Pengembangan ekowisata di Pulau Lingayan sebagai pulau terluar (kasus pulau lingayan, pulau terluar di Kabupaten Tolitoli Provinsi Sulawesi Tengah)

(1)

PENGEMBANGAN EKOWISATA

DI PULAU LINGAYAN SEBAGAI PULAU TERLUAR

(Kasus : Pulau Lingayan Kabupaten Tolitoli, Provinsi Sulawesi Tengah)

GLADYS PEURU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pengembangan Ekowisata di Pulau Lingayan sebagai Pulau Terluar (Kasus Pulau Lingayan Kabupaten Tolitoli, Provinsi Sulawesi Tengah) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2012

Gladys Peuru NIM. C262070101


(4)

(5)

RINGKASAN

Gladys Peuru. Pengembangan Ekowisata Di Pulau Lingayan Sebagai Pulau Terluar. Dibimbing oleh Mennofatria Boer, Ismudi Muchsin dan Yusli Wardiatno.

Pulau Lingayan adalah pulau terluar yang terdapat di Kabupaten Tolitoli Propinsi Sulawesi Tengah (PP RI No. 78 Tahun 2005) yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum Internasional dan Nasional, sehingga menentukan garis batas kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu untuk mempertahankan batas-batas kepulauan NKRI perlu dilakukan pengelolaan yang berkelanjutan di Pulau Lingayan. Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT) merupakan arah kebijakan pemerintah di bidang kelautan, hal ini menunjukan bahwa betapa pentingnya wilayah pesisir dan keberadaan pulau-pulau kecil terluar untuk dijaga stabilitas kawasan dan pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat baik generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang. Dasar kebijakan ini berpijak pada pertimbangan bahwa pulau-pulau kecil terluar menentukan garis batas kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kemudian PPKT sangat rentan karena ukuran luasan daratan sangat kecil (insular) serta terisolasi dari pulau besar (mainland), namun demikian PPKT memiliki potensi sumberdaya alam yang produktif (ekosistem mangrove, lamun, terumbu karang beserta biota yang hidup didalamnya, media komunikasi dan jasa lingkungan seperti kawasan konservasi, kawasan pariwisata dan rekreasi).

Penelitian ini bertujuan : (1) Mengkaji potensi dan kondisi sumberdaya kawasan Pulau Lingayan. (2) Mengkaji rencana pengelolaan Pulau Lingayan berdasarkan keindahan, kesesuaian lahan, daya dukung untuk pengembangan ekowisata di Pulau Lingayan. (3) Mengformulasikan bentuk strategi pengelolaan sumberdaya di Pulau Lingayan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan berkelanjutan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Pulau Lingayan memiliki potensi sumberdaya alam yang baik dari segi kondisi terumbu karang masuk kategori baik dengan rata-rata presentase tutupan karang 34.72%, dimana pada stasiun 6 memiliki presentase tutupan karang tertinggi 75.1% dengan 9 jenis

lifeform yakni ACB, ACE, ACT, CB, CF, CM, CMR, CS dan CHL, ikan karang yang mencapai 64 jenis, juga terdapat burung maleo yang merupakan burung langka dan penyu sisik yang semuanya dapat dijadikan ikon untuk pengembangan ekowisata di Pulau Lingayan. (2) Hasil analisis Scenic Beauty Estimation menunjukkan bahwa ketertarikan responden untuk seascape terumbu karang sebesar 52%, untuk jenis-jenis ikan sebesar 58% sedangkan untuk landscape pantai, ketertarikan responden sebanyak 75%. (3) Strategi pengembangan ekowisata di Pulau dilakukannya pengelolaan yang disesuaikan dengan peruntukan dari pengembangan wisata selam 56.02 ha, snorkling 121.67 ha dan wisata pantai 13.18 ha dan untuk menjamin keberlanjutan dari pengembangan ekowisata ini maka jumlah pengunjung harus dibatasi kedatangan sebanyak 86 orang perhari.


(6)

(7)

ABSTRACT

Gladys Peuru. Development of Ecotourism in Island Lingayan of Outer Islands. Under supervision of Mennofatria Boer, Ismudi Muckhsin dan Yusli Wardiatno.

Lingayan island is located in the outer islands of Tolitoli in Central Sulawesi Province (PP RI No. 78 of 2005) which has the basic points of geographic coordinates that connects the islands of the sea baselines in accordance with international and national law, thus determining the boundary line of the islands of the Unitary Republic of Indonesia (NKRI). Therefore, to maintain the boundaries of the islands Homeland sustainable management needs to be done on the island of Lingayan. This study aims: (1) Assess the potential and conditions of the island Lingayan resources. (2) Review the management plan Lingayan by the beauty of the island, land suitability, carrying capacity for tourism development on the island of Lingayan. (3) formulate a form of resource management strategies on the island of Lingayan to increased prosperity and sustainable communities. The results of the research indicate that (1) Island Lingayan has the potential of natural resources both in terms of coral reefs in the category with an average of 34.72% the percentage of coral cover, which at station 6 has the highest percentage of coral cover was 75.1% with 9 types of lifeform that is ACB, ACE, ACT, CB, CF, CM, CMR, CS and CHL, reef fish that reach 64 species, there are also birds that are maleo rare bird and turtle shell that can all be used as an icon for ecotourism development on the island of Lingayan. (2) Scenic Beauty Estimation results of the analysis indicate that the respondents' interest in coral seascape by 52%, for the types of fish by 58% while for the coastal landscape, the respondent's interest as much as 75%. (3) The strategy for development of ecotourism on the island does management tailored to the designation of the development of 56.02 ha diving, snorkeling and beach resort of 121.67 ha ha 13:18 and to ensure the sustainability of tourism development is the number of visitors should be limited to the arrival of as many as 86 people per day.


(8)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjuan suatu masalah, dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagianatau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(9)

PENGEMBANGAN EKOWISATA

DI PULAU LINGAYAN SEBAGAI PULAU TERLUAR

(Kasus : Pulau Lingayan, Kabupaten Tolitoli,Provinsi Sulawesi Tengah)

GLADYS PEURU

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(10)

Penguji Luar pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. M. Muchklis Kamal, M.Sc 2. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi

Penguji Luar pada Ujian Terbuka : 1.Dr. Ir. Dwi Sulistyowati, Msi 2. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, Msc


(11)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Disertasi : Pengembangan Ekowisata Di Pulau Lingayan Sebagai

Pulau Terluar (Kasus Pulau Lingayan, Pulau Terluar di Kabupaten Tolitoli Provinsi Sulawesi Tengah)

Nama Mahasiswa : Gladys Peuru

Nomor Pokok : C262070101

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA.

Anggota

Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin

Anggota

Dr. Ir. Yusli Wardiatno M.Sc.

Diketahui,

Ketua Program Studi

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah M.Sc.Agr.


(12)

(13)

PRAKATA

Puji Tuhan, penulis panjatkan pujian syukur atas segala Kasih dan Kemurahan yang Tuhan Yesus berikan kepada Penulis sehingga sehingga disertasi ini dapat terselesaikan dengan judul Pengembangan Ekowisata di Pulau Lingayan sebagai Pulau Terluar (Kasus Pulau Lingayan, Kabupaten Tolitoli, Provinsi Sulawesi Tengah).

Bersama ini, penulis ingin menghaturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA (Ketua Komisi), Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin, (Anggota) dan Dr. Ir. Yusli Wardiatno M.Sc (Anggota) atas berbagai masukan, arahan serta bimbingan yang telah diberikan selama proses peyusunan Disertasi ini. Ucapan terima kasih juga kepada Bapak Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal MSc dan Dr. Ir., Isdradjad Setyobudiandi selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup yang memberikan masukan dan saran guna penyempurnaan disertasi ini.

Keberadaan penulis dalam pendidikan Program Doktor tidak terlepas dari dukungan dan kesempatan yang diberikan oleh intitusi tempat penulis bekerja saat ini. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada : Bupati Kabupaten Tolitoli Provinsi Sulawesi Tengah, Ketua Bapeda, Kepala Dinas perikanan dan Kelautan Kabupaten Tolitoli dan rekan-rekan kerja atas dukungan selama pendidikan.

Ungkapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Papa dan mama, Raimond F. Lamandasa, SH, Mkn (suami), Canty, Cindy, Cynta dan Chanto (anak) atas semua doa, pengorbanan dan dukungan yang tiada hentinya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Marrie Blarie Barth, Ibu Anne Hommes, Masyarakat Pulau Lingayan, rekan – rekan SPL angkatan 2007 (Dr. Amirudin Tahir, Dr. Imam Bahtiar, Dr. Nirmala A. Wijaya, Dr. Musadun, Dr. Nurul Istiqamah, Riyadi Subur, Ahmad Bahar dan Abdul Syukur) serta rekan-rekan program studi SPL-IPB atas dorongan motivasi dan diskusi selama menjalani studi di SPs-IPB.

Akhirnya penulis berharap kiranya semoga Disertasi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak. Tuhan Memberkati.

Bogor, Juli 2012


(14)

(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis, Gladys Peuru dilahirkan di Palu tanggal 26 Juni 1968, dari ayah Hamani Peuru dan ibu Johana Modaso sebagai anak ke lima dari enam bersaudara.

Penulis memasuki jenjang pendidikan di SDN. Teladan Luwuk, SMPN. 1 Luwuk, SMAN 1 Luwuk Propinsi Sulawesi Tengah. Tahun 1987, penulis diterima melalui jalur PMDK di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado, pada jurusan Pengolahan Hasil Perikanan (PHP). Tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan magsiter pada Program Studi Ilmu Peraian Universitas Sam Ratulangi Manado. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan pada Progam Sarjana IPB pada Tahun 2007.

Tahun 1993-1994 penulis bekerja sebagai Analis mikrobiologi dan organoleptik di Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) Dinas Perikanan Provinsi Sulawesi Utara, 1994-1998 sebagai Analis mikrobiologi dan organoleptik di LPPMHP Dinas Perikanan Provinsi Sulawesi Tengah, 1998 sampai sekarang bekerja di Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tolitoli Provinsi Sulawesi Tengah.

Dua buah artikel diterbitkan dengan judul Pengembangan Wisata Bahari di Pulau Terluar Berbasis Kesesuaian Lahan dan Daya Dukung pada Buletin PSP pada Volume 20 No. 3 Agustus 2012 dan Kajian Kondisi Terumbu Karang Pulau Lingayan di Kabupaten Tolitoli pada Jurnal Agrisains 13 (2) : 98-104, agustus 2012. Karya ilmiah ini merupakan bagian dari disertasi penulis.


(16)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxv

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Ruang Lingkup Penelitian ... 8

1.5 Kebaharuan (Novelty) ... 10

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau-Pulau Kecil …. ... 11

2.1.1 Definisi Pulau-Pulau Kecil ………11

2.1.2 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil……….12

2.1.3 Potensi Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil….………...….13

2.1.4 Kendala Pengembangan Pulau-Pulau Kecil 2.2 Pulau-Pulau Kecil Terluar………...……17

2.2.1 Definisi Pulau-Pulau Kecil terluar ………...……….17

2.2.2 Potensi Pulau-Pulau Kecil terluar….……….19

2.2.3 Kendala Pengembangan Pulau-Pula Kecil terluar……….20

2.3 Ekowisata………...……..21

2.3.1 Definisi Ekowisata……….21

2.3.2 Pengelolaan Ekowisata………..23

2.4 Daya Dukung Ekowisata ……….25

2.4.1 Daya Dukung Ekologi………26

2.4.2 Daya Dukung Fisik………...……….30

2.4.3 Daya Dukung Air………...…31

2.5 Konservasi………..…31

2.5.1 Definisi Konservasi………31

2.5.2 Fungsi Kawasan Konservasi……….….32

2.5.3 zonasi Kawasan Konservasi………...…34

3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ………..39

3.2 Metode Penelitian……….39

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 41

3.3.1 Jenis Data Yang dikumpulkan ... 41

3.3.2 Metode Pengambilan Data... 42

A. Pengambilan Data Biofisik ... 42

B. Pengambilan Data Sosial Ekonomi ... 43

3.3.3 Metode Pemilihan Responden ... ..44

3.4 Metode Analisis Data ... 46

3.4.1 Analisis Biofisik Ekosistem ... 46


(17)

3.4.2 Analisis Scenic Beauty Estimation ... 49

3.4.3 Analisis Kesesuaian Lahan……….51

3.4.4 Analisis Zonasi………56

3.4.5 Analisis Daya Dukung Ekologi ... 58

3.4.6 Analisis Daya Dukung Fisik ... 61

3.4.7 Analisis Daya Dukung Air ... 62

4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum ... 65

4.1.1 Letak Geografis dan Administasi ... 65

4.1.2 Kondisi Iklim dan Perairan………....65

4.2 Potensi Sumber Daya Pesisir dan Lautan ………66

4.2.1 Ekosistem Mangrove ... 66

4.2.2 Ekosistem Terumb karang... 67

4.2.3 Ekosistem Lamun ... 68

4.2.4 Sumberdaya Perikanan………...……….68

4.3 Karakteristik Pantai ……….69

4.4 Kondisi Sosial Ekonomi ... 71

4.2.1 Kependudukkan... 71

4.2.2 Pendidikan ... 71

4.5 Kondisi Sarana dan Prasarana 4.2.3 Sarana Pendidikan ... 72

4.2.4 Sarana Kesehatan ... 72

4.2.5 Sarana Ibadah ... 73

4.2.6 Sarana Air Bersih ... 73

4.2.7 Sarana Listrik dan Telekomunikasi ... 73

4.6 Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan ... 73

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Potensi Sumberdaya kawasan Pulau Lingian ... 75

5.1.1 Ekosistem Terumbu Karang ... 75

5.1.2 Ikan Karang ... 85

5.1.3 Ekosistem Mangrove ... 87

5.1.4 Ekosistem Lamun ... 94

5.2 Kawasan untuk Pengelolaan Pulau ... 95

5.2.1 Scenic Beauty Estimation ... 95

5.2.2 Kesesuaian Wisata Pesisir dan Laut………...104

5.3 Daya Dukung Wisata ... 108

5.3.1 Daya Dukung Kawasan ... 108

5.3.2 Daya Dukung Ecological Footprint … ... 111

5.3.3 Daya Dukung Fisik………..……….115

5.3.4 Daya Dukung Air ……….116

5.4 Zonasi Pulau Lingayan ……….………..………..116

5.4.1 Zona Inti ... 118

5.4.2 Zona Penyangga … ... 118

5.4.3 Zona Pemanfaatan……….119

5.4.4 Zona Rehabilitasi………..………119


(18)

5.5 Persepsi……….…120

5.3.1 Persepsi Masyarakat Lokal ... 118

5.3.2 Persepsi Wisatawan … ... 121

5.3.3 Pemerintah Daerah...……….121

5.6 Strategi Pengembangan Pariwisata di Pulau Lingayan ………122

6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 125

6.2 Saran ... 125

DAFTAR PUSTAKA ………..…127


(19)

Nomor Hal.

1. Pulau-Pulau Kecil di Kabupaten Tolitoli... 4

2. Ecological Footprint Dunia dan Indonesia Tahun 2005... 28

3. Jenis Data yang Dibutuhkan... 41

4. Kriteria Baku Persentase Penutupan Karang Hidup... 47

5. Kriteria Baku Ekosistem Mangrove... 48

6. Klasifikasi Tutupan Jenis Lamun... 49

7. Kategori Tutupan Lamun... 49

8. Kriteria Kesesuaian Lokasi untuk Wisata Bahari Kategori Selam... 52

9. Kriteria Kesesuaian Lokasi untuk Wisata Bahari Kategori Snorkling... 53

10. Kriteria Kesesuaian Lokasi untuk Wisata Pantai... 54

11. Kapasitas Pengunjng (K) dan Luas Area Kegiatan (Lt)... 58

12. Waktu yang Dibutuhkan untuk Setiap Kegiatan Wisata... 58

13. Yield Faktor... 60

14. Equivalence Faktor... 60

15. Standar Umum Kebutuhan Wisatawan... 61

16. Koefisien Limpasan... 64

17. Data Curah Hujan dan Hari Hujan Rata-rata Tahun 2007-2010... 65

18. Kualitas Perairan Pulau Lingayan... 66

19. Fasilitas Pendidikan, Guru dan Murid di Pulau Lingayan……….… 71

20. Armada Perikanan Tangkap di Pulau Lingayan... 73

21. Alat Tangkap di Pulau Lingayan…...……… 74

22. Perikanan Budidaya di Pulau Lingayan... 74

23. Presentase Tutupan Karang... 76

24. Terumbu Karang Berdasarkan Tutupan (%) Lifeform di Pulau Lingayan... 84

25. Penyebaran Jenis Lamun di Pulau Lingayan... 94

26. Nilai SBE dari Seascape Hamparan Terumbu Karang... 97

27. Klasifikasi Nilai SBE dari Seascape Hamparan Terumbu Karang... 98


(20)

Nomor Hal. 28. Nilai SBE Seascape Keanekaragaman Jenis Ikan Per-Stasiun 99 29. Nilai SBE Keanekaragaman Jenis Ikan Berdasarkan Kelas SBE 100 30.

31.

Nilai SBE Landscape Pantai Per-Stasiun... Nilai SBE Pantai Berdasarkan Kelas SBE...

102 103

32. Luasan Kesesuaian Lahan Kategori Selam... 105

33. Luasan Kesesuaian Lahan Kategori Snorkling... 106

34. Luasan Kesesuaian Lahan Kategori Pantai... 107

35. Luas Areal dan Daya Dukung Kawasan ditiap Zona Wisata... 110

36. Build-up Land Footprint ... 111

37. Fosil Energy Land Footprint... 112

38. Food and Fiber Consumption Footprint... 112

39. Total Ecological Footprint... 112

40. . Total Biocapacity Pulau Lingayan... 113


(21)

Nomor Hal.

1. Kerangka Pikir Penelitian ... 9

2. Lokasi Penelitian ... 39

3. Tahapan Penelitian... 40

4. Lokasi Pengamatan di Pulau Lingayan... 43

5. Bagan Alir Pengambilan Contoh... 45

6. Kategori dan Persentase Tutupan Karang... 46

7. Tahapan Preferensi Visual... 50

8. Proses Penyusunan Peta Kawasan Pemanfaatan……….….. 56

9. Proses Penyusunan Peta Kawasan Konservasi... 57

10. Diagram Penentuan Daya Dukung Air... 62

11. Perbandingan Penduduk Pria dan Wanita... 71

12. Presentase Terumbu Karang di Pulau Lingayan... 78

13. Perubahan Kondisi Terumbu Karang Tahun 2000-2010... 79

14. Peta Analisis Hasil Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2000... 80

15. Peta Analisis Hasil Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2005... 81

16. Peta Analisis Hasil Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2010... 82

17. Peta Analisis Hasil Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2011... 83

18. Jumlah Spesies Ikan Karang di Setiap Stasiun Pengamatan... 86

19. Jumlah Jenis Ikan Berdasarkan Peranan... 87

20. Kerapatan Jenis Mangrove di Pulau Lingayan... 88

21. Perubahan Luasan Mangrove Tahun 2000-2011... 89

22. Peta Ekosistem Mangrove Tahun 2000... 90

23. Peta Ekosistem Mangrove Tahun 2005... 91

24. Peta Ekosistem Mangrove Tahun 2010... 92

25. Peta Ekosistem Mangrove Tahun 2011... 93

26. Perubahan Luasan Padang Lamun Tahun 2000-2011... 95

27. Foto Seascape Kawasan Pulau Lingayan... 101


(22)

Nomor Hal. 28. Foto Landscape pada Kawasan Pulau Lingayan... 104 29. Peta Kesesuaian wisata Kategori Selam... 105 30. Peta Kesesuaian Wisata Kategori Snorkling... 106 31. Peta Kesesuaian Wisata Kategori Pantai... 107 32. Peta Kawasan Zonasi di Pulau Lingayan... 117


(23)

Nomor Hal.

1. Format Penilaian Kriteria Zonasi Kawasan Pulau Lingayan 138 2.

3. 4. 5. 6.

Tabulasi Data Jenis-jenis Ikan yang Teramati pada Terumbu Karang di Perairan Lingayan

Komponen Penyusun Substrat Perairan di Pulau Lingian Kabupaten Tolitoli

Kondisi terumbu Karang di Pulau Lingayan Kabupaten Tolitoli Jumlah dan Jenis Lifeform di Pulau Lingian Kabupaten Tolitoli Daya dukung kawasan wisata pesisir per kategori wisata di Pulau Lingayan

140 142

143 144 145


(24)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT) merupakan arah kebijakan pemerintah dalam mengelola pulau-pulau kecil yang berada di bagian terluar, hal ini menunjukan bahwa betapa pentingnya wilayah pesisir dan keberadaan pulau-pulau kecil terluar untuk dijaga stabilitas kawasan dan pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat baik generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang. Dasar kebijakan ini berpijak pada pertimbangan bahwa pulau-pulau kecil terluar menentukan garis batas kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia kemudian PPKT sangat rentan terhadap lingkungan karena ukuran luasan daratan sangat kecil serta terisolasi (insular) dari pulau besar (mainland). Namun demikian PPKT memiliki potensi sumberdaya alam yang produktif (ekosistem mangrove, lamun, terumbu karang beserta biota yang hidup didalamnya, media komunikasi dan jasa lingkungan seperti kawasan konservasi, kawasan pariwisata dan rekreasi).

Pulau Lingayan adalah pulau terluar yang terdapat di Kabupaten Tolitoli Propinsi Sulawesi Tengah (PP RI No. 78 Tahun 2005) yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum Internasional dan Nasional, sehingga menentukan garis batas kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu untuk mempertahankan batas-batas kepulauan NKRI perlu dilakukan pengelolaan yang berkelanjutan di Pulau Lingayan.

Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang telah diakui oleh UNCLOS (United Nations Convention On The Law Of The Sea) dan telah diratifikasi dalam UU RI No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea, berhak menentukan garis batasnya. Dari 183 Titik Dasar (TD) yang menjadi patokan untuk menarik garis pangkal, tercatat ada 92 TD berada di pulau-pulau kecil terluar. Hal ini berarti keberadaan PPKT sangat vital dalam rangka menjaga kedaulatan Negara. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia dicantumkan bahwa ada 92 PPKT yang menjadi acuan untuk menarik garis


(25)

pangkal. Sembilan puluh dua PPKT berbatasan dengan 10 negara yaitu Australia, Malaysia. Singapura, India, Thailand, Vietnam, Filipina, Palau, Papua New Guinea dan Timor Leste. Kurang lebih hanya sepertiga dari PPKT yang dihuni, selebihnya masih berupa hutan bervegetasi lebat sampai jarang. Selain itu beberapa PPKT memiliki potensi wisata, keanekaragaman terumbu karan dan sumberdaya perikanan (Retraubun et al. 2005).

Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan pada tanggal 17 Desember 2002 merupakan peristiwa yang menimbulkan permasalahan baru terhadap Indonesia yaitu hilangnya 3 TD yaitu 1 TD di Pulau Sipadan dan 2 TD di Pulau Ligitan. Hilangnya dua pulau tersebut berarti hilangnya suatu wilayah kecil nusantara namun berimplikasi pada perubahan batas negara termasuk hilangnyapotensi penguasaan wilayah laut teritorial dan pemanfaatan sumberdaya alam. Menurut perjanjian Inggris dan Belanda, kedua pulau tersebut termasuk wilayah Indonesia, tetapi Mahkamah Internasional lebih menitikberatkan pada bukti peranan Malaysia di Sipadan-Ligitan yaitu keberadaan terus menerus, penguasaan efektif dan pelestarian ekologis. Untuk itu, menjaga keberadaan terus-menerus (continuous presence), penguasaan efektif (effective occupation) dan pelestarian ekologis (ecology preservation) bagi PPKT sangat perlu dilakukan mengingat PPKT merupakan pulau-pulau yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan NKRI (Maarif et al. 2007). Oleh karena itu betapa pentingnya dilakukan pengelolaan yang berkelanjutan terhadap PPKT.

Pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia di PPKT haruslah dilakukan melalui pilihan pemanfaatan terhadap sumberdaya tersebut yang didasarkan pada konsep pemanfaatan secara berkelanjutan yang dalam operasionalnya ditandai dengan kecilnya dampak kerusakan.Perencanaan yang matang serta rasional terhadap program pengembangan pulau-pulau kecil di wilayah terluar sangat penting dilakukan agar tujuan kegiatan dapat dicapai, yakni menjaga keutuhan NKRI dan pemanfaatan sumberdaya alam bagi kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan PP 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar dinyatakan dalam pasal 5 ayat 1 bahwa Pemanfaatan PPKT hanya diperuntukan pada (a) pertahanan dan keamanan, (b) kesejahteraan masyarakat dan (c)


(26)

pelestarian lingkungan, sedangkan pada ayat 2 dinyatakan bahwa Pemanfaatan PPKT tersebut harus disesuaikan dengan daya dukung dan daya tampung PPKT. Hal ini didasarkan atas pertimbangan ukuran pulau-pulau terluar yang sangat kecil dengan daya dukung rendah sehingga 44sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan (Bruguglio 2003) karena itu dalam upaya pengelolaan PPKT harus dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan kemampuan daya dukung (carrying capacity) dan aspek kelestarian sumberdaya (sustainability). Pengelolaan yang tidak memperhatikan kedua aspek tersebut akan mengakibatkan terjadinya pemanfaatan lebih (over exploitation) yang berakibat pada hancurnya ekosistem pulau.

Peraturan dan perundang-undangan yang melandasi pengelolaan di pulau-pulau kecil yaitu:

1. Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya, secara khusus tentang taman nasional, zona pemanfaatan di taman nasional untuk pariwisata/rekreasi, dan peranserta masyarakat.

2. UU RI N. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

3. UU RI Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan 4. UU RI No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan

5. PP RI N0. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam. 6. PP RI No. 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar 7. PP RI No. 62 ahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar

Kabupaten Tolitoli merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Sulawesi Tengah yang memiliki luas wilayah laut sebesar 4.079 km² dengan panjang garis pantai 453,98 km serta jumlah pulau-pulau kecil sebanyak 43 pulau memiliki 43 pulau-pulau kecil dan 3 diantaranya adalah pulau kecil terluar yang berbatasan dengan Malaysia. Adapun secara administratif pulau-pulau yang masuk wilayah Kabupaten Tolitoli dapat dilihat pada Tabel 1.


(27)

Tabel 1. Pulau-Pulau Kecil di Kabupaten Tolitoli

No. Kecamatan Nama Pulau Letak Adminitrasi Luas (ha)

1. Toli-Toli Utara Panjang ** DS. Pinjan 6,25 2. Dako Pemean Tanpa nama** Ds. Kapas 0,55

Salando** Ds. Kapas 1,56

Kapas** Ds. Kapas 14,7

Dolangan** Ds. Lingadan 171,9

3. Galang Tende** DS. Tende 7,81

Batu Baddaunge** Ds. Lalos 0,004 4. Baolan Lutungan* Ds. Nalu 42.25 5. Ogodeide Kabetan* Ds. Kabetan 846,2

Buol* Ds. Kebetan 10

Tumpangan* Ds. Kebetan 28

Boleh** Ds. Kebetan 6,25

Pamunnukang** Ds. Kebetan - Pulau Tiga (Tengah)** Sebelah Utara P. Kebetan 2,26 Pulau Tiga (Dalam)** Sebelah Utara P. Kebetan 0,09 Pulau Tiga (Luar)** Sebelah Utara P. Kebetan 2,41 Singandang (ketinggian 2m)** Sebelah Selatan P. Kebetan 4,8 Singandang (ketinggian 2m)** Sebelah Selatan P. Kebetan 1,6

Sambujang* Sambujang 9,63

Pulias* Pulias 7,71

Tenggelangga Sambujang dan Sambujang 439,7

Simangat** Pulias 2,34

Makabaluan** Pulias 3,12

Bangko** Pulias 1,9

Siampuga** Pulias 0,49

Dua** Pulias 1,04

Tanpa nama*** Pulias -

Tanpa nama*** Pulias 0,49

Tanpa nama*** Pulias -

Paligisan* Labuan Lobo -

6. Dondo Awo** Ds. Sibaluton 1,23

Indo Dima** Ds. Sibaluton 2,24 Bangko** Ds. Sibaluton 3,75 Indo Langkide** Ds. Sibaluton 8,81 Tontoengan** Ds. Sibaluton -

Kelapa** Ds. Sibaluton -

Nenas** Ds. Sibaluton -

7. Dampal Utara Simatang* Simatang Tanjung dan Simatang Utara

2172,3

Tempelekan** - -

Lingayan* Ogo Tua 122,55

Tayadun** Ogo Tua -

Lampu** Ogo Tua -

Koko** Ogo Tua 3,75

Sumber: DKP Kab. Toli-Toli 2005 Ket. : Pulau Kecil Terluar

* : Berpenghuni ** : Tidak Berpenghuni *** : Belum Ada Nama


(28)

1.2 Perumusan Masalah

Perencanaan yang matang serta rasional terhadap program pengembangan pulau-pulau kecil terluar sangat penting dilakukan agar tujuan kegiatan dapat dicapai, yakni menjaga keseimbangan ekosistem dan pemanfaatan sumberdaya alam bagi kesejahteraan masyarakat

Pada saat ini masalah wilayah perbatasan telah menjadi perhatian serius dari Pemerintah. Permasalahan yang muncul di wilayah perbatasan terutama dipicu oleh minimnya pengawasan serta belum dilakukannya pengelolaan yang serius tehadap kawasan tersebut. Sebagai contoh adalah kasus Sipadan-Ligitan yang berbuntut pada jatuhnya kedua pulau tersebut ke tangan Malaysia (Retraubun 2005). Oleh karena itu untuk mencegah terulangnya kasus serupa dan untuk menghindari terjadinya ketidakstabilan di wilayah perbatasan, harus dilakukan peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dengan perencanaan yang rasional dan matang sehingga pengelolaan pulau-pulau kecil dikawasan ini dapat berjalan dengan baik dan menjadikan wilayah perbatasan ibarat halaman depan rumah yang indah dan nyaman serta kondusif dalam mendukung stabilitas nasional.

Berdasarkan hal itu, maka pemerintah saat ini mulai memberikan perhatian serius terhadap pengelolaan pulau-pulau kecil terutama di perbatasan dengan perencanaan yang rasional dan sistematis sehingga pengelolaan dan pengembangan pulau-pulau kecil dikawasan tersebut dapat berjalan dengan baik, dan dapat djadikan sebagai dasar bahwa pulau tersebut milik kita. Dengan demikian stabilitas dikawasan ini dapat terjaga dengan baik dan hubungan antar negara tetangga tidak terganggu.

Pulau Lingian atau disebut juga Pulau Lingayan adalah salah satu pulau kecil terluar yang terletak pada 0o59’55” LU dan 120º12’50” BT dan memiliki titik dasar 0,43 dan titik referensi 0,43 (PP RI No. 78 Tahun 2005). Pulau Lingayan berbatasan dengan Negara Malaysia. Jarak antara Pulau Lingayan dengan Pulau Bum bum di Malaysia adalah 230 mil.Secara administratif pulau ini termasuk dalam desa Ogotua Kecamatan Dampal Utara. Untuk mencapai pulau Lingayan dari kota Tolitoli, membutuhkan waktu 2-3 jam bila ditempuh melalui jalan laut dari kota Tolitoli dan melalui jalan darat selama 3 jam sampai di desa


(29)

ogotua dan dilanjutkan dengan menggunakan perahu milik nelayan setempat dengan waktu tempuh 30 menit. Pulau Lingayan memiliki luas 122,5 ha dengan panjang pesisir pantai adalah 7,59 km dan luas perairan 14.069 ha. Pulau Lingayan ini terbentuk secara geologis melalui proses pengangkatan dan proses geomorfologis berupa pengendapan material. Pulau yang terbentuk oleh proses geologis berupa pengangkatan bermaterikan batuan keras dari jenis batuan granit dan koral masif (DKP 2005).

Pulau ini memiliki sumbedaya alam yang potensial untuk dikembangkan. Pulau Lingayan di kelilingi pantai berpasir dan berbatu. Sumberdaya alam pesisir yang ada berupa ekosistem terumbu karang. Sebaran terumbu karang berada di sekeliling perairan pulau. Karang tumbuh membentuk karang tepi pada kedalaman 1 sampai 10 m yang melingkari pulau . Rataan terumbu karang mencapai 1.500 m dari garis pantai sampai ke tubir. Dan tutupan karang di reef flate mencapai 75% dan reef slope mencapai 50%. Keberadaan terumbu karang di perairan pulau Lingayan telah berasosiasi dengan banyak organisme penting yaitu berbagai jenis kima (Tridacna spp), kerang kepala kambing (Casis cornuta) dan teripang (Holothurian). Tridacna spp terutama jenis yang berukuran besar seperti kima raksasa (Tridacna gigas), kima air (T. Derasa), kima cina (Hippopus porcellanus), kima sisik (T. Scuamosa) dan lola (Trochus nilotichus) merupakan spesies laut yang langka yang masih ditemui di pulau Lingayan. Jenis-jenis ikan karang konsumsi yang banyak dijumpai adalah dari jenis ikan kerapu, ikan kakap, ikan ekor kuning, ikan pari, dan beberapa jenis lainnya. Sedangkan untuk jenis ikan karang hias yang banyak dijumpai di pulau Lingayan antara lain ikan betok, ikan kakatua, ikan okpis, ikan triger, ikan pakol, ikan angel dan ikan kepe-kepe (DKP 2005).

Vegetasi darat dan pantai yang terdapat di pulau ini umumnya didominasi oleh pohon kelapa, semak dan mangrove. Pohon kelapa merupakan vegetasi yang dominan di pulau ini. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai yang tumbuh subur di bagian Timur laut hingga tenggara pulau. Vegetasi ini di dominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yaitu bakau (Rhizophora spp.), Api-api(Avicenia spp.), Tanjung (Bruguiera,spp) dan Tengar (Ceriops, spp.).


(30)

Keunikan yang sangat menarik dengan potensi sumberdaya alamnya, persediaan air tawar yang cukup, aksebilitas yang mudah, sarana telekomunikasi yang memadai serta berada di wilayah perbatasan antara Negara Indonesia dan Malaysia sehingga memberikan sisi yang menarik untuk mendukung program pariwisata bahari. Sebab kehadiran pariwisata di wilayah perbatasan akan memberikan suatu pengakuan yang mutlak dan hakiki dari dunia Internasional akan kepemilikan pulau Lingayan sebagai milik dari Negara Indonesia.

Sampai saat ini kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Tolitoli terhadap pengelolaan sumberdaya alam yang ada di pulau Lingayan belum menyentuh langsung kepada perbaikan kesejahteraan masyarakat, hal ini disebabkan dalam membuat suatu kebijakan ataupun program-program tidak melibatkan masyarakat dan stakeholders setempat. Oleh karena itu perlu dilakukannya suatu skenario pengelolaan yang optimal dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang ada tanpa merusak ekosistem untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan terlebih khusus memberdayakan eksistensinya sebagai pulau-pulau kecil terluar.

Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi permasalahan pokok dalam pengelolaan di Pulau Lingayan adalah sebagai berikut :

1. Belum adanya data dan informasi yang akurat mengenai potensi sumberdaya alam yang ada di Pulau Lingayan.

2. Bagaimana melakukan pengelolaan sumber daya secara optimal berdasarkan Keindahan, kesesuaian pemanfaatan lahan, daya dukung untuk pengembangan ekowisata di Pulau Lingayan.

3. Bagaimana Skenario pengelolaan sumberdaya di Pulau Lingayan dalam pengembangan ekowisata.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Mengkaji potensi dan kondisi sumberdaya kawasan Pulau Lingayan

2. Mengkaji rencana pengelolaan Pulau Lingayanberdasarkankeindahan, kesesuaian lahan, daya dukung untuk pengembangan ekowisata di Pulau Lingayan

3. Mengformulasikan bentuk strategi pengelolaan sumberdaya di Pulau Lingayan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan berkelanjutan.


(31)

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Konsep pengelolaan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan denyut nadi di setiap pengelolaan yang dilakukan baik di wilayah darat, laut, pesisir maupun pulau-pulau kecil untuk menjamin suatu keberlanjutan dari sisi ekologi, sosial maupun secara ekonomi. Harus diakui bahwa sumberdaya alam daratan suatu pulau kecil seperti sumberdaya air tawar, ruang, vegetasi, tanah, kawasan pantai, margasatwa dan sumberdaya lainnya terbatas. Karena keterbatasannya ini, daya dukung pulau sangat kecil dalam menopang kegiatan pembangunan secara berkelanjutan (sustainable development) juga biasanya terbatas. Keterbatasan sumberdaya alam membuat kemampuan mencukupi sendiri (self sufficiency) sangat sulit dicapai. Oleh karena itu, secara ekologis maupun ekonomis pilihan-pilihan pola pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berkesinambungan (sustainable development) di pulau-pulau sangat kecil harus memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Konsep pengelolaan pemangunan berkelanjutan di Pulau Lingayan diarahkan dalam bentuk ekowisata yang merupakan parawisata yang bersifat berkelanjutan. Lokasi penelitian Pulau Lingayan berada pada posisi yang cukup jauh dari Malaysia (kurang lebih 230 mil) sehingga lemungkinan untuk diambil oleh Malaysia tidaklah mengkhawatirkan, namun peranan penting dari Pulau Lingayan sebagai salah satu pulau penentu batas wilayah NKRI maka sebaiknya dilakukan pengelolaan yang bersifat berkelanjutan dan dapat menjamin kondisi ekosistem pulau yang signifikan dengan batas-batas wilayah itu NKRI.Kerangka pikir dari penelitian di pulau Lingayan sebagai pulau kecil terluar ditampilkan pada Gambar 1.


(32)

Gambar 1. Kerangka pikir penelitian pengembangan ekowisata di pulau Lingayan sebagai pulau terluar

Pulau Lingayan

Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem Lamun

Potensi Pulau Lingayan

F E E D B A C K

Daya Dukung Biofisik

Pemanfaatan Kawasan Optimal

Pengelolaan Pulau Kecil Terluar di Kabupaten Tolitoli Permasalahan:

1. Belum adanya data dan informsi akurat untuk potensi sumberdaya alam di p. lingian

2. Bagaimana melakukan pengelolaan sumberdaya berdasarkan Scenic beauty estimation, kessuaian pemanfaatan dan daya dukung?

3. Bagaimana Sknario pengelolaan yang berkelanjutan untuk Pulau Lingian?

Tekanan Negatif Terhadap Lingkungan

Ekosistem Mangrove

Kesesuaian Lahan Scenic Beauty Estimation


(33)

1.5 Kebaharuan

Berdasarkan hasil penelitian pengelolaan pulau-pulau kecil dalam rangka peruntukkannya untuk pengembangan ekowisata dan dari penelusuran literatur pengelolaan pulau-pulau kecil, maka diperoleh tiga hal baru dalam penelitian ini adalah :

- Kebaruan dalam penetapan kawasan wisata diintegrasikan berdasarkan nilai keindahan dan Kesesuaian Peruntukan.

- Kebaruan dalam aplikasi ekowisata di pulau terluar khususnya di Pulau Lingayan yang berada di wilayah Kabupaten Tolitoli. Dengan adanya pengembangan ekowisata di pulau terluar diharapkan dapat menjamin keberadaan dari pulau tersebut sebagai salah satu penentu batas wilayah NKRI.


(34)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pulau-Pulau Kecil

2.1.1 Definisi Pulau Kecil

UNCLOS 1982, Bab VIII pasal 121 Ayat 1 yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang Undang Nomor 17 Tahun 1985 menyatakan bahwa Pulau adalah daerah daratan yang dibentuk secara alamiah yang dikelilingi oleh air dan yang ada di atas permukaan air pasang. Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa pulau merupakan daratan yang terbentuk secara alamiah dan bukan terbentuk secara rekayasa atau bukan daratan yang dibentuk secara reklamasi. Selain itu dari definisi diatas dapat dipahami bahwa daratan tersebut harus selalu berada di atas air pada saat pasang tinggi, sehingga bila suatu daratan berada dibawah air pada saat pasang tertinggi dan berada diatas pada pasang surut maka daratan seperti itu disebut dengan istilah gosong (shoal) dan bukan pulau. Khusus untuk pulau kecil batasannya telah berubah dari waktu ke waktu. Pulau kecil mula-mula dibatasi dengan pulau yang luasnya kurang dari 10.000 km2 dengan jumlah penduduk kurang dari 500.000 jiwa (Debance in

Adrianto 2004), kemudian berubah menjadi kurang dari 2.000 km² (Ongkosono 1998). Saat ini batasan pulau kecil di Indonesia mengacu pada UU No. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yaitu pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km² beserta kesatuan ekosistemnya. Definisi pulau kecil menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyatakan bahwa Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2

Dahuri (1998) berpendapat bahwa pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dengan habitat lain, keterisolasian suatu pulau akan menambah keanekaragaman organisme yang hidup di pulau tersebut. Selain itu, pulau kecil mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi species endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen, dan pulau kecil juga mempunyai tangkapan air (cathment) yang relatif kecil sehingga kebanyakan air dan sedimen hilang ke dalam air. Dari segi budaya, masyarakat yang mendiami pulau kecil


(35)

mempunyai budaya yang berbeda dengan pulau kontinen dan daratan. Adanya masukan sosial, ekonomi dan teknologi ke pulau ini akan mengganggu kebudayaan mereka. Sementara itu Purwanto (1995), sistem kepulauan kecil ditentukan/dicirikan oleh tingkat isolasi geografis dan keterbatasan ukuran dan bentuk pulau. Isolasi geografis ini menggambarkan keunikan habitat (endemisme), sedangkan ukuran dan bentuk juga menggambarkan keanekaragaman habitat (biodiversitas). Profil sumberdaya lingkungan kepulauan kecil dicirikan oleh keterbatasan lingkungan seperti lahan, sumberdaya dan keanekaragaman bahan organik, kecenderungan klimaks yang seragam, sangat rentan akan perubahan atau pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan dan timbulnya kecenderungan percepatan kerusakan (entropy) bila terjadi perubahan ekosistem. Jadi dari uraian diatas maka terdapat tiga kriteria yang dapat digunakan dalam membuat batasan pulau kecil yaitu: (1) batasan fisik pulau (luas pulau); (2) batasan ekologis, proporsi spesies endemik dan terisolasi; (3) Keunikan budaya. 2.1.2 Karakteristik Biofisik Pulau Kecil

Karakteristik yang umum dijumpai di pulau-pulau kecil dapat dikategorikan kedalam aspek lingkungan hidup dan sosial-ekonomi-budaya. Karakteristik yang berkaitan dengan lingkungan hidup menurut Brookfield (1990) in Dahuri (2003) adalah :

a. Pulau-pulau kecil memiliki daerah resapan (catchment area0 yang sempit, sehingga sumber air tawar yang tersedia sangat rentan terhadap pengaruh instrusi air laut.

b. Pulau-pulau kecil memiliki daerah pesisir yang sangat terbuka (rasio antara panjang garis pantai dengan luas area relatif besar), sehingga lingkungannya sangat mudah dipengaruhi oleh dinamika perairan sekitarnya.

c. Species organisme yang hidup di pulau-pulau kecil pada umumnya bersifat endemik.

d. Pulau-pulau kecil memiliki sumberdaya alam terestrial yang sangat terbatas, baik yang berkaitan dengan sumberdaya alam mineral, air tawar maupun dengan kehutanan dan pertanian.

Hein (1990) in Dahuri (2003) menyatakan bahwa karakteristik pulau-pulau kecil yang berkaitan dengan soasial-ekonomi-budaya antara lain :


(36)

a. Pulau-pulau kecil memiliki infrastruktur yang sangat terbatas sehingga sulit mengundang kegiatan bisnis dari luar pulau (diseeconomies of scale).

b. Pulau-pulau kecil memiliki pasar domestik dan sumberdaya alam yang kecil, sehingga iklim usahanya kurang kompetitif. Hal ini akan mempersulit terjalinnya kerjasama melalui perdagangan internasional yang sangat kompetitif.

c. Kegiatan ekonomi di pulau-pulau kecil sangat terspesialisasi, yakni eksport dan tergantung import.

d. Pulau-pulau kecil biasanya sangat tergantung pada bantuan luar meskipun memiliki potensi yang bernilai strategis.

e. Jumlah penduduk yang ada di pulau-pulau kecil tidak banyak dan biasanya saling mengenal satu sama lainnya, serta terikat oleh hubungan persaudaraan.

Pulau kecil memiliki karakteristik yang menonjol yaitu: (1) tangkapan air yang terbatas dan sumberdaya/cadangan air tawar yang sangat rendah dan terbatas; (2) peka dan rentan terhadap berbagai tekanan (stressor) dan pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, seperti badai dan gelombang besar serta pencemaran; (3) mempunyai sejumlah besar jenis-jenis (organisme) endemik dan kanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi; (4) dan beberapa pulau kecil yang berada jauh dari jangkauan pusat pertumbuhan ekonomi, pembangunannya tersendat akibat sulitnya transportasi laut dan terbatasnya ketrampilan masyarakat setempat (Bengen 2000; Ongkosono 1998; Sugandhy 1998).

2.1.3 Potensi Sumberdaya Pulau Kecil

Potensi sumberdaya alam di kawasan pulau-pulau kecil terdiri dari tiga kelompok: (1) sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources), antara lain : ikan, plankton, benthos, moluska, krustasea, mamalia laut, rumput laut, lamun, bakau, terumbu karang; (2) sumberdaya alam yang tidak dapat pulih (non-renewable resources), antara lain: minyak dan gas, bijih besi, pasir, timah, bauksit, dan mineral; (3) jasa-jasa lingkungan (environmental services). Kawasan pulau-pulau kecil menyediakan sumberdaya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan dari kekayaan ekosistemnya, seperti ekosistem mangrove, lamun, dan terumbu karang, beserta biota yang hidup di dalamnya (Dahuri 2003).


(37)

(1)Sumberdaya dapat pulih a) Mangrove

Ekosistem mangrove merupakan ekosistem utama pulau-pulau kecil yang sangat berperan sekali baik bagi sumberdaya ikan di kawasan tersebut maupun bagi kelangsungan hidup ekosistem lainnya, selain bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Dahuri et al. 1996, hutan mangrove memiliki fungsi ekologi dan ekonomi. Fungsi ekologi hutan mangrove adalah sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, amukan angin taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah instrusi air laut, dan sebagainya. Sedangkan fungsi ekonominya adalah penyedia kayu (sebagai kayu bakar, arang, bahan baku kertas), daun-daunan sebagai obat-obatan. Di kawasan pulau-pulau kecil jenis mangrove yang banyak dijumpai adalah jenis Avicennia karena wilayah pulau-pulau kecil merupakan daerah yang ketersediaan air tawarnya terbatas, pasokan sedimen relatif rendah dan memiliki substrat pasir.

b)Terumbu Karang

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang subur dan mempunyai produktifitas organik yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh kemampuan terumbu untuk menahan nutrien dalam sistem dan berperan sebagai kolam untuk menampung segala masukan dari luar. Perairan ekosistem terumbu karang juga kaya akan keragaman spesies ini adalah karena variasi habitat yang terdapat di terumbu dan ikan merupakan organisme yang jumlahnya terbanyak yang dapat ditemui (Dahuri et al. 1996). Lebih lanjut dikatakan, selain mempunyai fungsi ekologis yakni sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, pelindung fisik, tempat pemijahan, tempat bermain dan asuhan bagi berbagai biota; terumbu karang juga menghasilkan berbagai produk yang mempunyai nilai ekonomi penting seperti berbagai jenis ikan karang, udang karang.

Dari segi estetika, terumbu karang yang masih utuh menampilkan pemandangan yang sangat indah, jarang dapat ditandingi oleh ekosistem lain. Keindahan yang dimiliki oleh terumbu karang merupakan salah satu potensi wista bahari seperti selam, layar maupun snorkling.


(38)

c) Padang Lamun

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri untuk hidup di bawah permukaan air laut. Lamun hidup di perairan dangkal agak berpasir dan sering dijumpai di ekosistem terumbu karang. Sama halnya dengan rerumputan di daratan, lamun juga membentuk padang yang luas dan lebat di dasar laut yang dangkal dan masih terjangkau oleh cahaya matahari. Padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktifitas organiknya, dengan keanekaragaman biota yang juga tinggi. Pada ekosistem ini hidup beranekaragaman biota laut seperti ikan, crustacea, moluska, echinodermata dan cacing. Secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir, yaitu (1) produsen detritus dan zathara; (2) mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang; (3) sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini; (4) sebagai tudung berlindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari. Disamping itu padang lamun dapat dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan berbagai jenis ikan, kerang-kerangan dan tiram, tempat rekreasi dan sumber pupuk hijau. Di kawasan pulau-pulau kecil banyak dijumpai dari jenis Enhalus dan Thalassia, karena di kawasan ini kandungan sedimen organiknya relatif rendah dan didominasi oleh substrat pasir (Bengen, 2000).

d) Rumput Laut

Sumberdaya rumput laut (seaweeds) banyak dijumpai di pulau-pulau kecil, hal ini karena kebanyakan wilayah pesisir perairannya dangkal, gelombangnya kecil, subur dan kaya akan bahan organik terutama wilayah dekat pantai dan muara sungai. Rumput laut merupakan sumberdaya alam yang mempunyai nilai komersial yang tinggi, disamping sumberdaya perikanan. Sumberdaya rumput laut ini banyak dibudidayakan oleh penduduk sekitar sebagai mata pencaharian mereka.


(39)

e) Sumberdaya Perikanan

Secara ekologis, pulau-pulau kecil di daerah tropis berasosiasi dengan terumbu karang. Dengan demikian di kawasan ini memiliki spesies-spesies yang memanfaatkan karang sebagai habitatnya yaitu ikan ekonomis penting seperti kerapu, napoleon, kima raksasa dan lain lain, sehingga komoditas seperti ini dapat dikatakan sebagai komoditas spesifik pulau kecil. Ciri utamanya komoditas tersebut adalah memiliki sifat penyebaran yang bergantung pada terumbu karang sehingga keberlanjutannya dipengaruhi oleh kesehatan karang.

(2) Sumberdaya tidak dapat Pulih

Potensi sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources) yang terdapat di pulau-pulau kecil meliputi seluruh mineral, yang terdiri dari tiga kelas: kelas A (mineral straegis: minyak, gas dan batu bara); kelas B (mineral vital: emas, timah, nikel, bauksit, biji besih dan chromit) dan kelas C (mineral industri: termasuk bahan bangunan dan galian seperti granit, kapur, tanah liat, kaolin dan pasir). Sumberdaya tidak dapat pulih dan juga energi kelautan belum optimal dimanfaatkan hanya terbatas pada sumberdaya migas, timah, bauksit dan biji besi. Jenis bahan tambang dan mineal lain termasuk pasir kwarsa, fosfat, mangan, nikel, chromium dan lainnya praktis belum termanfaatkan dengan baik. Demikian juga halnya dengan potensi energi kelautan yang sesungguhnya bersifat tak pernah habis (non-exhaustive) seperti energi angin, gelombang, pasang surut dan (Ocean Thermal Energy Conversion).

(3) Jasa-jasa Lingkungan

Potensi jasa-jasa lingkungan pada kawasan pulau-pulau kecil seperti wisata bahari dan perhubungan laut, merupakan potensi yang mempunyai nilai tinggi bagi peningkatan pendapatan masyarakat sekitar maupun pendapatan nasional. Dengan keanekaragaman dan keindahan yang terdapat di pulau-pulau kecil tersebut, merupakan daya tarik sendiri dalam pengembangan wisata bahari.

2.1.4 Kendala Pengembangan Pulau-Pulau Kecil

Pemanfaatan potensi pulau-pulau kecil masih dihadapkan pada berbagai kendala antara lain letaknya yang terpencil, terbatasnya sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia. Disamping itu, didalam pemanfaatan pulau-pulau


(40)

kecil perlu memperhitungkan daya dukung pulau mengingat sifatnya yang rentan terhadap perubahan lingkungan. Pemanfaatan sumberdaya di kawasan pulau-pulau kecil harus dilakukan secara terencana dan terintegrasi dengan melibatkan peran serta masyaakat setempat sehingga dapat diwujudkan pemanfaatan potensi sumberdaya pulau-pulau kecil yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat (Dahuri 2003).

Kendala dalam pengembangan pembangunan di pulau kecil sebagai berikut :

a) Keterbatasan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir dan laut dan satwa liar, yang pada gilirannya menentukan daya dukung suatu sistem pulau kecil dalam menopang kehidupan manusia penghuni dan segala kegiatan pembangunan. b) Ukuran yang kecil dan terisolasi (insular) menyebabkan penyediaan sarana

dan prasarana menjadi sangat mahal, serta minimnya sumberdaya manusia yang handal yang mau bekerja di pulau-pulau kecil tersebut.

c) Kesukaran atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi dan transportasi sehinga turut menghambat pembangunan pulau-pulau kecil. d) Produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat

disetiap unit ruang (lokasi) di dalam pulau dan terdapat di sekitar pulau saling terkait satu sama lainnya.

e) Budaya lokal kepulauan kadangkala bertentangan dengan keiatan pembangunan yang ingin dikembangkan.

2.2 Pulau – Pulau Kecil Terluar 2.2.1 Definisi Pulau-Pulau Kecil Teluar

Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT) menurut Peraturan Presiden No.78/2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar menyatakan bahwa PPKT adalah pulau dengan luas area kurang atau sama dengan 2.000 km² yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional. Peraturan Presiden No. 78/2005 jumlah PPKT yang memiliki titik-titik garis pangkal berjumlah 92 pulau yang


(41)

tersebar di 20 propinsi dan 38 kabupaten yang sebagian besar berlokasi di Kepulauan Riau (21 pulau) dan Kepulauan Maluku (20 pulau) dan untuk wilayah Sulawesi Tengah memiliki 3 pulau terluar yaitu Lingayan, Salando dan Dolangon. Retraubun (2006) menyatakan bahwa dari 92 pulau tersebut sekitar 50% berpenghuni dengan luas berkisar 0,02-200 km².

Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dalam Peraturan Presiden No.78/2005, diartikan sebagai rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu untuk memanfaatkan dan mengembangkan potensi sumberdaya pulau-pulau kecil terluar dari wilayah Republik Indonesia untuk menjaga keutuhan NKRI. Retraubun (2006) berpendapat bahwa Pembangunan PPKT memiliki nilai strategis, karena pulau-pulau kecil terluar berkarakteristik antara lain :

1) Memiliki dampak langsung terhadap kedaulatan negara

2) Faktor pendorong bagi pertumbuhan ekonomi sekitarnya karena pulau kecil terluar memiliki akses langsung ke negara lain.

3) Memiliki keterkaitan yang saling mempengaruhi karena berbatasan dengan wilayah maupun negara lain.

4) Mempunyai dampak terhadap hankam baik skala regional maupun nasional. Melihat nilai strategisnya pulau-pulau kecil terluar, maka perlu dilakukan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar yang mencangkup rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi sumber daya pulau-pulau kecil terluar dari wilayah Republik Indonesia untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Brookfield in Susilo (2007); DKP (2005) mengemukakan sifat khas pulau-pulau kecil yaitu : 1) Secara Fisik; terpisah dari pulau-pulau besar, dapat membentuk satu gugus pulau atau berdiri sendiri, luas pulau kurang dari 10.000 km2, substratnya lebih didominasi oleh hancuran biota laut, kedalaman laut rata-rata antar pulau kecil sangat ditentukan oleh kondisi geografis dan letak pulau-pulau kecil; 2) Secara Ekologis; memiliki spesies endemik, memiliki resiko perubahan lingkungan yang tinggi, memiliki keterbatasan daya dukung pulau, melimpahnya biodiversitas laut; 3) Secara Sosial-Budaya-Ekonomi; ada yang berpenghuni dan tidak berpenghuni, penduduk asli mempunyai budaya dan kondisi sosial ekonomi yang khas, kepadatan penduduk sangat terbatas/rendah,


(42)

ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi luar pulau induk atau kontinen, keterbatasan kualitas sumberdaya manusia, aksebilitas rendah. Karena sifat khas dari pulau-pulau kecil tersebut maka pengelolaan pulau-pulau kecil harus menggunakan pendekatan yang khas pula, namun secara umum pengelolaannya haruslah mengacu kepada kaidah pembangunan berkelanjutan (Dahuri 2003 ).

2.2.1 Potensi Pulau Kecil Terluar

Potensi sumber kekayaan alam hayati dan non-hayati yang terkandung di wilayah pulau-pulau kecil terluar sangat besar. Potensi besar perikanan laut serta jasa-jasa lingkungan belum termanfaatkan secara optimal.Pengembangan pariwisata yang mengandalkan alamiah dan keindahan pantai dan bawah laut sangat potensial karena tidak bersifat ekstratif dan mempunyai efek ikutan yang cukup besar bagi pengembangan ekonomi dan sosial masyarakat. Disamping itu pulau kecil terluar memiliki potensi sumberdaya alam non-hayati seperti kandungan minyak bumi dan gas juga belum termanfaatkan secara maksimal.

Letak pulau kecil terluar yang berada di jalur pelayaran internasional memiliki potensi pasar secara regional dan internasional. Letak strategis pulau-pulau kecil pada jalur lintasan kapal-kapal laut antar negara dan antar benua bisa dijadikan sebagai peluang pengembangan ekonomi wilayah, dimana beberapa pulau kecil terluar dapat dibangun pelabuhan-pelabuhan persinggahan yang menyediakan berbagai pelayanan bagi kapal-kapal yang berlalu lintas melalui perairan Indonesia. Disamping itu, penyediaan pelabuhan-pelabuhan disekitar jalur pelayaran internasional dapat menjadi pintu gerbang bagi keluar masuknya barang dari dan ke dalam negeri. Posisi geografis beberapa pulau kecil terluar yang dekat dengan negara tetangga memungkinkan terciptanya pembangunan melalui kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan diantara kedua negara. Lalulintas barang serta aliran modal akan lebih mudah terjadi di daerah yang saling berdekatan. Telah diratifikasinya berbagai Konvensi Internasional berkaitan dengan pengelolaan lingkungan global, khususnya pengelolaan dan pemberdayaan pulau-pulau kecil yang memungkinkan adanya dukungan internasional bagi pengelolaan ekosistem pulau-pulau kecil terluar.


(43)

2.2.2 Kendala Pengembangan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil Terluar Disamping peluang-peluang yang dapat dijadikan sebagai pendorong dalam implementasi pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, terdapat juga berbagai kendala yang dihadapi yaitu :

a. Letak pulau yang tersebar dan terpencil dengan tingkat aksesibilitas yang rendah. Kondisi tersebut menjadikan sulitnya pengawasan dan patroli keamanan di pulau-pulau kecil terluar, ditambah dengan terbatasnya sarana dan prasarana untuk melakukan pengawasan dan pembinaan, khususnya terhadap pulau-pualu kecil yang tidak berpenghuni. Letak pulau-pulau yang terpencil juga mengakibatkan biaya tambahan akibat biaya transportasi yang mahal yang menjadikan biaya harga kebutuhan bahan pokok dan kebutuhan hidup lebih mahal.

b. Penyebaran penduduk di pulau-pulau kecil tidak merata. Dari 92 pulau kecil terluar hanya sekitar 39 pulau yang berpenghuni sedangkan sebagian besar lainnya merupakan pulau tidak berpenghuni.

c. Ukuran pulau-pulau umumnya sangat kecil sehingga harus dikelolah secara hati-hati dengan pengkajian yang matang serta mempertimbangkan aspek kemampuan daya dukung lingkungan dan aspek kelestarian sumberdaya. d. Kurangnya data dan informasi mengenai potensi dan kondisi pulau-pulau

kecil terluar sebagai basis data dalam penilaian potensi pengembangannya. Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan pesatnya kegiatan pembangunan di pulau-pulau kecil bagi berbagai peruntukan, misalnya : pemukiman, perikanan (baik tangkap maupun budidaya), pariwisata, apalagi pertambangan, akan membuat tekanan ekologis terhadap ekosistem dan sumberdaya laut. Meningkatnya tekanan, baik secara langsung misalnya kegiatan konversi lahan, maupun tidak langsung misalnya pencemaran oleh limbah berbagai kegiatan pembangunan, akan mengancam keberadaan dan kelangsungan kehidupan di pulau-pulau kecil. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya di kawasan tersebut mestinya secara seimbang dibarengi dengan upaya konservasi, sehingga dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan (Retraubun 2005). Dahuri ( 2003), pemanfaatan pulau-pulau kecil perlu memperhitungkan daya dukung pulau mengingat sifatnya yang rentan terhadap perubahan lingkungan, dilakukan secara


(44)

terencana dan terintegrasi dengan melibatkan peran serta masyarakat setempat sehingga dapat diwujudkan pemanfaatan potensi sumberdaya pulau-pulau kecil yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat.

2.3 Ekowisata

2.3.1 Definisi Ekowisata

Istilah yang berhubungan dengan kegiatan wisata dalam UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan antara lain :

1) Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.

2) Wisatawan adalah orang yang melakukan kegiatan wisata.

3) Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusaha objek wisata dan daya tarik serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut.

4) Kepariwisataan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan pariwisata.

5) Usaha pariwisata adalah keguatan yang bertujuan menyelenggarakan jasa pariwisata atau menyediakan objek dan daya tarik wisata, usaha sarana pariwisata dan usaha lain yang terkait di bidang tersebut.

6) Objek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata.

7) Kawasan pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata.

Holloway and Plant in Yulianda (2004) bahwa pariwisata merupakan kegiatan perpindahan/perjalanan orang secara temporer dari tempat mereka biasanya bekerja dan menetap ke tempat luar, guna mendapatkan kenikmatan dalam perjalanan atau di tempat tujuan.

Pariwisata berkelanjutan merupakan satu konsep yang meliputi seluruh tipe pariwisata dan berhubungan dengan mengunjungi lokasi yang alamiah. Pariwisata berkelanjutan memiliki perspektif yang luas berhubungan dengan generasi sekarang dan yang akan datang, adil secara etika dan sosial, cocok secara budaya


(45)

secara ekologi berkelanjutan dan secara ekonomi menguntungkan. Konsep pariwisata berkelanjutan meliputi 4 dimensi yang saling berhubungan erat yaitu : dimensi ekologi, sosial, budaya dan dimensi politik (Fennel 1999). Dalam menjamin keberlanjutan pariwisata yang perlu diperhatikan juga adalah kebijakan, organisasi dan tujuan dari pengelolaan pariwisata (Laws 1995; Butler 1997). Cole (2006) bahwa Pariwisata berkelanjutan merupakan salah satu bagian dari pembangunan berkelanjutan yang sesuai dengan konsep Bruntland, serta memiliki kriteria-kriteria sebagai berikut :

1) Secara ekologis berkelanjutan yaitu pembangunan pariwisata tidak menimbulkan efek negatif bagi ekosistem setempat. Konservasi pada daerah wisata harus diupayakan secara maksimal untuk melindungi sumberdaya alam dan lingkungan dari efek negatif kegiatan wisata.

2) Secara ekonomis menguntungkan yaitu keuntungan yang diperoleh dari kegiatan wisata yang dapat meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat setempat.

3) Secara sosial dan kebudayaan dapat diterima, yaitu mengacu kepada kemampuan penduduk lokal menyerap usaha pariwisata tanpa menimbulkan konflik sosial dan masyarakat lokal, mampu beradaptasi dengan budaya turis yang berbeda sehingga tidak merubah budaya masyarakat lokal (Hadiyati et al. 2003).

Konsep pariwisata berkelanjutan tidak terlepas dari konsep pembangunan berkelanjutan yang dirumuskan oleh The World Cominissions for Environmental and Development (WCED), yaitu komisi dunia untuk lingkungan dan pembangunan, yang didirikan oleh Majelis Umum PBB. Batasannya adalah sebagai pembangunan yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan generasi sekarang tanpa mempertaruhkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Tujuannya adalah memadukan pembangunan dengan lingkungan sejak awal proses penyusunan kebijaksanaan dan pengambilan keputusan yang strategis sampai kepada penerapannya di lapangan. Sebagaimana pembangunan berkelanjutan, definisi wisata berkelanjutan juga sangat sulit pada tahap operasional. Namun, serangkaian parameter sering digunakan untuk merujuk kepada wisata berkelanjutan, antara lain wisata yang mempunyai dampak minimal terhadap lingkungan memberikan dampak yang


(46)

rnenguntungkan bagi komunitas atau masyarakat lokal, serta memberikan pendidikan konservasi bagi pengunjung. Sheng-Hsiung et al. (2006) menyatakan bahwa untuk pengembangan pariwisata yang berkelanjutan sangat tergantung pada sumberdaya dan lingkungan. Dan bentuk wisata seperti ini juga dikenal dengan ekowisata yang pertamakali dikenalkan oleh organisasi The Ecotourisme Society, sebagai perjalanan ke daerah-daerah yang masih alami yang dapat mengkonservasikan lingkungan dan memelihara kesejahteraan masyarakat setempat (Linberg and Hawkins in Yulianda 2007). Ballantine(1994), ekowisata merupakan wisata yang berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan. Deborah (2004) bahwa ekowisatamerupakan salah satu kegiatan diversifikasi ekonomi yang paling umum diterapkan di Dunia Ketiga sebagai alat untuk melindungi ekosistem, melestarikan budaya lokal untuk memacu pembangunan ekonomi. Damanik and Weber (2006), ekowisata merupakan cara pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata secara ramah lingkungan. Dalam ekowisata, kegiatan wisata yang bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat lokal dan pelestarian lingkungan sangat ditekankan dan merupakan ciri khas ekowisata. Pihak yang juga memiliki peranan penting dalam ekowisata adalah pelaku wisata lain (tour operator) yang menfasilitasi wisatawan utuk menunjukkan tanggungjawab tersebut.

2.3.2 Pengelolaan Ekowisata

Pengelolaan ekowisataadalah bagaimana memelihara dan melindungi sumberdaya alam yang tidak tergantikan (irreplaceable) agar dapat dimanfaatkan untuk generasi sekarang dan untuk generasi mendatang.

1)

Prinsip pengembangan ekowisata dengan konservasi merupakan suatu konsep yang tidak terpisahkan, dalam pengembangannya selalu sejalan dengan misi pengelolaan konservasi. Yulianda (2007) mengatakan bahwa misi konservasi mempunyai tujuan :

2) Melindungi keanekaragaman hayati

Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan.

3) Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya 4) Memberikan kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat.


(47)

Beberapa konsep pengelolaan ekowisata yang dilakukan oleh berbagai Negara antara lain untuk di Negara Maladewa yang merupakan negara kecil dibagian barat daya Srilangka yang hanya memiliki 99 pulau namun memiliki wisata bahari yang sangat maju dengan konsep “one island one resort” (Sawkar et al.1998), ekowisata di Fiji dan di pulau Phuket, yang mengembangkannya dengan konsep “Nature orientated”(Malani 2000; Kontogeorgopoulus 2004), ekowisata di Buthan pengelolaannya berbasis pada konservasi (Gurung et al.

2008). Pengelolaan ekowisata di Gran Canaria adalah dengan mengkolaborasikan aspek lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi (Garcia-Palcon & Medina-Munosh 1999). Sedangkan ekowisata di pulau Monthserrat-Karibia melakukan pengelolaannya berdasarkan keanekaragaman hayati, pemandangan indah, sejarah warisan dan gaya hidup tenang (Weaver 1995). Menurut Stonne (2003) bahwa berdasarkan hasil penelitiannya mengenai Ekowisata dan Pembangunan Masyarakat di Hainan China bahwa manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat lokal masih terbatas, namun masyarakat tetap optimis bahwa pariwisata di kawasan lindung Hainan akan memberikan kontribusi terhadap pelestarian.

Fandeli (2000); META (2002); Yulianda (2007) menyatakan bahwa sumberdaya ekowisata terdiri dari sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dapat diintegrasikan menjadi komponen terpadu bagi pemanfaatan wisata. Ditinjau dari konsep pemanfaatan maka wisata dapat diklasifikasikan menjadi : 1) Wisata alam (nature tourism) meruapakan aktifitas wisata yang ditujukan pada

pengalaman terhadap kondisi alam atau daya tarik panoramanya.

2) Wisata budaya (cultural tourism) merupakan wisata dengan kekayaan budaya sebagai obyek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan.

3) Ekowisata (ecotourism, green tourism atau alternative tourism), merupakan wisata berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan.

Yulianda (2007), pengembangan ekowisata haruslah dilandaskan pada : 1) Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktifitas wisatawan terhadap alam

dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat.

2) Pendidikan konservasi lingkungan; mendidik pengunjung dan masyarakat akan pentingnya konservasi.


(48)

3) Pendapatan langsung untuk kawasan; retribusi atau pajak konservasi (conservation tax) dapat digunakan untk pengelolaan kawasan.

4) Partisipasi masyarakat dalam perencanaan; merangsang masyarakat agar terlibat dalam perencanaan dan pengawasan kawasan.

5) Penghasilan bagi masyarakat; masyarakat mendapat keuntungan ekonomi sehingga terdorong untuk menjaga kelestarian kawasan.

6) Menjaga keharmonisan alam; kegiatan dan pengembangan fasilitas tetap mempertahankan keserasian dan keaslian alam.

7) Daya dukung sebagai batas pemanfaatan; daya tampung dan pengembangan fasilitas hendaknya mempetimbangkan daya dukung lingkungan.

2.4 Daya Dukung Ekowisata

Daya dukung disebut sebagai ultimate constraint yang diperhadapkan pada biota dengan adanya keterbatasan lingkungan seperti ketersediaan makanan, ruang atau tempat berpijak, penyakit, siklus predator, oksigen, temperature atau cahaya matahari (Dahuri 2002). Bengen dan Retraubun (2006) menyatakan daya dukung sebagai tingkat pemanfaatan sumberdaya alam dan linkungannya. Daya dukung dapat diartikan sebagai kondisi maksimum suatu ekosistem untuk menampung komponen biotik yang terkandung didalamnya, dengan memperhitungkan faktor lingkungan dan faktor lainnya yang berperan di alam. Sehingga daya dukung dapat didefinisikan sebagai penggunaan maksimum terhadap sumberdaya alam yang berlangsung secara terus menerus tanpa merusak alam yang ada.

Davis and Tisdell (1996), daya dukung lingkungan terbagi atas dua yakni daya dukung ekologis (ecological carrying capacity) dan daya dukung ekonomis

(economic carrying capacity). Jika dikaitkan dengan kegiatan wisata, Mathieson

and Wall (1989) in Zhiyong and Sheng (2009) mendefinisikan daya dukung sebagai tingkat atau jumlah maksimum orang yang dapat menggunakan suatu kawasan tanpa mengganggu lingkungan fisik dan menurunkan kualitas petualangan yang diperoleh pengunjung, serta tanpa sebuah kerugian dari sisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat lokal (Inskeep 1991 in Liu 1994). McNeely (1994), daya dukung ekowisata bersifat sangat spesifik dan lebih berhubungan dengan daya dukung lingkungan terhadap kegiatan pariwisata dan pengembangannya. Daya dukung juga diartikan sebagai tingkat atau jumlah


(49)

maksimum pengunjung yang dapat ditampung oleh sarana dan prasana

(infrastruktur) objek wisata alam. Apabila daya tampung sarana dan pasarana tersebut terlampaui maka akan terjadi kemerosotan sumberdaya, kepuasan pengunjung tidak terpenuhi dan akan memberikan dampak merugikan terhadap masyarakat. Oleh karena itu mengacu pada batasan-batasan konsep daya dukung sebelumnya maka perlu diuraikan beberapa daya dukung yang berkaitan dengan pengelolaan ekowisata di PPK.

2.4.1 Daya Dukung Ekologis

McLeod and Cooper (2005) menyatakan bahwa daya dukung ekologis sebagai tingkat maksimum penggunaan suatu kawasan atau suatu ekosistem agar tetap lestari, baik dalam jumlah polulasi maupun dalam kegiatan yang diakomodasikan didalamnya, sebelum terjadi suatu penurunan dalam kualitas ekoligis ekosistem tersebut. Berdasarkan teori Odum definisi daya dukung merupakan batas maksimum biomas yang dapat mendukung seperangkat produksi primer dan satu variable struktur jaringan makanan yang diperolah ketika total sistem respirasi sama dengan jumlah produksi primer dan impor detritus (Christensen and Pauly 1998). Sumadhiharga (1995) berpendapat bahwa pencemaran perairan pesisir akibat meningkatnnya berbagai pemanfaatan merupakan indikator terlampauinya daya dukung perairan. Dampak yang timbul akibat pencemaran oleh berbagai jenis polutan dapat langsung meracuni kehidupan biologis dan menyerap banyak jumlah oksigen selama proses dekomposisi.

Pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau untuk kegiatan pariwisata, disamping dampak yang terjadi yang mengganggu kenyamanan atau kepuasan pemakai kawasan/ruang ini, dampak negative lanjutan lainnya dapat terjadi misalnya menurunnya spesies biota disuatu kawasan. Seidl and Tisdell (1999) mendefinisikan daya dukung sebagai batas maksimum suatu lingkungan dalam mentoleransi tekanan pemanfaatan. Prosser (1986) in Davis and Tisdell (1996) menyatakan daya dukung ekologi merupakan tingkat pemanfaatan sumber daya alam dapat berkelanjutan tanpa sebuah pengurangan dalam karakteristik dan kualitas sumber daya yang dimanfaatkan. Cooper et al. (1998), daya dukung ekologi pada kegiatan wisata merupakan batas maksimum kunjungan yang dapat


(50)

mempengaruhi kondisi ekologi yang terjadi karena aktivitas yang dilakukan turis. Daya dukung yang terkait dengat pariwisata bahari menunjukan jumlah maksimum wisatawan yang melakukan penyelaman atau berenang tanpa merusak terumbu karang atau kehidupan laut (Tantrigama 1998). Daya dukung ini ditujukan dalam pengembangan wisata di PPK dengan memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir dan pantai secara lestari. Yulianda (2007) memperkenalkan konsep daya dukung kawasan yakni jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditampung dalam suatu kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia.

A. Ecological Footprint

Ecological footprint adalah jumlah total dari luas permukaan bumi yang diperlukan untuk mendukung tingkat konsumsi dari wilayah tersebut dan menyerap produk limbahnya. Dengan diketahuinya ecological footprint suatu wilayah maka dapat diperkirakan tingkat keberlanjutan pembangunan wilayah tersebut. EF akan mengukur seberapa area bioproduktif (baik lahan maupun air) dari suatu populasi dibutuhkan agar menghasilkan secara berkelanjutan seluruh sumberdaya yang di konsumsi dan menyerap limbah yang timbul. EF merupakan

tools untuk mengukur dan menganalisis konsumsi sumberdaya dan output limbah dalam konteks kapasitas memperbaharui dan regenerasi dari alam (biokapasitas). Hal ini menggambarkan pengkajian kuantitatif dari area produtif secara biologis jumlah alam) yang dibutuhkan untuk menghasilkan sumberdaya (pangan,energi

dan materi) dan untuk menyerap limbah individu, kota, wilayah atau negara (Venetoulis et al. 2004 ; Wackernagel et al. 2004) dan menurut Kitzes et al.

2007 bahwa beberapa kategori EF yang digunakan terdiri dari croopland, grazing land, fishing ground, forest, built up area dan carbon absorption.

Biokapasitas (BC) mengukur suplai bioproduktif yaitu produksi biologis dari area, yang merupakan agregasi dari beragam ekosistem. EF dan BC biasanya disajikan secara bersama, seperti dalam Footprint of Nations dan Living Planet Report. Area bioproduktif merupakan area dengan produksi biologis sekitar 16% dari permukaan bumi (Lewan 2000). Biological capacity atau biocapacity adalah kemampuan ekosistem untuk menghasilkan material biologi yang bermanfaat dan


(51)

untuk menyerap limbah material yang dihasilkan oleh manusia, menggunakan rencana pengelolaan dan teknologi ekstraksi. Penghitungan BC dari suatu wilayah diawali dengan mengetahui jumlah total lahan yang secara bioproduktif tersedia (GFN 2008). Secara singkat dapat dikatakan bahwa penghitungan BC dilakukan untuk mengukur kemampuan lahan terseterial dan perairan yang tesedia untuk menyediakan jasa lingkungan. Penghitungan BC dari suatu area dilakukan dengan mengalikan area yang aktual tersedia dengan yield faktor (YF) dan

equivalencefaktor (EF) yang tepat. BC biasanya digambarkan dalam global hektar (gha).

Hasil penghitungan ecological footprint untuk dunia dan Indonesia pada tahun 2005 adalah seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Ecological footprint Dunia dan Indonesia tahun 2005 Negara Population Total Ecological

Footprint

Biocapacity Eclogical deficit milions (global ha/person) (global

ha/person)

(global ha/person)

Dunia 6.476 2,7 2,1 - 0,6

Indonesia 222,8 0,9 1,4 0,4

Sumber : WWF (2008)

Menurut Wackernagel and Rees (1996) menyatakan bahwa metode perhitungan EF suatu negara melalui tiga tahapan. Tahapan Pertama adalah menduga rata-rata konsumsit tahunan per orang dari item tertentu berdasarkan data agregat regional atau atau nasional dengan membagi konsumsi total dengan ukuran populasi, yaitu : konsumsi= produksi + impor-ekspor. Tahap kedua adalah dengan menduga area lahan layak per kapita (aa) untuk produsi setiap konsumsi utama ‘i’, dengan cara membagi rata-rata untuk konsumsi tahunan item (c) tersebut (c dalam kg/kapita) dengan produktifitas tahunan rata-rata (p), (p dalam kg/ha), yaitu : aai = ci/pi. Tahap ketiga adalah menghitung total ecological footprint dari rata-rata orang (footprint percapita) atau ‘ef’ dengan menjumlahkan seluruh ekosistem yang memadai (aai) dari seluruh item yang telah dibeli selama setahun yaitu : ef = ∑ aa i. Akhirnya diperoleh EF dari populasi (N), yaitu: Efp=N(ef).


(1)

Famili Spesies PULAU LINGAYAN

St. 38 St. 44 St. 46 St. 48 St. 52 St. 83 St. 96 St. 99 St. 100 St. 101

Acanthuridae Acanthurus auranticavus 4 1 6 - 20 24 14 - - -

Acanthurus mata 5 2 13 - 17 17 8 - 1 -

Acanthurus blochii 2 3 6 - 21 24 12 - - -

A. nigricans 2 9 11 6 15 19 7 - - 16

A.linneatus 5 7 8 - 17 20 4 10 15 5

zebrasoma scopas 7 5 14 2 15 16 6 2 2 -

Apogonidae Apogon chyrsopomus 11 - 19 - 31 35 22 - - 15

A. Aureus - - 25 3 43 45 17 - 12 11

A. rhodopterus 6 - 6 - 10 17 8 7 8 -

apogon melanorhynchus - - 11 - 16 19 22 1 - -

A. Compressus - - - 8 23 25 - - 21 21

Balistidae Balistoides viridescens 3 1 2 1 - 5 5 2 - -

Odonus niger 22 - 15 - 59 61 35 9 17 20

caesio caesio cuning 26 8 21 6 99 98 36 1 5 8

c. lunaris 18 12 - 15 86 87 - 10 16 26

Chaetodontidae

c. auriga 1 - 1 - 20 23 16 - 7 -

C. lunulatus 2 3 - 2 3 5 3 - - 3

C.trifasciatus 3 - 3 1 10 11 7 1 5 6

C. rafflesi 1 1 - - 6 7 3 - - -

heniochus pleurotaenia 1 - 5 2 4 7 - - 10 8

Ephipidae platax sp - 7 - - 16 15 9 - - 6

Haemulidae Plectorhinchus linneatus - - - - 19 21 9 2 4 -

P. Orientalis - - - - 7 11 4 - 2 3

P. lessonii - - - 8 8 6 - - -

P. chaetodonides - - - 1 4 5 7 5 6 -

kyphosidae kyphosus vaigiensis 2 - 5 - 9 13 11 8 12 2

Labridae C.troschelii - - - 4 7 8 - - - -

Chellinus fasciatus 9 - 1 2 9 12 - - 9 5

Diproctacanthus xanthurus 4 - - - 10 14 - - - -

Halichoeres melanochir - 9 6 - 7 9 5 - 7 6

labroides dimidiatus 10 5 - 2 15 18 13 5 10 11

Thalassoma lunare 19 1 - 1 21 22 8 - 1 -

T. Trilobatum - - 7 2 7 11 4 - 2 2

Lutjanidae Lutjanus fulvus 3 9 7 - 17 16 11 - - -

L. bohar 2 - 10 - 1 1 5 - - -

L. biguttatus 1 1 26 - 33 35 21 - - 12

mulidae mulloidichthys sp 5 - 7 - 7 11 6 - 5 12

myctophidae sargocentron melanospilos - - - - 32 35 - - - -

Pomacentridae Abudefduf vagiensis 41 - 30 5 37 39 33 3 10 11

chromis analis 23 9 45 - 50 69 64 - 6 7

Chromis viridis 11 - 37 - 49 57 63 2 - -

Chromis weberi 26 - 27 - 47 58 32 4 3 -

C. margaritifer 17 15 25 9 25 36 51 7 5 15

Pomacentrus bankanensis 15 - 15 - 35 45 34 - 9 12

Amphiprion Ocelaris 1 5 9 - 3 5 - - - -

A.clarkii 5 - - 2 11 11 - - - -


(2)

Famili Spesies PULAU LINGAYAN

St. 38 St. 44 St. 46 St. 48 St. 52 St. 83 St. 96 St. 99 St. 100 St. 101

Pomacentridae chrysiptera cyanea 29 9 35 - 60 64 72 - 9 -

chrysiptera oxycephala 13 - 29 9 40 56 44 - - -

Pomacentrus auriventris 10 - 36 - 75 77 58 - - -

dascyllus aruanus 61 - 75 - 96 98 103 - 12 19

dascyllus trimaculatus 22 40 54 16 110 126 26 - 12 36

Amblyglyphidodon curacao 28 39 - 21 58 67 58 3 15 25

Pomachantidae pygoplites diacanthus 2 - - - 5 6 - - - -

serranidae Epinephelus merra - 9 5 - 5 9 - - - -

E. quoyanus 2 - - - 2 4 3 - - -

scaridae scarrus rivulatus 8 9 - 4 27 36 14 - 12 23

S.niger 14 6 - - 32 34 35 - - 21

scarus schlegeli 11 2 - 2 19 22 11 - - -

s.gibbus 4 - - - 17 37 24 - - 14

s. schlegeli - 2 - 2 15 34 26 - - -

leptoscarus vaigiensis 3 - - 3 - 2 - - - -

Siganidae siganus doliatus 5 - 2 - 4 7 6 6 - 9

s.virgatus 2 - - 2 1 4 - - - -

Zanclidae Zanclus cornutus 2 5 1 - 9 14 5 - - 6

Jumlah Individu 507 234 660 133 1 576 1 850 1 059 88 270 396

Jumlah Spesies 50 29 37 27 62 64 51 19 32 32


(3)

Biotik

Abiotik

Intercepth (cm)

Hard Corals

ACB

5 539

ACE

670

ACT

2 764

CB

2 110

CE

1 235

CF

1 360

CM

2 440

CS

535

CMR

10

CHL

65

Soft Corals

SC

6 310

Algae

HA

50

MA

TA

90

FA

CA

Other

SP

1 837

OT

885

R

9 565

S

8485

Sumber : hasil survey

Keterangan :

Lampiran 3 Komponen Penyusun Substrat Perairan di Pulau Lingian Kabupaten Tolitoli

1.

ACB = Acropora branching

2.

ACE = Acropora encrusting

3.

ACT = Acropora tabular

4.

CB = Coral branching

5.

CE = Coral encrusting

6.

CF = Coral feliose

7.

CM = Coral massive

8.

CS = Coral submassive

9.

SC =Soft coral

10.

HA = Halimeda

11.

MA = Macroalgae

12.

TA = Turf algae

13.

FA =

Filamentous algae

14.

CE = Coral encrusting

15.

CA = Coral with Algae

16.

CM = Coral massive

17.

SP = Sponge

18.

OT = Others

19.

R = Rubble

20.

S = Sand


(4)

Ket : AC = Acropora; NC = Non Acropora ; DC = Dead Coral

Stasiun

Kedalaman

(m)

AC

NC

DC

ABIOTIK

OTHER

KATEGORI

1 5 27.70 17.30 - 50.00 5.00 Sedang

2 10 13.20 4.60 - 82.00 0.20 Buruk

3 3 19.60 10.40 15.00 15.00 40.00 Sedang

4 10 10.70 4.30 40.00 25.00 20.00 Buruk

5 3 31.20 35.20 - - 33.60 Baik

6 5 35.60 39.50 - - 24.90 Sangat Baik

7 3 25.80 20.30 36.90 12.90 4.10 Sedang

8 10 2.60 2.00 2.00 90.40 3.00 Buruk

9 5 11.16 10.30 10.40 56.20 11.94 Buruk

10 5 7.60 18.10 4.80 29.50 40.00 Sedang


(5)

S

tas

iu

n

K

e

d

ala

m

an

(m

e

ter

)

A

C

B

A

C

E

A

C

T

C

B

C

E

C

F

C

M

C

M

R

C

S

C

HL

SC

ju

m

lah

1 5 21.12 - 6.58 - 11.40 4.70 1.20 - - - 5.00 6

2 10 11.80 - 1.40 - - 0.50 4.10 - - - 0.20 5

3 3 8.60 - 7.00 - - 3.00 7.40 - - - 20.00 5

4 10 9.90 - 0.80 - 2.40 1.60 0.30 - - - 5.00 6

5 3 11.80 5.40 14.00 20.60 - 8.60 4.00 - 2.00 25.00 8

6 5 13.40 6.00 16.20 21.60 - 8.60 5.00 - 3.00 1.30 25.60 9

7 3 21.40 2.00 0.70 - 1.80 2.40 12.10 - 5.70 - 2.00 8

8 10 0.60 2.00 2.00 1.00 4

9 5 10.56 - 0.60 - 6.70 3.00 0.60 - - - 9.20 6

10 5 1.60 - 6.00 - 2.40 3.40 12.10 0.20 - - 33.20 7

Rata-rata 11.41 1.14 5.53 4.22 2.47 3.34 4.88 0.02 1.07 0.13 12.62


(6)

Lampiran 6 Daya dukung kawasan wisata pesisir per kategori wisata di Pulau Lingayan

Persamaan:

1.

Potensi Maksimum Wisatawan per Unit Area per Kategori Wisata

Jenis Kegiatan

K

(orang)

Unit Area (Lt)

Keterangan

Selam

2

1000

Setiap 2 org dalam 100 m x 10 m

Snorkeling

1

250

Setiap 1 org dalam 50 m x 5 m

Rekreasi Pantai

1

1

org setiap 50 m x 1 m

2.

Waktu yang Digunakan untuk setiap Kegiatan Wisata

No. Kegiatan

Waktu yang dibutuhkan, Wp-(jam)

Total waktu 1 hari, Wt-(jam)

1.

Selam

2

8

2.

Snorkeling

3

6

3.

Rekreasi Pantai

3

6

3.

Hasil Analisis Daya Dukung Kawasan

No.

Jenis Kegiatan

Ekowisata Pesisir

Luasan

Lahan Sesuai

(ha)

Panjang

Lahan Sesuai

(m)

Luasan (

)

KL 30% (m

2

)

DDK

(orang)

DDE10%

(orang)

1.

Selam

56,02

560.200

168.060

1.344

134

2.

Snorkeling

121,67

1.216.700

365.010

2.920

292

4.

Rekreasi

7.334

2.200

88

9

Total

177,69

1.776.900

425.270

4.352

434

Keterangan :

DDK = Daya Dukung Kawasan

DDE = Daya Dukung Pemanfaatan ( PP No. 18 Thn 1994 Bab II Pasal 4a)

KL = Kapasitas Lahan ( UU 26 Thn 2007 Pasal 29)