2.3.3. Akibat Pemaparan Formalin
Formalin merupakan bahan beracun dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Jika kandungannya dalam tubuh tinggi, akan
bereaksi secara kimia dengan hampir semua zat di dalam sel sehingga menekan fungsi sel dan menyebabkan kematian sel yang
menyebabkan keracunan pada tubuh Cahanar et al, 2006. Formalin dapat masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi akibat uap formalin,
selain itu dapat terserap oleh kulit ataupun secara ingesti tertelan. Jika sampai tertelan ingesti maka orang tersebut harus segera
diminumkan banyak air dan segera dimintakan untuk memuntahkan isi lambungnya Sari, 2008.
Pemajanan formalin ke dalam tubuh dapat terjadi melalui ingesti saat seseorang mengkonsumsi formalin pada makanan. Biasanya
terjadi pada makanan-makanan seperti tahu, daging ayam, dan mie basah. Karena komoditas pangan tersebut relatif sering di konsumsi
masyarakat namun cepat mengalami pembusukan dan tidak tahan lama sehingga beberapa produsen tidak bertanggung jawab memberi
tambahan pengawet formalin Anwar dan Khomsan, 2009. Padahal seharusnya formalin dilarang digunakan pada makanan mengingat
dampak buruk akibat penggunaan dari zat beracun tersebut Sari, 2008.
Formalin diketahui sebagai zat beracun, yang dapat
menyebabkan dampak kesehatan baik secara langsung akut maupun akumulatif.
Dampak akut
dapat muncul
ketika seseorang
mengkonsumsi formalin dengan dosis mulai dari 15 mgkghari, adapun dampak tersebut yakni sakit kepala, radang hidung kronis
rhinitis, mual-mual, Sari, 2008. Selain itu dapat juga menyebabkan muntah, diare bercampur darah, kencing bercampur darah, bahkan
kematian akibat kegagalan peredaran darah Cahanar et al, 2006. Sedangkan dampak akumulatif berupa kerusakan ginjal dapat terjadi
jika terus mengkonsumsi makanan berformalin dengan dosis 0,2mgkghari setiap harinya, dampak tersebut akan terlihat setelah
paparan dalam kurun waktu 30 tahun EPA, 1991. Konsumsi formalin pada manusia secara ingesti tertelan dapat
menyebabkan kanker mulut dan tenggorokan. Pada wanita dapat menyebabkan gangguan mentruasi dan infertilitas kemandulan Sari,
2008. Seseorang mungkin hanya mampu bertahan 48 jam setelah mengkonsumsi dosis fatal formalin 60-90ml Anwar dan Khomsah,
2008. Menurut Sartono 2001, keracunan formaldehid juga dapat
terjadi melalui inhalasi menyebabkan iritasi pada saluran nafas, selain itu juga merangsang mata. Gejala lain yang dapat timbul pada
konsumsi rendah, antara lain edema laring, dan reaksi sensitivitas pada kulit seperti urtikaria. Penelitian pada binatang menunjukkan
bahwa formalin dapat menyebabkan kanker kulit dan kanker paru. Formalin juga dapat merusak sistem syaraf tubuh manusia dan dikenal
sebagai zat yang bersifat racun untuk persyarafan tubuh kita neurotoksik, seperti mengakibatkan gangguan persyarafan berupa
susah tidur, sensitif, mudah lupa, sulit berkonsentrasi. Selain itu, berdasarkan penelitian Heryani, dkk 2011, diketahui bahwa paparan
formalin menyebabakan penurunan sel spermatogenik pada mencit. Selain itu pemberian formalin peroral dosis bertingkat selama 12
minggu menyebabkan terjadinya histopatologis gaster tikus wistar. Perubahan yang terlihat berupa deskuamasi epitel, erosi epitel dan
ulseri epitel Katerina, 2012. Menurut Environmental Protection Agency EPA, 1991
ambang batas formalin yang boleh masuk ke dalam tubuh No Observed Adverse Effect Level NOAEL dalam bentuk makanan
untuk orang dewasa sebesar 15 mgkg per hari. Namun berdasarkan uji klinis, dosis toleransi tubuh manusia pada pemakaian terus
menerus reference dose RfD untuk formalin sebesar 0,2 mgkgday EPA, 1991.
Dampak formalin secara inhalasi menurut EPA telah terbukti dapat menimbulkan kanker dalam jangka kurun waktu 70 tahun. Data
dosis respon untuk resiko kanker pajanan secara inhalasi menunjukkan bahwa pada dosis 5,6 mgkghari pada manusia dapat menimbulkan
insiden kanker pada 2153 orang sedangkan pada dosis 14,3 mgkghari dapat menimbulkan insiden kanker sebesar 94140 orang
dalam kurun waktu 70 tahun EPA, 1991.
2.3.4. Cara Mengidentifikasi Keberadaan Formalin Pada Tahu
Keberadaan formalin pada tahu hanya bisa dibuktikan dengan uji laboratorium. Metode yang dilakukan salah satunya dengan cara
pengujian menggunakan food security kit- formaldehyde 1 dengan meneteskan reagent. Dikatakan positif jika kerta test field berwarna
keunguan sedangkan
jika negatif
tidak berubah
warna Tjiptaningdyah, 2010.
2.4. Konsep Perilaku
Menurut Skinner 1938 dalam Notoatmodjo 2010, perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang stimulus dan tanggapan
serta respon. Perilaku dilihat dari aspek biologis merupakan kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Perilaku
merupakan tindakan suatu organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari.
Menurut Notoadmodjo 2012, pada dasarnya bentuk perilaku dapat diamati melalui sikap dan tindakan. Namun tidak berarti bentuk perilaku
hanya dapat dilihat dari sikap dan tindakan saja. Perilaku bisa saja bersifat potensial yaitu dari bentuk penelitian, motivasi dan persepsi. Pada
pelaksanaannya perilaku dapat diartikan sebagai suatu respon seseorang terhadap rangsangan dari luar subjek. Respon ini berbentuk tindakan.
Selanjutnya, berbentuk perilaku aktif yakni tindakan yang dapat diobservasi secara langsung dengan mata, sedangkan yang pasif yaitu yang terjadi di
dalam diri manusia seperti berfikir, tanggapan atau sikap batin dan
pengetahuan. Adapun bentuk operasional dari perilaku dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu:
1. Perilaku dalam bentuk pengetahuan yaitu dengan mengetahui situasi rangsangan dari luar berupa segala hal dan kondisi baru yang perlu
diketahui dan dikuasai dirinya. 2. Perilaku dalam bentuk sikap yaitu tanggapan batin terhadap keadaan
atau rangsangan dari luar atau lingkungan dari subyek yang terdiri dari: a. Lingkungan fisik yaitu lingkungan alam sehingga alam itu sendiri
akan membentuk perilaku manusia yang hidup di dalamnya sesuai dengan sikap dan keadaan lingkungan tersebut
b. Lingkungan sosial budaya non-fisik mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembentukan perilaku manusia, lingkungan ini adalah
keadaan masyarakat yang segala budidayanya dimana manusia itu lahir dan mengembangkan perilakunya.
3. Perilaku dalam bentuk tindakan yang sudah konkrit yakni berupa tindakan action terhadap suatu rangsangan dari luar Notoatmodjo,
2007. Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni
dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu recall. Pengukuran juga dapat
dilakukan secara langsung yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden Notoatmodjo, 2007.
2.5. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Perilaku seseorang dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor-faktor baik dari dalam maupun dari luar subjek. Faktor yang menentukan perilaku
disebut determinan. Menurut Green 1991, kesehatan individumasyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok yakni faktor perilaku dan faktor di luar
perilaku non-perilaku. Selanjutnya Lawrence Green 1991 menganalisis, bahwa faktor
perilaku sendiri ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu: 1 Faktor-faktor predisposisi disposing factors
Faktor-faktor predisposisi yaitu faktor-faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap,
keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan sebagainya. 2 Faktor-faktor pemungkin enabling factors
Faktor-faktor pemungkin adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang dimaksud dengan
faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan.
3 Faktor-faktor penguat reinforcing factors Faktor-faktor penguat adalah faktor-faktor yang mendorong atau
memperkuat terjadinya perilaku. Kadang-kadang meskipun orang tahu dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya.
Contohnya sikap dan perilaku petugas dan tokoh masyarakat. Menurut Notoatmodjo 2007, upaya peraturan pemerintah termasuk
dalam kategori Enforcement tekanan yang bertujuan untuk mengubah
perilaku masyarakat agar berperilaku sehat dengan cara tekanan melalui UU, PP, dan Intruksi pemerintah. Biasanya upaya dengan pendekatan
tersebut lebih cepat mengubah perilaku namun tidak langgeng sustainable, karena perubahan perilaku yang dihasilkan dengan cara ini tidak didasari
oleh pengertian dan kesadaran yang tinggi terhadap tujuan perilaku tersebut. Dalam terjadinya perubahan perilaku, dapat dipengaruhi oleh
penyuluhan dengan komunikasi dua arah. Komunikasi persuasi dua arah dalam penyuluhan kesehatan dibutuhkan guna mengubah pengetahuan,
sikap dan perilaku kesehatan secara langsung terkait rantai kausal yang sama Mc guire dalam Fitriani, 2011.
2.6. Faktor Predisposisi Predisposing Factors
2.6.1. Pengetahuan
2.6.1.1. Definisi Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu Sunaryo,
2004. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Bloom dalam Notoadmodjo
2010, menurutnya
pengetahuan adalah
hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui
indera yang dimilikinya mata, hidung, telinga, dsb. Dengan sendirinya, saat penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat
dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera
pendengaran telinga, dan indera penglihatan mata.
Menurut Mubarak 2007, pengetahuan itu sendiri dapat dipengaruhi oleh faktor pendidikan formal. Pengetahuan sangat erat
hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka seseorang akan semakin luas
pengetahuannya. Akan
tetapi bukan
berarti seseorang
yang berpendidikan rendah akan mutlak memiliki pengetahuan rendah, sebab
pengetahuan tidak mutlak diperoleh melalui pendidikan formal saja melainkan dapat di peroleh melalui pendidikan non formal atau hasil
penginderaan terhadap informasi yang berasal dari media massa. Televisi merupakan salah satu media massa yang menyajikan
pesan-pesan pembelajaran secara audio visual dengan disertai unsur gerak. Televisi tergolong ke dalam media massa. Kelebihan televisi salah
satunya adalah medium yang menarik, modern, menyajikan informasi visual dan lisan secara simultan yang mudah diterima panca indera, serta
sifatnya langsung dan nyata. Namun televisi memiliki kelemahan yakni sifat komunikasinya hanya satu arah, sehingga kurang efektif untuk
penyuluhan yang membutuhkan pendekatan mendalam kepada responden Mubarak, dkk, 2007
Pengetahuan mengenai suatu objek juga dapat berasal dari lama pengalaman yang terkait objek tersebut. Semakin lama pengalaman atau
kejadian yang dialami oleh seseorang maka akan semakin banyak pengalaman yang didapatkannya, sehingga pengetahuannya bertambah
Mubarak, dkk, 2007.
Menurut Rogers 1974 dalam Notoatmodjo 2007, sebelum orang mengadopsi perilaku baru, dalam diri orang tersebut terjadi proses yang
berurutan, yakni: 1 Awareness kesadaran, dimana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus objek. 2 Interest merasa tertarik terhadap stimulus atau objek tersebut.
Disini sikap subjek sudah mulai timbul. 3 Evaluation menimbang-nimbang terhadap baik dan tidaknya
stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
4 Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
5 Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Faktor yang menjadi penentu pengetahuan seseorang selain pendidikan adalah usia. Dengan bertambahnya usia seseorang maka akan
terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis mental. Pertumbuhan pada aspek fisik mematangkan perkembangan organ sedangkan aspek
psikologis atau mental mempengaruhi taraf berfikir seseorang sehingga semakin dewasa dan matang. Namun, dengan meningkatnya usia, maka
kemampuan otak untuk menangkap pengetahuan akan semakin menurun Mubarak, dkk, 2007.
Menurut Notoatmodjo 2010, pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan