sejak tahun 2002 hingga 2014 alat tangkap pole and line merupakan program pengadaan dari pemerintah, yang seringkali salah sasaran, sehingga menimbulkan
banyak kecemburuan sosial. Sehingga evaluasi dalam implementasi kebijakan sebelumnya, sangat perlu dilakukan.
7.2 Implikasi Kebijakan Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan
Tujuan akhir yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah mendapatkan rumusan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan.
Landasan strategi diperlukan dalam penyusunan kebijakan tersebut, oleh sebab itu, rangkaian analisis telah dilakukan sebelumnya akan dibahas secara ringkas,
guna mengetahui pola alternatif kebijakan yang akan direkomendasikan. Melalui analisis bioekonomi, diketahui bahwa secara keseluruhan pemanfaatan
sumberdaya pelagis besar di lokasi penelitian masih dapat ditingkatkan. Hal ini terlihat pada Tabel 13 dan Tabel 21, dimana nilai MEY 6.072,7 ton dan MSY
6.072,9 ton perikanan tuna lebih tinggi dari nilai aktual 1.431,6 ton. Hal yang sama juga terjadi pada perikanan cakalang, dimana nilai aktual 1.235,6 ton
tersebut berada dibawah nilai MEY 4.652,6 ton dan MSY 4.655,8 ton cakalang. Dengan rata-rata estimasi laju degradasai dan depresiasi sebesar 0,3525
dan 0,3043. Sedangkan hasil estimasi pada model Copes, diperoleh bahwa tingkat harga komoditi yang digunakan dalam penelitian sangat rendah. Hal ini akan
berkaitan erat dengan rendahnya nilai surplus produsen yang dihasilkan. Secara keseluruhan, penelitian ini belum dapat menyimpulkan secara pasti tentang status
pemanfaatan yang terjadi pada lokasi penelitian. Hal ini disebabkan pendataan yang dilakukan hanya menggunakan satu lokasi fishing base.
Hasil analisis keberlanjutan menunjukkan bahwa, masing-masing dimensi menunjukan hasil indeks yang berbeda-beda, sehingga setiap atribut yang
memiliki sensitifitas tinggi terhadap status keberlanjutan pada masing-masing dimensi, diharapkan lebih menjadi kajian utama dalam upaya pemanfaatan
sumberdaya. Sedangkan, berdasarkan analisis kebijakan diperoleh urutan alternatif kebijakan, tiga alternatif utama adalah:
1. Penggunaan alat tangkap ramah lingkungan.
2. Pemantauan dan evaluasi kebijakan sebelumnya.
3. Kestabilan harga dan kwalitas produk.
Berdasarkan uraian tersebut, maka rekomendasi pengelolaan perikanan pelagis besar yang dapat diimplementasikan adalah sebagai berikut:
1. Pemilihan rezim MEY atau MSY pada pengelolaan sumberdaya
Pemilihan rezim pengelolaan berkaitan erat dengan pengelolaan pemanfaatan perikanan kedepan. Bila dibandingkan, perbedaan kedua rezim
tersebut memang tidak terlalu signifikan, tetapi dalam rezim MEY optimasi ekonomi dapat lebih dilakukan. Oleh sebab itu, penelitian ini sangat
merekomendasikan agar pemilihan rezim pemanfaatan berdasarkan pada rezim pengelolaan MEY. Pemilihan rezim MSY dilakukan bilamana tujuan utama
pengelolaan bukan hanya kepada rente yang dihasilkan, namun bertujuan kepada fungsi sosial, misalnya sebagai penyerap tenaga kerja. Tabel berikut merupakan
perbandingan estimasi penerimaan berdasarkan kedua rezim tersebut. Tabel 31. Perbandingan rezim MEY dan MSY pada perikanan tuna
No. Parameter
Kelebihan MSY
MEY
1. Penambahan produksi
4.641 ton 4.641 ton
2. Penambahan trip
± 6.406 trip ± 6.132 trip
3. Penambahan armada
± 26 unittahun ± 25 unittahun
4. Penyerapan tenaga kerja
± 30 orangtahun ± 30 orangtahun
5. Rente ekonomi
Rp. 64.978.660.040,- Rp. 65.103.058.709,-
Tabel 32. Perbandingan rezim MEY dan MSY pada perikanan cakalang
No. Parameter
Kelebihan MSY
MEY
1. Penambahan produksi
3.420 ton 3.417 ton
2. Penambahan trip
± 6.143 trip ± 5.591 trip
3. Penambahan armada
± 25 unittahun ± 23 unittahun
4. Penyerapan tenaga kerja
± 250 orangtahun ± 230 orangtahun
5. Rente ekonomi
Rp. 21.901.500.000,- Rp. 22.542.300.000,-
Pendekatan model output Copes yang terjadi adalah berlebihnya jumlah upaya tangkap. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini
adalah dengan sistem padat modal. Sehingga modal yang dimiliki sesuai dengan pos angaran dengan fungsi yang lebih terarah. Bila pengelolaan modal tersebut
sudah tepat guna, diharapkan jumlah upaya tangkap menurun, dan disertai dengan peningkatan kwalitas hasil tangkapan. Dari peningkatan kwalitas tersebut,
diharapkan harga komoditi pun menjadi lebih baik. Sehingga, surplus ekonomi yang dihasilkan dari kegiatan penangkapan pun lebih terdistribusi merata.
Misalnya dengan melalui penetapan harga dasar komoditas. Jika hal tersebut tidak memungkinkan untuk dilakukan maka, pemberlakuan sistem satu
pintu dapat dipilih sebagai alternatif lainnya. Artinya nelayan melakukan bongkar hanya pada PPI, kemudian tugas PPI untuk mendistribusi hasil tangkapan
berdasarkan sistem lelang. Secara tidak langsung hal tersebut dapat melindungi dari rendahnya harga komoditas, namum konsekuensi yang ditimbulkan adalah
produsen dituntut agar menyajikan ikan hasil tangkapan dengan kualitas yang baik. Oleh sebab itu, petugas penyuluh perikanan diharap berperan aktif dalam
pengembangan-pengembangan teknologi penangkapan, penanganan pasca panangkapan, agar komoditas dapat bernilai tinggi.
2. Pemilihan nilai discount rate yang tepat
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan nilai discount rate terbaik berada pada nilai 3, namun penyesuaian besaran nilai discount rate ini
mengkondisikan dengan kebijakan ekonomi makro yang berlaku. Meskipun demikian, berdasarkan hasil perhitungan diatas, para stakeholder dapat
mengetahui pola hubungan antara perubahan discount rate, dengan produksi, rente, dan jumlah upaya tangkap. Sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam
menentukan pengelolaan selanjutnya. 3.
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan penyerapan tenaga kerja pendukung
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia perikanan tidak hanya pada aparatur yang terlibat, namun stakeholder keseluruhan, termasuk masyarakat
nelayan. Peningkatan kualitas masyarakat nelayan merupakan hal yang paling utama, karena nelayan adalah stakeholder yang bersentuhan langsung dengan
ekologi. Peningkatan kualitas ini diharapkan dapat memberikan edukasi seluruh