001).

Formalin merupakan salah satu pengawet non pangan yang sekarang banyak digunakan untuk mengawetkan makanan. Menurut Sartono (2001), formaldehid biasa digunakan sebagai antiseptika, desinfektan, deodoran, dan sebagai larutan untuk membalsem mayat. Formaldehid yang beredar di pasaran mempunyai kadar formaldehid bervariasi antara 20%-40% (Sitiopan, 2012). Dipasaran, formalin dapat diperoleh dalam bentuk sudah diencerkan, yakni dengan kadar formaldehidnya 40, 30, 20, 10 persen serta dalam bentuk tablet yang beratnya masing-masing 5 gram (Cahanar et al, 2006). Alasan penyalahgunaan formalin sebagai pengawet makanan karena harga formalin yang relatif lebih murah yakni berkisar antara Rp. 5000- Rp.7000 per liternya (Saparinto dan Hidayati, 2006). Menurut Hendaryani (2012) harga formalin saat ini sangat murah yakni Rp.8000/liter, sedangkan harga pengawet makanan seperti kitosan cukup mahal yakni Rp.170.000 per kilogram, itulah mengapa


(31)

pedagang makanan yang tidak bertanggung jawab lebih memilih menggunakan formalin dibanding kitosan.

2.3.2.Kegunaan Formalin

Formalin biasa berfungsi sebagai obat untuk pengawet mayat. Namun di masyarakat, formalin digunakan secara luas sebagai obat antiparasit. Formalin efektif digunakan untuk membunuh berbagai macam parasit dan bakteri yang menempel pada ikan hias. Selain itu kadang-kadang formalin yang diencerkan digunakan sebagai desinfektan dipeternakan (Sari, 2008).

Menurut BPOM (2006), formalin digunakan untuk pembunuh kuman sehingga banyak dimanfaatkan sebagai pembersih lantai, kapal, gudang dan pakaian; pembasmi lalat dan berbagai serangga lain; bahan untuk pembuatan sutra buatan, zat pewarna, pembuatan gelas dan bahan peledak; dalam dunia fotografi biasanya digunakan untuk pengeras lapisan gelatin dan kertas; bahan untuk pengawet mayat; bahan pembuatan pupuk lepas lambat (slow- release fertilizer) dalam bentuk urea formaldehid; bahan untuk pembuatan parfum; bahan pengawet produk kosmetika dan pengeras kuku; pencegah korosi untuk sumur minyak; bahan untuk insulasi busa; bahan perekat untuk produk kayu lapis (plywood); dalam konsentrasi yang sangat kecil (< 1%) digunakan sebagai pengawet untuk berbagai produk konsumen seperti pembersih rumah tangga, cairan pencuci piring, pelembut, perawat sepatu, shampo mobil, lilin dan pembersih karpet.


(32)

2.3.3.Akibat Pemaparan Formalin

Formalin merupakan bahan beracun dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Jika kandungannya dalam tubuh tinggi, akan bereaksi secara kimia dengan hampir semua zat di dalam sel sehingga menekan fungsi sel dan menyebabkan kematian sel yang menyebabkan keracunan pada tubuh (Cahanar et al, 2006). Formalin dapat masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi akibat uap formalin, selain itu dapat terserap oleh kulit ataupun secara ingesti (tertelan). Jika sampai tertelan (ingesti) maka orang tersebut harus segera diminumkan banyak air dan segera dimintakan untuk memuntahkan isi lambungnya (Sari, 2008).

Pemajanan formalin ke dalam tubuh dapat terjadi melalui ingesti saat seseorang mengkonsumsi formalin pada makanan. Biasanya terjadi pada makanan-makanan seperti tahu, daging ayam, dan mie basah. Karena komoditas pangan tersebut relatif sering di konsumsi masyarakat namun cepat mengalami pembusukan dan tidak tahan lama sehingga beberapa produsen tidak bertanggung jawab memberi tambahan pengawet formalin (Anwar dan Khomsan, 2009). Padahal seharusnya formalin dilarang digunakan pada makanan mengingat dampak buruk akibat penggunaan dari zat beracun tersebut (Sari, 2008).

Formalin diketahui sebagai zat beracun, yang dapat menyebabkan dampak kesehatan baik secara langsung (akut) maupun akumulatif. Dampak akut dapat muncul ketika seseorang


(33)

mengkonsumsi formalin dengan dosis mulai dari 15 mg/kg/hari, adapun dampak tersebut yakni sakit kepala, radang hidung kronis (rhinitis), mual-mual, (Sari, 2008). Selain itu dapat juga menyebabkan muntah, diare bercampur darah, kencing bercampur darah, bahkan kematian akibat kegagalan peredaran darah (Cahanar et al, 2006). Sedangkan dampak akumulatif berupa kerusakan ginjal dapat terjadi jika terus mengkonsumsi makanan berformalin dengan dosis 0,2mg/kg/hari setiap harinya, dampak tersebut akan terlihat setelah paparan dalam kurun waktu 30 tahun (EPA, 1991).

Konsumsi formalin pada manusia secara ingesti (tertelan) dapat menyebabkan kanker mulut dan tenggorokan. Pada wanita dapat menyebabkan gangguan mentruasi dan infertilitas (kemandulan) (Sari, 2008). Seseorang mungkin hanya mampu bertahan 48 jam setelah mengkonsumsi dosis fatal formalin (60-90ml) (Anwar dan Khomsah, 2008).

Menurut Sartono (2001), keracunan formaldehid juga dapat terjadi melalui inhalasi menyebabkan iritasi pada saluran nafas, selain itu juga merangsang mata. Gejala lain yang dapat timbul pada konsumsi rendah, antara lain edema laring, dan reaksi sensitivitas pada kulit seperti urtikaria. Penelitian pada binatang menunjukkan bahwa formalin dapat menyebabkan kanker kulit dan kanker paru. Formalin juga dapat merusak sistem syaraf tubuh manusia dan dikenal sebagai zat yang bersifat racun untuk persyarafan tubuh kita (neurotoksik), seperti mengakibatkan gangguan persyarafan berupa


(34)

susah tidur, sensitif, mudah lupa, sulit berkonsentrasi. Selain itu, berdasarkan penelitian Heryani, dkk (2011), diketahui bahwa paparan formalin menyebabakan penurunan sel spermatogenik pada mencit. Selain itu pemberian formalin peroral dosis bertingkat selama 12 minggu menyebabkan terjadinya histopatologis gaster tikus wistar. Perubahan yang terlihat berupa deskuamasi epitel, erosi epitel dan ulseri epitel (Katerina, 2012).

Menurut Environmental Protection Agency (EPA, 1991) ambang batas formalin yang boleh masuk ke dalam tubuh (No Observed Adverse Effect Level/ NOAEL) dalam bentuk makanan untuk orang dewasa sebesar 15 mg/kg per hari. Namun berdasarkan uji klinis, dosis toleransi tubuh manusia pada pemakaian terus menerus/ reference dose (RfD) untuk formalin sebesar 0,2 mg/kg/day (EPA, 1991).

Dampak formalin secara inhalasi menurut EPA telah terbukti dapat menimbulkan kanker dalam jangka kurun waktu 70 tahun. Data dosis respon untuk resiko kanker pajanan secara inhalasi menunjukkan bahwa pada dosis 5,6 mg/kg/hari pada manusia dapat menimbulkan insiden kanker pada 2/153 orang sedangkan pada dosis 14,3 mg/kg/hari dapat menimbulkan insiden kanker sebesar 94/140 orang dalam kurun waktu 70 tahun (EPA, 1991).


(35)

2.3.4.Cara Mengidentifikasi Keberadaan Formalin Pada Tahu

Keberadaan formalin pada tahu hanya bisa dibuktikan dengan uji laboratorium. Metode yang dilakukan salah satunya dengan cara pengujian menggunakan food security kit- formaldehyde 1 (dengan meneteskan reagent). Dikatakan positif jika kerta test field berwarna keunguan sedangkan jika negatif tidak berubah warna (Tjiptaningdyah, 2010).

2.4. Konsep Perilaku

Menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2010), perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan serta respon. Perilaku dilihat dari aspek biologis merupakan kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Perilaku merupakan tindakan suatu organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari.

Menurut Notoadmodjo (2012), pada dasarnya bentuk perilaku dapat diamati melalui sikap dan tindakan. Namun tidak berarti bentuk perilaku hanya dapat dilihat dari sikap dan tindakan saja. Perilaku bisa saja bersifat potensial yaitu dari bentuk penelitian, motivasi dan persepsi. Pada pelaksanaannya perilaku dapat diartikan sebagai suatu respon seseorang terhadap rangsangan dari luar subjek. Respon ini berbentuk tindakan. Selanjutnya, berbentuk perilaku aktif yakni tindakan yang dapat diobservasi secara langsung dengan mata, sedangkan yang pasif yaitu yang terjadi di dalam diri manusia seperti berfikir, tanggapan atau sikap batin dan


(36)

pengetahuan. Adapun bentuk operasional dari perilaku dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu:

1. Perilaku dalam bentuk pengetahuan yaitu dengan mengetahui situasi rangsangan dari luar berupa segala hal dan kondisi baru yang perlu diketahui dan dikuasai dirinya.

2. Perilaku dalam bentuk sikap yaitu tanggapan batin terhadap keadaan atau rangsangan dari luar atau lingkungan dari subyek yang terdiri dari: a. Lingkungan fisik yaitu lingkungan alam sehingga alam itu sendiri

akan membentuk perilaku manusia yang hidup di dalamnya sesuai dengan sikap dan keadaan lingkungan tersebut

b. Lingkungan sosial budaya (non-fisik) mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembentukan perilaku manusia, lingkungan ini adalah keadaan masyarakat yang segala budidayanya dimana manusia itu lahir dan mengembangkan perilakunya.

3. Perilaku dalam bentuk tindakan yang sudah konkrit yakni berupa tindakan (action) terhadap suatu rangsangan dari luar (Notoatmodjo, 2007).

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden (Notoatmodjo, 2007).


(37)

2.5. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku

Perilaku seseorang dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor-faktor baik dari dalam maupun dari luar subjek. Faktor yang menentukan perilaku disebut determinan. Menurut Green (1991), kesehatan individu/masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok yakni faktor perilaku dan faktor di luar perilaku (non-perilaku).

Selanjutnya Lawrence Green (1991) menganalisis, bahwa faktor perilaku sendiri ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu:

1) Faktor-faktor predisposisi (disposing factors)

Faktor-faktor predisposisi yaitu faktor-faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan sebagainya.

2) Faktor-faktor pemungkin (enabling factors)

Faktor-faktor pemungkin adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang dimaksud dengan faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan.

3) Faktor-faktor penguat (reinforcing factors)

Faktor-faktor penguat adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Kadang-kadang meskipun orang tahu dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya. Contohnya sikap dan perilaku petugas dan tokoh masyarakat.

Menurut Notoatmodjo (2007), upaya peraturan pemerintah termasuk dalam kategori Enforcement (tekanan) yang bertujuan untuk mengubah


(38)

perilaku masyarakat agar berperilaku sehat dengan cara tekanan melalui UU, PP, dan Intruksi pemerintah. Biasanya upaya dengan pendekatan tersebut lebih cepat mengubah perilaku namun tidak langgeng (sustainable), karena perubahan perilaku yang dihasilkan dengan cara ini tidak didasari oleh pengertian dan kesadaran yang tinggi terhadap tujuan perilaku tersebut.

Dalam terjadinya perubahan perilaku, dapat dipengaruhi oleh penyuluhan dengan komunikasi dua arah. Komunikasi persuasi dua arah dalam penyuluhan kesehatan dibutuhkan guna mengubah pengetahuan, sikap dan perilaku kesehatan secara langsung terkait rantai kausal yang sama (Mc guire dalam Fitriani, 2011).

2.6. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors) 2.6.1. Pengetahuan

2.6.1.1. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu (Sunaryo, 2004). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Bloom dalam Notoadmodjo (2010), menurutnya pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dsb). Dengan sendirinya, saat penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata).


(39)

Menurut Mubarak (2007), pengetahuan itu sendiri dapat dipengaruhi oleh faktor pendidikan formal. Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka seseorang akan semakin luas pengetahuannya. Akan tetapi bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah akan mutlak memiliki pengetahuan rendah, sebab pengetahuan tidak mutlak diperoleh melalui pendidikan formal saja melainkan dapat di peroleh melalui pendidikan non formal atau hasil penginderaan terhadap informasi yang berasal dari media massa.

Televisi merupakan salah satu media massa yang menyajikan pesan-pesan pembelajaran secara audio visual dengan disertai unsur gerak. Televisi tergolong ke dalam media massa. Kelebihan televisi salah satunya adalah medium yang menarik, modern, menyajikan informasi visual dan lisan secara simultan yang mudah diterima panca indera, serta sifatnya langsung dan nyata. Namun televisi memiliki kelemahan yakni sifat komunikasinya hanya satu arah, sehingga kurang efektif untuk penyuluhan yang membutuhkan pendekatan mendalam kepada responden (Mubarak, dkk, 2007)

Pengetahuan mengenai suatu objek juga dapat berasal dari lama pengalaman yang terkait objek tersebut. Semakin lama pengalaman atau kejadian yang dialami oleh seseorang maka akan semakin banyak pengalaman yang didapatkannya, sehingga pengetahuannya bertambah (Mubarak, dkk, 2007).


(40)

Menurut Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2007), sebelum orang mengadopsi perilaku baru, dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni:

1) Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

2) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini sikap subjek sudah mulai timbul.

3) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

4) Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.

5) Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Faktor yang menjadi penentu pengetahuan seseorang selain pendidikan adalah usia. Dengan bertambahnya usia seseorang maka akan terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis (mental). Pertumbuhan pada aspek fisik mematangkan perkembangan organ sedangkan aspek psikologis atau mental mempengaruhi taraf berfikir seseorang sehingga semakin dewasa dan matang. Namun, dengan meningkatnya usia, maka kemampuan otak untuk menangkap pengetahuan akan semakin menurun (Mubarak, dkk, 2007).

Menurut Notoatmodjo (2010), pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan


(41)

seseorang (overt behaviour). Dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih melekat dari pada perilaku yang tidak didasari pengetahuan. Pengetahuan yang cukup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yaitu:

1) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai recall atau mengingat memori yang sebelumnya telah diamati. Untuk mengetahui atau mengukur bahwa orang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan. Ketidaktahuan masyarakat tentang formalin dapat diketahui apabila mengkonsumsi makanan yang mengandung formalin.

2) Memahami (comprehension)

Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi harus dapat menginterpretasikan secara benar objek yang diketahui tersebut. Seseorang dinyatakan telah memahami formalin apabila dapat menjelaskan secara lengkap meliputi bahan kandungan, kerugian akibat mengkonsumsi makanan berformalin dan lainnya.

3) Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan apabila orang telah memahami objek dapat mengaplikasikan prinsip yang diketahuinya tersebut pada situasi lain. Seseorang anggota masyarakat pada tingkat aplikasi dapat menerapkan teori dengan memperhatikan dan tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung formalin.


(42)

Analisis merupakan kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai tingkat analisis adalah jika orang tersebut telah dapat membedakan, memisahkan, mengelompokkan, membuat bagan terhadap pengetahuan atas objek tersebut. Kemampuan masyarakat dalam menganalisis keberadaan formalin, kerugian dan akibat dalam mengkonsumsinya.

5) Sintesis (syntesis)

Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain seseorang mampu menyusun formulasi baru dari formulasi yang telah ada. Seseorang pada tingkatan ini diharapkan mampu menghubungkan teori tentang kerugian dalam penggunaan formalin bagi kesehatan.

6) Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dalam tingkat ini seseorang dapat melakukan penilaian terhadap keberadaan


(43)

dan pemakaian formalin dalam makanan kemudian tidak mengkonsumsinya (Notoatmodjo, 2010).

Kemudian, untuk meningkatkan pengetahuan diperlukan penyuluhan kesehatan dalam upaya menjembatani adanya kesadaran perilaku tidak menjual tahu berformalin dengan pemberian dan peningkatan pengetahuan masyarakat di bidang kesehatan. Dengan adanya penyuluhan kesehatan diharapkan responden dapat memiliki tanggung jawab yang lebih besar pada kesehatan dan, keselamatan lingkungan dan masyarakatnya, khususnya keamanan pangan terkait makanan berformalin (Mubarak, dkk, 2007).

Menurut Fitriani (2011), penyuluhan kesehatan yang berisi promosi dan pendidikan kesehatan sangat berperan dalam peningkatan pengetahuan mengenai dampak akibat formalin tersebut. Penggunaan media seperti video perjalanan dari pemaparan awal formalin hingga terjadinya penyakit serta target organ dari formalin dapat membantu menjelaskan betapa bahayanya formalin pada makanan jika terus dikonsumsi.

Berdasarkan hasil penelitian Permanasari (2010) tentang hubungan pengetahuan dan sikap pedagang dengan praktik penggunaan formalin pada produk ikan basah di Yogyakarta, menunjukkan bahwa sebagian besar pedagang memiliki pengetahuan kurang yakni sebesar 56,67%, melakukan praktik perdagangan makanan berformalin sebesar 50%. Selain itu, berdasarkan penelitian Habibah (2013) di Semarang, menyatakan bahwa pengetahuan pedagang tentang bahan tambahan makanan dan


(44)

formalin pada jenis makanan ikan asin masih kurang yakni sebesar 81,1%, kemudian sebesar 21,9% sampel yang diuji positif mengandung formalin.

2.6.1.2. Cara Menilai Pengetahuan

Cara untuk mengukur pengetahuan seseorang dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung (wawancara) atau melalui pertanyaan-pertanyaan tertulis atau angket dan kuesioner. Indikator pengetahuan kesehatan seseorang adalah “tingginya pengetahuan” responden tentang kesehatan, atau besarnya persentase kelompok responden tentang variabel-variabel atau komponen-komponen kesehatann (Notoatmodjo, 2010).

Dalam hal ini pengukuran pengetahuan menggunakan kuesioner, dengan penilaiannya menggunaan skor. Setiap jawaban benar dari item pertanyaan pengetahuan diberikan skor 1 dan bila salah diberi skor 0, sehingga setiap pedagang tahu mempunyai total skor pengetahuan yang kemudian dilakukan perhitungan proporsi benar yang dinyatakan dalam persentase (%).

Kriteria pengetahuan menurut Wijaya et al (2013) dengan kategori sebagai berikut:

1) Tinggi : Jika nilai lebih besar dari pada mean apabila berdistribusi normal. Jika tidak berdistribusi normal maka nilai lebih besar dari pada median.


(45)

2) Rendah : Jika nilai lebih rendah dari pada mean apabila berdistribusi normal. Jika tidak berdistribusi normal maka nilai lebih rendah dari pada median.

2.6.2. Sikap

2.6.2.1. Definisi Sikap

Menurut Koentjaraningrat dalam Maulana (2009) sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan. Sikap merupakan kecenderungan yang berasal dari dalam diri individu untuk berkelakukan dengan pola-pola tertentu, terhadap suatu objek akibat pendirian dan perasaan terhadap objek tersebut. Sedangkan menurut Notoadmodjo (2010), sikap juga merupakan respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dsb).

Menurut Zuriah (2006), sikap dikategorikan menjadi sikap positif dan sikap negatif, yakni sebagai berikut:

a. Sikap positif merupakan kecenderungan tindakan yang mendekati, menenangi, menghadapkan objek tertentu yang baik.

b. Sikap negatif merupakan kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai objek tertentu yang baik.

Secara ringkas, sikap positif artinya perilaku baik yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang berlaku dalam


(46)

masyarakat. Sedangkan sikap negatif adalah sikap yang tidak seseuai dengan nilai dan norma-norma kehidupan yang berlaku dalam masyarakat atau bahkan bertentangan (Purwanto, 1998).

Menurut Allport dalam Notoatmodjo (2010), sikap terdiri dari 3 komponen pokok, yaitu:

a. Kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap objek. Artinya, bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek.

b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek. Artinya, bagaimana penilaian (terkandung di dalamnya faktor emosi) orang tersebut terhadap objek.

c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)

Artinya, sikap adalah merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap adalah ancang-ancang untuk bertindak atau perilaku terbuka (tindakan)

Menurut Waluyo (2000), sikap juga terbentuk dari 3 komponen yakni komponen afektif (perasaan), kognitif (pemikiran), dan perilaku. Seperti halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkatan berdasarkan intensitasnya (Notoatmodjo, 2007), yakni sebagai berikut:

a. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari kesadaran dan perhatioan orang itu terhadap ceramah-ceramah tentang gizi terutama mengenai makanan berformalin.


(47)

b. Menanggapi atau merespon (responding)

Menanggapi yakni memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan. Karena ada usaha untuk mengerjakan tugas yang diberikan atau menjawab pertanyaan tersebut. Misalnya sikap seseorang menyikapi dan menanggapi tentang pemakaian formalin pada tahu.

c. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap. Misalnya seseorang pedagang tahu mengajak pedagang tahu lainnya (tetangganya) untuk mengikuti ceramah dan mendengarkan atau mendiskusikan tentang keamanan pangan. Hal ini adalah suatu bukti bahwa pedagang tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap kemanan pangan terutama pengawet makanan.

d. Bertanggung Jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Misalnya seseorang pedagang tahu mau menjadi akseptor dalam penjualan tahu berformalin, meskipun mendapat tantangan dari orang lain (Notoatmodjo, 2007).

Berdasarkan hasil penelitian Permanasari (2010) tentang hubungan pengetahuan dan sikap pedagang dengan praktik penggunaan formalin pada produk ikan basah di Yogyakarta, menunjukkan bahwa sebagian besar pedagang memiliki sikap kurang yakni sebesar 53,33%, melakukan praktik perdagangan makanan berformalin sebesar 50%. Kemudian, penelitian


(48)

Habibah (2013) di Semarang, menyatakan bahwa masih terdapat penjual yang memiliki sikap negatif terhadap penggunaan formalin pada makanan yakni sebanyak 1 orang sedangkan yang memiliki sikap positif sebanyak 7 orang, kemudian sebesar 21,9% sampel yang diuji positif mengandung formalin.

2.6.2.2. Cara Menilai Sikap

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Pengukuran sikap secara langsung dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang stimulus atau objek yang bersangkutan. Pertanyaan secara langsung dapat dilakukan dengan cara memberikan pendapat dengan menggunakan kata “setuju” dan “tidak setuju” terhadap pertanyaan-pertanyaan mengenai objek tertentu. Namun menurut skala Lickert, penilaian sikap terbagi mejadi 5 kategori: sangat setuju; setuju; ragu-ragu; tidak setuju; sangat tidak setuju, kemudian untuk keperluan analisis diberi skor (Sugiyono, 2009).

Adapun teknik perhitungan hasil skala lickert pada instrument kuesioner atau angket, dapat dengan menganalisis data interval dengan menghirung rata-rata jawaban berdasarkan skoring setiap jawaban responden. Misalnya instrument itu diberikan kepada 100 orang karyawan yang diambil sampel. Dari 100 orang tersebut setelah dilakukan analisis pada salah satu pernyataan misalnya:

Jumlah skor untuk 25 orang menjawab SS = 25x5 =125 Jumlah skor untuk 40 orang menjawab ST = 40x4 =160


(49)

Jumlah skor untuk 5 orang menjawab RG = 5x 3 = 15 Jumlah skor untuk 20 orang menjawab TS = 20x1 =20 Jumlah skor untuk 10 orang menjawab STS = 10x1 =10

Jumlah total = 350

Jumlah skor ideal (kriterium) untuk seluruh item adalah 5x 100 = 500 (seandainya semua menjawab SS). Jumlah skor yang diperoleh penelitian = 350. Jadi berdasarkan data itu maka tingkat persetujuan terhadap pernyataan tersebut = (350:500)x 70% dari yang diharapkan (100%).

Namun, secara kontinum dapat juga digambarkan sebagai berikut:

STS TS RG ST SS

100 200 300 350 400 500

Jadi berdasarkan data yang diperoleh dari 100 responden maka rata-rata 350 terletak pada daerah setuju.

Cara pengukuran sikap selain menggunakan skala lickert adalah dengan pengkategorian antara positif dan negatif. Positif jika jumlah jawaban benar lebih dari setengah jumlah soal mengenai sikap, sedangkan negatif jika jawaban benar kurang dari setengah jumlah soal mengenai sikap (Habibah, 2013).


(50)

2.6.3. Persepsi

2.6.3.1. Definisi Persepsi

Perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui melalui persepsi. Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda, meskipun mengamati terdahap objek yang sama (Notoatmodjo, 2007). Pepsepsi merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali dengan proses penginderaan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh alat indra, kemudian individu ada perhatian, lalu diteruskan ke otak dan baru kemudian individu menyadari tentang sesuatu yang dinamakan persepsi. Dengan persepsi individu menyadari dapat mengerti tentang keadaan lingkungan yang ada disekitarnya maupun tentang hal yang ada dalam diri individu yang bersangkutan (Sunaryo, 2004).

Menurut Sunaryo (2004), syarat-syarat terjadinya persepsi adalah sebagai berikut:

a. Adanya objek yang dipersepsi

b. Adanya perhatian yang merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam mengadakan persepsi

c. Adanya alat indera/ reseptor yaitu alat untuk menerima stimulus d. Saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak, yang

kemudian sebagai alat untuk mengadakan respon.

Selain itu, menurut Thoha (2003) proses terbentuknya persepsi didasari pada beberapa tahapan, yaitu:


(51)

Terjadinya persepsi diawali ketika seseorang dihadapkan pada suatu rangsangan yang hadir dari lingkungannya.

b. Registrasi

Dalam proses registrasi, suatu gejala yang nampak adalah mekanisme fisik yang berupa penginderaan dan syarat seseorang berpengaruh melalui alat indera yang dimilikinya. Seseorang dapat mendengarkan atau melihat informasi yang terkirim padanya, kemudian mendatar semua informasi yang terkirim kepadanya. c. Interpretasi

Interpretasi merupakan suatu aspek kognitif dari persepsi yang sangat penting yaitu proses memberikan arti kepada stimulus yang diterimanya. Proses interpretasi tersebut tergantung pada cara pendalaman, motivasi, dan kepribadian seseorang.

Dalam proses persepsi terdapat 3 komponen utama yaitu:

a. Seleksi yakni proses penyaringan oleh indera terhadap rangsagangan dari luar, intensitas dan jenisnya dapat banyak maupun sedikit. b. Interpretasi (penafsiran), yaitu proses mengorganisasikan informasi

sehingga mempunyai arti bagi seseorang. Interpretasi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pengalaman masa lalu, sistem nilai yang dianut, motivasi, kepribadiaan, dan kecerdasan. Interpretasi juga bergantung pada kemampuan seseorang untuk mengadakan pengkategorian informasi yang diterimanya, itu proses mereduksi informasi yang kompleks menjadi sederhana.


(52)

c. Interpretasi dan persepsi kemudian diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku, yang merupakan reaksi yaitu bertindak sehubungan dengan apa yang telah di serap yang terdiri dari reaksi tersembunyi sebagai pendapat/sikap dan reaksi terbuka sebagai tindakan yang nyata sehubungan dengan tindakan yang tersembunyi (pembentukan kesan) (Sobur, 2009).

Sama halnya dengan pengukuran sikap, pengukuran persepsi dapat menggunakan skala likert (Notoatmodjo, 2010). Namun menurut Sugiyono (2009), pengukuran persepsi dengan skala Likert yakni: angat setuju; setuju; ragu-ragu; tidak setuju; sangat tidak setuju.

2.6.4. Nilai

Nilai dapat diartikan sebagai hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan (Poewadarminta, 1984 dalam Hidayat, 2007). Nilai merupakan padanan kata dalam bahasa inggris yakni “value”. Sedangkan value sendiri artinya “quality of being useful or desireable” (Hornby, 1982 dalam Hidayat, 2007). Light, Keller & Calhoun (1989) dalam Hakim (2012) memberikan batasan nilai sebagai berikut : “Value is general idea that people share about what is good or bad, desirable or undesirable. Value transcend any one particular situation. ... Value people hold tend to color their overall way of life”. (Nilai merupakan gagasan umum orang -orang, yang berbicara seputar apa yang baik atau buruk, yang diharapkan atau yang tidak diharapkan. Nilai mewarnai pikiran seseorang dalam


(53)

situasi tertentu. ....Nilai yang dianut cenderung mewarnai keseluruhan hidup mereka) (Hakim, 2012).

Nilai tak hanya dijadikan rujukan untuk bersikap dan berbuat dalam masyarakat, tetapi juga dijadikan sebagai ukuran benar tidaknya suatu fenomena perbuatan dalam masyarakat itu sendiri. Apabila ada suatu fenomena sosial yang bertentangan dengan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat, maka perbuatan tersebut dinyatakan bertentangan dengan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat, dan akan mendapatkan penolakan dari masyarakat tersebut (Hakim, 2012). Nilai yang berlaku di dalam masyarakat berpengaruh terhadap perilaku kesehatan. Nilai-nilai tersebut, ada yang menunjang dan ada yang merugikan kesehatan (Notoatmodjo, 2010).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan sesuatu yang diyakini kebenarannya dan dianut serta dijadikan sebagai acuan dasar individu dan masyarakat dalam menentukan sesuatu yang dipandang baik, benar, bernilai maupun berharga. Nilai merupakan bagian dari kepribadian individu yang berpengaruh terhadap pemilihan cara maupun tujuan tindakan dari beberapa alternatif serta mengarahkan kepada tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai merupakan daya pendorong dalam hidup, yang memberi makna dan pengabsahan pada tindakan seseorang. Oleh karena itu, nilai dalam setiap individu dapat mewarnai kepribadian kelompok atau kepribadian bangsa (Hakim, 2012).

Nilai terbagi menjadi beberapa jenis salah satunya yakni nilai keagamaan, nilai keagamaan ini terkait dengan nilai-nilai ibadah yang di


(54)

dalamnya mengajarkan pada manusia agar dalam setiap perbuatannya senantiasa dilandasi hati yang ikhlas guna mencapai ridha Allah. Pengalaman konsep nilai-nilai ibadah akan melahirkan manusia-manusia yang adil, jujur, dan suka membantu sesamanya (Hakim, 2012).

Nilai-nilai keagamaan terkait perilaku menjual tahu berformalin yakni terkait kejujuran dari si penjual tahu dalam menjual tahu berformalin atau tidak. Jika nilai keagamaannya tinggi, maka apabila si penjual tersebut mengetahui bahwa tahu yang akan dijualnya mengandung formalin dan berbahaya bagi kesehatan, dia tidak akan menjual tahu berformalin karena takut dengan perbuatan yang tidak jujur dan takut tidak mendapat ridha Allah (Hakim, 2012).

2.7. Fakor Pemungkin (Enabling Factors) 2.7.1. Ketersediaan Fasilitas dan SDM

Ketersediaan fasilitas adalah salah satu faktor pemungkin perilaku yang mendukung suatu motivasi atau aspirasi terlaksana. Misalnya untuk terjadinya perilaku penjualan makanan berformalin selain dari pengetahuan dan sikap juga diperlukan fasilitas toko-toko yang menjual formalin (Notoatmodjo, 2010). Terkait keberadaan formalin pada makanan tersebut, BPOM telah menemukan 20 perusahaan di Jakarta yang diduga menyalahgunakan formalin, Perusahaan tersebut rata-rata memproduksi tidak kurang 4 ribu ton formalin per bulan, yang 1000 ton-nya dijual ke pasar untuk perorangan, toko kimia dan industri (Yunita, 2006).


(55)

Selain itu, diperlukan ketersediaan SDM seperti tenaga kesehatan untuk melakukan pemeriksaan berkala terkait masalah kesehatan termasuk keamanan pangan untuk makanan berformalin yang beredar di masyarakat. Pengetahuan dan sikap saja belum menjamin terjadinya perilaku, masih diperlukan sarana atau fasilitas untuk memungkinkan atau mendukung perilaku tersebut (Notoatmodjo, 2010). Ketersediaan dan kecukupan sumber daya merupakan faktor penentu yang penting dalam mekanisme pengawasan dan pengendalian. Semakin kecil sumber daya maka akan semakin sulit melaksanakan kegigatan pengawasan dan pengendalian terutama terkait penyalagunaan formalin (Hartati, 2007).

2.7.2. Keterampilan Petugas

Keterampilan adalah kemampuan praktis untuk mengaplikasikan pengetahuan teoritis dalam situasi tertentu. Proses perubahan pada keterampilan seseorang melibatkan hal-hal seperti persepsi, kesiapan, respon terpimpin, mekanisme, respons yang tampak komplek, penyesuaian dan penciptaan. Keterampilan petugas dalam hal ini terkait dengan keterampilan mendeteksi kandungan formalin yang ada di dalam makanan seperti tahu. Keterampilan dapat terus meningkat apabila suatu kegiatan tersebut dilakukan berulang-ulang sebagian petugas kesehatan memiliki kemampuan yang baik dalam mendeteksi kandungan formalin pada makanan karena mereka dituntut untuk dapat melakukan pengawasan keamanan pangan untuk masyarakat (Notoatmodjo, 2010). Keterampilan petugas mendeteksi formalin telah dibuktikan dengan terdeteksinya


(56)

kandungan formalin pada saat dilakukan operasi pasar. BPOM (2006) melalui operasi pasar menemukan 77,85% tahu mengandung formalin.

Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Hartati (2007), menunjukkan bahwa keterampilan untuk mendeteksi formalin pada makanan sangat penting dan sangat dipengaruhi oleh pelatihan untuk keterampilan tersebut. Diketahui bahwa petugas pengawasan formalin telah mendapatkan pelatihan untuk dapat menjalankan tugas tersebut. Namun petugas dengan latar belakang pendidikan sanitasi merasa perlu pelatihan khusus untuk melakukan pengawasan dan pengendalian formalin. Hal tersebut penting karena berpengaruh terhadap kinerja petugas wasdal sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya. Sanitarian yang tidak pernah mengikuti pelatihan cenderung menampilkan kinerja butuk 2,1 kali lebih besar dari pada yang pernah mengikuti pelatihan (Hartati, 2007).

2.7.3. Komitmen Pemerintah

Komitmen pemerintah dalam hal ini yakni dengan dukungan pemerintah dalam pembuatan kebijakan terkait penggunaan formalin. Kebijakan tersebut tertuang dalam Permenkes nomor 472/Menkes/Per/V/1996 tentang Pengamanan Bahan Berbahaya Bagi Kesehatan, kemudian pada Permenkes Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 yakni larangan penggunaan bahan kimia berbahaya seperti formalin dalam makanan (BPOM, 2006). Selain itu Kepmen Perindustrian dan Perdagangan nomor 254/MPP/Kep/7/2000 tentang tata cara perniagaan formalin.


(57)

Komitmen pemerintah juga terlihat dengan diadakannya operasi pasar melalui BPOM.

Selain itu, Menteri Perdagangan (Permendag) No. 08/M-DAG/PER/3/2006 membuat peraturan tentang distribusi dan pengawasan bahan berbahaya. Impor zat formalin hanya dapat dilakukan oleh para importir produsen yang diakui Dirjen Perdagangan Luar Negeri. Menurut Menteri Perindustrian, ada empat langkah yang akan dilakukan pemerintah berhubungan dengan penyalahgunaan formalin yaitu: pertama, penyuluhan pada masyarakat, produsen khususnya UKM, dan produsen besar pemakai formalin. Kedua, pengawasan peredaran, produksi yang ditujukan kepada produsen dan importir. Ketiga, tindakan hukum terhadap para pelanggar. Keempat, melindungi industri kecil menengah dari penyalahgunaan zat berbahaya bukan hanya formalin (Tjahajana, 2006).

2.8. Faktor Penguat (Reinforcing Factor) 2.8.1. Teman Pedagang

Teman terkadang menjadi bagian penting dari faktor-faktor yang memperkuat terjadinya perilaku. Kadang-kadang meskipun seseorang tahu dan mampu melakukan perilaku sehat, tetapi tidak melakukannya. Hal yang sama juga terjadi pada perilaku penjualan tahu berformalin, kadang-kadang meskipun pedagang mengetahui dan mampu melakukan perilaku menjual tahu berformalin, tetapi tidak melakukannya karena teman pedagang yang lain tidak menjual tahu berformalin (Notoatmodjo, 2010).


(58)

2.8.2. Akses ke Produsen

Akses ke produsen terkait dengan akses geografis dan juga akses sosial. Akses geografis yakni jarak dan waktu ke lokasi layanan. Dalam hal ini, akses geografis yakni jarak dan waktu ke produsen tahu. Sedangkan akses sosial mengandung 2 pengertian yaitu yang bisa diterima dan bisa dijangkau. Akses yang mudah diterima lebih mengarah pada faktor psikologis, sosial budaya, sedangkan yang lebih mudah dijangkau lebih kearah finansial dan ekonomi (Nurwening, 2012).

2.8.3. Keluarga

Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama atau yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adaptasi dan kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, dan emosional serta sosial individu yang ada di dalamnya, dilihat dari interaksi yang reguler dan ditandai dengan adanya ketergantungan dan hubungan untuk mencapai tujuan umum (Suprajitno, 2004).

Dalam hal ini keluarga sangat berfungsi karena dapat memberikan dukungan. Adapun dukungan keluarga dapat berupa dukungan emosional yaitu perasaan subjek bahwa lingkungan memperhatikan dan memahami kondisi emosional. Orang yang menerima dukungan sosial semacam ini merasa tentram, aman damai yang ditunjukkan dengan sikap tenang dan berbahagia. Dalam hal ini yakni dukungan keluarga yang bermanfaat secara emosional dan memberikan pengaruh positif untuk jujur dalam


(59)

mencari nafkah seperti menjual tahu yang tidak berformalin (Suprajitno, 2004).

2.8.4. Pengawasan Petugas Kesehatan

Sebagaimana diketahui bahwa faktor penguat merupakan faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Maka dalam hal ini, terjadinya perilaku menjual tahu berformalin dapat dipengaruhi oleh ada tidaknya pengawasan dari petugas kesehatan terkait peredaran makanan berformalin dipasaran. Dari penelitian sebelumnya yang dilakukan di kabupaten Tangerang oleh Hartati (2007), menyatakan bahwa peran dinas kesehatan sangat penting khususnya dalam pengawasan dan pengendalian penggunaan bahan B3 salah satunya formalin. Formalin dapat menjadi masalah jika disalahgunakan menjadi bahan pengawet makanan sebab dapat berbahaya bagi kesehatan. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa secara umum sumber daya pengawasan dan pengendalian penggunaan formalin masih terbatas sehingga berimplikasi pada pelaksanakan wasdal (pengawasan dan pengendalian) yang tidak optimal (Hartati, 2007).

Pengawasan dan pengendalian oleh petugas kesehatan terkait penggunaan formalin pada makanan merupakan faktor yang penting karena kebutuhan makanan yang meningkat diikuti dengan kebutuhan teknologi pengawetan makanan yang efisien dan meningkat pula. Tanpa adanya pengawasan oleh petugas kesehatan, industri dan pengolah makanan cenderung menggunakan bahan pengawet yang berbahaya seperti


(60)

formalin. Penggunaan bahan berbahaya tersebut dapat disebabkan oleh ketidaktahuan tentang dampak bahan pengawet dalam bentuk keracunan kronis akibat dosis kecil yang kumulatif atau keracunan akut dalam dosis besar (Hartati, 2007).

2.9. Kerangka Teori

Mengacu pada tinjauan pustaka diatas, maka kerangka teori dalam penelitian ini adalah:

Bagan 2.1. Kerangka Teori

Sumber: Lawrence W. Green (1991). Health Education Planning, A Diagnostic Approach, Permanasari (2010), dan Habibah (2013)

Fakor Predisposisi (disposing factors): 1. Pengetahuan

2. Sikap 3. Persepsi 4. Nilai

Fakor Pemungkin (enabling factors): 1. Ketersediaan Fasilitas

2. SDM yang mengawasi 3. Keterampilan petugas 4. Komitmen pemerintah

Fakor Penguat (reinforcing factors): 1. Teman Pedagang

2. Akses ke produsen 3. Keluarga

4. Pengawasan Petugas kesehatan


(1)

B9

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Salah 5 14.7 14.7 14.7

Benar 29 85.3 85.3 100.0

Total 34 100.0 100.0

B10

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Salah 16 47.1 47.1 47.1

Benar 18 52.9 52.9 100.0

Total 34 100.0 100.0

B11 Tanda tahu basi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Salah 17 50.0 50.0 50.0

Benar 17 50.0 50.0 100.0

Total 34 100.0 100.0

B12_Apa_Anda_mengetahui_tahu_yang_dijual_berformalin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak Tahu 30 88.2 88.2 88.2

Ragu-Ragu 4 11.8 11.8 100.0


(2)

Sikap

sikap_positif_negatif

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid negatif 12 35.3 35.3 35.3

positif 22 64.7 64.7 100.0

Total 34 100.0 100.0

C1_Tahu_bergizi_sehat_harga_terjangkau

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid ST 15 44.1 44.1 44.1

SS 19 55.9 55.9 100.0

Total 34 100.0 100.0

C2_Tahu_dibuat_dari_kedelai

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid ST 12 35.3 35.3 35.3

SS 22 64.7 64.7 100.0

Total 34 100.0 100.0

Statistics Total_Sikap

N Valid 34

Missing 0

Mean 40.41

Median 40.00

Minimum 36


(3)

C3_Tahu_makanan_menguntungkan_utk_dijual_karena_banyak_masy_s uka

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid TS 1 2.9 2.9 2.9

RG 1 2.9 2.9 5.9

ST 26 76.5 76.5 82.4

SS 6 17.6 17.6 100.0

Total 34 100.0 100.0

C4_Tahu_dapat_bertahan_kurang_dari_3_hari

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid STS 1 2.9 2.9 2.9

TS 2 5.9 5.9 8.8

RG 2 5.9 5.9 14.7

ST 27 79.4 79.4 94.1

SS 2 5.9 5.9 100.0

Total 34 100.0 100.0

C5_Pengawet_dapat_meningkatkan_kualitas_tahu

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid STS 1 2.9 2.9 2.9

TS 17 50.0 50.0 52.9

RG 6 17.6 17.6 70.6

ST 9 26.5 26.5 97.1

SS 1 2.9 2.9 100.0

Total 34 100.0 100.0

C6_Pengawet_yang_diizinkan_salahsatunya_formalin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid RG 3 8.8 8.8 8.8

TS 25 73.5 73.5 82.4

STS 6 17.6 17.6 100.0


(4)

C7_Penggunaan_formalin_pada_tahu_diperbolehkan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid ST 1 2.9 2.9 2.9

RG 1 2.9 2.9 5.9

TS 23 67.6 67.6 73.5

STS 9 26.5 26.5 100.0

Total 34 100.0 100.0

C8_Tahu_formalin_lebihbagus_kenyal_tidak_masalah_dijual

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid ST 9 26.5 26.5 26.5

TS 18 52.9 52.9 79.4

STS 7 20.6 20.6 100.0

Total 34 100.0 100.0

C9_Formalin_tidak_berbahaya_bagi_kesehatan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid RG 2 5.9 5.9 5.9

TS 20 58.8 58.8 64.7

STS 12 35.3 35.3 100.0

Total 34 100.0 100.0

C10_Tahu_berformalin_baik_untuk_kesehatan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid RG 1 2.9 2.9 2.9

TS 21 61.8 61.8 64.7

STS 12 35.3 35.3 100.0


(5)

Perilaku

Salah_satu_tahu_yg_dijual_mengandung_formalin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak 9 26.5 26.5 26.5

Ya 25 73.5 73.5 100.0

Total 34 100.0 100.0

D1_Apa_tahu_yang_anda_konsumsi_berbeda_dg_yg_dijual

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 6 17.6 17.6 17.6

Tidak 28 82.4 82.4 100.0

Total 34 100.0 100.0

D2_Berasal_dari_mana_tahu_yang_dijual

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Buat Sendiri 3 8.8 8.8 8.8

Dari Supplier 31 91.2 91.2 100.0

Total 34 100.0 100.0

D2B_Kategori_daerah_Suplier

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Kopti Semanan 14 41.2 45.2 45.2

Tangerang 17 50.0 54.8 100.0

Total 31 91.2 100.0

Total 34 100.0

D3_Tahu_yang_dijual_tahan_berapa_hari

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1-2hari 31 91.2 91.2 91.2

lebih dari 2 hari 3 8.8 8.8 100.0

Total 34 100.0 100.0


(6)

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Dikembalikan ke suplier 5 14.7 14.7 14.7

Dibuang 13 38.2 38.2 52.9

Lainnya 15 44.1 44.1 97.1

Tidak Pernah Bersisa 1 2.9 2.9 100.0

Total 34 100.0 100.0

D5_Apa_anda_jual_tahu_karena_ada_teman_yang_ajak

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 12 35.3 35.3 35.3

Tidak 22 64.7 64.7 100.0

Total 34 100.0 100.0

D6_Jika_tahu_ini_berformalin_apa_akan_tetap_dijual

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 8 23.5 23.5 23.5

Tidak 26 76.5 76.5 100.0