Analisis Kebijakan Metode Analisis Data

V ANALISIS BIOEKONOMI

5.1 Gambaran Umum dan Keadaan Perikanan Tangkap Kab. Flotim

Kabupaten Flores Timur terletak antara 08 o 04’ - 08 o 40’ LS dan 1ββ o γ8’ - 123 o 57’ BT. Luas wilayah daratan 1.812,85 Km 2 tersebar di 17 pulau 3 pulau yang dihuni dan 14 pulau yang tidak dihuni, dibagi kedalam 3 bagian yaitu, Flores daratan, Solor dan Adonara. Sementara luas wilayah perairan 2.064,65 Km 2 . Dengan iklim cenderung kering, dan musim basah sekitar empat bulan, yaitu bulan Desember hingga Maret Flores Timur Dalam Angka, 2011. Kecamatan Larantuka merupakan Ibu Kota Kabupaten Flores Timur, secara geografis terletak diantara Selat Larantuka dan Selat Solor. Luas wilayah administrasi 75,91 Km 2 , sebelah utara berbatasan dengan Kec. Ile Mandiri, sebelah timur dengan Selat Larantuka, sebelah selatan dengan Selat Solor, dan sebelah barat dengan Kec. Demon Pagong Statistik Daerah Kecamatan Larantuka, 2013. Statistik Pertanian Kab. Flores Timur 2013, mencatat bahwa pembangunan pada subsektor perikanan Kab. Flores Timur, diarahkan pada peningkatan pendapatan dan taraf hidup nelayan, memajukan kualitas desa pantai melalui peningkatan dan diversifikasi produksi ikan guna memenuhi kebutuhan pangan dan gizi serta meningkatkan nilai ekspor. Selain untuk memenuhi kebutuhan pangan, perikanan juga menunjang program pemerintah dalam upaya peningkatan pendapatan asli daerah dan penyerapan tenaga kerja. Dengan demikian subsektor perikanan tetap mendapat prioritas pengembangan, dengan kondisi wilayah yang sebagian besar merupakan wilayah perairan. Secara potensi biodiversitas di Kabupaten Flores Timur memiliki 16 jenis bakau dengan luasan 630,83 Ha disepanjang pesisir, sedangkan jenis lamun yang ditemukan sebanyak 5 jenis dengan luasan padang lamun sebesar 1.639,82 Ha. Tutupan karang hidup di kabupaten Flores Timur secara umum berkisar 55,13 hingga 71,97 yang artinya masih dalam kondisi baik, jenis karang batu yang tercatat sebanyak 345 jenis dari 19 sukufamili WWF, 2009. Namun berdasarkan NTT Dalam Angka, sejak tahun 2009 hingga 2011, Kab. Flores Timur selalu mendominasi dalam aspek kelimpahan jumlah armada kapal motor 5 GT. Tercatat pada tahun 2011 sebanyak 360 unit armada dengan ukuran tonase diatas 5GT dan sebanyak 50 unit, dengan ukuran dibawah 5GT. Kemudian 70 unit pada perahu motor tempel NTT Dalam Angka, 2012. Hal tersebut mengindikasi eksploitasi sumberdaya, akan lebih meningkat. Statistik Pertanian Kab. Flores Timur 2013 menuliskan, pada hasil produksi perikanan laut, Flores Daratan merupakan penghasil terbesar. Selama kurun waktu 2007 hingga 2011, Kec.Larantuka mendominasi hasil produksi tersebut. Dan pada tahun 2011, total alat tangkap yang terdata pada Kec.Larantuka adalah sebanyak 25 buah, untuk alat tangkap bagan, 61 buah untuk huhate pole and line, serta 571 untuk pancing tonda maupun pancing lainnya.

5.2 Analisis Bioekonomi

5.2.1 Analisis bioekonomi perikanan tuna 5.2.1.1 Produksi dan upaya tangkap Estimasi analisis bioekonomi membutuhkan dua data utama, yaitu data hasil tangkapan per alat tangkap dan data upaya penangkapan. Kedua data tersebut diperoleh dari Dinas Perikanan Kelautan Provinsi NTT. Jenis alat tangkap yang digunakan dalam penelitian adalah hand line, dengan asumsi armada penangkapan yaitu perahu ‘body’ dengan ukuran 5GT, dengan tangkapan utama yaitu tuna jenis madidihang Thunnus albacares, sehingga akan mempengaruhi pada biaya yang diperlukan untuk melakukan aktifitas penangkapan. Pengukuran produktivitas penangkapan berdasarkan hasil pembagian antara jumlah produksi dengan jumlah upaya tangkap catch per unit effortCPUE. Hasil perhitungan CPUE, data produksi dan data upaya tangkap, tersaji pada Tabel 10. Hasil produksi dan jumlah upaya tangkap, yang tersaji pada Tabel 10, akan digunakan dalam perhitungan CPUE. FAO 2006, menyebutkan bahwa total produksi dan upaya tangkap merupakan sinyal penting dalam upaya pemanfaatan sumberdaya, karena setiap upaya pemanfaatan selalu ingin dalam keadaan maksimal serta optimal. Kombinasi kedua data tersebut menghasilkan CPUE, hal ini menjadi indikasi untuk mengetahui tingkat eskploitasi, dan merupakan indikator penting dalam perikanan. Nilai CPUE merupakan hasil pembagian antara jumlah produksi dengan upaya tangkap. Berdasarkan Tabel 10, dapat diketahui bahwa produktifitas alat tangkap hand line tertinggi pada tahun 2009 dan 2010 dengan hubungan CPUE dan upaya tangkap yang berbanding terbalik, dimana peningkatan jumlah upaya tangkap akan menghasilkan nilai CPUE yang lebih rendah. Tabel 10. Produksi dan upaya tangkap sumberdaya perikanan tuna Tahun Produksi Ton Upaya Tangkap trip CPUE 2003 252,14 99.285 0,002540 2004 2.394,63 11.078 0,216157 2005 3.735,49 22.701 0,164553 2006 2.319,28 22.692 0,102207 2007 885,10 97.312 0,009095 2008 1.510,62 77.880 0,019397 2009 1.086,44 2.086 0,520732 2010 1.928,57 3.540 0,544794 2011 98,10 3.072 0,031934 2012 105,89 28.070 0,003772 Sumber: DKP NTT dan Hasil Analisis Data 2014

5.2.1.2 Estimasi parameter biologi

Penelitian ini menggunakan parameter biologi dalam upaya pendugaan stok, hal ini sesuai dengan FAO 2006, yang menyebutkan bahwa pendugaan stok dapat dilakukan dengan menggunakan parameter biologi maupun parameter lainnya yang berhubungan dengan penangkapan, misalnya selektifitas dan kemampuan armada tangkap. Parameter biologi akan menghasilkan tiga nilai, yaitu nilai r yang merupakan laju pertumbuhan populasi, dimana nilai r merupakan selisih antara angka kelahiran dengan kematian, artinya nilai tersebut diasumsikan berlaku pada saat upaya pemanfaatan sama dengan nol. Nilai K merupakan kapasitas daya dukung lingkungan dalam menjaga populasi stok ikan. Kemudian adalah nilai q, dimana q merupakan nilai koefisien tangkap. Estimasi parameter biologi ini dilakukan dengan menggunakan model Fox, Clarke, Yashimoto dan Pooley CYP, model estimasi Walter dan Hilborn W-H dan model estimasi Schnute. Perbandingan hasil r, q, K pada masing-masing model tersaji pada Tabel 11.