Dimensi Teknologi Economic Policy For Sustainable Large Pelagic Fisheries Management In East Flores Regency

adalah dengan sistem padat modal. Sehingga modal yang dimiliki sesuai dengan pos angaran dengan fungsi yang lebih terarah. Bila pengelolaan modal tersebut sudah tepat guna, diharapkan jumlah upaya tangkap menurun, dan disertai dengan peningkatan kwalitas hasil tangkapan. Dari peningkatan kwalitas tersebut, diharapkan harga komoditi pun menjadi lebih baik. Sehingga, surplus ekonomi yang dihasilkan dari kegiatan penangkapan pun lebih terdistribusi merata. Misalnya dengan melalui penetapan harga dasar komoditas. Jika hal tersebut tidak memungkinkan untuk dilakukan maka, pemberlakuan sistem satu pintu dapat dipilih sebagai alternatif lainnya. Artinya nelayan melakukan bongkar hanya pada PPI, kemudian tugas PPI untuk mendistribusi hasil tangkapan berdasarkan sistem lelang. Secara tidak langsung hal tersebut dapat melindungi dari rendahnya harga komoditas, namum konsekuensi yang ditimbulkan adalah produsen dituntut agar menyajikan ikan hasil tangkapan dengan kualitas yang baik. Oleh sebab itu, petugas penyuluh perikanan diharap berperan aktif dalam pengembangan-pengembangan teknologi penangkapan, penanganan pasca panangkapan, agar komoditas dapat bernilai tinggi. 2. Pemilihan nilai discount rate yang tepat Berdasarkan hasil penelitian didapatkan nilai discount rate terbaik berada pada nilai 3, namun penyesuaian besaran nilai discount rate ini mengkondisikan dengan kebijakan ekonomi makro yang berlaku. Meskipun demikian, berdasarkan hasil perhitungan diatas, para stakeholder dapat mengetahui pola hubungan antara perubahan discount rate, dengan produksi, rente, dan jumlah upaya tangkap. Sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan pengelolaan selanjutnya. 3. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan penyerapan tenaga kerja pendukung Peningkatan kualitas sumberdaya manusia perikanan tidak hanya pada aparatur yang terlibat, namun stakeholder keseluruhan, termasuk masyarakat nelayan. Peningkatan kualitas masyarakat nelayan merupakan hal yang paling utama, karena nelayan adalah stakeholder yang bersentuhan langsung dengan ekologi. Peningkatan kualitas ini diharapkan dapat memberikan edukasi seluruh elemen agar turut serta menciptakan upaya pemanfaatan perikanan yang berkelanjutan. Namun upaya peningkatan sumberdaya manusia yang dilakukan, harus mempertimbangkan kondisi sosial budaya masyarakat. Upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia perikanan, tidak terlepas dari faktor tenaga kerja terdidik dan terlatih. Sehingga penyerapan tenaga kerja tersebut diharapkan mendorong pertumbuhan pengelolaan perikanan. 4. Pengelolaan sistem ekologi, ekonomi dan manajemen yang terintegrasi Pengelolaan perikanan pelagis besar berkelanjutan, tidak dapat tercipta bila antar sistem tersebut tidak bersinergi, sehingga pengelolaan terpadu pada ketiga sistem tersebut penting untuk dilakukan. Berikut ini merupakan beberapa rangkuman alternatif pengelolaan perikanan pelagis besar berkelanjutan berdasarkan hasil penelitian ini, yaitu: - Mereduksi kegiatan pemanfaatan sumberdaya yang bersifat desdruktif. - Mengadakan sosialisasi ukuran ikan layak tangkap. - Menciptakan iklim usaha secara padat modal. - Menciptakan pendapatan lainnya sebagai alternatif tambahan. - Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya aksi upaya pemanfaatan berkelanjutan. 5. Evaluasi kebijakan sebelumnya Evaluasi tersebut merupakan salah satu hasil perhitungan AHP, dimana berkaitan erat dengan kecemburuan sosial yang ada pada masyarakat nelayan dalam upaya mendapatkan bantuan. Berdasarkan informasi yang diperoleh, pembagian bantuan dinilai kurang adil, karena hanya kelompok-kelompok tertentu yang dapat mengakses bantuan terebut. Kemudian, sasaran pengadaan bantuan kurang tepat, karena terjadi beberapa contoh pengadaan armada tangkap yang didapatkan oleh masyarakat dengan profesi sebagai petani, sehingga pada akhirnya armada tersebut disewakan kepada nelayan. Namun, evaluasi yang dilakukan tidak semata membatasi pada distribusi pengadaan bantuan perikanan, tetapi evaluasi secara keseluruhan. Termasuk evaluasi terhadap atribut-atribut yang memiliki nilai sensitivitas yang tinggi pada masing-masing dimensi. VIII SIMPULAN DAN SARAN

8.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa: 1. Estimasi nilai produksi pada model Fox perikanan tuna, rezim MEY sebesar 6.072,7 ton dan 6.072,9 ton pada MSY. Nilai MEY pada perikanan cakalang 4.652,6 ton dan 4.655,8 ton untuk nilai MSY. Hasil perhitungan degradasi dan depresiasi mengindikasi bahwa, akumulatif secara time series selama 10 tahun, kedua nilai tersebut masih berada pada 20 - 40. Rente ekonomi yang dihasilkan oleh perikanan tuna rezim MEY sebesar Rp. 65.103.058.709,- kemudian pada rezim MSY sebesar Rp. 64.978.660.040,-. Perikanan cakalang rezim MEY, menghasilkan rente sebesar Rp. 22.542.300.000,- dan Rp. 21.901.500.000,- pada rezim MSY. 2. Estimasi surplus produsen pada perikanan tuna, sebesar Rp 1.530.000,- per ton, sedangkan surplus konsumen sebesar Rp 46.030.000,- per ton. Pada perikanan cakalang, estimasi surplus produsen hanya berkisar Rp 310.000,- per ton dan surplus konsumen Rp 580.000,- per ton. Hasil tersebut mengindikasi bahwa distribusi kesejahteraan masih dominan berada pada surplus konsumen. 3. Hasil indeks keberlanjutan pada kelima dimensi yang digunakan, berkisar antara 36 sampai 82. Status keberlanjutan pada dimensi ekologi perikanan cukup baik, sedangkan status pada dimensi ekonomi dan sosial cenderung kurang berkelanjutan. Dimensi sosial memiliki nilai indeks terendah, yaitu 35,99 dari status keberlanjutan perikanan tuna. Nilai indeks terendah berikutnya adalah pada dimensi ekonomi, hal ini berlaku untuk kedua unit analisis, dengan nilai masing-masing sebesar 39,15 pada perikanan tuna dan 39,30 pada perikanan cakalang. Kemudian pada dimensi hukum kelembagaan dan dimensi teknologi, hasil kedua dimensi ini adalah cukup berkelanjutan. 4. Prioritas kebijakan pengelolaan sumberdaya pelagis besar di Kabupaten Flores Timur adalah penggunaan alat tangkap ramah lingkungan, pemantauan dan evaluasi kebijakan sebelumnya dan kestabilan harga serta kualitas produk. Asumsi yang dibangun pada penggunaan alat tangkap ramah tersebut, berkaitan dengan ukuran mata pancing, alat tangkap bagan sebagai penyedia umpan, tidak lagi menggunakan peledak pada armada bodi. Pada alternatif pemantauan dan evaluasi kebijakan sebelumnya adalah terkait dengan seluruh bantuan pemerintah maupun swasta dalam upaya pemanfaatan, baik yang bersifat fisik maupun non fisik, yang seringkali salah sasaran, sehingga menimbulkan banyak kecemburuan sosial. Prioritas selanjutnya merupakan upaya dalam mempertahankan kualitas produk, untuk mendapatkan harga yang tinggi, upaya tersebut dilakukan dengan usaha padat modal dan peningkatan sumberdaya manusia yang terlibat dalam proses pemanfaatan perikanan.

8.2 Saran

1. Merujuk hasil analisis bioekonomi, pengelolaan sumberdaya pelagis besar Kabupaten Flores Timur perlu didorong pada tingkat pengelolaan rezim MEY, sehingga maksimalisasi rente ekonomi dapat tercapai. 2. Perlu adanya kajian tambahan, dalam menentukan harga terendah pada komoditas tuna maupun cakalang yang disepakati oleh pihak produsen dan konsumen, agar surplus produsen maupun surplus konsumen dapat terdistribusi secara adil. 3. Dimensi yang memiliki nilai indeks terendah dimensi sosial dan ekonomi dengan status kurang berlanjut, perlu diperbaiki dengan memperhatikan atribut-atribut mana saja yang memiliki nilai scoring terendah. Dengan mengetahui atribut tersebut beserta hasil scoring yang diberikan, diharapkan dapat diketahui penyebab rendahnya nilai indeks tersebut. Misalnya pada perikanan tuna dalam dimensi sosial, yang memiliki empat buah nilai terburuk dari total delapan atribut yang digunakan. Hal ini sangat membantu untuk mengkaji dalam upaya peningkatan status keberlanjutan. 4. Penambahan upaya tangkap yang tidak melebihi 6.132 trip pada perikanan tuna dan 5.591 trip pada perikanan cakalang, serta menggunakan alat tangkap ramah lingkungan. Kemudian pemantauan dan evaluasi kebijakan yang telah atau sedang berjalan, sehingga hasil pantauan tersebut dapat menjadi salah satu acuan dalam penyusunan kebijakan selanjutnya. Selanjutnya adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perikanan, yang dilakukan dengan cara peningkatan kualitas hasil produksi, peningkatan sumberdaya manusia, serta penyerapan tenaga kerja terdidik non nelayan.