tambahan makanan, hal ini juga nantinya terkait pertanyaan sikap C5 terkait pengawet, karena hasil kali lickert menunjukkan kecenderungan sikap
responden ragu terhadap C5.
6.3.2. Pengetahuan Mengenai Ciri Tahu Berformalin
Hasil penelitian terkait item pertanyaan B3 tentang “ciri tahu berformalin” menunjukkan masih ditemukannya pengetahuan yang kurang
karena sebesar 38,2 salah menjawab. Menurut, BPOM RI 2006, ciri-ciri tahu yang mengandung formalin antara lain tidak rusak sampai 3 hari pada
suhu ruangan 25 C dan bertahan lebih dari 15 hari pada lemari es, tahu
telampau keras namun tidak padat, bau agak menyengat. Pengetahun tentang ciri tahu berformalin ini menjadi sangat penting untuk dapat
mencegah penjualan tahu berformalin. Responden mayoritas hanya mengetahui teori tentang ciri-ciri tahunya saja dan belum pernah
membandingkan langsung antara ciri-ciri tahu berformalin dan tidak. Sehingga mereka bingung dalam menjawab dan menyebabkan sebagian
jawaban dari responden salah. Komunikasi persuasi dua arah dalam penyuluhan kesehatan
dibutuhkan guna mengubah pengetahuan, sikap dan perilaku kesehatan secara langsung terkait rantai kausal yang sama Mc guire dalam Fitriani,
2011. Dalam hal ini komunikasi persuasi dua arah perlu dilakukan terhadap responden yang pengetahuannya rendah dan tidak dapat membedakan ciri
tahu berformalin. Hal tersebut bertujuan agar tingkatan pengetahuan responden tentang ciri tahu berformalin sampai pada tingkatan ke 6 yakni
evaluasi evaluation atau berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan penilaian terhadap suatu objek tertentu Notoatmodjo, 2010.
Dengan demikian, maka kemungkinan penjualan tahu berformalin dapat semakin dicegah.
Bagi pembeli maupun peneliti membuktikan ciri-ciri tahu berformalin yang beredar di pasaran tidaklah mudah. Faktanya dilapangan, ciri-ciri tahu
berformalin sulit diketahui jika tahu belum dibeli, sebab sebagian tahu di kemas oleh plastik dan tidak boleh dibuka plastiknya, di tekan atau di
pegang-pegang apalagi dicium baunya sebelum membelinya. Sekalipun ada tahu yang tidak di kemas dengan plastik, dan diizinkan untuk di pegang dan
dicium, terkadang melalui penciuman saja tidak terdeteksi, karena kondisi pasar tradisional terkadang lebih bau sehingga tidak tercium bau menyengat
formalin itu. Penjual tahu juga menuturkan bahwa mereka jarang bahkan tidak pernah mencium salah satu sampel tahu yang dijualnya saat mereka
terima dari produsen. Sehingga dibutuhkan tools atau alat pendeteksi formalin atau uji laboratorium untuk mengetahui ada tidaknya kandungan
formalin. Pengetahuan mengenai ciri tahu berformalin juga dapat berasal dari
pengalaman lama berjualan tahu. Hasil menunjukkan bahwa responden mayoritas berjualan 1-5 tahun dengan persentase sebanyak 52,9. Dengan
demikian, pengalaman dapat dikatakan baru dalam berjualan tahu. Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam
berinteraksi dengan lingkungannya. Ada kecenderungan pengalaman dapat menimbulkan kesan sangat mendalam dan membekas dalam emosi kejiwaan
seseorang dan hal tersebut yang akhirnya dapat membentuk sikap baik positif maupun negatif seseorang. Semakin lama pengalaman atau kejadian
yang dialami oleh seseorang maka akan semakin banyak pengalaman yang didapatkannya Mubarak, dkk, 2007. Namun karena mayoritas responden
dalam penelitian ini belum lama berjualan tahu, kemungkinan pengalaman mereka dalam mendapati tahu yang mengandung formalin cenderung lebih
sedikit dibandingkan dengan yang sudah berpuluh-puluh tahun berjualan tahu. Sehingga hal tersebut mempengaruhi pengetahun mereka tentang ciri
tahu berformalin. Mayoritas responden dalam penelitian ini juga tidak membuat tahunya
melainkan dari supplier, ketika ditanyakan terkait apakah memang penambahan formalin itu adalah resep, kebanyakan menjawab tidak tahu,
karena mereka hanya sebagai penjual bukan produsen pembuat. Sedangkan responden yang membuat sendiri mengakui bahwa mereka tidak
menambahkan formalin dan formalin bukanlah resep keluarga. Namun tidak diketahui sedalam apa kejujuran mereka terkait hal ini, karena peneliti tidak
mengikuti tahap proses pembuatan tahu.
6.3.3. Pengetahuan Mengenai Dampak Kesehatan Akibat Mengkonsumsi
Tahu Berformalin
Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan formalin dapat menimbulkan dampak kesehatan jika dikonsumsi. Hasil menunjukkan
bahwa pengetahuan responden terkait pertanyaan B4 “apakah formalin berbahaya bagi kesehatan” sebanyak 91,2 menjawab benar. Namun saat
ditanyakan pertan yaan B5 tentang “mengapa formalin berbahaya” sebesar
44,1 menjawab salah. Sama halnya seperti pertanyaan B9 terkait “adakah akibat setelah mengkonsumsi tahu berformalin”, responden sebesar 85,3
menjawab benar. Namun saat ditanya pertanyaan B10 tentang “apa dampak dan gejala akibat mengkonsumsi tahu berformalin” sebanyak 47,1 salah
menjawab. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan responden mengenai dampak formalin bagi kesehatan belum optimal.
Berdasarkan dampak serius formalin terhadap kesehatan, maka penelitian ini berusaha untuk mengetahui bagaimana persentase
pengetahuan responden terkait dampak kesehatan jika mengkonsumsi tahu formalin. Dampak kesehatan akibat mengkonsumsi makanan berformalin
antara lain muntah, diare bercampur darah, kencing bercampur darah, bahkan kematian akibat kegagalan peredaran darah Cahanar et al, 2006.
Formalin juga diketahui sebagai zat beracun, karsinogen penyebab kanker, mutagen penyebab perubahan sel, jaringan tubuh, korosif dan iritatif. Pada
wanita konsumsi makanan mengandung formalin dapat menyebabkan gangguan mentruasi dan infertilitas kemandulan Sari, 2008.
Diketahui bahwa pengetahuan responden mengenai dampak formalin bagi kesehatan belum optimal. Hal ini mungkin karena tingkatan dalam
pengetahuan belum dipenuhi. Menurut Notoatmodjo 2010 ada beberapa tingkatan dalam pengetahuan yang nantinya mempengaruhi terbentuknya
tindakanperilaku. Tingkatan pertama yakni tahu know yakni mengingat memori yang sebelumnya telah diamati. Kemudian yang kedua yakni
memahami comprehension. Memahami suatu objek bukan sekedar tahu